Wednesday, July 3, 2019

Motoran ke Gili Trawangan

Tujuan: Gili Trawangan, Lombok Utara, NTB
Kendaraan: Sepeda Motor
Jarak Tempuh: 435 km Cek
Waktu Tempuh: 12-15 Jam perjalanan (berangkat Minggu jam 10 pagi, sampai Mataram jam 11 malam. Hulk banget, kan, suami gue? #terharubanggabersukacita)

Yap, ini perjalanan jauh pertama berdua dan menggunakan sepeda motor. Perjalanan yang melelahkan tentu saja. Jangan ditanya bokong nasibnya gimana. Teposss.... Andai bisa denger teriakan si bokong, mungkin mereka meraung-raung minta pulang.

Istirahat di pinggir jalan, 2 jam sebelum masuk Sumbawa Besar.

Skip aja, deh, setelah sampe Gili Trawangan, sebelum sampai sini kita nginep dulu di Mataram karena udah larut malam, lalu esoknya baru ke Gili Trawangan.
Di Bangsal, beli tiket boat buat nyeberang ke Gili Trawangan 15.000/orang, udah beli tiket, galau dulu mau ganti destinasi ke Gili Air karena lihat yang ke Trawangan rame bet. Well, ganti, tiket trawangan dibalikin, ganti beli yang ke Gili Air 12.000/orang.
Nunggu boat yang ke Gili Air ternyata lama penuhnya. Balik lagi, ganti. Tiket Gili Air dibalikin, beli ulang yang ke Gili Trawangan. 😂😂


Tulisannya yang besar itu udah hancur. Masih ada bekas reruntuhan gempa. Tapi, wisatawan sudah mulai rame kembali.

Nginep di sana semalem dapat penginapan yang 200 ribu. Harusnya bisa dapat yang 100 ribuan ke bagian dalem-dalem, tapi hamba sudah tidak sanggup lagi berjalan karena kepala agak puyeng diguncang ombak waktu nyeberang tadi.

Setelah istirahat sebentar, udah ga sabar pengen sepedaan kelilingin gili. Cus deh keliling pake sepeda sore-sore. Beneran kelilingin sampe kembali ke titik semula.

Bersambung....

Thursday, June 13, 2019

Your Day



Jumat, 14 Juni 2019
Hai, sebenernya aku ingin jadi orang yang pertama ngucapin selamat ulang tahun secara langsung kepadamu. Namun, apalah daya, ternyata aku masih dalam perjalanan pulang dari Mataram saat menulis ini. Tepatnya aku sudah sampai Sumbawa Besar. Tadinya aku ingin tiba sebelum jam 12 tengah malam. Lalu memberi kejutan ala pasangan alay. Tapi, aku terlambat berangkat. Aku juga tak ingin menelepon atau mengirim teks ucapan. Jadi, kuputuskan untuk berpura-pura lupa, dan memberi kejutan saat tiba di rumah besok. Tunggu, ya...

Selamat merayakan tanggal kelahiranmu, Sayang... semoga kebaikan dan kebahagiaan selalu menyertaimu. Semoga kau selalu diberi kesabaran, menjadi imam yang penyayang dalam keluarga kecil kita. Semoga kamu selalu menjadi teman hidup dan teman belajarku hingga maut memisahkan, mengajakku dan menggandeng tanganku bersama-sama menuju-Nya.

*Di dalam Bus Malam Dunia Mas (Mataram-Bima) kursi No. 1 dan kursi di sebelahku kosong, aku bisa selonjoran. Tapi, akan lebih menyenangkan jika kamu yang duduk di kursi sebelahku. :D

Pukul: 11:58 PM WITA (dua menit lagi menuju tanggal 14)

Friday, April 5, 2019

Hapus Kolom Pekerjaan di KTP

https://mojok.co/mzs/esai/saya-guru-taman-pendidikan-al-quran-tapi-repot-kalau-menjelaskan-kerjanya-apa/


Barusan baca tulisan di mojok. Trus, pengin ikutan curhat juga. Di KTP saya juga kolom pekerjaan akhirnya diisi BELUM/TIDAK BEKERJA. Iya, pake huruf besar semua. Kejam bnget, kan? Jadi, setiap kali lihat KTP, saya merasa diteriakin. Diteriakin nama saya yang panjang, diteriakin tahun lahir biar ketahuan kalo udah gak muda, diteriakin golongan darah biar merasa punya kewajiban donor setiap masuk pesan di grup WA "Dibutuhkan gol. Darah A, pasien kanker alis dirawat di RS bla bla bla..." padahal setiap mau donor darah, saya selalu patah hati, selalu dapat penolakan, mending kalau cuma ditolak, pake dibilangin berat badan masih kurang segala. Apa mereka gak tahu kalo berat badan itu sangat sensitif buat perempuan? Trus berasa diteriakin tidak bekerja padahal setiap hari kerjaan saya banyak. Seperti nulis status ini, kerja, kan, ya? Pokoknya setiap liat KTP saya harus tutup telinga.

Well, kolom yang lain juga huruf besar semua, sih. Dan lagi, nih, untuk penulisan ini saya bertanya-tanya. Gini, di keterangan sebelahnya gak ditulis huruf besar semua. Tapi, di isian keterangan itu kenapa huruf besar semua? Gak konsisten. Biar keliatan? Ah, enggak juga, meskipun huruf kecil (dengan awalan huruf besar seperti aturan penulisan PUEBI) tetep keliatan, kok. Emm, apakah KTP saya saja yang seperti itu?

