Tuesday, July 30, 2013

Hikmah




Surat Yang Tersembunyi


Dear Cewek abad ini,

Hai, namaku Julaikha. Kalian masih ingat aku? Yaps! Benar sekali. Aku adalah wanita yang kalian kenal dalam cerita nabi Yusuf. Aku hanya ingin meluruskan sedikit kesalahpahaman ini. Kalian salah jika mengatakan aku merayu nabi Allah. Hei, aku mencintainya. Apakah itu salah? Bukankah kalian juga pernah mencintai seseorang? Oke, baiklah, kalian ingin mengingatkan aku yang sudah bersuami. Karena itu, kalian tetap bersikeras aku lah yang salah. Kalian menyalahkanku yang tidak bisa mengendalikan diri.

Wednesday, July 24, 2013

Dilarang Temenan?




Tambah satu lagi deretan temen gue—pake gue-gue-an dulu kali ini, bukan karena pengen gahol, tapi, biar kerasa aja emosi memberontaknya. Eh, emang siapa sih yang bilang bahasa gue-gue loe-loe itu gaul? Gak juga deh kayaknya. Lagian gak rela gue! Eh, kita lagi ngomong apa tadi? Oia, ulang! Ehm, Tambah satu lagi deretan temen gue yang sudah dilanggar hak asasi dan privasinya oleh pacarnya sendiri. Ini pacar lho! PACAR! PE…A…CE…A…ER…! Bukan suami, apalagi bokap, bukan! Hak asasi apa coba? Hak asasi internetan dan berselacar di dunia maya. Gue selalu shock dan shock lagi. Tapi, kenapa gue yag shock ya? Duh, gue nggak lagi iri ato dengki ya, karena mereka punya pacar dan gue enggak. Gue Cuma salah satu makhluk di bumi ini yang terdiskriminasi karena kelamaan ngejomblo, eit! Ini pilihan gue, bukan karena nggak laku. Oke, baiklah, itu memang kalimat yang gue pinjem dari komunitas jombloers di jagat ini. Tapi, ya sudahlah, kenapa pula mesti bahas gue! Kembali ke topik!
Gini, temen gue baru aja cerita, kalo di efbi ternyata dia nggak temenan sama satu pun temen cowok di kantor. Itu karena cowoknya nyuruh dia unfriend semua temen cowok kita di kantor. Dan sebenernya nggak cuma temen kantor, tapi temen di mana pun. Jadi, mayoritas temen efbinya temen gue itu, cewek. Ini gila! Sebagai sesama kaum cewek, gue ngerasa ini nggak adil. Bener-bener nggak adil. Apa coba haknya para cowok itu ngelarang-ngelarang ceweknya?
Apaaah?? Biar ceweknya nggak diganggu orang usil di jejaring sosial paling ribut itu? Oke, jadi maksud lo pengen ngelindungi cewek lo? Hmm, itu tujuan mulia sih, tapi, mau ngelindungi cewek lo dengan itu—ngelarang bergaul dengan cowok lain di jejaring sosial—nggak bakal mempan, sob! Bukan gitu caranya kalo mau ngelindungi pacar. Tapi, nikahin dia. Ya, dinikahin. Nikah! Kalo udah nikah semua kekhawatiran bakal ilang. Oke, ngomong emang gampang. Tapi, ya udahlah, kalo emang nggak bisa ngelindungi dengan nikah, ya biarin aja lah dia bebas dulu. Gue bener-bener nggak rela temen-temen cewek gue dikekang kebebasannya. Emang hak lo apa, sih? Wong babe ato bapaknya aja nggak ngelarang!
Ada lagi ceweknya sepupu gue, kasian banget. Nasibnya bener-bener memprihatinkan. Sialnya lagi, dia nurut-nurut aja tuh sama sepupu gue yang ganteng aja enggak, ups! Bener-bener nggak tega gue sama cewek itu. Dia nggak cuma dilarang bergaul dengan cowok lain di efbi ato jejaring sosial lainnya. Jangankan itu, parahnya, dia dilarang bikin akun. Jadi, dia nggak punya akun apapun, nggak tau deh email apa dia punya ato nggak. Duh, Gusti..! hari gini?!
Sekarang gini lho, wahai para teman cewek gue sebangsa setanah air, senasib sepenanggungan! Jangan biarkan kebebasanmu direnggut begitu saja oleh kaum cowok. Ini benar-benar ketidak-adilan yang nyata. Kalian dilarang bergaul sama temen-temen cowok (padahal cuma temen lho!) di jejaring sosial, sedangkan mereka dengan santainya nyolek sana-nyolek sini cewek-cewek dengan foto profil unyu-unyu. Parah lagi, kalo kalian dilarang punya akun sama sekali. Kalian nggak tau kan cowok kalian ngapain aja di jejaring sosial itu? Jadi, pliiis, jangan mu dibego-begoin sama cowok yang ngaku pacar kalian. Iya, kalo sama suami. Kalian harus nurut kalo sama suami. Tapi, kalo sama pacar yang entah bakal jadi suami kalian atau enggak, itu lho, yang bikin gue miris. Bagus kalo jadi nikah, lha kalo enggak? Duh, sedih amat hidup lo.
Come on, guys! Gue sayang sama kalian wahai kaum cewek se-jagat, jadi, tolong jangan membodohi diri kalian, tolong jangan termakan oleh rayuan gembel mereka yang bilang demi kebaikan kalian lah, bilang cemburu lah, karena sayang lah, bilang cinta lah, jangan mau kemakan! Kalo emang bener cinta, sayang, de es be, mereka bakal langsung datengin orang tua kalian. Melamar. Kalo ada alasan belum siap berumah tangga, ya siapin dulu atuh! Kaga perlu tuh pake muqoddimah pacaran dulu. Kaga ada manfaatnya, nambah dosa, iya!
Jadi, selama kalian belum jadi istri orang, kalian punya hak mencari pergaulan yang lebih luas, masih bebas bergaul sana-sini, jangan sampe terkungkung dengan label cewek setia. Setia itu cuma buat suami. Selain itu bukan setia namanya, tapi, menutup diri. Heiii… di jejaring sosial itu bukan berarti bergaul tanpa manfaat, bukan berarti nyari temen buat dicolek. Di efbi misalnya, kalian bisa join di group komunitas-komunitas dengan berbagai kegiatan positifnya. Ya, itu tergantung kamunya juga sih, tujuanmu berselancar di dunia maya itu untuk apa. Kalo emang mau cari cowok buat diajak chat ngalor-ngidul nggak jelas gitu sih selain buang pulsa internet, kalian buang-buang waktu aja. Oke, baiklah gue males bikin kalimat penutup. Semoga tulisan ini bermanfaat. Yuk dahdah, bay…bayy….


