Monday, February 29, 2016

Review Buku





Judul                : Tiada Ojek di Paris
Penulis             : Seno Gumira Ajidarma
Tahun              : 2015 (Cet. 1)
Penerbit          : Mizan

Yay! Akhirnya saya selesai juga membaca buku setebal 212 halaman ini. Butuh waktu empat bulan untuk menamatkannya. Empat bulan. Rekor! Beli tanggal 6 November 2015 dan baru kelar dibaca kemarin, 28 Februari 2016. Lama amat. Begini akibatnya kalau sebuah buku ditulis tidak bersambung seperti novel. Membacanya juga acak, mana yang judulnya paling menarik. Dan hanya untuk mengisi waktu senggang. Tapi sepertinya, memang seperti itu tujuan pengemasannya. Sebagai teman ngobrol di kala santai. Lalu, bagaimana ceritanya saya bisa menemukan buku ini? Seorang teman (atau lebih tepatnya Guru) ‘memaksa’ saya untuk membacanya. Mungkin dia ingin menyindir saya, atau ‘membuka mata’ saya, atau ingin saya belajar dari banyak hal yang tertulis di dalamnya, atau mungkin sekedar ingin berbagi referensi. Apa pun itu, yang jelas semua tujuannya tercapai. Selamat, ya, Guru!

Thursday, February 25, 2016

Tiada Zebra Cross di Indonesia



Pernah merasa berada di ambang kematian? Berdiri di pintu kematian? Satu saja kaki salah melangkah, sekali lagi: satu langkah! Satu langkah salah itu berarti mati? Pernah berada di sana? Saya baru saja mengalaminya. Dan saat menulis ini, saya masih merasakan jantung berdetak lebih cepat. Sepertinya saya terpengaruh bacaan semalam. Tadi malam saya membaca bukunya Seno Gumira Ajidarma, Tiada Ojek di Paris—seperti malam-malam dan subuh-subuh sebelumnya—sampai di tulisan yang berjudul Zebra Cross, kemudian saya tertidur.

Pagi ini, saya memutuskan untuk berangkat ke kantor sendiri, tanpa si Bleki, berjalan kaki maksudnya. Saya ingin mencoba mempraktikkan nyeberang di Zebra Cross dengan tenang tanpa menunggu sepi. Saya akan percaya kepada pengemudi kendaraan (mobil dan motor) bahwa mereka akan memberikan jalan. Menyeberanglah saya di jalan besar itu, namanya jalan Sukarno-Hatta, konon jalanan ini adalah jalan terpanjang di Jawa Barat. Zebra cross pertama,  Dari arah timur ada dua motor sekitar 30 meter dari tempat saya berdiri, saya memberi aba-aba mengangkat tangan hendak menyeberang, dan mereka terlihat menurunkan kecepatan. Saya pun menyeberang dengan tenang. Sejenak berhenti di trotoar pembatas jalan dua lajur berlawanan arah itu. Terlihat beberapa motor dan mobil sekitar 50 meter dari arah barat, di depan saya kosong. Dari jarak itu saya melihat satu motor memang berjalan dengan kecepatan tinggi. Saya memilih untuk tetap menyeberang dan yakin dia akan menurunkan kecepatan. Tapi ternyata saya salah, pengemudi kendaraan bermotor satu itu sama sekali tidak menurunkan kecepatan seperti yang lainnya. Dia malah terlihat bingung antara mau lewat di depan atau di belakang saya yang sudah di tengah-tengah. Melihatnya, saya juga jadi ragu. Sampai berpikir saya akan ditabrak, wah, beneran ini bakal ditabrak. Saya bahkan sudah membayangkan posisi jatuh, rasa sakit, tidak akan jadi masuk kerja, akan di bawa ke rumah sakit mana, berita saya ditabrak akan menyebar, dan sebagainya. Sampai orang itu meneriaki saya dan memutuskan lewat di belakang saya karena saya terus melangkah dengan cepat. Saya masih bisa mendengar teriakan orang itu bahkan saat sudah berdiri di trotoar seberang jalan. Jadi, sebenarnya dia masih bisa memberi jalan kalau saja... mungkin dia akan kehilangan kontrak proyek senilai milyaran kalau mengurangi kecepatannya, atau mungkin ada kucingnya yang sedang sekarat dan tinggal menunggu dirinya hingga menghembuskan napas terakhir. Entahlah, yang pasti, pembuktian saya mengenai fungsi zebra cross—yang bukan di bawah lampu merah—itu tidak berguna di negeri ini.