Baiklah. Kembali ke soal pekerjaan tadi. Ya, waktu ditanya soal pekerjaan, saya pun kesulitan menjelaskan. Karena memang gak punya pekerjaan, gak pergi ke kantor, bukan karyawan pula. Akhirnya saya jawab saja pengangguran. Padahal, kan, saya gak nganggur, saya ini Unemployment. (Sama aja!) 😂

Saran buat dukcapil: BELUM/TIDAK BEKERJA coba diganti PRAKERJA aja, biar rada kerenan dikit, trus biar bisa dapat kartu entar kalo si itu menang. Atau bagaimana kalo kolom itu dihapus, soalnya itu bisa berpengaruh ke data negara soal jumlah pengangguran, padahal sekarang banyak yang bekerja a.k.a. nyari duit di dunia lain. Meraup hingga milyaran rupiah cuma dari "Halo Gaiss.... ashyiaaapp". Banyak yang dapat transferan jutaan rupiah dari jualan senjata di game online. Masa mereka mau dibilang pengangguran. Tapi, itu sulit untuk dibilang jenis pekerjaan/profesi juga, sih. Nanti kalo misalnya anak kecil ditanya mau jadi apa, masa jawabannya mau jadi Yutuber, Gamer.

Repot juga profesi pekerja lepas seperti Penulis, Editor, Desainer, Layouter, Ilustrator, Guru TPQ, Imam masjid, Biarawati, Peramal, Tukang cukur, Tukang sol sepatu, Tukang Ojek, MUA, dll., udah capek-capek jelasin kerjaan, ujung-ujungnya ditulis Karyawan Swasta padahal bukan karyawan, Belum/Tidak Bekerja padahal kerja, IRT padahal gak cuma ngIRT, atau malah Wiraswasta padahal bukan pengusaha. 😂 Dan itu ditulis huruf besar semua.

Wednesday, April 3, 2019

Buku




Seperti juga mereka, aku pun memiliki sebuah buku
Buku yang menceritakan segala hal
Terutama soal rasa
Menerbitkan senyum juga air mata
Membuat tertawa, curiga, resah, juga menenangkan
Aku belum selesai membacanya
Dan mungkin tak akan pernah selesai
Setidaknya kuberharap begitu
Meski membuat penasaran, aku tak ingin menyelesaikannya
Membacanya setiap hari sangat menyenangkan
Membuka halaman demi halaman
Hari ini aku bisa tertawa ditemani kopi dan kudapan
Esoknya menangis ditemani gemerisik angin dan riak ombak
Esoknya lagi aku bisa penasaran di tengah gemerlap kota, gemintang, dan sayup angin perbukitan
Kadang bertanya, kapan aku sampai pada halaman terakhir?
Namun, setiap kali membuka, selalu kutemukan halaman baru
Dan kembali membuat tertawa, menangis, juga penasaran
Besok ada apa lagi?

-np-


#terinspirasidramakorea #romanceisabonusbook

*recommended lah dramanya, menceritakan betapa ga mudahnya membuat buku bagus, lika-liku kerja di penerbitan, mempertahankan idealisme sebagai penulis, desain, atau editor, gimana memunculkan ide-ide, betapa membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun untuk membuat satu buku (lalu orang lain dengan mudahnya membuat buku palsu), gimana kesalahan satu frasa saja bisa mengorbankan hidup dan darah seorang editor. Aih, jadi kangen grafindo. 😂


Wednesday, October 10, 2018

Tulus

Jangan kau tanya ketulusan pada iblis
mereka adalah makluk paling tulus
malaikat tak berpamrih karena dicipta
iblis tak pernah pamrih pada manusia
karena hasad, dusta, dan cinta
amat tulus mengajak untuk bersama
pantang menyerah, setia hingga binasa
mereka tak kan ingkar hingga akhir dunia
siapa pun tahu itu jalan neraka
sialnya, manusia tetap suka

ketulusan manusia kadang goyah
menangis rindu, namun payah
mengaku cinta, tapi tak bergairah
hati mencari wujud tak berarah
kemunafikkan manusia kian bertambah
akan seperti itu hingga amarah
manusia selalu sadar itu salah
namun, iblis teguh bisikkan asah
jangan salahkan iblis yang tak kenal lelah
mereka telah ikrar sejak sejarah
masalahnya adalah kau yang memang sudi kalah

-np-

Sempadan




ada cerita yang tak ingin kudengar
tapi, terdengar begitu saja tanpa kuputar
itu tanda
itu takdir

ada lukisan yang tak ingin kulihat
tapi, terlihat begitu saja tanpa pekat
aku tahu, iblis membantuku
lalu dia bisikkan penghianatan

padahal susah payah kubangun kepercayaan
berjerih kujaga ketenangan
sial memang hidup penuh kerapuhan
kadang tak setia kepada-Nya

ada alasan yang ingin sekali kudengar
tapi, tak ada yang dapat menjelaskan
apakah itu juga tanda?
apakah itu juga takdir?

aku percaya, itu takdir
aku percaya itu semua Tulisan-Nya
hanya perlu sabar yang tak berbatas
alasan itu akan terjelaskan

tidak ada kebetulan dalam kehidupan
semua terjadi karena sebuah alasan
jika sabarku ada batasan
ampuni aku, karena aku tahu sabar tak bersempadan

Bima, 10/10/2018

-np-

Tuesday, September 18, 2018

Timeline Pasca Menikah

Kebiasaan orang di dunia maya setelah menikah yang saya perhatikan beragam. Namun, ragamnya ya.. tidak terlalu banyak sih. Apa sajakah itu? Yuk, simak!

