Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci
Angin
Author : Tere
Liye
Peresensi : Nina
Pradani
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Juni, 2010 (
2013 - cetakan kesembilan—waoW! )
“Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaan
sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di
sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal
agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tau lagi
mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.” Halaman 247.
Dari semua isi novel ini, saya paling setuju dengan
sepenggal kalimat itu, dan memang itu inti dari keseluruhan ceritanya. Namun
sayang, saya bahkan tidak setuju dengan judul novelnya, Daun Yang Jatuh Tidak
Pernah Membenci Angin. Saya tidak pernah bisa setuju. Bagaimana mungkin seorang
Tere Liye bisa tahu bahwa daun tidak pernah membenci angin. Apakah daun itu pernah
curhat padanya? Apakah Tere Liye bisa mendengar daun itu berbicara? Apakah dia
pernah bertanya pada sang daun? Bagaimana jika daun—yang memang tidak pernah
melawan angin—itu sangat teramat benci pada angin, tapi dia tidak mampu berbuat
apa-apa, bahkan untuk mempertahankan dirinya? Bagaimana jika ia hanya bisa
membiarkan begitu saja angin menerbangkannya, meskipun harus terbang dengan
perasaan kesal? Bagaiamana jika ia terbang dengan kebencian yang tak pernah mau
didengar oleh angin?
Seberapa yakin Tere Liye dengan kalimat—yang sekali
lagi, berhasil membuat saya untuk membeli novelnya—itu? Apakah dia sudah
mewawancarai daun-daun yang ada di seluruh muka bumi ini? Bagaimana mungkin dia
bisa yakin dan dengan pede-nya menjadikan kalimat itu untuk judul novelnya?
Sebagai editor bacaan anak, saya akan mencari logika yang tepat dan masuk akal
untuk kalimat aneh itu, jika tidak, anak-anak akan bertanya ini-itu. Sayangnya,
novel ini bukan bacaan anak. Oleh karena itu, saya tidak berhak protes. Lagi
pula, apa arti celotehan saya, jika novel ini sudah sedemikian laris manisnya,
lihatlah! Hmpfh… Buat orang dewasa—apalagi yang sedang jatuh cinta—semua kalimat
itu masuk akal saja. Dan mengibaratkan daun itu sebagai dirinya, angin sebagai
orang yang dicintainya.
Hei, tunggu dulu! Saya kan sedang mau bikin
resensi, kenapa jadi ngelantur gini sih? Bukan itu sebenarnya yang ingin
disampaikan Tere Liye dalam novel ini. Sebaiknya mari kita buatkan ringkasan
ceritanya dulu. Ringkasan ini akan lebih banyak mengutip kalimat langsung Tere
Liye. Saya tidak akan terlalu banyak menggunakan kalimat sendiri, saya takut
malah menyimpang dari maksud penulisnya.
Namaku Tania, aku tahu aku cantik. Tubuhku
proporsional. Rambutku hitam legam nan panjang. Menurut seseorang “Mukamu
bercahaya oleh sesuatu Tania… Kecerdasan berpikir, kedewasan, dan penjelmaan
positif atas semua pengalaman hidupmu… dan tahukah kau, matamu misterius. Semua
cowok suka wanita yang memiliki mata misterius….”
Namun siapa yang menyangka, dulu aku tidak seperti
itu. Pada saat-saat awal mengenal seseorang itu, dan dia mengajakku dan adikku
ke sebuah toko buku. Sebelum berangkat, sore itu, ibu menggosok tubuh hitam
dekilku. Menggunakan sampo banyak-banyak di rambutku yang mengeriting dan bau
karena terkena sinar matahari seharian. Adikku Dede lebih lama lagi berkutat di
sumur. Tubuhnya jauh lebih kotor. Tujuan kami ke toko buku itu adalah untuk
membeli kebutuhan sekolah, ya, aku dan adikku akan bersekolah lagi, setelah
kepergian ayah, kehidupan keluargaku berubah, dan aku terpaksa harus putus
sekolah, lalu mencari uang di jalan dengan adikku, ngamen. Tepatnya, kami akan
disekolahkan lagi oleh seseorang itu, malaikat kami.
