Surat Yang Tersembunyi
Dear Cewek abad ini,
Hai, namaku Julaikha. Kalian
masih ingat aku? Yaps! Benar sekali. Aku adalah wanita yang kalian kenal dalam cerita
nabi Yusuf. Aku hanya ingin meluruskan sedikit kesalahpahaman ini. Kalian
salah jika mengatakan aku merayu nabi Allah. Hei, aku mencintainya. Apakah itu
salah? Bukankah kalian juga pernah mencintai seseorang? Oke, baiklah, kalian
ingin mengingatkan aku yang sudah bersuami. Karena itu, kalian tetap bersikeras
aku lah yang salah. Kalian menyalahkanku yang tidak bisa mengendalikan diri.
Aku akui,
entah setan dari mana yang datang merasuki pikiranku saat itu. Setan itu
berhasil merasuk pikiran wanita yang selalu kesepian. Kalian pernah merasakan
bagaimana rasanya jadi istri raja? Aku yakin, tidak semua dari kalian pernah
merasakannya. Apalagi hidup di jaman kalian sekarang, sudah tidak banyak lagi
kerajaan. Paling yang terkenal sekarang si Kate Middleton di Inggris itu. Ya,
hanya sedikit yang pernah merasakannya. Karena hanya secuil manusia di bumi ini
yang terpilih untuk menjadi hiasan di sebuah kerajaan. Sekali lagi, aku mengatakannya
hiasan. Kalian tahu kan, apa itu hiasan. Tak lebih dari sebuah barang cantik tak
bersuara, tidak bisa (baca: tidak boleh) bergerak bebas, tidak bisa berjalan
(karena kemana-mana selalu dipanggul, mungkin kalo jaman sekarang pake
kendaraan bernama mobil, ya? Mobil pun pasti disopirin, kan? Dijaga ketat),
apalagi berlari. Tidak bisa mengemukakan pendapat. Dan masih banyak lagi ‘tidak
bisa’ lainnya. Aku adalah salah satu hiasan itu.
Sangat
menyenangkan memang menjadi hiasan seorang raja yang mulia dan amat disegani.
Aku menikmatinya. Hingga datang seorang pemuda bernama Yusuf. Setan berhasil
membisikkan perasaan menyenangkan lain saat melihat ketampanan pemuda itu. Ah,
seandainya kalian bisa melihatnya. Bagaimana rasanya ketika sebersik angin
bertiup lembut menerpa kulit wajah kalian, dan itu membuat kalian merasa
bahagia? Pernahkah kalian merasa tak mendengar apapun selain degup jantung yang
semakin kencang, melompat-lompat seperti kelinci di dalam sana? Pernahkah
kalian hampir tak sadarkan diri melongo melihat keindahan ciptaan Tuhan? Aku
yakin, pernah. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku tidak sedang membela diri
atau mencari pembenaran, apalagi dukungan. Kalian boleh percaya atau pun tidak,
itu sama sekali nggak ngaruh. Nggak akan merubah sejarah. Aku hanya ingin
bercerita, ehm… seperti bahasa kalian, aku ingin ‘curhat’. Aku boleh curhat,
kan? Dan, yah, meluruskan kesalahpahaman seperti yang pertama kali kukatakan tadi.
Setelah
kejadian memalukan itu, aku dihukum oleh suamiku sendiri, Sang Raja yang arif
dan bijaksana. Selama hukuman itu kujalani, aku tersadar akan segala
kekhilafanku. Ah, tidak, sebenarnya bukan setelah di hukum, aku sudah tersadar
bahkan sebelum itu. Jauh sebelum hukuman itu dijatuhkan. Saat Yusuf menolakku,
aku sudah tersadar. Aku tersadar bahwa aku sudah melakukan kesalahan. Tapi,
ibarat pepatah yang kalian pelajari di kelas bahasa Indonesia, ‘sudah jatuh,
tertimpa tangga’, bedanya, pepatah itu berlaku untuk kejadian yang tidak
diinginkan atau tak disengaja, sedangkan aku? Aku sudah terlanjur malu saat
itu, ah, iya, seperti pepatah lain “nasi sudah menjadi bubur.” Aku malu,
benar-benar malu. Tapi, perasaan malu itu terlalu besar. Sehingga membuatku
ingin menghilangkannya sekalian. Tapi, lagi-lagi, itulah bedanya orang biasa
dengan nabi Allah.