Pertama, setelah menikah tentu saja mengganti foto profil, status di media sosial, dan mengunggah beberapa foto pernikahan. Bagusnya, hal ini dapat mengundang banyak doa dan harapan dari para netijen. Aktifitas ini biasanya berlaku pada saat awal-awal pasangan menempuh hidup baru hingga melewati masa bulan madu. Membagi foto-foto saat hanimun memang menyenangkan. Tapi, tolong hargailah para jomblo yang masih berjejer rapi di friendlistmu. Mereka memang akan ikut senang dan turut mendoakan kebahagiaanmu, tapi tidak sedikit juga yang jadinya baper minta dinikahin padahal belum siap lahir batin.

Kedua, setelah menikah sering membagi tulisan, video, ceramah, ayat, hadits, dan sebagainya mengenai nasihat berumah tangga.
Biasanya para Istri sering repost atau share postingan berisi pesan-pesan dan nasihat bijak untuk suami, dengan tidak lupa me-mention nama suami mereka, namun jarang berlaku kebalikannya, para suami jarang yang mau repost atau share nasihat dan pesan buat istri mereka. Kalau pun ada, sedikit sekali. Kenapa? Mungkin karena laki-laki lebih suka bicara langsung daripada mengirim kode-kode di area publik. Lagipula kurang epik rasanya. Bukankah para istri juga lebih baik berpikir sama? Lebih baik bicara langsung saja ke suaminya ketimbang menyampaikan hal itu di media sosial yang bisa dilihat banyak orang. Masalahnya, kita tidak bisa membatasi apa saja yang bisa dipikirkan oleh orang lain saat ikut membacanya.

Ketiga, setelah menikah sering posting, like, atau share foto bayi yang lucu-lucu. Ini mungkin juga kode buat pasangan masing-masing. Sialnya, saya sering dapat pemberitahuan di-mention atau dikirimi foto bayi yang lucu-lucu ini oleh para Bibi dan keluarga besar. Oh, please...

Keempat, setelah menikah tidak ada aktifitas lagi, mati suri atau mati total hingga nggak aktif lagi di media sosial. Banyak kemungkinan. Pasangan jenis ini mungkin terlalu sibuk membangun kehidupan di dunia nyata, jadi tidak punya waktu untuk menyalin aktifitas mereka di dunia lain, dunia maya i mean. Kemungkinan lain, mungkin ganti smartphone, lupa password, jadi, akunnya nggak aktif lagi. Mau bikin lagi, udah males.

Sekian hasil pengamatan saya. Semoga kita dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Media sosial ibarat dunia yang luas tempat kita bisa bertemu dengan banyak orang. Bahkan lebih banyak dari dunia nyata. Di sana kita juga mempunyai rumah. Akun media sosial kita ibarat rumah. Dan rumah yang baik adalah yang memiliki dinding, jendela, dan pintu. Sehingga penghuni di dalamnya tidak kedinginan dan juga tidak kegerahan. Tidak semua aktifitas di dalam rumah kita biarkan terlihat oleh orang-orang di luar rumah. Karena manusia sejatinya harus tetap memiliki rasa malu baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

*Wanita biasa yang sedang berusaha menjadi istri yang baik-soleha-perhiasan-dunia. #ahem


Friday, August 24, 2018

Infinity


Terima kasih karena sudah sarapan dengan telur dadar yang ternyata tidak berasa tanpa protes sedikit pun pagi ini.
Terima kasih karena sudah menemaniku yang tiba-tiba cengeng kemarin, sampai-sampai kau terlambat memenuhi janji dengan teman-temanmu.
Aku memukul kepala sendiri berkali-kali sambil mengumpat betapa bodohnya aku.
Terima kasih karena sudah membuang buah yang sudah lama mengendap di kulkas dan tidak habis-habis itu kemarin. God, ternyata aku sangat pemalas.
Terima kasih karena sudah membersihkan poop kucing yang tidak tahu diri itu kemarinnya lagi.
Terima kasih karena sudah selalu melipat selimut dan merapikan tempat tidur hari ini, kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi. Ya, hampir setiap hari kau membuatku jatuh cin... terharu. Sial.
Terima kasih karena selalu menyimpan piring kotor ke belakang dan tidak membuatnya tak indah.
Terima kasih sudah ikut menyapu halaman setiap kali dedaunan yang tak berdaya itu mulai ramai tertiup angin. Kita memang tidak boleh menyalahkan mereka.
Terima kasih karena sudah menanam segala jenis tumbuhan di halaman rumah kita akhir-akhir ini. Semoga musim hujan segera tiba agar kau tidak perlu menyiramnya setiap hari.
Terima kasih untuk segalanya.
Aku harus menyampaikan terima kasih yang tak terhingga.
Ah, terima kasih pokoknya.

Thursday, July 5, 2018

Hari ke-18

Kalau aku bilang cinta terlalu kanak-kanak untuk melandasi kebersamaan di antara kita, aku takut sombong. Well, kita tidak bicara lagi soal cinta monyet atau kingkong. Cinta yang harus kita pahami adalah wujud cinta tersempurna, itu jika memang ia berwujud. Rasa cinta terdalam, jika memang ia berasa.

