Pernah
merasa berada di ambang kematian? Berdiri di pintu kematian? Satu saja kaki salah
melangkah, sekali lagi: satu langkah! Satu langkah salah itu berarti mati? Pernah
berada di sana? Saya baru saja mengalaminya. Dan saat menulis ini, saya masih
merasakan jantung berdetak lebih cepat. Sepertinya saya terpengaruh bacaan
semalam. Tadi malam saya membaca bukunya Seno Gumira Ajidarma, Tiada Ojek di
Paris—seperti malam-malam dan subuh-subuh sebelumnya—sampai di tulisan yang
berjudul Zebra Cross, kemudian saya tertidur.
Pagi ini,
saya memutuskan untuk berangkat ke kantor sendiri, tanpa si Bleki, berjalan
kaki maksudnya. Saya ingin mencoba mempraktikkan nyeberang di Zebra Cross
dengan tenang tanpa menunggu sepi. Saya akan percaya kepada pengemudi kendaraan
(mobil dan motor) bahwa mereka akan memberikan jalan. Menyeberanglah saya di
jalan besar itu, namanya jalan Sukarno-Hatta, konon jalanan ini adalah jalan
terpanjang di Jawa Barat. Zebra cross pertama, Dari arah timur ada dua motor sekitar 30 meter
dari tempat saya berdiri, saya memberi aba-aba mengangkat tangan hendak
menyeberang, dan mereka terlihat menurunkan kecepatan. Saya pun menyeberang
dengan tenang. Sejenak berhenti di trotoar pembatas jalan dua lajur berlawanan
arah itu. Terlihat beberapa motor dan mobil sekitar 50 meter dari arah barat, di
depan saya kosong. Dari jarak itu saya melihat satu motor memang berjalan dengan
kecepatan tinggi. Saya memilih untuk tetap menyeberang dan yakin dia akan
menurunkan kecepatan. Tapi ternyata saya salah, pengemudi kendaraan bermotor
satu itu sama sekali tidak menurunkan kecepatan seperti yang lainnya. Dia malah
terlihat bingung antara mau lewat di depan atau di belakang saya yang sudah di
tengah-tengah. Melihatnya, saya juga jadi ragu. Sampai berpikir saya akan
ditabrak, wah, beneran ini bakal ditabrak. Saya bahkan sudah membayangkan posisi
jatuh, rasa sakit, tidak akan jadi masuk kerja, akan di bawa ke rumah sakit
mana, berita saya ditabrak akan menyebar, dan sebagainya. Sampai orang itu
meneriaki saya dan memutuskan lewat di belakang saya karena saya terus
melangkah dengan cepat. Saya masih bisa mendengar teriakan orang itu bahkan
saat sudah berdiri di trotoar seberang jalan. Jadi, sebenarnya dia masih bisa memberi
jalan kalau saja... mungkin dia akan kehilangan kontrak proyek senilai milyaran
kalau mengurangi kecepatannya, atau mungkin ada kucingnya yang sedang sekarat
dan tinggal menunggu dirinya hingga menghembuskan napas terakhir. Entahlah,
yang pasti, pembuktian saya mengenai fungsi zebra cross—yang bukan di bawah
lampu merah—itu tidak berguna di negeri ini.