Hukuman itu
setidaknya bisa melindungiku dari mendengar segala cercaan dan hinaan untuk
diriku yang memang sudah hina, teramat hina. Aku diasingkan di sebuah tempat
yang jauh dari keramaian, jauh dari siapa pun. Namun, di sana lah aku justru
merasa dekat dengan-Nya, Yang Maha Pengasih. Dengan Allah. Sepanjang siang dan
malam, aku hanya menangis dan menangis. Hingga bisa membuat mataku buta. Aku
menangis menyesali diri. Menyesali kekhilafanku. Menyesali kebodohanku.
Menyesali diriku yang tidak pernah bersyukur. Aku sudah memiliki segalanya. Aku
sudah diberikan segala kebahagiaan hidup oleh-Nya, dan aku tidak mensyukuri
itu. Aku memang bisa memiliki segalanya saat itu, apa pun yang kuinginkan pasti
akan segera dipenuhi oleh Sang Raja, tapi aku tidak bisa membeli keimanan dan
ketakwaan seseorang.
Satu hal yang
perlu kalian ketahui, aku sangat amat mencintai nabi Allah ini.
Aku merasa
tenang orang itu adalah nabi Allah, sehingga aku dan dia tidak terjerumus ke
dalam jeratan setan terkutuk. Tapi, tetap saja aku menyesali apa yang telah
kulakukan. Rasanya saat itu aku ingin mati saja. Rasa menyesal dan malu kepada
Allah membuatku tidak ingin hidup. Aku terlalu beruntung jika diberi waktu
untuk hidup, terlalu bagus untuk diberi kesempatan menghirup udara. Tapi, aku
juga merasa malu untuk langsung mati. Jika aku mati, itu berarti aku akan
menghadap Sang Pemilik Kehidupan, bagaimana aku bisa menghadap-Nya dengan rasa
malu ini?
Tapi, aku tau,
Dia Maha Pengampun. Yang harus kulakukan adalah memohon ampunan-Nya. Entah
berapa lamanya hukuman itu, aku tak bisa menghitung lagi, selama itu, aku
melakukan pertobatan, menyesali diri, memohon ampunan-Nya. Dan setelah sekian
lama, dalam hidupku, aku sudah tidak menginginkan kebahagiaan dunia. Saat aku
hanya mengharapkan kebahagian di akhirat dan mendapatkan ampunan-Nya. Bukan
ampunan saja yang Dia berikan. Aku mendengar Sang Raja, suamiku, telah
meninggal. Aku sedih, tentu saja. Tapi, lebih sedih lagi ketika Yusuf yang saat
itu telah menjadi raja, ternyata belum menikah. Raja Yusuf membebaskanku dari
hukuman itu, dan melindungi kehormatanku dengan menikahiku. Aku sedih, teramat
sedih. Aku takut Tuhan sedang marah kepadaku. Aku takut Tuhan sedang murka,
sehingga ia memberiku siksaan dengan kebahagian dunia. Sungguh, aku tak akan
sanggup menghadapinya.
Sebelumnya,
aku bahkan tidak berani memimpikannya, menikah dengan Yusuf? Aku pasti sedang
berkhayal, kan? Tapi, Yusuf berhasil meyakinkan, bahwa aku tidak sedang
berkhayal. Dia mengatakan dia mencintaiku. Ada apa ini? Kalau dia mencintaiku,
kenapa dia menolakku waktu itu? Ah, iya, aku tahu, saat itu aku masih menjadi
istri raja.
Yusuf, betapa
mulia dirinya, betapa besar ketakwaannya. Aku sadar, saat itu aku adalah wanita
paling cantik, siapa pun akan tergila-gila kepadaku, dan tidak akan pernah
menolakku. Tapi, tidak dengan Yusuf. Ketampanan wajahnya terpancar dari
ketakwaannya. Dan Allah pada akhirnya menjodohkanku dengannya. Ya Allah, nikmat
yang mana lagi yang aku dustakan?
Ini ceritaku,
mana ceritamu? Aku berharap kalian tidak akan pernah melakukan kesalahan
seperti yang pernah kulakukan jika kalian tidak ingin menyesalinya. Kemurahan
Allah lah yang menjadikan kisahku happy
ending. Jangan pernah berharap itu juga yang akan terjadi terjadi pada
kalian. Karena kita hidup di jaman yang berbeda, aku tidak yakin masih ada
Yusuf-Yusuf lain setelah Yusufku, maksudku yang mau menerima kalian kembali
setelah kalian ditolak, meski aku berharap ada. Tapi, buat kalian para cewek di
dunia, jagalah kehormatan kalian, karena hanya itu yang berharga yang kita
miliki.
Sekian dan
terima kasih sudah membaca curhatanku. Dan aku berharap kalian bisa mengambil
pelajaran dari kisahku. Sekali lagi, jagalah kehormatanmu.
Warm regards,
Julaikha.
Ditulis kembali oleh Nina Pradani.

No comments:
Post a Comment