Kita harus mengakui, kita bahkan telah hampir berkali-kali mati rasa, kemudian Dia tumbuhkan. Lagi, dan lagi. Ya, tentu saja cinta kepada Yang telah mempertemukan kita, apa lagi? Yang telah mempertemukan kita pada hari itu, Senin, 18 Juli 2018, 4 Syawal 1439 H.

Kau tahu, setelah beberapa hari dari hari itu, aku baru sadar nama panggilan kita memiliki kesamaan yang menakjubkan. Coba hilangkan huruf pertama kedua nama itu. Jadinya "Ina" dan "Ibu". Ina adalah Ibu dalam bahasa Bima.
Norak, sih...
Alay? Banget.
Tapi, apakah ini kebetulan? Aku meragukannya. Apakah terlalu pagi untuk aku bilang ini takdir?

Apa pun itu, aku harap kamu setuju kalau kamu akan membimbing dan membantuku belajar mencintai-Nya. Menjalani takdir kita.





Sudah berjalan 18 hari sejak hari itu, kita masih bermain dengan perasaan masing-masing. Kebersamaan yang percaya nggak percaya terlewati begitu saja. Lebih banyak nggak percaya tepatnya. Are we really already getting married? Aku, sih, yang merasa begitu, nggak tahu kalau kamu. Mungkin kamu punya cukup kepercayaan diri sehingga tidak perlu merisaukan hal-hal sepele ini. Soal perasaan kita maksudku. Seperti banyak tulisan perihal cowok yang kubaca, katanya cowok lebih realistis memandang segala sesuatu. Tidak terlalu mementingkan perasaan. Sialnya, cewek sangat perasa dan masalah perasaan memiliki urutan terpenting, bahkan dari list belanja rumah tangga ia menempati urutan teratas. Mereka meyakini urusan rasa ini akan mempengaruhi segala hal. Lalu, aku yang sering bertanya apakah kamu bahagia dan kamu yang sering mengatakan takut tidak bisa membahagiakanku. Harusnya itu cukup meyakinkanku kalau kita memang sudah bahagia. Atau paling tidak sedang menuju ke sana. Tapi, ternyata meyakinkan diri sendiri akan hal itu seperti meyakini bahwa puncak gunung sudah dekat padahal masih sangat jauh ketika didaki. Untuk membuktikannya butuh perjuangan. Begitu pula dengan konsep kebahagiaan kita. Aku masih tidak yakin dengan perasaanmu. Pernah ada yang mengatakan bahwa wanita butuh diyakinkan berkali-kali kalau dia dicintai, itu pun besoknya dia akan bertanya lagi. Aku setuju dengan itu. Tapi, aku juga setuju bahwa cinta tidak perlu dijelaskan. Ia memang tidak terjelaskan. Ia indah dengan ketidakjelasannya itu. Ia menarik dengan kesanggupannya mengoyak dan mempermainkan perasaan anak-anak manusia.

Satu hal saja yang aku catat. Kamu belum pernah mengatakan "aku bahagia" sebagaimana aku yang sering mengatakan itu. Itu tak jadi soal. Hanya saja, kurasa... kamu sangat mengerti kalau kita sudah menikah dan kita harus menjalani kenyataan.

Selama 18 hari ini aku cukup diberi banyak kejutan. Tentu saja kamu tidak menyadarinya karena mungkin itu memang adanya dirimu. Jika dulu (sebelum menikah) kamu amat tak acuh, tak peduli, pesan hari ini dibalas besok atau dua, tiga hari lagi, setelah menikah kau bahkan lebih banyak mengirim pesan alarm jam makan. Saat itu, aku bertanya-tanya jangan-jangan aku sudah lanjut usia sehingga harus diingatkan untuk makan. Meski bagitu, aku senang. Aku menyukainya. Amat sangat. Jadi, teruslah seperti itu.

Dulu, aku menilai dan menganggapmu sebagai wujud manusia yang tidak peka. Tidak memiliki kepekaan sedikit pun. Namun, kebersamaan 18 hari ini membuat penilaianku berubah. Saat raut wajahku berbeda sedikit saja, kau menanyakan "ada apa?". Ah, kau terlalu peka. Kau juga tidak pernah membiarkanku mengeluarkan dan memasukkan motor sendiri. Emm... itu manis sekali. Kau juga membantu merapikan tempat tidur, kadang menyapu. Juga membantu menyuci pakaian yang berat-berat. Kau tidak keberatan membantuku memasak. Detail-detail kecil seperti itu sungguh membuat haru. Dari sana aku yakin kita telah memiliki persepsi yang sama soal keluarga dan rumah tangga, bahwa keluarga ini adalah milik kita bersama, di dalamnya kita akan saling membantu. Saling menolong dan bukan memerintah. Saling memberi dan bukan saling menuntut. Saling bertanggung jawab dan bukan hanya menginginkan hak.