Monday, July 15, 2013

Resensi Novel



Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin




Author                  : Tere Liye
Peresensi            : Nina Pradani
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit       : Juni, 2010 ( 2013 - cetakan kesembilan—waoW! )

“Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tau lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.” Halaman 247.

Dari semua isi novel ini, saya paling setuju dengan sepenggal kalimat itu, dan memang itu inti dari keseluruhan ceritanya. Namun sayang, saya bahkan tidak setuju dengan judul novelnya, Daun Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin. Saya tidak pernah bisa setuju. Bagaimana mungkin seorang Tere Liye bisa tahu bahwa daun tidak pernah membenci angin. Apakah daun itu pernah curhat padanya? Apakah Tere Liye bisa mendengar daun itu berbicara? Apakah dia pernah bertanya pada sang daun? Bagaimana jika daun—yang memang tidak pernah melawan angin—itu sangat teramat benci pada angin, tapi dia tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk mempertahankan dirinya? Bagaimana jika ia hanya bisa membiarkan begitu saja angin menerbangkannya, meskipun harus terbang dengan perasaan kesal? Bagaiamana jika ia terbang dengan kebencian yang tak pernah mau didengar oleh angin?
Seberapa yakin Tere Liye dengan kalimat—yang sekali lagi, berhasil membuat saya untuk membeli novelnya—itu? Apakah dia sudah mewawancarai daun-daun yang ada di seluruh muka bumi ini? Bagaimana mungkin dia bisa yakin dan dengan pede-nya menjadikan kalimat itu untuk judul novelnya? Sebagai editor bacaan anak, saya akan mencari logika yang tepat dan masuk akal untuk kalimat aneh itu, jika tidak, anak-anak akan bertanya ini-itu. Sayangnya, novel ini bukan bacaan anak. Oleh karena itu, saya tidak berhak protes. Lagi pula, apa arti celotehan saya, jika novel ini sudah sedemikian laris manisnya, lihatlah! Hmpfh… Buat orang dewasa—apalagi yang sedang jatuh cinta—semua kalimat itu masuk akal saja. Dan mengibaratkan daun itu sebagai dirinya, angin sebagai orang yang dicintainya.
Hei, tunggu dulu! Saya kan sedang mau bikin resensi, kenapa jadi ngelantur gini sih? Bukan itu sebenarnya yang ingin disampaikan Tere Liye dalam novel ini. Sebaiknya mari kita buatkan ringkasan ceritanya dulu. Ringkasan ini akan lebih banyak mengutip kalimat langsung Tere Liye. Saya tidak akan terlalu banyak menggunakan kalimat sendiri, saya takut malah menyimpang dari maksud penulisnya.

