Puing-Puing


Bonus (Dialogue):

Neutron: adakah aku di rencana masa depanmu?
Proton: aku tidak yakin.
Neutron: ada, kurasa ada. Kalaupun tidak ada, berarti aku lagi ke belakang, masih di belakang. Intinya aku berharap ada.
Proton: jangan membuat harapan.
Neutron: kenapa? Apa salah?
Proton: untuk masalah seremeh itu, kamu hanya membuang energi.
Neutron: buatku itu bukan masalah remeh.
Proton: masih banyak yang perlu kamu seriusin dari ini.
Neutron: tidak di usiaku yang sekarang.
Proton: itu hanya masalah usia.
Neutron: memangnya ada yang lebih tidak "itu hanya" dari masalah usia?
Proton: percaya saja, kamu hanya sedang terpengaruh teman-temanmu, orangtua, lingkungan...
Neutron: oh, tidak mungkin. Aku tidak semudah itu untuk dipengaruhi.
Proton: kamu memang sudah terpengaruh.
Neutron: baiklah, oke, kamu benar. Tapi, sampai kapan?
Proton: sabar...
Neutron: sabar untuk yang mana?
Proton: semuanya.
Neutron: sabar juga ada batasnya.
Proton: berarti itu bukan sabar.
Neutron: baiklah, baiklah. Bagaimana dengan yang disebut usaha? Ikhtiar?
Proton: itu bagus.
Neutron: nah, sekarang aku sedang berusaha. Berikhtiar.
Proton: kalau begitu, ayo!
Neutron: ayo, ke mana?
Proton: ke rencana masa depanku.
Neutron: siapa yang mau ke rencana masa depanmu?
Proton: km tadi bertanya... aah, atau kamu ingin aku bertanya "adakah aku di rencana masa depanmu" juga?
Neutron: tidak... em, iya.
Proton: aku sudah tahu jawabannya. Jadi, tidak perlu bertanya.
Neutron: aku baru tahu kalau kamu punya penyakit over percaya diri.
Proton: itu bukan penyakit menular.
Neutron: aku memang tidak tertular.
Proton: itu, aku tidak perlu bertanya. Aku sudah menduga, kamu akan mengatakan "tidak ada aku di sana" padahal jelas-jelas ada.
Neutron: aku tidak tahu kalau kamu bisa baca pikiran orang.
Proton: siapa pun bisa baca pikiranmu.
Neutron: apakah sangat terlihat.
Proton: sangat.
Neutron: apakah kamu menyukainya?
Proton: kapan percakapan ini berakhir?
Neutron: baiklah, cukup! Lalu, apa yang kita bicarakan sekarang?
Proton: tidak perlu bicarakan apa-apa, atau tentang Dia.
Neutron: mengapa Dia?
Proton: Dia melihat kita.
Neutron: hanya itu?
Proton: tidak.
Neutron: lalu?
Proton: Dia menggerakkan kita.
Neutron: kemudian?
Proton: sementara itu dulu.
Neutron: baiklah, aku diam.


Cerita 7

Dara:

Teman cewek adalah unsur yang paling mempengaruhi munculnya baper. Makanya, kalau nggak mau baper melanda, jangan sampai curhat ke mereka. Lihat gue sekarang. Baper menahun nggak kelar-kelar. Apa lagi kalau bukan karena my housemate, the girl nextdoor, Paris.

Suatu hari, gue curhat ke dia masalah sohib gue yang entah kenapa akhir-akhir ini jadi baik banget. Dari dulu, sih, sebenernya. Cuma, kan, tadi udah gue bilang, gue kebaperan. Jadi, semuanya jadi "entah kenapa" dengan harapan jawabannya sesuai dengan yang gue pikirin. Dan apa pun yang dia lakuin setelah muncul baper tadi, semuanya terasa istimewa, spesial, dan sebagainya. Padahal bisa jadi dulu-dulu juga sering melakukan hal yang sama dan sudah biasa. Tapi, buat gue yang sekarang, mengingat-ngingatnya malah bisa menambah tingkat kebaperan. Ngerti, nggak, maksud gue? Kalo nggak ngerti, nggak papa.

Kembali ke waktu gue curhat pertama kali dengan Paris.
"Wah, jangan-jangan, dia suka sama kamu." Makanan gue langsung ketelen dengan baik. Nggak muncrat kayak di sinetron-sinetron itu. Walaupun gue cukup kaget mendengar dugaan nggak masuk akalnya. Tapi, reaksi seperti ini bisa gue tebak sebelum memutuskan untuk curhat ke dia. Kenapa gue curhat juga sebenernya cuma pengin mastiin dugaan gue sendiri, sih. Dan, see? Curhat sama manusia memang nggak seru. Mereka sering mencari jalan aman dengan berada di pihak kita. Sialnya, udah tau bakal gitu, gue tetep aja curhat ke dia. Hasilnya gue bener-bener baper. Dan gue nggak suka ini.
"Iya, kan? Kalo cowok minta temen ceweknya cariin pacar, itu modus banget tau." Paris melanjutkan dugaannya demi melihat reaksi gue yang berusaha cool padahal aslinya udah panas dingin.
"Lo berhasil bikin gue seneng."
"Ditambah lagi, doi sering ngehubungin, ngasih like komen di medsos, suka ngasih tau ini-itu, apa lagi kalau bukan suka namanya?"
"Ris, itu udah biasa, dari dulu juga gitu."
"Tapi, nggak sesering sekarang, kan?"
"Iya, sih." Jawab gue lemes menerima kenyataan yang gue nggak tau itu bener atau sekadar ilusi karena gue yang memang udah baper. Susah dibedain. "Oh, nggak. Dulu juga sering, kok." Bantah gue cepet, lebih ke diri sendiri, sampai Paris kaget dan menjatuhkan tulang ayamnya.

Bersambung...


Cerita 6:

Paris:

Tiba-tiba, aku merasa seolah menjadi Sophie dalam Dunia Sophie yang ditulis Jostein Gaarder. Bedanya, dia masih remaja, sedangkan aku sudah tidak bisa lagi dibilang muda walaupun kadang--ah, tidak, sering--masih bertingkah kekanakkan. Saat orang-orang seusiaku sudah mulai menjalani hidup mereka masing-masing, hidup yang sudah mereka pikirkan dan sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari, mungkin saat kami seusia Sophie, aku justru masih berkubang dengan nyaman di dasar bulu kelinci. Bermain-main dengan riang tanpa memikirkan apa-apa, bahkan untuk belajar saja aku lebih memilih jalan pintas: menghafal diluar kepala. Alhasil, ujian selesai hafalan itu hilang menguap tak berbekas. Sekarang, aku di sini, di usia yang sudah tidak lagi muda, masih bertanya-tanya bagaimana menjalani hidup yang seharusnya. Di saat mungkin sebagian besar orang seusiaku sudah bertanya-tanya bagaimana mereka menghadapi kematian. Lihat, kan? Aku benar-benar terlambat.