Malam sebelum pulang dari toko buku, dia mengusap
rambutku dan berkata pelan “Belajarlah yang rajin, Tania!” maka sejak saat itu
aku berikrar akan selalu menuruti kata-kata dia. Aku bersumpah untuk
melakukannya. Sumpah yang akan membuat seluruh catatan pendidikanku kelak
terlihat bercahaya. Sempurna!
Esok harinya, setelah dari toko buku ini
bersamanya, jadwalku berubah seratus delapan puluh derajat. Pagi-pagi aku
berangkat ke sekolah bersama adikku. Masuk jam tujuh teng.
Awal pertemuan kami dengan malaikat itu di atas bus
kota. Saat itu, aku dan Dede sedang mengamen. Selesai mengamen, saat
mengedarkan kantong plastik, kakiku tiba-tiba terkena paku payung yang
tergeletak di tengah-tengah bus. Aku mengaduh dan menahan tangis. Jongkok.
Meletakkan kantong plastik yang baru berisi empat-lima recehan. Tanganku
gemetar mencabutnya. Perih. Darah muncrat. Orang-orang di sekitar hanya
satu-dua yang memperhatikan. Menatap sambil menyeringai datar tak peduli.
Menatap sejenak lantas tidur kembali. Dede langsung berseru ngeri.
Saat itulah seseorang itu menegur. Aku ingat sekali
saat menatap mukanya untuk pertama kali. Dia tersenyum hangat menentramkan.
Mukanya amat menyenangkan. Muka yang memesona oleh cahaya kebaikan. Dia
beranjak dari duduknya, mendekat. Jongkok di hadapanku. Mengeluarkan sapu
tangan dari saku celana. Meraih kaki kecilku yang kotor dan hitam karena bekas jalanan.
Hati-hati membersihkannya, kemudian membungkusnya perlahan-lahan dengan sapu
tangan. Saat itulah, babak baru kehidupan kami dimulai.
Selama duduk di bangku SD, nilai-nilaiku selalu
sempurna, bahkan aku meloncat kelas. Sebelum memasuki jenjang pendidikan lebih
tinggi, masuk SMP, aku dan adikku harus menelan kenyataan pahit kembali, ibu
sakit keras, kanker paru-paru stadium IV. Berbagai cara sudah diusahakan oleh
malaikat kami. Tapi, Takdir berkehendak lain. Ibu meninggalkan kami. Kami
sempurna menjadi yatim-piatu. Tapi, malaikat kami selalu ada. Kesedihan atas
kematian ibu belum hilang saat aku menerima kabar bahwa aku dinyatakan lulus
dan mendapatkan satu kursi untuk melanjutkan sekolah, SMP di Singapura,
beasisiwa ASEAN scholarship.
Keberangkatanku ke Singapura ternyata dalam waktu yang sangat lama, tiga tahun
hingga lulus sebagai lulusan terbaik kedua di sekolah itu. Aku pulang saat
liburan setelah lulus. Saat pulang itulah aku mulai menyadari suatu hal.
Perasaanku terhadap malaikat kami. Ya, aku sudah mulai mengerti. Tidak seperti
dulu, ketika aku hanya tahu merasa jengkel melihat kedekatannya kak Ratna,
pacarnya, dan tidak tahu apa penyebabnya. Kini aku mengerti, aku sudah tumbuh
menjadi gadis remaja yang cantik, pintar, dan disukai banyak cowok. Tapi, tak
ada satu pun yang kupedulikan.
