Wednesday, January 31, 2018

Dilan dan Bulan

Rame, ya, fenomena Dilan ini. Sepertinya bakal ngalahin fenomena Super blue blood moon untuk durasinya. Kenapa? Super blue blood moon hanya terjadi malam ini. Seharian tadi hingga besok timeline hampir di semua media sosial dipenuhi foto bulan dari kualitas terburuk--karena keterbatasan kamera--hingga foto dengan kualitas terbaik layak dibeli majalah astronomi. Tapi, paling setelah besok udah hilang. Nggak ada lagi yang ngomongin bulan. Lain cerita dengan Dilan. Dari waktu novelnya terbit, baru sedikit yang baca, dan mereka yang sedikit itu udah mulai ngomongin Dilan, udah tergila-gila dengan Dilan. Waktu itu, saya menganggap kalangan mereka punya segmen bacaan yang unik. Apa pasal, sebelum Dilan terbit, pertama kali saya dikenalkan oleh Atasan saya waktu itu tulisan Pidi Baiq yang unik dan agak... bukan, sangat, sangat berbeda dan sangat gila. Agak-agak sedeng. Ingat betul waktu itu sedang hunting buku di Pameran Buku Bandung (atau IBF ya? Ya itu lah... yang jelas di Bandung), Atasan saya mengambil salah satu buku berjudul "Hanya Salju dan Pisau Batu" dan menunjukkan bagian belakang sampulnya. Kalau tidak salah ingat di sana tertulis beberapa testimoni mengenai buku itu. Yang unik adalah, kalau buku orang lain testimoninya ditulis oleh tokoh-tokoh terkenal, seperti penulis, budayawan, artis, presiden, ketua DPR, atau siapa saja yang relevan dengan tema buku. Lain cerita yang memberi testimoni untuk buku Surayah Pidi Baiq ini. Anda bisa menebaknya? Mereka adalah tetangganya, tukang kebun, Mamang penjual sayur yang lewat depan rumahnya, ketua RT, dan tokoh-tokoh tak terduga lainnya. See?

Saya melihat beberapa buku Pidi Baiq yang lain juga semuanya stres. Tidak ada satu pun yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Akhirnya saya beli dua buku yang didiskon saat itu "Drunken Marmut" dan yang tadi "Hanya Salju dan Pisau Batu". Yang belum diskon belum saya beli, termasuk Dilan. Eh.

Sekitar tahun 2015 novel Dilan terbit, beberapa teman yang sudah baca langsung kena Dilan syndrome. Kutipan dialog-dialog (baca: gombalan-gombalan) Dilan yang memang berkelas (atau receh?) itu memenuhi hari-hari mereka. Menarik dan lucu, sih. Saya selalu suka baca kutipan-kutipan mereka. Tapi, belum juga tergoda untuk membaca novelnya. Mungkin takut kena Dilan syndrome juga. Hingga novel Dilan akhirnya best-seller pun, saya belum membacanya. Waktu Harbolnas udah order di Gramed, udah bayar juga. Eh, dapat email permohonan maaf, dana akan dikembalikan. Sepertinya belum bertakdir membaca novel itu. Selama ini, saya hanya mengikuti cuitan Surayah, juga cuitan follower yang selalu beliau balas dengan kata-kata khas, hingga berfoto dengan begron kutipan beliau di jalan Asia Afrika sana.

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi."_Pidi Baiq.

Dan Bandung bagi saya belum sejauh itu. Hanya saja, saya belajar keramahan dan bobodoran (ini bener ga si?) dari kota itu. Dari profesi OB, sekuriti, hingga direktur doyannya melucu. Bahkan seorang Ustadz pun sempat mengocok perut jamaah saat khutbah Idul Adha. Iya, itu pengalaman mendengar khutbah shalat Id pertama kali yang ngalahin stand up comedy, namun juga tidak menghilangkan esensi khutbah itu sendiri.