Terkadang aku menyalahkan kedua orangtuaku atas keterlambatan ini. Aku menyalahkan cara mereka mendidik anak-anaknya. Selain pengetahuan dasar agama--mengenalkan ibadah-ibadah wajib--, selebihnya mereka membiarkan kami anak-anaknya mengetahui sendiri seluk-beluk kehidupan dengan kalimat andalan "ntar kalo udah waktunya juga tahu sendiri" itu! Kalimat itu sebenernya tidak pernah aku dengar langsung dari mereka, itu aku membayangkannya sendiri. Boleh jadi bukan itu alasannya. Boleh jadi juga bukan itu yang mereka lakukan. Aku hanya ingin ada yang bisa aku salahkan selain diri sendiri. Bayangkan saja, aku baru mengetahui kalau iklan yang meneteskan cairan biru di atas permukaan sesuatu itu adalah iklan pembalut setelah aku kelas 3 SMP. Sekali lagi, kelas tiga es em pe! Keterlaluan, bukan? Dan itu pun aku tahu gara-gara mendengar sepupuku yang sedang menjelaskan ke temannya. Dan mereka cowok. Baiklah, kita tinggalkan saja masalah ini. Walau bagaimana pun, aku juga baru dewasa dalam kurung datang haid saat kelas 3 SMA. Saat ujian akhir pula. Mungkin karena aku terlalu stres menghadapi ujian. Tapi, nilai pelajaran Bahasa Indonesiaku memang yang terbaik, sih. Aku bertanya-tanya mengapa sekarang aku malah jadi fashion designer. Renjanaku adalah menulis. Oh, aku juga suka menggambar. Apa sebaiknya aku menjadi seperti Miss Potter saja? Mengikuti jejaknya menulis cerita sekaligus menggambar ilustrasi seperti dia membuat buku Peter Rabbit? Sepertinya itu menyenangkan.

Aaargh, tumpukan pekerjaan ini, bagaimana mungkin aku memenuhi semua pesanan mereka dalam waktu sebulan sebelum Ramadan? Mereka mikir nggak, sih? Sial, salahku sendiri juga yang menyanggupi tanpa berpikir panjang. Heran, kenapa setiap mendekati bulan puasa mereka malah sibuk mengurus hal-hal remeh temeh. Belanja persediaan makanan lah, beli mukena baru lah, beli baju lebaran lah. Jadinya, kan, sekarang aku yang sibuk memenuhi permintaan butik-butik itu.

Aku salah, harusnya aku tidak perlu mengomentari mereka, aku sendiri sekarang berkubang di tengah tumpukan kertas berisi gambar desain baju-baju yang akan mereka kenakan saat lebaran nanti. Bukannya sibuk mempersiapkan diri dengan hal yang lebih penting, perbanyak puasa sunah misalnya. Oke, ini penting, biar aku tetap bisa sahur dan berbuka puasa dengan makanan enak saat ramadan nanti. Duh, Gusti.... yang aku pikirkan cuma makanan enak aja, badan juga nggak gemuk-gemuk.

Baiklah, baiklah. Sekarang aku benar-benar berbeda dengan Sophie, aku masih mengurusi hal remeh temeh semacam begini. Tidak seperti Sophie yang bertanya-tanya "Siapa kamu?" pada dirinya sendiri. Aku sendiri bahkan tidak pernah terpikir pertanyaan semacam itu. Tapi, sebenarnya, siapa aku? Aku? Aku Parisya Zihni Andalusiana dengan nama panggilan Paris. Hobiku menggambar dan menulis. Cita-citaku ingin pergi ke Paris. Apakah itu semua sudah menjawab pertanyaan "Siapa aku?" tadi? Setidaknya itu yang diajarkan guru saat pertama kali menginjak tempat bermain yang bernama sekolah dasar, dulu. Setiap anak diminta ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Menyebut nama, hobi, dan cita-cita. Saat itu, aku sudah menjawab cita-cita ingin menjadi dokter. Setelah sebelumnya (masih TK) aku bercita-cita ingin jadi manten (bahasa jawa: pangantin). Dan aku malu karena ternyata tidak ada cita-cita seperti itu. Sebagian besar teman sekelasku bercita-cita ingin menjadi dokter, ada juga yang ingin menjadi guru, astronot, pilot, polwan, dan lebih salut lagi sudah ada yang ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Itu yang terakhir cita-citaku saat kelas 5 SD sampai SMP. Satu hal yang pasti, saat masih kecil, tidak ada yang bercita-cita ingin menjadi fashion designer, akuntan, admin, resepsionis, waiters, teknisi, dan sejenis pekerjaan yang banyak ditemukan saat dewasa. Jadi, sebenarnya apa fungsi perkenalan diri di sekolah tadi? Sekarang aku bahkan bertanya-tanya siapa aku? Untuk apa aku di sini?

Beberapa hari lalu, saat anak tetangga main ke kamarku, dia membawa sebuah buku tematik berjudul Diriku. Dia baru masuk sekolah di ujung komplek sana. Datang memamerkan baju barunya dan memintaku menggambar dirinya dalam balutan seragam sekolah itu sambil membawa buku yang berjudul Diriku tadi. Aku jadi penasaran apa saja yang ditulis di dalam buku itu. Besok mungkin aku ingin meminjamnya atau berpura-pura menawarkan bantuan untuk mengajarkannya, ah, tidak, belajar bersama. Itu lebih terlihat menyenangkan dan tidak bohong. Aku memang ingin belajar, membaca lagi buku kelas satu SD. Dulu, aku tidak punya buku seperti itu, hanya diajarkan membaca dan menulis Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi. Aku dengar sekarang metode belajar berbeda, selain karena anak-anak kelas 1 SD sebagian besar sudah bisa membaca--bahkan ada sekolah yang mensyaratkan calon siswanya sudah bisa membaca--, sekarang mereka belajarnya Tematik. Jadi, pelajaran diberikan berdasarkan tema, seperti: diriku, lingkunganku, cita-citaku. Ah, aku ingin pinjam buku itu besok.[]



Cerita 5:

Paris:
Belakangan aku baru mengalami masa puber belajar. Terlambat memang. Sangat terlambat. Tapi, aku ingin mempercayai kata bijak "Tidak ada kata terlambat untuk belajar". Jadi, sedang gila-gilanya belajar. Sedang gila-gilanya memperhatikan. Sedang gila-gilanya mengamati. Sedang gila-gilanya menganalisa. Sedang gila-gilanya membaca. Membaca apa saja.

Kemudian, dengan semua kegilaan itu, akhir-akhir ini aku seolah sedang ditawarkan, diperlihatkan, ditunjukkan dua perspektif kehidupan yang amat bertolak belakang. Pertama, membeli buku yang salah. Satu novel, satu lagi kumpulan cerpen. Beli online tanpa membaca sinopsis. Hanya karena terpengaruh resensi orang lain, yang entah lupa atau memang sengaja menyembunyikan sesuatu yang membuatku mengutuk "Kok, isinya kayak gini, sih?"
Kedua, ini masih dalam perspektif pertama, hanya tambahan kesialan saja. Meminjam sebuah novelet di perpustakaan yang isinya kurang lebih menawarkan perspektif sama. Terpengaruh hanya karena nama seorang penulis kondang tercetak megah pada sampulnya. Kedua kesialan yang tidak begitu aku sesali itu--karena tidak akan ada tulisan ini jika tidak terjadi--menawarkan sebuah perspektif kehidupan tabu yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan. Bahkan dalam sebuah tulisan. Terlebih karya sastra. Terbit pula. Membuang-buang kertas. Tolong sadar saja, persediaan pohon di bumi semakin menggundul. Masih banyak tulisan penting pengikat makna yang lebih disayangkan jika hanya tersampai pada laman tak bergengsi dengan japri beruntun. Tapi, masalah ini boleh jadi akan terselamatkan oleh kecanggihan zaman menciptakan kertas-kertas virtual.