Pagi tadi, kau berinisiatif mengganti kran air yang rusak di tempat cuci karena tidak tega melihatku mencuci di kamar mandi. Ngg... itu... aku minta maaf karena pernah menganggapmu tidak detail. Lebih dari apa pun, aku meyakini kamu memiliki respek yang baik kepada sesama manusia. Termasuk kepadaku. Ya, respect.
Karena itu semua, aku merasa bersalah karena sepertinya aku belum benar-benar menjadi teman hidup yang baik buatmu. Maafkan ya, K... aku akan berusaha. Aku tidak berani berjanji. Tapi, aku akan memberikan usaha terbaik.
Hold my hand!

Hold my hand
There are many ways to do it right
Hold my hand
Turn around and see what we have left behind

*Maher Zain

Just put your arms around me, tell me everything's okay
You don't make me wait and never let me break, you never let fall
You don't make me wait and never let me break, you never let fall
Darling, hold my hand
Soul is like a melting pot when you're not next to me
Tell me that you've got me and you're never gonna leave
Tryna find a moment where I can find release
Please tell me that you've got me and you're never gonna leave

Thursday, April 19, 2018

Menyeret Langkah ke Puncak Tambora




Tepatnya 11 April 1815 atau lebih dari dua abad lalu, gunung Tambora yang asalnya memiliki ketinggian 4.300 mdpl mengalami letusan dahsyat hingga menenggelamkan tiga kerajaan (Tambora, Pekat, dan Sanggar) bahkan menyebabkan perubahan iklim dunia karena letusannya saja terdengar hingga pulau Sumatra dan abunya menyebar hingga benua Amerika dan Eropa. Mengakibatkan kematian, gagal panen, hingga kelaparan terburuk abad 19. Meski gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara, setelah letusan dahsyat itu, ketinggiannya berkurang menjadi 2850 mdpl pada puncak bibir kawahnya. Awalnya saya mengganggap remeh angka itu. Ah, segitu aja, tidak begitu tinggi, kok, bisalah saya ke sana. Seberapa, sih, itu. Kecil...

Jika kalian ingin mendaki, dan saat ini saya memang sedang menyarankan kalian untuk mendakinya. Kenapa? Tunggu, ini nanti mau saya ceritakan kenapa kalian yang ngaku anak gunung perlu ke sana, sekarang saya lanjutkan dulu. Apa tadi? Yap, untuk menuju puncak Tambora, kalian bisa melewati dua jalur pendakian, Pendakian Doropeti di Bima dan Pancasila di Dompu karena terletak di dua kabupaten, Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara). Ah, untuk lebih jelasnya kalian bisa gugling sendiri  lah... itu pun di atas saya nulis kembali hasil gugling, kok. Wkwk.

Well, jadi April tahun 2018 ini Bima dan Dompu memperingati 203 tahun letusan itu yang mereka rayakan sebagai Festival Tambora. Berbagai kegiatan diadakan mulai dari hiburan mengundang artis ibukota, mendaki bersama, membentangkan bendera merah putih hingga 203 meter di puncak bibir kawah, dan baaanyak lagi kegiatan seru lain yang digelar dari tanggal 8 hingga puncak acaranya pada 11 April lalu.

Awalnya saya ingin ikut mendaki pada saat perayaan festival tersebut, namun karena terkendala beberapa hal, tidak bisa dan akhirnya diajakin teman-teman yang juga ingin merayakan festival yang tertunda itu pada akhir pekan. Kami berangkat jumat siang tanggal 13 April dari Bima dan sampai gerbang pendakian Pancasila sekitar ba'da magrib. Agar bisa memulai pendakian besok pagi-pagi, kami menginap dulu jumat malam itu pada salah satu home stay di desa Pancasila.

Pendakian Perdana dan Impian




Bersambung....

Wednesday, February 7, 2018

Jagalah hati!



Saat kamu dengan sengaja menunjukkan hal-hal baik dirimu dengan mengharap pujian dari orang lain. Katanya itu termasuk riya'. Pun tanpa kamu mengharap pujian dari orang lain, tapi kamu sudah merasa senang/bangga akan kebaikan yang kamu lakukan. Katanya itu ujub. Apalagi jika kamu meremehkan orang lain (walaupun dalam hati) yang tidak melakukan kebaikan yang sama. Itu namanya entah apa. Saya lupa. Jadi, ketika kamu sengaja menunjukkan kebaikan dengan menyembunyikan sisi burukmu. Katanya itu munafik. Tapi juga, kamu gak harus sengaja terlihat buruk hanya karena tidak ingin menyombongkan kebaikan. Keduanya sama saja sombong.
Jujur adalah yang terbaik.