Aku tetap kembali ke Singapura untuk melanjutkan
SMA dan aku masih mendapatkan beasiswa itu. Selama ini, aku selalu merasa
bahagia dengan perasaanku, dan Anne adalah sahabatku satu-satunya yang selalu
memberikan logika berpikir rasional dan mencoba menyadarkanku (salah satu
contoh kalimatnya seperti di awal tulisan ini) dan itu selalu tidak kusuka.
Kesenangan akan perasaan itu kupelihara hingga tiba hari kelulusanku. Setelah
berjuang habis-habisan di ujian terakhir, akhirnya aku berhasil melampaui 0,1
digit nomor satu selalu. Tipis sekali. Aku mendapatkan predikat terbaik. Dan
lebih dari itu, jantungku berdetak kencang bahagia. Kejutan! Benar-benar
kejutan. Ternyata dia datang di hari kelulusanku. Kenapa dia tidak
bilang-bilang? Katanya sedang sibuk. Tapi sekarang dia ada di sini. Sendirian?
Datang khusus untukku?
Ya Tuhan! Tidak, lihatlah, di belakangnya ternyata
ada Kak Ratna yang mengiringi. Ketika keluar dari auditorium, dia memelukku
erat-erat. Kak Ratna juga. Dia menggelengkan kepala amat senang, tersenyum amat
bangga. Dan Kak Ratna sempat mengatakan dia berkaca-kaca mendengar pidatoku.
Bukankah dia selama ini tidak pernah menangis untuk siapa pun? Ada lagi kabar
gembira, National University of Singapore memberikan satu kursi untukku di
kelas terbaik mereka semester depan. Beasiswa hingga lulus.
Sayangnya, semua kabar bahagia itu tertutup begitu
saja beberapa saat kemudian oleh sebuah kabar yang bagai petir di siang hari.
Meruntuhkan semua harapan. Semuanya sudah berakhir. Kabar bahwa dia akan
menikah dengan Kak Ratna.
Dan perasaan tidak terima-ku ternyata tidak pernah
bisa kusembunyikan, tidak pernah bisa aku anggap biasa-biasa saja, tidak pernah
aku bisa menganggap seolah tidak terjadi apa-apa. Aku memboikot pernikahan
mereka dengan tidak datang di hari itu. Alasan sibuk. Padahal dia sendiri yang
menelponku langsung tidak melalui chatting atau email seperti biasanya. Alasan
sibuk itu, tidak masuk akal memang. Tapi, siapa yang peduli, bagaimana mungkin
aku menghadiri pernikahan yang tidak pernah aku sukai, itu sama saja dengan
menancapkan sembilu di hatiku sendiri.
Sejak saat itu, dia tidak pernah menghubungiku
lagi, hanya menanyakan kabarku melalui Dede. Sering dengan itu, Dede akhirnya
mengakui bahwa adikku itu sudah lama mengetahui perasaanku. Dia membaca dan
melihat sendiri perasaanku tanpa siapa pun memberitaunya. Dede yang masih
remaja saja sudah sebegitu jelasnya bisa membaca perasaanku, apalagi dia yang
sudah matang dan dewasa? Tapi, kenapa? Kenapa dia tidak mau mengubungiku lagi? Meski
demikian, aku juga tidak berinisiatif untuk menghubunginya terlebih dahulu.
Adik seperti apa aku ini?
Lagi-lagi aku bertanya, apa alasannya tidak
menghubungiku? Apakah dia marah? Apakah dia membenciku yang tidak tau diri dan
tidak tahu berterima kasih? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas aku akhirnya dapat
menyimpulkan beberapa hal. Satu, dia tahu aku mencintainya, tetapi dia memang
sama sekali tidak pernah mencintaiku. Dia selama ini menyayangiku, namun, itu
sekadar sayang seorang kakak pada adiknya. Dia mengerti betul tak ada seorang
pun di dunia yang bisa menghapus perasaan itu. Dia juga mengerti sikapku amat
kekanak-kanakan, pencemburu, dan banyak mau. Oleh karena itu, dia tidak
menghubungiku. Harus ada jarak yang jelas di antara kami. Dengan menghubungi
secara langsung, itu berarti dia memberikan kesempatan padaku untuk terus
memupuk perasaan itu. Anne benar, aku sudah memutuskan untuk memilah mana
simpul yang nyata dan mana simpul yang hanya berasal dari ego mimpiku.