Lalu, tentang perspektif satu lagi. Aku beruntung karena sesosok makhluk datang sebagai penyelamat bak malaikat, well, itu terlalu naif, sesosok makhluk itu tetaplah manusia. Baiklah kita ganti, bak seorang superhero. Ya, superhero yang merasa melakukan sesuatu yang biasa, yang seolah memang seharusnya dia lakukan, tanpa perasaan terbebani sedikit pun. Dan aku bertanya-tanya, mengapa kenyataan terakhir ini justru terdengar menyebalkan. Oke, baiklah, aku bohong, aku sudah tahu jawabannya. Setidaknya sudah cukup dewasa untuk menduga jawabannya.

Sesuatu yang mungkin kebetulan, tapi kuharap bukan kebetulan, kedatangannya mendukung semua kegilaanku. Maksudku kegilaan belajar belajar, kegilaan membaca, dan kegilaan lain-lain tadi. Bentuk penyelamatan yang kumaksudkan bukan seperti Peter Parker yang memanjat gedung menyelamatkan nyawa siapa itu, pacarnya? Mary Jane. Bukan. Bukan pula seperti Sangkuriang yang membuat perahu untuk Ibu kandungnya, Dayang Sumbi. Ini jelas bukan penyelamatan. Bukan pula seperti Jaka Tarub yang menyelamatkan salah satu bidadari dengan mencuri selendangnya. Maaf, ini sama sekali tidak bisa dikompromi di mana sisi penyelamatannya. Bukan seperti Ande Ande Lumut yang menyelamatkan Klenting Kuning. Masih jauh. Bentuk penyelamatan ini masih tawaran terbuka tanpa paksaan, walaupun aku ingin dipaksa. Di sini muncul sebersit kekhawatiran kalau-kalau aku akan gila. Tak apa yang penting selamat.

Perspektif kedua ini menawarkan kebijaksanaan, kesederhanaan, kelembutan, kepedulian, keikhlasan, dan ketulusan meskipun aku tidak yakin apakah memang semuanya ditawarkan. Atau hanya sebagian. Itu tidaklah begitu penting. Bukankah yang terpenting adalah bagaimana akhirnya perspektif itu berpengaruh? Bukankah yang terpenting adalah bagaimana aku menerima? Jika penerimaan itu bermakna baik, tidak merugikan siapa pun kecuali membuat iblis marah, tidak disukai setan, dan semesta mendukung, kurasa tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Kemungkinan tidak besar persoalan ini juga berkaitan erat dengan makna keikhlasan yang selama ini kucari-cari. Mari kita buktikan saja sampai mana dan seberapa besar takaran keikhlasan yang aku kuasai.



Cerita 4:

"Kalau aku bilang, setelah itu apa?"
"Ya, nggak apa-apa. Biar tau aja."
"Aku tidak terbiasa melakukan sesuatu dengan alasan biar tau aja."
"Kamu sangat terbiasa. Kamu lupa, ya, kalo selalu menanyakan kabarku, abis itu udah. Selesai. Setiap aku bertanya balik, kamu tidak menjawab."
"Itu artinya aku kepo dan egois."
"Iya, tapi kamu juga peduli."
"Kamu sedang memujiku?"
"Tidak."
"Tapi, persoalan ini lain. Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang bahkan tidak bisa kutebak bagaimana ke depannya."
"Kata lainnya kamu takut."
"Aku tidak takut."
"Kamu takut. Takut untuk mencoba."
"Apa gunanya aku mencoba sesuatu yang setelah itu aku tidak yakin apa yang bakal terjadi?"
"Hei, kamu jangan mendahului Tuhan dengan menduga-duga dan menebak apa yang terjadi di depanmu."
"Bukankah dengan mengatakan itu juga berarti mendahului Tuhan?"
"Bukan. Itu adalah salah satu bentuk usaha."
"Usaha untuk apa?"
"Usaha untuk hidup."
"Kamu mau bilang sekarang aku mati?"
"Tidak. Belum. Sekarang kamu masih sekarat."
"Astaga... bisa, tidak, kamu tidak setega itu padaku? Kamu temanku, kan?"
"Justru karena aku temanmu makannya aku tega. Kalau aku bukan temanmu, aku akan diam."
"Baiklah, terimakasih untuk itu. Tapi, tidak. Aku tidak akan melakukan saranmu."
"Kamu terlalu gengsi."
"Aku nggak gengsi. Kamu pernah denger tentang rasa malu?"
"Aku nggak nyuruh kamu nyuri ato berbuat asusila sampai harus malu. Kamu gengsian."
"Mungkin aku cuma jaim."
"Cuma? Kamu pikir jaim itu bagus?"
"Kadang-kadang bisa bagus."
"Nggak ada kadang-kadang. Jujur lebih bagus."
"Kamu bilang aku nggak jujur?"
"Iya."
"Aku jujur. Buktinya aku jujur padamu."
"Jujur padaku tidak ada gunanya."
"Setidaknya aku jujur pada diriku sendiri."
"Itu artinya kamu sedang mengeluh."
"Aku tidak mengeluh. Aku sedang membuat pengakuan."
"Mengaku ke siapa?"
"Diriku sendiri."
"Apa gunanya?"
"Apa juga gunanya aku mengaku ke siapa pun."
"Tadi aku sudah bilang, biar kamu hidup."
"Bagaimana kalau setelah itu aku justru mati?"
"Kalau kamu punya Tuhan, kamu tidak akan mati hanya karena itu."
"Aku nggak yakin."
"Kamu harus yakin."
"Aku sedang belajar yakin kalau aku punya Tuhan Yang Mahatahu. Dan meyakini bahwa Dia Maha Berkehendak. Aku hanya perlu ikhlas dengan apa pun kehendak-Nya."
"Sudahlah, kamu memang susah dikasih tahu. Aku mau pulang aja."
"Pulang ke mana?"
"Ke rumah."
"Kamarmu di sebelah. Kita satu rumah."
"Aku tahu. Nggak usah diedit."
"Oke, baiklah, baiklah."
"Jangan lupa, you have your God..."
"Yes, I know. Terimakasih sudah mengerti aku."
"Halah, drama."

*Dialog Parisya Z. Andalusiana dan Andara Leona Dwiningsih.

4/4/2016
[Puing 3_ori_do not copy]




Cerita 3:

Paris:

"Do u want maried????"

Tanda tanya sampai empat, penggunaan bahasa Inggris yang semoga saja tidak membuat orang perancis tersinggung, eh, kok, orang perancis? Yah, aku tak mengerti kenapa tidak bisa terharu membaca sederet kalimat itu. Seharusnya aku menangis terharu, berderai air mata bahagia, jingkrak-jingkrak salto, dan segera menelepon Ibu di rumah kalau akhirnya ada juga orang yang mengajak nikah anaknya. Tapi, itu tidak terjadi. Aku malah mendesah dan meneriakkan permintaan ampun dalam hati kepada Tuhan atas rasa tidak bahagiaku. Lebih kejam lagi, aku malah memprotes kalimat bahasa inggrisnya, bahkan merasa muak hanya karena persoalan tanda tanya. Tanda tanya itu menurutku berlebihan dan tidak pada tempatnya. Sebenarnya orang itu mau ngajak nikah atau ngajak berantem? Ya, Tuhan. Kenapa aku harus membesar-besarkan masalah sekecil ini? Kenapa aku menjadi begitu sombong?

"Merid sm siapa?" tanyaku akhirnya beberapa jam setelah chat itu masuk.