Wednesday, January 31, 2018

Dilan dan Bulan

Rame, ya, fenomena Dilan ini. Sepertinya bakal ngalahin fenomena Super blue blood moon untuk durasinya. Kenapa? Super blue blood moon hanya terjadi malam ini. Seharian tadi hingga besok timeline hampir di semua media sosial dipenuhi foto bulan dari kualitas terburuk--karena keterbatasan kamera--hingga foto dengan kualitas terbaik layak dibeli majalah astronomi. Tapi, paling setelah besok udah hilang. Nggak ada lagi yang ngomongin bulan. Lain cerita dengan Dilan. Dari waktu novelnya terbit, baru sedikit yang baca, dan mereka yang sedikit itu udah mulai ngomongin Dilan, udah tergila-gila dengan Dilan. Waktu itu, saya menganggap kalangan mereka punya segmen bacaan yang unik. Apa pasal, sebelum Dilan terbit, pertama kali saya dikenalkan oleh Atasan saya waktu itu tulisan Pidi Baiq yang unik dan agak... bukan, sangat, sangat berbeda dan sangat gila. Agak-agak sedeng. Ingat betul waktu itu sedang hunting buku di Pameran Buku Bandung (atau IBF ya? Ya itu lah... yang jelas di Bandung), Atasan saya mengambil salah satu buku berjudul "Hanya Salju dan Pisau Batu" dan menunjukkan bagian belakang sampulnya. Kalau tidak salah ingat di sana tertulis beberapa testimoni mengenai buku itu. Yang unik adalah, kalau buku orang lain testimoninya ditulis oleh tokoh-tokoh terkenal, seperti penulis, budayawan, artis, presiden, ketua DPR, atau siapa saja yang relevan dengan tema buku. Lain cerita yang memberi testimoni untuk buku Surayah Pidi Baiq ini. Anda bisa menebaknya? Mereka adalah tetangganya, tukang kebun, Mamang penjual sayur yang lewat depan rumahnya, ketua RT, dan tokoh-tokoh tak terduga lainnya. See?

Saya melihat beberapa buku Pidi Baiq yang lain juga semuanya stres. Tidak ada satu pun yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Akhirnya saya beli dua buku yang didiskon saat itu "Drunken Marmut" dan yang tadi "Hanya Salju dan Pisau Batu". Yang belum diskon belum saya beli, termasuk Dilan. Eh.

Sekitar tahun 2015 novel Dilan terbit, beberapa teman yang sudah baca langsung kena Dilan syndrome. Kutipan dialog-dialog (baca: gombalan-gombalan) Dilan yang memang berkelas (atau receh?) itu memenuhi hari-hari mereka. Menarik dan lucu, sih. Saya selalu suka baca kutipan-kutipan mereka. Tapi, belum juga tergoda untuk membaca novelnya. Mungkin takut kena Dilan syndrome juga. Hingga novel Dilan akhirnya best-seller pun, saya belum membacanya. Waktu Harbolnas udah order di Gramed, udah bayar juga. Eh, dapat email permohonan maaf, dana akan dikembalikan. Sepertinya belum bertakdir membaca novel itu. Selama ini, saya hanya mengikuti cuitan Surayah, juga cuitan follower yang selalu beliau balas dengan kata-kata khas, hingga berfoto dengan begron kutipan beliau di jalan Asia Afrika sana.

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi."_Pidi Baiq.

Dan Bandung bagi saya belum sejauh itu. Hanya saja, saya belajar keramahan dan bobodoran (ini bener ga si?) dari kota itu. Dari profesi OB, sekuriti, hingga direktur doyannya melucu. Bahkan seorang Ustadz pun sempat mengocok perut jamaah saat khutbah Idul Adha. Iya, itu pengalaman mendengar khutbah shalat Id pertama kali yang ngalahin stand up comedy, namun juga tidak menghilangkan esensi khutbah itu sendiri.

Segala sesuatu mengenai Bandung memang menyenangkan, nggak cuma orang-orangnya baik, akang-akangnya yang kasep, eneng-enengnya yang geulis, yang gak kasep biasanya lucu seperti Sule. Lebih jauh dari itu, sosok Dilan sepertinya akan dapat mengancam standarisasi gombalan dan rayuan di tingkat nasional. Jika gombalan kalian tidak berkelas dan unik seperti Dilan jangan harap akan ada yang tergoda. 😂

Tulisan-tulisan Pidi Baiq--yang imigran dari Surga ke Bandung ini--bagi saya seperti guru yang selalu mengajarkan muridnya untuk berpikir dan memiliki logika yang tidak biasa. Mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak hanya bisa dilihat dengan satu sudut pandang. Bahwa segala sesuatu itu memiliki sisi yang membahagiakan tergantung bagaimana kita menilainya. Tergantung bagaimana kita memilih untuk bersedih atau berbahagia. Semoga sosok Pidi Baiq tidak tenggelam oleh Iqbaal, eh, Dilan. Well, kebahagiaan penulis adalah saat karakter ciptaannya seolah nyata. Selamat, Ayah.

Tuesday, January 16, 2018

Berhala Subsidi

"Pupu ru'u masyarakat ke. Ne'em da mbei!" (Pupuk buat masyarakat, nih. Kok nggak dikasih!) Kalimat itu keluar dari seorang pemuda yang tidak saya kenal datang melemparkan 3 lembar rupiah bernilai 2 sak pupuk yang dia paksa ambil langsung dari buruh yang sedang sibuk menurunkan pupuk urea dari truk ke dalam toko. Saya tidak bisa menerima uang itu selain karena saya tidak mengetahui apakah namanya ada dalam daftar gapoktan atau tidak, juga karena caranya yang kasar, juga karena memang saya tidak diizinkan untuk menjual pupuk urea ini sementara pemilik tokonya (Bapak/Ibu.red) masih di sekolah.

Sebenarnya saya ingin membalas dan mendebat kalimat yang dia ucapkan tadi. Tapi, pemuda itu tergesa-gesa setelah 2 sak pupuk terangkut di atas sepeda motornya. Mungkin tanaman (entah bawang atau padi) di sawahnya sudah "kelaparan" harus segera diberi pupuk. Saya berharap dia benar-benar anak petani yang sedang membantu orangtuanya atau seorang suami yang menafkahi keluarganya dari hasil pertanian. Belakangan saya mengetahui kalau yang tadi itu ternyata preman. Itu kata warga lain yang sudah mengerubungi saya, mengerubungi pupuk maksud saya. Dan laporan dari buruh dan sopir yang bawa pupuk juga ternyata komplotannya tadi sudah menghadang truk itu di ujung desa. Mengancam untuk menurunkan 2 sak pupuk. Tapi, juga mereka memberikan uang. Ia mereka membayar harga 2 sak pupuk itu. Sungguh mulia, kan, mereka? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya membeli pupuk bersubsidi itu di tengah jalan.

