Thursday, September 12, 2013
KSCC
KSCC? Itu singkatan yang baru saja kubuat. Kepanjangannya Kerja Santai Cepat Cerdas.
Kamu pilih mana? Terlihat begitu serius pelototin komputer, tapi kerjaan nggak kelar-kelar, atau kelihatan santai, dengerin musik, tapi kerjaan cepet kelar?
Kalo aku sih milih yang kedua tentu saja.
Eiiit, hasilnya kudu hasil kerja cerdas. Kalau cepet kelar tapi harus revisi lagi berkali-kali sih sama aja bo'ong.
Umm, well, mulai sekarang kita galakkan KSCC dimana pun berada. MERDEKA! Apa ssih?
Cerpen: I Could Feel
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat
kejadian, ataupun cerita,
itu adalah kebetulan semata dan tidak ada
unsur kesengajaan.
“Do you expect me to believe I was
the only one to fall?
I could feel I could feel you near
me, even though you're far away
I could feel I could feel you baby,
why
It's not supposed to feel this way
I need you, I ne….”
“Naik!”
tiba-tiba, lagu Avril yang tengah berdendang di telingaku diganti suara berat
dan dingin. Siapa? Penculik? Bukan tentu saja. Penculik tidak akan memerintah
seperti itu, tapi langsung membekap mulut incarannya. Lagipula siapa yang mau
menculikku, mereka tidak akan mau rugi.
“Eh?”
reflek kepalaku tertoleh, samar-samar aku masih mendengar lagu yang diallirkan
handsfree dari ponsel yang bersembunyi di saku jaketku, “kemana?” tanyaku
setelah tahu yang menghadangku di tengah jalan bukan penculik, melainkan sebuah
motor hitam metalik yang di atasnya ada makhluk tertampan di dunia, ehm,
duniaku maksudnya.
“Ikut
aja,” ujarnya sambil memakaikan helm di kepalaku, masih dingin.
“Ikut
kemana, sih? Kenapa nggak bilang dari tadi? Aku sibuk nih, abis ini mau ke…”
“Gak
usah bawel!”
Kurasa
aku perlu tarik kembali kata-kataku tadi. Ini jelas-jelas penculikan, kan? Dan
taukah kamu, kejadian ini cukup sering terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir ini. Cukup lamalah. Tapi, tenang, tidak perlu telepon polisi,
pengecualian, karena penculiknya ganteng. Dan dengan terpaksa tapi seneng juga
akhirnya aku menurut saja duduk diboncengan. Kali ini kemana lagi?
***
Sebentar,
sebentar! Aku belum pernah lihat, lebih tepatnya belum pernah tahu, kalau di
tengah hutan yang tidak terlalu seram ini ada waduk yang airnya hijau. Hijau
karena pantulan dari bayangan pohon-pohon di sekitarnya. Pemandangan yang
menakjubkan.
“Huwaaaaaaaa…
Apa ini? Kita belum mati, kan? Ini bukan di surga, kan? Waaaaaaaaa… Keren
bangeeeeet….” Tidak ada yang menjawab pertanyaanku atau pun menyahut perasaan excited-ku. Aku tak peduli. Aku berlari
ke tepi waduk dan merasakan betapa dingin airnya. Berdiri di tepi waduk,
memanjakan mata dengan pemandangan indah. Aku membentangkan tangan, memejamkan
mata, perlahan menghirup udaranya. Ahh….
segar sekali. Sudah cukup lama paru-paruku yang telah digrogoti polusi kota
ini tidak diisi dengan udara segar. “Ck!” mataku menatap sebal, menyebalkan
sekali, tanganku ditebas begitu saja. Siapa lagi kalau bukan makhluk dingin
yang sekarang dengan santainya berdiri di sebelahku.
“Aku
ketemu tempat ini dua hari yang lalu, waktu cari alamat rumah temen lama Papa,
nyasar.”
Aku
tak menyahut, hanya mengangguk sambil menggosok-gosokkan telapak tangan.
“Bwwrrr … dingin ternyata.”
“Jaketmu
kenapa juga kamu taro di motor tadi?”
“Abiiis
tadi gerah, siiih…” Mimpi aja kalo orang ini mau bersikap romantis, jaketnya
dilepas terus dipakein ke aku misalnya. Kalau itu sampai terjadi, besok pasti
sudah mau kiamat.
Aku
langsung berdiri merapat, aku bisa merasakan tatapan setengah melototnya saat
kumasukkan tanganku di saku jaketnya. Lalu, memperlihatkan senyum termanisku,
nyengir mungkin. Tak apa meski hanya sebelah tangan. Sedikit bisa mengurangi
rasa dingin di sekujur tubuhku.
“Eh?”
dia malah ikut-ikutan memasukkan tangannya ke saku jaket, dan menggenggam
tanganku minus tatapan atau senyum romantis pastinya. Tapi, hangatnyaaa. Belum hilang senyuman
bahagia menghias wajah manisku, ehm, tak pelak sebuah jitakan mendarat di
kepala yang membuatku mengaduh, pertama, kaget. Kedua, sakit beneran.
“Buat
ngilangin pikiran kotor yang nongol di kepalamu.” Jelasnya menjawab gerutuanku.
Karena
capek berdiri, kami akhirnya duduk di atas rerumputan, bisa lebih menikmati
pemandangan indah itu, sambil ngobrol seperti biasa, membahas apa saja.
“Tanganmu
satu lagi? Sini!” dia meraih tanganku yang sebentar lagi bakal membeku, dan
menggenggamnya, meniupkan udara hangat dari rongga mulutnya. Jenis romantis
yang dianut makhluk di sebelahku ini memang berbeda. Tak terduga dan selalu
mengharukan. Aku selalu berkaca-kaca dibuatnya. Kusandarkan kepala di bahu
kokohnya. “Ini hadiah buat calon anak kita.” Imbuhnya kemudian. “Besok besok
kita bakal sering ke sini, nggak banyak yang tau tempat ini selain penduduk
lokal. Dan jangan pernah bilang kamu sibuk kerja lagi!”
Yah,
meskipun dia dingin, dia dingin yang hangat. Terima kasih, suamiku.
Nina Pradani
Subscribe to:
Posts (Atom)