"Sama kk"

Aku terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana. Usahaku untuk menganggap kata-kata itu "so sweet" dan membuat jantungku berdebar lebih kencang, sia-sia. Jantungku bahkan tidak berdebar, dia berdetak normal-normal saja. Hanya perasaan bersalah yang menggerogoti tidak hanya hati, tapi juga ampela. Baiklah, sepertinya aku mulai lapar sekarang. Aku harus menyelamatkan perutku dulu, kalau tidak .....
"Ggrrrrrokk"
Nah, kan, mereka sudah berunjuk rasa.

"Bunyi apa itu?" Orang-orang dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu heboh, mereka tergelak.

"Hheeee...." aku hanya meringis. Memberi tatapan malu.

"Ya, ampun... baru juga lewat dua jam tadi makan siang. Makannya paling banyak lagih!" seorang pria yang letak mejanya paling jauh dariku mengatakan kalimat tanpa diedit itu dengan suara maksimal. Tentu saja cukup mewakili apa yang ingin dikatakan teman-teman seruanganku itu. Aku menyesal sudah memberi tatapan pura-pura malu kepada mereka.

"Biarin, sih, daripada dia, makannya paling sedikit, tapi perut gak kempes-kempes," jawabku menunjuk pria tambun yang mejanya tepat di belakangku. Tawanya yang paling keras harus berhenti, dan memberiku tatapan ingin membunuh. Aku langsung kabur menyelamatkan diri ke koperasi. Membeli camilan.

Sengaja kutinggalkan ponsel di meja. Aku sedang membiasakan diri tidak membawanya ke mana-mana. Selain ingin kabur dari kenyataan tentang ajakan pernikahan tadi, berharap ada sesuatu yang lain, yang membahagiakan, begitu aku kembali dan membuka ponsel itu. Astaga, apa yang kupikirkan.

1 April 2016

[Puing 2_ori_do not copy]

<<<>>>


Cerita 2:

*coba2 sudut pandang "gue"

Dara:

Sekarang gue lagi bingung mondar-mandir di depan ruang IGD rumah sakit, tidak jauh dari kos. Enggak tahu mau menghubungi siapa. Kalau ngabarin ibunya, nanti Ibu pasti khawatir. Mending kalau mereka dekat dari sini. Keputusan ngasih tahu mereka sekarang kalau Paris pingsan dan masuk rumah sakit, bukan keputusan yang bagus, mereka pasti gelisah dan bela-belain menempuh perjalanan sehari semalam buat sampai sini.

Dulu, gue pernah dalam situasi seperti ini waktu Paris keserempet mobil dan dibawa ke rumah sakit. Paris ngamuk karena bikin Ibu dan bapaknya datang ke sini padahal dia cuma kena luka ringan. Jadi, sekarang gue harus gimana?

Tadi Paris tiba-tiba pingsan selesai menjemur cucian. Masa cuma gara-gara nyuci, sih? Apa dia semanja itu? Oh, menguras kamar mandi juga. Lagian, anak itu ngapain, coba, mendadak jadi rajin? Pasti gara-gaa... Gue dikejutkan Dokter tampan yang keluar dari ruangan tempat Paris diperiksa. Analisa gue harus terputus, nanti disambung lagi kalau inget.

"Tenang, Mbak. Temannya tidak apa-apa, kok." Ujar dokter itu tanpa ditanya. Yah, mungkin ngeliat muka gue yang tidak jauh berbeda dengan pasien korban gagal bunuh diri akibat putus cinta, yang datang menyerbunya tanpa ampun aja cukup buat alasan kenapa Dokter tampan itu harus menyampaikan kalimat penenang. Tapi, tunggu! Nggak apa-apa gimana? Masa orang pingsan dibilangin nggak apa-apa? "Kami belum tahu pasti karena pasien masih belum sadar." lanjutnya lagi menjawab apa yang gue pikirkan. Apakah zaman sekarang dokter juga bisa baca pikiran orang? "Kasus seperti ini kemungkinan karena stres atau kelelahan. Tadi pagi sudah sarapan, belum?"

"Siapa? Saya?"

"Bukan, temen Mbak." Dokter itu tertawa. Kenapa? Apa gue baru saja melawak?

"Oh, saya kurang tahu. Tapi, sepertinya belum. Yang jelas tadi dia nyuu... ya, dia memang banyak melakukan hal aneh, bukan, maksud saya dia banyak melakukan pekerjaan fisik. Sepertinya memang belum sarapan juga." Jawab gue jujur.

"Ya, kemungkinan besar itu penyebabnya, belum sarapan dan kelelahan. Tidak apa-apa, kami sudah memberi infus untuk mengembalikan tenaganya. Nanti kalau pasien sudah sadar, tolong panggil suster jaga di sana. Saya perlu memeriksa lagi untuk mengetahui kondisi pastinya. Sekarang ada pasien lain yang harus saya tangani."

"Oke, Dok. Nanti saya kabari. Terima kasih." Gue tersenyum berterima kasih. "Eh, eh, Prass! Lo mau ke mana?" kepala gue melongok melewati bahu Dokter tampan yang tingginya sesuai dengan tinggi gue kalau kami menikah. Apa, sih? Di sana ada Prass yang berlari panik. Untungnya masih memakai sepatu lengkap, bukan sepatu di kaki kanan dan sandal di kaki kiri. Kemeja abu-abu lengan pendek dan celana kain panjang berwarna senada. Syukurlah dia masih waras. Dokter tampan itu berbalik mengikuti arah pandang gue.

"Di mana dia?" tanya Prass seakan mau langsung menerobos pintu ruang IGD. Kenapa cowok itu drama banget, sih?

"Kami boleh melihatnya, Dok?"

"Iya, silakan. Jangan lupa, begitu pasien sadarkan diri, tolong panggil kami." Dokter itu memberi isyarat meminta diri. Si Dokter tampan akan mengobati pasien lain. Mulia sekali pekerjaannya. Calon suami idaman.

Buset dah, gue udah enggak lihat Prass di depan pintu, dia sudah di dalam. Dasar, cowok itu. Segitu khawatirnya kah? Saat melihat Paris pingsan di kosan tadi, gue panik. Dan orang pertama terlintas di pikiran gue yang perlu tahu keadaannya saat itu adalah Prass. Gue langsung nge-WA Prass, dan Prass yang nyuruh bawa Paris ke sini. Untung ada bapak kos yang baik hati, tidak sombong, rajin menabung, dan punya mobil.

"Tadi pake apa ke sini?"

"Dianter bapak kos, untung dia masih ada di kosan. Tadi pas banget lagi ngeluarin mobil, kayaknya mau pergi, tapi, dia mau nganterin dulu. Tadi langsung cabut. Eh, bentar, gue smsin dulu, ngabarin keadaan Paris biar dia tenang." Prass tidak menyahut, dia hanya berdiri kaku memandang Paris yang belum sadar, sementara selang infus di tangan kiri Paris terlihat lebih membantu dibanding Prass. Prass hanya menatap Paris dengan wajah dingin. Iya, itu wajah dingin andalannya. Gue tahu, dia sangat khawatir. Tapi, tidak juga melakukan sesuatu seperti menggenggam tangan misalnya, atau menyentuh kepalanya, memperbaiki letak kerudungnya, atau apalah untuk memberi semangat seperti adegan romantis di drama-drama itu. Ah, whatever lah kalian. Gue memilih untuk mengetik pesan dan mengirimnya ke Bapak Kos.