Thursday, January 11, 2018

Mafia Pupuk


Saya tinggal di sebuah Desa bernama Ngali. Sekali lagi, NGALI. Kenapa saya bahkan merinding menyebut nama Desa saya sendiri? Entahlah. Yang jelas, jika kalian menyebut nama Ngali di kawasan Bima dan Dompu, bahkan mungkin NTB, orang yang mengetahuinya tidak pernah tidak ingin memastikannya kembali. "Apah?? Ngali?", "Wah, dou (orang) Ngali?", "Ngali? Ngali yang di sana?", "Ngali?", "Oh, Ngali...". Itu yang terakhir biasanya komentar mereka yang memiliki sifat kul, cuek atau yang sedang pura-pura tahu Ngali padahal enggak. "Ngali?? Ngali yang sering perang itu?" Itu pasti komentar orang yang belum pernah ke Ngali dan hanya mengetahui Ngali waktu rame peristiwa perang. Ya, perang. Jika kalian membayangkan perang seperti zaman penjajahan. Itu enggak salah. Kami memang pernah berperang melawan penjajah, dulu. Dan itu jadi perkakas kesombongan orang Ngali. Dan berperang melawan desa sebelah. Perang sungguhan.

Tuesday, May 30, 2017

Sombong



"Ninaee... berangkat ke Pegadaian, ya! Kaka Nu gak ada, lagi ke Sumbawa. Ibu harus ke sekolah."

"Ke Pegadean? Ngapain, Buk?"

"Bayar kreasi."

"Oh, boleh..." saya menyahut sambil googling keyword "kreasi pegadaian"

Baiklah, saya akhirnya tahu kalau Bayar kreasi sama artinya dengan bayar utang. Tadinya saya ingin berpikir selama ini nggak nyangka Ibu punya hasil kreasi atau telah membeli hasil kreasi entah siapa yang harus dibayar.

Tapi, ke Pegadaian?

Jadi, pegadaian nggak cuma mengatasi masalah tanpa masalah. Ini masalah. Pertama, Pegadaian adalah tempat yang pernah saya berjanji pada diri sendiri, nggak akan pernah mau berurusan dengannya. Nggak ada alasan khusus, hanya tidak mau. Emm... mungkin juga ini karena dalam pikiran sempit saya, yang ke pegadaian itu kebanyakan ibu-ibu susah. Dan saya nggak mau susah atau terlihat susah. Kalo sampai saya ketahuan datang ke sana berarti, kan, saya lagi susah. Songong, ya?

Kedua, saya nggak mau kelihatan orang punya masalah finansial dengan datang ke Pegadaian, kalopun butuh uang saya akan bekerja, bekerja apa saja atau bisnis apa saja yang halal. Ke pegadaian saat butuh uang itu entah kenapa bagi saya kurang berkelas. Barang-barang yang mau digadaikan paling perhiasan, kendaraan, rumah, tanah, dan aset lainnya. Masalahnya, saya tidak punya itu semua. Haha...

Ketiga, dengan menggadaikan barang, mendapatkan utang, dan membayar cicilannya tiap bulan, bukankah membuat masalah semakin panjang. Jadi, sebaiknya dari sekarang saya akan rajin menabung saja (Baru sekarang? - -').

Poin pentingnya, dulu saya pernah memiliki tekat kuat nggak akan pernah menginjak kantor Pegadaian hanya karena ingin mengatakan pada dunia:

"Pegadaian? Tempat apa itu? Sorry, nggak pernah tuh ke sana."

Well, obat dari kesombongan ini, saya harus menebus dan membayarnya sekarang. Yah, walaupun ke sana karena disuruh orang lain, sih. Untungnya.

Kejadian lain yang sejenis adalah soal jilbab, hijab, atau berhijab.
Saya sudah memakai jilbab sedari kecil. Tidak ada seorang pun yang (bukan mahram) pernah melihat kepala saya, maksudnya tanpa ditutup sesuatu, meskipun itu sepupu yang sering datang ke rumah. Saya memegang teguh prinsip ini sampai dewasa. Sampai kuliah. Saya tidak ingin melepas jilbab saat keluar rumah atau saat ada orang yang bukan mahrom. Tidak boleh sama sekali. Saya harus suci dan terlindungi. Kelak, hal ini bisa menjadi kebanggaan saya.