Setelah yakin dengan kesimpulan itu, aku justru
berubah total. Sikapku berubah dingin, bahkan terlalu dingin terhadap
teman-temanku di kampus. Wajah menyenangkanku sudah tidak ada lagi. Tapi,
kenapa beberapa bulan kemudian justru Kak Ratna sering mengirimkan email yang
membuat beban pikiranku kacau? Kenapa Kak Ratna kemudian sering curhat mengenai
pernikahannya yang menyedihkan? Menyedihkan kenapa? Kenapa bahkan Dede seolah
menyembunyikan sesuatu dari isi chatting
kami? Kenapa akhirnya Kak Ratna memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya?
Kenapa? Aku tidak bisa hanya tinggal diam mendengar kabar keluarga “kakak”ku
seperti itu. Akhirnya, aku memutuskan untuk terbang ke Jakarta untuk mencari
tahu teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Dede enggan bercerita jujur
padaku. Ada apa?
Hm… kalian penasaran, kan?
Bahkan saya tidak mengunggap siapa nama malaikat
itu. Sampai akhir ceritanya, nggak ada, hehe.. maaf, lupa, namanya Danar, kak
Danar. Buat yang sudah baca novel ini, pastinya nggak penasaran lagi. Buat yang
belum, meskipun enggak penasaran, saya merekomendasikan novel ini. Yah, sejak
kapan sih saya nggak merekomendasikan novel bang Darwis Tere Liye.
Novel-novelnya selalu menginspirasi. Meskipun di awal tadi saya sempat
ngelantur ke mana-mana. Itu hanya Lead yang saya paksakan biar menarik, untuk
memancing pembaca.
Oh iya, saya teringat pelajaran SMA, kalau buat
resensi buku, novel, film, atau resensi apa pun itu harus ada penjelasan
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan novel ini, banyak sekali tentunya. Tere
Liye berhasil mengajak pembaca untuk memiliki logika berpikir yang lebih
rasional dan berbeda. Mengambil kesimpulan tidak hanya dari satu sudut pandang,
tapi lihatlah sudut pandang lainnya. Dengan demikian, segalanya akan terasa
adil dan masuk akal. Dan kamu akan menerima segala sesuatunya dengan lapang
tanpa membantah, seperti daun yang tidak pernah membenci angin yang
menerbangkannya ke sana kemari. Kita harus menerima takdir dan garis kehidupan
yang ditentukan Tuhan. Karena apapun yang terjadi, hidup harus terus berjalan.
Kekurangannya, sepertinya Tere Liye tidak memakai
Editor atau penyunting dalam penerbitan novelnya, saya tidak melihat nama
editor di halaman ISBNnya. Oleh karena itu, terdapat beberapa kalimat rancu dan
kurang efektif di dalamnya. Apalagi tanda bacanya banyak sekali yang
terlewatkan. Tapi, semua itu tidak mengurangi makna ceritanya. Dan terakhir,
saya masih akan tetap tidak setuju kalimat “daun yang jatuh tak pernah membenci
angin”, menurut saya, perumpaan itu terlalu dipaksakan. Saya masih belum bisa
terima sebelum bang Darwis Tere Liye sendiri yang menyampaikan penjelasannya
pada saya. Ini sih ngarep. Tapi, tak apa, kan? Kali aja bang Darwis membaca
resensi ini. dan memberi komentar di bawahnya. Meskipun komentarnya gini:
Terserahlah, mau kamu setuju kek, mau enggak kek! Yang penting novel saya tetep
laris manis.
Ah, dari kesemuanya, semoga resensi ini bermanfaat.
Sekian dan terima kasih.
No comments:
Post a Comment