"Lo lagi di mana tadi? Gue gak ngerusak acara lo, kan?" Tanya gue setelah mengirim pesan ke Bapak Kos.

"Lagi di sekolah. Nggak, nggak masalah. Makasih udah ngabarin. Kenapa dia? Kata dokter sakit apa?" Suaranya hampir nggak kedengaran. Mungkin tidak ingin Paris terganggu. Hei, itu temen lo lagi pingsan! Harusnya lo bangunin, guncang-guncang badannya, kek. Tabokin pipinya, kek.

"Dokter bilang karena stres dan kelelahan." Akhirnya cuma itu kata-kata yang keluar.

"Stres?" Prass menatap gue, seperti ingin menelan hidup-hidup. "Jadi, tadi, tiba-tiba pingsan?" Tanyanya entah kepada siapa karena dia kembali menatap wajah Paris yang pias.

"Jadi gini, tadi pagi tuh, dia bertingkah aneh, nyuci lah, beberes lah, sampe nguras kamar mandi segala padahal di kos gak ada jadwal piket, yang urusan bersih-bersih udah ada Ibu Kos. Biasanya juga kita ngelaundry nggak pernah nyuci baju sendiri. Apalagi hari minggu, dia paling betah di kamar sampe siang, entah itu nulis ato baca buku sambil tidur-tiduran. Nah, tadi dia seperti kerasukan setan mantan pembantu. Selesai ngejemur cucian, dia ke kamar gue, ngeluh perutnya kram. Gue cuekin aja. Biasa itu buat cewek. Tapi, nggak lama dia langsung pingsan pas berdiri mau keluar kamar."

"Um... apa dia lagi ...?" Prass menggantung kalimatnya.

"Haid? Enggak. Makanya gue tadi bingung. Kalopun haid, biasanya gak akan sampe pingsan. Tadi dokter sempet nanya, apa dia sering ngerasa kram perutnya. Gue nggak tahu, anak ini ga pernah bilang-bilang kalo sakit. Kadang suka sebel gue."

"Hm, berarti dia sering ngalaminya, dan tadi itu yang paling parah sampe dia ke kamarmu dan bilang kalau perutnya kram."

"Eh?" Gue terkejut dengan yang dikatakan Prass. Prass mungkin benar. Duh, lo stress kenapa, sih, Ris?

26 Maret 2016

[puing 1_ori_DONOTCOPY]

<<<>>>


Cerita 1 (2012):


INI kisah hanya sebuah kisah, ya! Hanya sebuah kisah yang akan terlupakan dan hilang bersama waktu jika tak kuabadikan dalam sebuah rangkaian kalimat harapan. Saat ini, saat aku menulis kisah ini, ada senyum simpul tersungging di bibirku. Aku sedang memandang ke layar kaca. Ada cerita fiktif yang sedang bermain di sana. Cerita fiktif itu tak hanya bermain sendirian, tapi juga mempermainkan dan mengaduk-aduk hatiku. Baiklah, aku tahu aku belum pernah merasakan langsung bagaimana menjadi tokoh utama dalam gelora dua hati seperti yang digambarkan cerita itu dan cerita-cerita lainnya yang kerap menghiasi layar kaca. Tpi, percaya atau tidak aku merasa lebih banyak tahu dari pada mereka yang pernah merasakan jutaan rasa itu.

CINTA, kata itu ibarat mantra yang bisa membuat dunia ini jungkir balik. Ibarat kode akses yang bisa membuat galaksi Bima Sakti bergetar dan menghasilkan radiasi gelombang gamma yang amat dahsyat, sehingga planet dan bintang saling bertabrakan keluar dari rotasinya. Ibarat kata sandi paling rumit dan sulit terpecahkan yang bisa membuka brangkas hati paling tangguh dan kokoh sekalipun. Ibarat virus paling berbahaya yang dengan mudah menjangkit segala jenis makhluk hidup di bumi ini, tidak hanya itu, alat elektronik pun bisa terjangkit (seperti virus Trojan gitu donk?). ibarat multivitamin sekaligus suplemen kebahagiaan yang membuat lupa diri (over dosis kalee...), dan ibarat-ibarat lainnya.


***


Usiaku sudah tidak dilarang lagi untuk memikirkan seorang Adipati Dolken atau si pangeran tampan dari negeri bendera Union Jack, Zayn Malik. Bay de we, ada yang tau tidak siapa itu Adipati Dolken? Itu lho, cowok cakep yang rambutnya rada gondrong keren gitu. Do’i baru aja lewat di layar kaca. Ektingnya di FTV itu berhasil membuatku senyum-senyum sendiri. Ah, beginilah perasaan wanita yang masih tak terjamah hatinya, nonton fiktif aja udah bahagia sejahtera sendirian. Terus kalo si pangeran tampan Zayn Malik udah pada tau kan? Siapa sih yang nggak kenal salah satu personil One Direction atau biasa disingkat 1D dari negeri tempat asalku itu (haha..). Tapi tenang saja, aku tidak akan narsis menceritakan kisahku sendiri di halaman ini. Oh ya? lalu siapakah gerangan yang memiliki kisah yang akan di bahas di cerita yang rencananya akan panjang ini?

Aku punya seorang teman, bolehlah dikatakan sahabat. Dia berusia 23 tahun saat ini, tapi tidak lama lagi akan berulang tahun yang ke 24. Dia ini lah yang akan menjadi tokoh utama dalam ceritaku kali ini, kalo aku sih jadi figuran aja. Dia pernah bercerita, saat memasuki awal tahun 2011 di Mading Koran Kampus tempat nongkrongnya dulu, ia menuliskan sebuah resolusi tahunan, ya! resolusi tahunan. Tahukah apa resolusi yang ia tulis itu? “TAHUN 2011 HARUS PUNYA PACAR!”
Tolong jangan tertawa dulu, biarlah aku dan teman-teman yang ada di depan mading saat itu yang tertawa, karena memang sudah berlalu. Temanku itu memang aneh. Plis deh ya, tanpa rasa malu sedikit pun ia menulisnya dengan huruf besar semua kalo nggak salah waktu itu, tapi kalo salah, anggap saja aku melebih-lebihkan sedikit biar ceritanya seru. Hehe.. tapi, beneran deh, dia nggak sadar apa kalau dia sudah mengumumkan sendiri ketidak-lakuannya? maksudku dia nggak sadar nulis resolusi seperti itu kan ketahuan nggak laku (pura-pura nggak kenal). Tapi, sayang sekali, sampai hari ini (tahun 2012 bahkan hampir habis) resolusinya belum kesampaian, nasibmu nakk..nakk..

                                                              * * *

Kamar ukuran 5 x 4.5 meter itu sedikit berantakan, dan selalu seperti itu. Di pojok kamar ada pintu kamar mandi berwarna biru. Di sudut barat dekat kasur lipat yang sedang tergelar berdiri sebuah lemari kain, lemari jenis ini sudah tidak diproduksi lagi saat ini. Lalu, bagian depan yang oleh pemilik aslinya dijadikan kamar tamu, disulap jadi dapur dan parkir motor. Di samping  pintu kamar mandi bertengger dengan manisnya sebuah kotak segi empat bernama televisi. Ya, hanya televisi itu yang menemaninya setiap hari. Teman yang malang memang. Tapi tunggu dulu! Dia punya alasan tersendiri kenapa memilih tempat tinggal tunggal alias tidak punya tetangga kamar (karena memang tidak ada kamar lain.) tetangganya hanya rumah ibu kost. Dia mengaku kapok tinggal di kos-kosan yang banyak kamar. Memang sih bisa punya banyak teman yang bisa diajak ngobrol, jadi nggak kesepian kayak sekarang nih. Tapi, yang disayangkan banyak juga dosanya. Membicarakan orang lain yang secara tidak disadari dan bahkan menjadi ghibah ini sulit sekali dihindari jika kaum wanita telah berkumpul. Alasan yang sering dia utarakan sih dia nggak punya keahlian yang baik untuk tinggal bareng orang lain. Tapi, menurutku bukan itu, setidaknya dengan tempat tinggalnya saat ini ia bisa meminimalisir salah satu dosa yang paling banyak dilakukan oleh kaum hawa itu.