Sampai suatu ketika, saat KKN, bercampur baur cewek-cowok. Walaupun tinggal di rumah yang berbeda (sebelahan), anak-anak cowok makan dan nonton tivinya di rumah yang kami tempati. Masih subuh, saya bangun tidur dan keluar dari kamar tanpa memakai jilbab, hanya ingin mengecek sudah jam berapa. Belum sempurna mata terbuka, saya dibuat kaget oleh salah seorang teman yang berdiri dengan santainya nyender di rak pembatas ruang tengah dan ruang tamu samping pintu kamar. Tanpa berkata apa-apa. Mungkin dia juga kaget. Saya tidak tau dia sedang apa. Masalahnya adalah... dia cowok! Ya, cowok. Dan saya... oh God! Kepala.. rambut saya, rambut! Saya spontan masuk kembali, membanting pintu, duduk terpaku di tepi ranjang, mengabaikan teman sekamar yang bertanya "Ada apa, Nin?",
Sedetik,
Dua detik,
Lima detik,
Sepuluh detik,
"Nin, kamu kenapa?"
Bukannya menjawab, saya malah menangis sejadi-jadinya. Bukan karena malu rambut acak-acakan atau iler yang masih nempel. Saat itu, entah kenapa saya merasa sudah tidak suci lagi.

Saya marah semarah-marahnya pada anak itu. Menyalahkan dia yang diam-diam berdiri di sana tanpa memberi kode atau aba-aba. Tapi, setelahnya saya tahu, ternyata dia sedang menunggu teman sekamar saya menggambilkan sesuatu entah apa yang ingin dia pinjam.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan hingga kalau tidak gegara kasus pegadaian tadi, saya akan terus menyesali kejadian itu dan menyalahkan keadaan yang sudah membuat saya merasa tidak suci. Jadi, baru saja, baru hari ini, baru saat Ibu menyuruh ke Pegadaian, saya disentil bahwa selama ini saya sudah sombong. Sombong menganggap diri suci hanya karena tidak ada yang pernah melihat kepala saya. Bahwa sudah sejak saat itu saya ditegur dengan membuat teman saya tadi melenyapkan apa yang selama ini saya bangga-banggakan. Bahwa sejak saat itu hingga kapan pun saya memang tidak sebaik, tidak sesoleha, tidak seterpelihara, tidak sesuci yang saya pikirkan. Karena memang hanya Dia Yang Mahasuci.


Monday, May 22, 2017

Drama


Tidak ada gempa bumi
Tidak ada gunung meletus
Tidak ada komet atau meteor jatuh di atap rumah
Lalu, suara apa tadi, gedebuk?

Kemudian, aku malu
Saat menyadari itu suara dari dalam sana
Ya, dari jantung
Mungkin

Tidak, aku tidak punya riwayat penyakit jantung
Ini hanya terjadi sekali-sekali
Saat aku merasa.... bahagia
Oh, bukan, bukan bahagia yang biasa
Pernah merasa karena terlalu bahagianya
sampai membuatmu menangis?
Ya, seperti itulah.

[BMU22517]



















Wednesday, May 10, 2017

Ramaharamarahmahar #eh?

Mengapa manusia perlu bersikap ramah? Ya, sebaiknya manusia perlu bersikap ramah sebelum benar-benar menjadi zombie karena semua kebutuhan dipenuhi mesin. Sebelum mesin menjadi lebih hidup dari manusia. Sebelum manusia benar-benar digantikan oleh mesin.
Pernah lihat mesin penjual minuman dingin? Biasanya ada di stasiun atau terminal, terminal bandara tentu saja. Terminal bus sejauh ini masih dikuasai kaum bapak-bapak dengan kalimat andalannya "Yang aus... Yang aus... Akua... akua.... mijon... mijon.... dingin...dingin..."

Sunday, March 19, 2017

Yuk ah! (2)

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 21 jam. Sampailah kita di Pelabuhan Perak, Surabaya. KMP Legundi disambut dengan cuaca hujan di beberapa daerah dan kabut sore yang tidak dingin. Hangat. Itulah Surabaya.


Thursday, March 2, 2017

"Bila engkau melihat keindahan dan kesempurnaan di dalam dunia ini, hal itu bukan apa-apa melainkan pertanda dari-Nya. Makhluk yang indah hanyalah sekumpulan bunga dari taman Tuhan yang membentang luas. Jika engkau memiliki mata untuk melihat kesempurnaan, maka engkau juga harus memiliki ketajaman untuk melihat bahwa apa yang engkau lihat adalah semata-mata bayangan cerminan paras wajah-Nya. Rupaku juga gambaran keindahan Tuhan. Tetapi engkau harus tahu bahwa sebuah lukisan akan pudar, bunga akan mati, dan bayangan cermin akan pudar oleh Cahaya yang sebenarnya. Adalah Dia Yang Nyata dan akan tetap demikian selamanya. Dalam hal ini, mengapa engkau membuang waktumu atas sesuatu yang ada di sini hari ini namun besok akan sirna? Pergilah langsung menemui Sang Sumber, jangan ditunda."

*Hikayat: nasihat Yusuf kepada Bazigah.

Saturday, February 25, 2017

Yuk ah!


Sebenernya ini nekat dan nyari gara-gara. Berangkat ke Lombok bermotor. Cuma berdua. Dan hei... kalian itu sama-sama cewek. Lombok itu jauh, Nakk... kalo di jalan, di tengah hutan, di atas gunung itu ada apa-apa gimana? Setidaknya itu sepatah dua kalimat kekhawatiran Bapak dan Ibu. "Kenapa nggak naik pesawat aja, sih? Udah, nggak usah macem-macem, pake pesawat aja. Biar Bapak belikan tiket sekarang." Perfect! Sempurna sudah betapa nggak kerennya aku. Udahlah jadi anak setua ini nggak pernah ngasih apa-apa ke orangtua, sekarang malah minta dibelikan tiket. Anak macam apa itu?