Wednesday, March 30, 2016

Aku si Smart



Kenapa aku yang harus selalu lebih dulu tahu apa yang gadis itu rasakan? Semuanya harus dia ceritakan padaku. Aku bosan. Bosan mendengar keluh kesahnya, bosan mendengar cerita sedihnya. Kalau cerita bahagia, sih, aku tidak terlalu ambil pusing. Saat dia senang, aku pun terkadang turut merasa senang. Sialnya, dia lebih banyak berkeluh kesah tentang kesedihannya ketimbang berbagi cerita bahagia. Saat senang, dia tidak selalu menceritakannya. Tapi, aku sudah cukup mengenalnya. Saat senang, akan sangat terlihat dari tingkah lakunya.

Monday, March 21, 2016

Tilang




 Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan, seseorang berseragam Polisi dengan rompi hijau ngejreng-nya terlihat berjalan agak ke tengah jalan. Saat itu jalanan kebetulan lenggang. Saya langsung cek ceklekan lampu depan.
Sial. Lupa dinyalain. Saya buru-buru menyalakannya dengan wajah sok santai padahal panik setengah mampus.

Saya tetap berjalan tanpa mengurangi atau mempercepat kecepatan. Berharap dugaan saya kalau Si Bapak Polisi mau nyetopin, itu salah. Tapi, ternyata saya memang ahli membaca pikiran orang. Emang keliatan, sih. Nggak perlu ahli baca pikiran juga, keleus. Dugaan saya bener. Si Bapak Polisi bener-bener mau nyetopin saya. Dan memang cuma saya dan bleki. Bukan dalam rangka razia rutin. Ini murni hanya mencegat siapa pun yang melanggar peraturan lalu lintas. Sepintas saya ragu, antara mau jalan terus, kabur maksudnya, atau berhenti.

Akhirnya, hidayah--bahwa saya harus jadi warga negara yang baik--itu turun juga, tepat pada saat keraguan melanda. Saya meminta si Bleki berhenti. Dia nurut. Anak pinteer.

"Selamat siang, Bu!" Suara tegas sambil memberi hormat. Dan tersenyum.

Tuesday, March 15, 2016

suatu hari di tokbuk

Tiba-tiba teringat suatu kejadian yang pernah saya alami saat sedang asyik bergumul di bagian rak buku anak Gramedia Merdeka. Ini saya lagi ngapain, ya? Kok, bahasanya bergumul, sih? Lagi-lagi, saya kesulitan menemukan padanan kata yang bisa menggambarkan kondisi saya saat itu. Ya, saya sedang melihat-lihat, membaca, membuka, menerawang, meraba-raba, membolak-balik, membanding-bandingkan, mengutak-atik, memotret, bahkan melepas wrapping buku-buku tanpa mau repot-repot minta izin ke pramuniaga di sana. Parahnya, saya tidak membeli satu pun buku-buku yang malang tadi. Setelahnya, saya harus sok tidak peduli dengan tatapan ingin membunuh dari teteh-teteh pramuniaga yang cantik, sopan, dan selalu tersenyum itu.

Di saat-saat menggenaskan seperti itu, tiba-tiba seorang wanita berjilbab--yang dari tadi juga melihat-lihat buku di sekitar saya--semakin mendekat, mendekat, dan mendekat ke samping saya, sampai berjarak sekitar 30 cm. Kan, serem. Kalau di film-film mungkin akan ada adegan tak sengaja mengambil buku yang sama, lalu saling tatap, terus rebutan. Ah, itu seringnya cewek sama cowok, sih. Harusnya dia cowok tampan rupawan, bersahaja, bijak bestari, dan berbudi pekerti luhur. Tapi, sayangnya dia hanya seorang wanita.

Adegan seperti ini, seandainya terjadi baru-baru ini, saya akan su'udzon kalau dia salah satu pasien LGBT yang gagal tobat.  Untungnya kejadian itu udah lumayan lama, hanya tiba-tiba keinget gara-gara saya baru saja membaca sesuatu.

Tuesday, March 1, 2016

InterMEZO






 Chemistry editing effect


“kamu tidak perlu C12H22O11 untuk menjadi manis.”
“walaupun kita berada di TITIK APHELIUM,
aku tetap merasa kamu berada di TITIK PERIHELIUM?” #eeaaa
 


Biology editing effect

"hei, kamu bahkan berhasil menembus kornea, iris, pupil, retina, hingga saraf optikku."
 "lancang, ya, kamu melukai pain receptorku, apalagi liverku, benar-benar kacau keadaannya."



:D :D :D

to be continued...

-Nina Pradani-