Banyak yang mengatakan dia anak yang pendiam, tapi menurutku sebenarnya tidak, tidak sama sekali. Ssstt.. don’t tell anyone yah.. sebenernya dia itu diam-diam menghanyutkan, nah lho..?! kenapa aku bilang kayak gitu, dia itu sebenarnya lebih ke sifat cool daripada dibilang pendiam, aku tidak rela karena sesungguhnya yang pendiam itu aku. Ya aku ini pendiam dan pemalu, eh Stop narsisnya!

Dia jarang banget nimbrung kalo ada temen-temennya yang lagi asik bergosip ria. Kalau aku ajak ngobrol dan aku nggak sadar ngomongin orang, dia sih iya-iya aja, kosa kata lain; gitu ya? Masa sih? Nggak seru banget deh pokoknya kalo bergosip sama dia. Boro-boro ditimpali ceritaku yang sudah menggebu-gebu, yang ada malah seringnya dibelain tuh orang yang lagi aku omongin.

            “eh tau gak sih si anu tuh? Pake jubah, jilbabnya panjang rapi, tapi kok bisa hamil di luar nikah ya?” ceritaku suatu ketika (aku mengingatnya dengan latar hitam-putih seperti di pilem-pilem), saat itu ada kabar mengkhawatirkan dari teman kami. Bukannya ditimpali dengan obrolan seru, bayanganku setidaknya dijawab gini “What?? Iya ta? Wah.. kok bisa sih? Padahal kan anaknya baik, shoehah, berjilbab panjang, sayang bangeet..!” minimal kayak gitu lah bayanganku. Dan aku yang emang aslinya jahat nimpali lagi “iya, ternyata keliataannya aja alim, tapi luarnya doang, dalamnya..hedehh,,naujubileh!” wah yang kalimat terakhir ini khayalnya terpengaruh sinetron, terlalu antagonis, aku nggak gitu amat lah. Tapi taukah apa yang dia katakan pada kenyataannya?

            “kenapa jubahnya yang kamu salahin? Emangnya orang yang pake jubah harus serta merta berubah jadi malaikat!” oh my God, diajak ngobrol kok malah nyolot ke aku sih? Kenapa jadi aku yang dimarahin?

            “Wo, wo, woi..! biasa aja kali neng!” aku yang berangsur sadar, hanya bisa diam dan mikir. Jawabannya sih dingin dan lugas, sempat bikin aku keki juga. Okelah, aku salah juga sih ngomongin orang, tapi nggak usah segitunya kali. Beberapa menit kemudian, omongannya selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Dia menyadarkanku, aku tidak bisa menyalahkan dia yang pakai jubah, jubah atau jilbab tidak pernah salah. Tidak seharusnya aku berpikir lantas kerena dia berjubah berarti berubah jadi malaikat. Teman kami itu tetapah seorang manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf.

Seperti itulah temanku, dia selalu membuatku keki sekaligus salut sama kepribadiannya. Terkadang aku kagum pada dirinya yang sombong itu. Dia terlihat sombong dan sulit bergaul, itu yang kuperhatikan akhir-akhir ini. Tapi setelah ku perhatikan baik-baik, sebenarnya tidak, dia tidak sombong, melainkan mengalami kesulitan berkomunikasi. Jangan dikira dia bisu, tidak. Tapi begini, dia seperti kehilangan dan kekurangan kosa kata ketika berbicara. Tahukah anda? Dia punya hobi yang sama denganku, menulis. Kupikir sih kata-katanya habis, tabungan bahasa di mulutnya pindah dan mengalir ke tangan dan jari-jemarinya. (ah yang benar saja?) ini memang pikiran konyolku, jadi tidak harus dipercaya, tapi harus diyakini.

Percaya atau tidak kalau kamu benar-benar mengenalnya dia anak yang ramah bahkan cenderung bawel bin cerewet. Aku tahu kekurangannya yang paling tidak kusukai adalah dia paling sulit untuk berkata “tidak”, hal ini bahkan sering merugikan dirinya sendiri. Aku sering gergetan dibuatnya, kalau ada orang yang mengajaknya nyebur ke sumur bisa-bisa bakal di-iya-in juga. Tapi, untungnya dia pandai berteman dan memilih teman. Lihatlah teman-temannya, orang baik-baik semua, termasuk aku salah satunya. Definisi ‘baik’ dalam hal ini, bukan pemabuk, bukan pecandu narkoba, bukan yang hobi dugem, bukan mafia dan yang jelas bukan mantan napi.

Sekilas itulah gambaran umum temanku yang aneh bin ajaib itu. Lalu kita akan kisahkan mulai dari urusan cintanya, kemudian persoalan cintanya, setelah itu masalah cintanya, eh tunggu! Kok kayaknya sama aja ya? Ya itu lah tadi, karena di dunia ini sepertinya memang yang paling menarik untuk diceritakan adalah all about love. Nah lho bukannya tadi pernah disinggung aku dan temanku jomblo bahagia dan nggak punya pacar ya? Iya, nggak punya pacar bukan berarti nggak punya cinta kan?

Urusan, persoalan, dan masalah cintanya memang tidak bermasalah sebenarnya, karena jangankan bermasalah, berpacaran saja dia belum pernah. Iya, benar. Sampai umurnya menginjak 23 tahun sekalipun belum pernah. Gak laku ya? Eit, jangan salah, banyak lho yang mengatakan perasaan ke dia, emang sih ‘banyak’ dalam hal ini bukan puluhan atau ratusan orang, lebih lah dari satu orang.


                                                                    * * *


Deg! No, what??? Are you kidding me? Ia membatin ketika dua orang temannya mengajak bicara enam mata dengannya. Pembicaran serius sepertinya. Mereka menyampaikan sesuatu yang sulit dipercaya dan tak pernah terbayangkan sebelumnya.

            “gimana? Mau nggak jadi pacarnya?” What?? Jelas dia kaget setengah tiang (emang bendera?). Itu pertama kalinya ia ditembak. Tapi apa-apaan ini? Kenapa bukan orangnya saja yang menyatakan secara langsung dan gentle, pikirnya. Tapi, oh tidak, jangan sampai itu juga terjadi, ini tidak pernah terbayangkan. Selama ini dia cukup menganggap kakak kelas itu sebagai kakak kelas yang sedikit sombong karena prestasinya sebagai pemain sepak bola. Ya, kakak kelas itu adalah atlet sepak bola. Tidak hanya bermain untuk sekolah, tapi prestasinya sudah sampai tingkat kota, dan dengar-dengar akan meroket ke tingkat propinsi, bahkan inginnya sampai Negara dan dunia.