Telat Ngantor



“Macet, bos.”
“Kesiangan, bos.”
“Ada urusan mendadak, bos.”
“Harus ngater mamah ke pasar, bos.”
“Nenek meninggal.” Padahal neneknya memang sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Aaargh! Bukankah semua itu alasan yang tidak pernah bisa jadi alasan? Apa? Macet? Bukankah setiap hari kamu melewati jalan yang sama? Kenapa kamu baru sadar kalau jalan itu memang dan selalu macet? Setiap telat alasannya macet? Dan itu setiap hari. Huh! Bener-bener gak kreatif. Sudah tahu jalanan yang dilewati bakal macet, kenapa nggak mulai mengubah jam berangkat dari rumah, sepuluh atau lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Come on! Itu bukan alasan yang keren.
Oke, sekarang apa lagi? Kesiangan? Sungguh, itu bener-bener alasan yang memalukan! Malulah pada satpam yang sudah berjaga. Malulah pada ayam yang berkokok. Malulah pada rumput yang bergoyang. Eh? Malulah pada OB yang sudah membuat kantormu cling pagi-pagi. Bagaimana pula posisi kamu di kantor ini bisa lebih baik dari OB! Duh, itu bukan alasan yang berkelas. Kesiangan tidak pernah menjadi alasan yang tepat di saat apa pun. Apaaah? Kamu ingin berkata jujur. Saranku, lebih baik kamu diam dan tidak mengatakan apa-apa dari pada mengatakan kesiangan. Bukannya apa, bos yang profesional tidak akan pernah bisa menerima alasan seperti itu, kecuali dengan mulai menyimpulkan kamu ‘pemalas’. Meskipun mereka terlihat memaklumi, label ‘pemalas’ setidaknya sudah terstempel di halaman pertama absensi pribadi si bos.

Friday, July 5, 2013

Review Film

Wedding Dress





Sudah nonton film wedding Dress? Kalo belum, saya rekomendasikan. Ini salah satu film yang harus ditonton, khususnya untuk para sutradara film Indonesia. Kenapa? Karena ekting pemain-pemainnya keren beuudd. Film ini berhasil bikin saya nangis. Bayangin! Cuma sebuah film! Oh, it’s so shame, embarassing. Seumur hidup, saya belum pernah nangis sampe tersedu-sedu cuma karena nonton film, se-menyentuh apapun film itu. Temen saya banyak yang meneteskan air mata waktu nonton film Titanic, dari mana coba sedihnya film Titanic? Adalagi yang nangis waktu nonton film Haciko. Emang sih menyentuh, tapi gak sampe bikin saya nangis kayak waktu nonton film ini. Film ini bisa ditonton segala usia, tua-muda, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan kakek-nenek ato orang tua jompo.

Oke, kalian masih nggak bergegas buat nyari ato download film ini sekarang juga? Saya nggak tanggungjawab kalo kalian bilang kenapa nggak ngasih tau dari. Karena saya baru aja merekomendasikannya. Setidaknya saya berani jamin, kalian nggak akan menyesal membuang waktu 1 jam 46 menit untuk menghabiskan film ini.
Hedeh, saya nggak dibayar oleh siapa pun buat iklan ini. Jadi, nggak perlu ditanyakan itu, meskipun just kidding. Buruan nonton filmnya! Baiklah, masih belum bergegas juga? Sekarang saya buatkan reviewnya aja dulu.

Wanita itu terlihat sudah kepala tiga, bukan, bukan siluman, maksud saya usianya sudah sekitar tiga puluhan. Ia bekerja sebagai desainer gaun pengantin, mempunyai seorang anak perempuan sekitar 7 tahun, So Ra. Ayah So Ra sudah meninggal, jadi dia membesarkan So Ra seorang diri. Namun, ia tidak menyadari bahwa dirinya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga So Ra tumbuh menjadi anak yang mandiri. Karakternya dingin. So Ra tidak memiliki teman. Teman-teman di sekolah dan di tempat les balet menjauhinya. Suatu ketika So Ra membuat seorang temannya malu karena ia tidak suka saat temannya itu meminum minumannya dan mengatakan temannya miskin. Sebenarnya, So Ra hanya merasakan kalo hal itu (berbagi minuman) termasuk hal yang jorok. Meskipun tak ada yang mau berteman dengannya, So Ra tak pernah ambil pusing.

Mama So Ra bukan tidak pernah memperhatikannya. Karaternya hangat dan sangat menyayangi So Ra. Ia memang tidak pernah memasak untuk So Ra, mereka selalu makan dan ikut berkumpul di rumah keluarga Paman Sora, keluarga itu baik dan dekat dengan mereka. Sampai suatu ketika, Mama So Ra tiba-tiba pingsan, tidak ada yang tahu ternyata selama ini ia menyembunyikan sebuah penyakit yang sudah stadium akut, kanker lambung. Ia sering muntah sembunyi-sembunyi dan menanggung penyakitnya sendiri. Bersikap seolah sehat, normal, dan ceria di depan orang lain.

So Ra terlalu cerdas untuk tidak mengetahui kalau mamanya mengidap penyakit mematikan. Anak itu akhirnya tahu meskipun seluruh keluarganya mencoba menyembunyikan. Tapi, apakah Mama So Ra benar-benar akan meninggal? Silakan ditonton sendiri lanjutan kisahnya. Sungguh, kalian akan dibuat menangis tersedu-sedu, karena ekting pemeran So Ra dalam film ini sangat menyentuh dan natural. Tidak seperti kebanyakan film yang sedihnya keliatan banget dipaksa, nangisnya dibuat-buat. Tapi, sumpah! asli, ektingnya So Ra keren banget. Dia nangis seolah tidak ingin nangis. Menangis beneran yang ditahan-tahan. Buat saya, di sini letak keistimewaannya. Selamat nonton ^_^