Segala sesuatu mengenai Bandung memang menyenangkan, nggak cuma orang-orangnya baik, akang-akangnya yang kasep, eneng-enengnya yang geulis, yang gak kasep biasanya lucu seperti Sule. Lebih jauh dari itu, sosok Dilan sepertinya akan dapat mengancam standarisasi gombalan dan rayuan di tingkat nasional. Jika gombalan kalian tidak berkelas dan unik seperti Dilan jangan harap akan ada yang tergoda. 😂

Tulisan-tulisan Pidi Baiq--yang imigran dari Surga ke Bandung ini--bagi saya seperti guru yang selalu mengajarkan muridnya untuk berpikir dan memiliki logika yang tidak biasa. Mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak hanya bisa dilihat dengan satu sudut pandang. Bahwa segala sesuatu itu memiliki sisi yang membahagiakan tergantung bagaimana kita menilainya. Tergantung bagaimana kita memilih untuk bersedih atau berbahagia. Semoga sosok Pidi Baiq tidak tenggelam oleh Iqbaal, eh, Dilan. Well, kebahagiaan penulis adalah saat karakter ciptaannya seolah nyata. Selamat, Ayah.

Tuesday, January 16, 2018

Berhala Subsidi

"Pupu ru'u masyarakat ke. Ne'em da mbei!" (Pupuk buat masyarakat, nih. Kok nggak dikasih!) Kalimat itu keluar dari seorang pemuda yang tidak saya kenal datang melemparkan 3 lembar rupiah bernilai 2 sak pupuk yang dia paksa ambil langsung dari buruh yang sedang sibuk menurunkan pupuk urea dari truk ke dalam toko. Saya tidak bisa menerima uang itu selain karena saya tidak mengetahui apakah namanya ada dalam daftar gapoktan atau tidak, juga karena caranya yang kasar, juga karena memang saya tidak diizinkan untuk menjual pupuk urea ini sementara pemilik tokonya (Bapak/Ibu.red) masih di sekolah.

Sebenarnya saya ingin membalas dan mendebat kalimat yang dia ucapkan tadi. Tapi, pemuda itu tergesa-gesa setelah 2 sak pupuk terangkut di atas sepeda motornya. Mungkin tanaman (entah bawang atau padi) di sawahnya sudah "kelaparan" harus segera diberi pupuk. Saya berharap dia benar-benar anak petani yang sedang membantu orangtuanya atau seorang suami yang menafkahi keluarganya dari hasil pertanian. Belakangan saya mengetahui kalau yang tadi itu ternyata preman. Itu kata warga lain yang sudah mengerubungi saya, mengerubungi pupuk maksud saya. Dan laporan dari buruh dan sopir yang bawa pupuk juga ternyata komplotannya tadi sudah menghadang truk itu di ujung desa. Mengancam untuk menurunkan 2 sak pupuk. Tapi, juga mereka memberikan uang. Ia mereka membayar harga 2 sak pupuk itu. Sungguh mulia, kan, mereka? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya membeli pupuk bersubsidi itu di tengah jalan.

Thursday, January 11, 2018

Mafia Pupuk


Saya tinggal di sebuah Desa bernama Ngali. Sekali lagi, NGALI. Kenapa saya bahkan merinding menyebut nama Desa saya sendiri? Entahlah. Yang jelas, jika kalian menyebut nama Ngali di kawasan Bima dan Dompu, bahkan mungkin NTB, orang yang mengetahuinya tidak pernah tidak ingin memastikannya kembali. "Apah?? Ngali?", "Wah, dou (orang) Ngali?", "Ngali? Ngali yang di sana?", "Ngali?", "Oh, Ngali...". Itu yang terakhir biasanya komentar mereka yang memiliki sifat kul, cuek atau yang sedang pura-pura tahu Ngali padahal enggak. "Ngali?? Ngali yang sering perang itu?" Itu pasti komentar orang yang belum pernah ke Ngali dan hanya mengetahui Ngali waktu rame peristiwa perang. Ya, perang. Jika kalian membayangkan perang seperti zaman penjajahan. Itu enggak salah. Kami memang pernah berperang melawan penjajah, dulu. Dan itu jadi perkakas kesombongan orang Ngali. Dan berperang melawan desa sebelah. Perang sungguhan.