            Kejadian itu terjadi pada waktu ia masih duduk di bangku kelas dua SMA dan kakak kelas tersebut kelas tiga, ya iyalah, memangnya ada SMA kelas empat atau lima? Kakak kelas tersebut menitipkan pesan menyusahkan itu ke dua orang temannya yang sebenarnya berbeda kelas dengannya. Dengan banyak sekali basa-basi, pendahuluan, latar belakang, dan muqoddimah sebenarnya sebelum mengeluarkan kalimat mengejutkan di atas.

            Beberapa hari sebelum itu, mereka (dia dan kakak kelas itu) berada di perpustakaan, kakak kelas itu lagi ngobrol dengan pak Saleh, penjaga perpustakaan. Dia yang sedang asik membaca buku pakde Kahlil Gibran tidak sengaja nguping obrolan kakak kelas yang entah sejak kapan mulai akrab dengannya itu dengan pak Saleh. Pak Saleh terdengar sedang memuji lawan bicaranya. Beliau memberi motivasi agar tidak hanya bermain membela sekolah atau kota saja, tapi harus bisa membela Negara.
                “Apa? Jadi Timnas maksudnya?” dia yang tidak diajak bicara, sok nyambung gitu aja. “Mana mungkin, ga semudah itu. Ah, lagi pula apa sih hebatnya pemain sepakbola Indonesia dibandingkan Negara lain. Hm, emang udah main sampe mana? Kok ga pernah kedengeran yak?” Lanjutnya nyerocos seenak perutnya, dan nggak sadar ternyata menyinggung kakak kelas itu.
                “Oho, jangan salah, gini-gini udah main sampe tingkat propinsi nih. Kalo aku mau dan giat berlatih pasti bisa sampai ke tingkat nasional, lihat aja nanti!” ujar kakak kelas itu tanpa niat menyombongkan diri. Sadarkah anda, akibat dia suka nyerocos seenaknya itulah mulai tumbuh rasa suka dan benih-benih tak terdefinisi dari kakak kelasnya. Kena deh!
                Beralih ke kabar tembakan secara tidak langsung tadi. Menghadapi dua orang temannya yang menyampaikan amanah orang dan sedang berupaya memastikan bisa membawa pulang kabar baik itu, dia pun jadi bingung bagaimana menjelaskan agar tidak ada yang kecewa dan sakit hati. Jujur saja, ini bukan masalah kakak kelas itu tidak ngomong langsung secara gentle atau apa. Ini masalah prinsip yang sedang ingin ia pertahankan saat itu, nggak boleh pacaran! Itu bukan larangan dari orang tua, kakek nenek, guru, atau siapa pun. Dirinya sendiri lah yang membuat larangan itu. Ya, dia tidak ingin pacaran selagi sekolah, dan setelah sekolah pun tidak, kuliah tidak juga, kerja juga tidak. Tapi, pacarannya nanti kalau sudah nikah. Itu prinsip remaja yang memang masih labil. Kita ihat saja nanti sampai kapan dia mampu bertahan. Nah, sekarang dia shock dan kebingungan, dua temannya tadi setengah membujuk agar dia menerimanya. Lalu, dengan alasan dia sudah menganggapnya seperti kakak sendiri dan nggak punya keinginan untuk pacaran selagi masih sekolah, akhirnya mau tidak mau kedua temannya  itu harus menerima alasannya.
                Ada lagi alasan lain, saat masih SMA itu kami lagi tergila-gila dengan kakak-kakak yang ikut ekskul Basket, bukannya sepakbola. Seandainya yang nembak adalah salah satu diantara kakak-kakak ekskul Basket, mungkin masih bisa dipertimbangkan katanya. Hedehh,, logilotu (lo gini lo gitu alias plinplan) banget sihh.. ngarep!
                Kisah tembak-menembak yang kedua atau yang selanjutnya, tunggu! Sebenernya sejak saat itu belum pernah ada yang serius menembaknya, karena mereka takut masuk penjara. Bukan, bukaaan, alasannya sih aku juga kurang tau, aku juga nggak tau siapa saja yang pernah nembak, gak kenal maksudnya. Intinya, aku bukan pencerita yang serba tahu, ini ada di pelajara bahasa Indonesia yang pernah aku pelajari dulu, posisi penulis itu macam-macam, ada penulis yang serba tahu dan ada juga yang penulisnya adalah sekaligus tokoh utamanya, lalu ada pula penulis sebagai orang ketiga yang tidak serba tahu, dan sebenarnya tidak tahu apa-apa. Aku adalah tipe terakhir.
                Dia pernah cerita ada dua kali, ada dua kali orang menembaknya. Yang membuatku heran, kenapa dia masih hidup? Tentu saja bukan menembak dalam artian sebenarnya itu yang dimaksud. Tapi kedua orang yang menembaknya itu hanya berani melalui SMS dan telfon. Nggak banget kaan?! Mana nyalimu mann?? Sahabatku nggak bisa di dapat dengan mudah seperti itu. Salah satunya mengirimkan SMS setelah bertemu dalam sebuah acara halal bihalal kumpulan pelajar dan mahasiswa, mereka menjadi panitia dalam acara tersebut. Kalau memang serius kan bisa bicara langsung, kenapa harus pakai SMS. Dugaanku sih mungkin orang itu takut ditolak, secara sahabatku ini kan keren. Iya, keren tapi Jomblo, apa yang bisa dibanggakan?! Selain itu, dia ini cuek banget, nggak peka kalo ada orang yang ngasih sinyal-sinyal gitu. Jadi, aku bisa maklum kalau orang yang mau nembak tadi bikin kuda-kuda dulu lewat SMS. Jaga-jaga kalau ditolak dan sebenarnya kemungkinan terbesar orang itu tau bakal ditolak. Bisa ditebak, orang itu pun mundur perlahan saat itu juga. Setelah menerima balasan SMS “Terima kasih kak, tapi mohon maaf sekali, saya mau fokus kuliah dulu.”
                Satu lagi yang rada stress. Orang ketiga yang berani menembak dan menyatakan kata cinta padanya. Rasanya aku pun ingin muntah dengan sikap orang ketiga ini. Kami tidak mengenal siapa orang itu, kalau yang dua orang sebelumnya aku masih kenal, tapi orang ini kami sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihatnya beredar di bumi ini. Tapi, orang itu mengaku tinggal sekampung dengan kami, dia menyebutkan letak rumahnya, dan kami tahu rumah itu. Orang itu mengaku kenal sekali dengan kami, dengan dia terutama. Waktu kecil saat masih SD orang itu berkisah selalu memperhatikannya dan memandangnya dari jauh saat ia lewat di depan rumahnya setiap pagi ketika berangkat ke sekolah. Itu berdasarkan pengakuan korban. Naas sekali, menurutku orang itu memang stress, sampai sekarang dia nggak nyerah juga. Baiklah, dia mau menunjukkan kesungguhan dan keseriusanya. Tapi, mau dibilang serius gimana, menunjukkan batang hidungnya aja kagak berani. Beraninya sms sama nelfon doang, sms bisa sampe puluhan kali dalam sehari, nelfon sudah kayak minum obat 3 kali sehari. Menganggu banget deh. Sabar ya Sob.. orang kayak gitu mah jangan dikasih hati. Menurut bisik-bisik tetangga sih dia kayak gitu juga ke beberapa cewek. Jadi, buang aja tuh hape! Eh, orang itu maksudnya.
***


          Itulah kira-kira sepenggal kisah ‘tembakan’ yang pernah ku dengar darinya. Dulu memang dia tidak menghiraukan penembak-penembak itu, sekarang juga tidak, ia merasa terganggu dengan semua itu, tentu saja. Bagaimana tidak, selama ini dia selalu yakin bahwa ada saatnya nanti akan datang sang Pangeran yang akan benar-benar mencintainya, cinta seutuhnya, tidak akan membagi meskipun Rosul Allah men-sunnah-kannya. Meskipun dia sendiri mengikhlaskannya. Tidak, pangeran itu akan mengatakan tidak. Itu yang dia percaya. Aku pun berharap itu akan benar-benar terjadi, agar aku bisa menuliskan lanjutan cerita ini. Tentu aku menginginkan akhir cerita yang membahagiakan. Aku pun percaya dengan apa yang diyakininya, karena untuk itulah mengapa hingga saat ini sahabatku masih menjadi pribadi yang aku kagumi. Teguh dengan pendiriannya, binar kebahagiaanya untuk persahabatan kami, kasih sayang untuk adik-adiknya, mimpi untuk orang tuanya, dia selalu menyembunyikan kebaikannya, menyembunyikan musibahnya, juga menyembunyikan cintanya.
                Tapi, dulu persahabatan kami tidak semulus yang kalian bayangkan. Saat itu, saat-saat dimana aku dan dia berselisih. Ya, seperti juga pertemanan lainnya, kami tidak selalu akur, bahkan sering berdebat karena berbeda pendapat. Kami sering terjebak dalam perdebatan-perdebatan tidak penting. Tapi, kami sadar berbeda itu wajar. Kami pun mengerti dunia tidak akan berwarna jika tidak ada perbedaan, seperti yang sering kalian ungkapkan, perbedaan itu indah. Kami pun setuju, kami senang dengan adanya perbedaan itu, jadi ada obrolan seru diantara kami. Tapi, untuk perdebatan kami yang ini, aku tak senang, aku tahu dia pun tidak menyukainya. Kami bertengkar hebat. Saat itu, aku benar-benar kecewa padanya, sangat kecewa. Aku marah, dia juga kurasa, emosi menguasai kami, itu semua hanya karena seorang lelaki. Aku kecewa padanya yang tidak pernah mau mendengarkan nasihatku, tapi dia selalu bertanya “apa yang harus kulakukan?”. Seharusnya aku tau dia tidak benar-benar menginginkan jawaban atau saran dari pertanyaan itu. Harusnya aku tau, dia sudah memiliki jawabannya sendiri dan dia berharap aku juga memberikan jawaban yang sama. Dia hanya butuh dukungan. Dia merasa telah dewasa, dia merasa telah berhak, dan yakin akan bahagia.
                “Aku harus mengatakannya. Nggak ada salahnya kan?” Ujarnya suatu malam. Kami sedang berdiri di depan cermin, memandang bayangan masing-masing dari cermin di kamarnya. Aku melihat wajahnya yang setengah yakin setengah tak yakin. Ragu-ragu. Galau.
                “Buat apa?” tanyaku mencoba mengerti dirinya.
                “Yaa nggak buat apa-apa, bukankah Rosul juga menganjurkan kita untuk mengatakan kalau kita mencintai saudara kita? Itu nggak dosa kan?!” dia emosi karena perkataanku tidak sesuai dengan harapannya.
                “Ck! jangan bawa-bawa nama nabi Allah untuk urusanmu yang ini!” aku juga turut terbawa emosi. “Kalau kamu mengatakan itu padaku atau teman-teman kita yang lain, saudaramu yang cewek pastinya. aku nggak keberatan.”
                “Maksud kamu.. aku nembak cewek gitu?”
                “Sudahlah, kita tidak sedang bercanda. Aku rasa kamu tahu apa yang kumaksud.”
                “Trus, aku harus gimanaaa? Masa kayak gini terus? Aku baca di internet gak ada salahnya kok cewek nembak duluan? Yang penting kan aku gak ngelakuin dosa.” Rengeknya membuatku muak.
                “abis itu? Kamu mau ngapain? Oke, oke.. gak masalah cewek nembak duluan, gak dosa juga. Tapi, setelahnya? Kamu mau ngapain? Ngajak dia nikah?”
                “ya nggak gitu juga kali.”
                “so???”
                “belum tentu juga kan dia punya perasaan yang sama ke aku?!”
                “Nah.. itu kamu tau. Lalu, buat apa?? Hah?”
                “Aku kan cuma pengen mastiin aja. Biar aku bisa tenang ngapa-ngapain.”
                “nggak perlu, kamu gak perlu mengatakannya kalo cuma pengen tenang atau gak galau lagi. Sekarang kamu hanya perlu menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Ingat adik-adikmu, ingat orang tuamu. Ingat mimpi-mimpimu! Kalo sampe kamu mengatakannya, dan tidak mengatakan apa-apa, kamu hanya akan merendahkan harga dirimu. Atau kalau pun dia ternyata memiliki perasaan yang sama, jangan pernah melakukannya. Jagalah kehormatan perasaanmu, atau aku tidak pernah memaafkanmu. Kecuali kalau kamu memang sudah siap untuk nikah, monggo.”
            Tapi apa? dia masih terlihat resah, aku tau dia tidak terlalu mengindahkan perkataanku. Sumpah demi apa ya? Sahabatku satu-satunya ini bodohnya nggak ketulungan.
       Tidak, tidak akan pernah aku mendukungnya untuk hal yang satu itu. Kalian boleh mengatakan aku sahabat yang tidak peka, atau tidak setia kawan, atau apa pun julukan yang kalian berikan. Silakan, aku tidak akan keberatan. Tapi, aku tidak akan pernah menjerumuskan sahabatku sendiri.
                Hingga suatu ketika keajaiban itu datang, dia mendengar kabar bahwa laki-laki yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur tenang itu, sekarang sudah berpacaran dengan wanita lain. Tentu saja wanita idamannya. “Apa yang kamu harapkan sekarang, hah? Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki yang berpacaran seperti itu? Apa kamu mengikhlaskan dirimu yang selama ini menjaga diri, teguh pada prinsip tidak ada pacaran sebelum nikah apa kamu tidak kasihan dengan aku, dirimu sendiri.” Kataku disela buncah tangisnya. Dia menangisi lelaki itu. “aku nggak nyangka kamu benar-benar bodoh!” dia hanya diam menerima ceramahku yang panjang kali lebar. Aku tahu, dia mendengarkan nasihatku, dia sudah kembali. Dia sangat sibuk sekarang. Memang dia tidak bisa melupakan lelaki itu, tapi dia sudah bisa menetralisir segalanya, emosinya, sifat kekanakannya, kelabilannya, dan perasaannya itu sendiri.
Kini aku sudah berdamai dengannya. Aku telah memaafkannya, begitu pun dia telah memaafkanku. Tidak ada lagi dua bayangan di cermin itu. Kami telah menyatu. Tapi, aku akan tetap berpisah darinya setiap ada sesuatu yang tidak aku sukai darinya, dan aku akan memarahinya. Tapi, dia mengaku senang dengan itu. Karena aku adalah dia.





2 comments:

Unknown said...

haha..mb nin, ini lagi ngisahin siapa sih?
jadi penasaran...
nyindir banget soalnya, menohok haha

Nina Pradani said...

emmm...siapa ya vyy...
coba tebak? sbenernya ini mengisahkan siapa pun yg seperti dia.. haha...