Tuesday, July 30, 2013

Hikmah




Surat Yang Tersembunyi


Dear Cewek abad ini,

Hai, namaku Julaikha. Kalian masih ingat aku? Yaps! Benar sekali. Aku adalah wanita yang kalian kenal dalam cerita nabi Yusuf. Aku hanya ingin meluruskan sedikit kesalahpahaman ini. Kalian salah jika mengatakan aku merayu nabi Allah. Hei, aku mencintainya. Apakah itu salah? Bukankah kalian juga pernah mencintai seseorang? Oke, baiklah, kalian ingin mengingatkan aku yang sudah bersuami. Karena itu, kalian tetap bersikeras aku lah yang salah. Kalian menyalahkanku yang tidak bisa mengendalikan diri.


Aku akui, entah setan dari mana yang datang merasuki pikiranku saat itu. Setan itu berhasil merasuk pikiran wanita yang selalu kesepian. Kalian pernah merasakan bagaimana rasanya jadi istri raja? Aku yakin, tidak semua dari kalian pernah merasakannya. Apalagi hidup di jaman kalian sekarang, sudah tidak banyak lagi kerajaan. Paling yang terkenal sekarang si Kate Middleton di Inggris itu. Ya, hanya sedikit yang pernah merasakannya. Karena hanya secuil manusia di bumi ini yang terpilih untuk menjadi hiasan di sebuah kerajaan. Sekali lagi, aku mengatakannya hiasan. Kalian tahu kan, apa itu hiasan. Tak lebih dari sebuah barang cantik tak bersuara, tidak bisa (baca: tidak boleh) bergerak bebas, tidak bisa berjalan (karena kemana-mana selalu dipanggul, mungkin kalo jaman sekarang pake kendaraan bernama mobil, ya? Mobil pun pasti disopirin, kan? Dijaga ketat), apalagi berlari. Tidak bisa mengemukakan pendapat. Dan masih banyak lagi ‘tidak bisa’ lainnya. Aku adalah salah satu hiasan itu.
Sangat menyenangkan memang menjadi hiasan seorang raja yang mulia dan amat disegani. Aku menikmatinya. Hingga datang seorang pemuda bernama Yusuf. Setan berhasil membisikkan perasaan menyenangkan lain saat melihat ketampanan pemuda itu. Ah, seandainya kalian bisa melihatnya. Bagaimana rasanya ketika sebersik angin bertiup lembut menerpa kulit wajah kalian, dan itu membuat kalian merasa bahagia? Pernahkah kalian merasa tak mendengar apapun selain degup jantung yang semakin kencang, melompat-lompat seperti kelinci di dalam sana? Pernahkah kalian hampir tak sadarkan diri melongo melihat keindahan ciptaan Tuhan? Aku yakin, pernah. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku tidak sedang membela diri atau mencari pembenaran, apalagi dukungan. Kalian boleh percaya atau pun tidak, itu sama sekali nggak ngaruh. Nggak akan merubah sejarah. Aku hanya ingin bercerita, ehm… seperti bahasa kalian, aku ingin ‘curhat’. Aku boleh curhat, kan? Dan, yah, meluruskan kesalahpahaman seperti yang pertama kali kukatakan tadi.
Setelah kejadian memalukan itu, aku dihukum oleh suamiku sendiri, Sang Raja yang arif dan bijaksana. Selama hukuman itu kujalani, aku tersadar akan segala kekhilafanku. Ah, tidak, sebenarnya bukan setelah di hukum, aku sudah tersadar bahkan sebelum itu. Jauh sebelum hukuman itu dijatuhkan. Saat Yusuf menolakku, aku sudah tersadar. Aku tersadar bahwa aku sudah melakukan kesalahan. Tapi, ibarat pepatah yang kalian pelajari di kelas bahasa Indonesia, ‘sudah jatuh, tertimpa tangga’, bedanya, pepatah itu berlaku untuk kejadian yang tidak diinginkan atau tak disengaja, sedangkan aku? Aku sudah terlanjur malu saat itu, ah, iya, seperti pepatah lain “nasi sudah menjadi bubur.” Aku malu, benar-benar malu. Tapi, perasaan malu itu terlalu besar. Sehingga membuatku ingin menghilangkannya sekalian. Tapi, lagi-lagi, itulah bedanya orang biasa dengan nabi Allah.
Hukuman itu setidaknya bisa melindungiku dari mendengar segala cercaan dan hinaan untuk diriku yang memang sudah hina, teramat hina. Aku diasingkan di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, jauh dari siapa pun. Namun, di sana lah aku justru merasa dekat dengan-Nya, Yang Maha Pengasih. Dengan Allah. Sepanjang siang dan malam, aku hanya menangis dan menangis. Hingga bisa membuat mataku buta. Aku menangis menyesali diri. Menyesali kekhilafanku. Menyesali kebodohanku. Menyesali diriku yang tidak pernah bersyukur. Aku sudah memiliki segalanya. Aku sudah diberikan segala kebahagiaan hidup oleh-Nya, dan aku tidak mensyukuri itu. Aku memang bisa memiliki segalanya saat itu, apa pun yang kuinginkan pasti akan segera dipenuhi oleh Sang Raja, tapi aku tidak bisa membeli keimanan dan ketakwaan seseorang.
Satu hal yang perlu kalian ketahui, aku sangat amat mencintai nabi Allah ini.
Aku merasa tenang orang itu adalah nabi Allah, sehingga aku dan dia tidak terjerumus ke dalam jeratan setan terkutuk. Tapi, tetap saja aku menyesali apa yang telah kulakukan. Rasanya saat itu aku ingin mati saja. Rasa menyesal dan malu kepada Allah membuatku tidak ingin hidup. Aku terlalu beruntung jika diberi waktu untuk hidup, terlalu bagus untuk diberi kesempatan menghirup udara. Tapi, aku juga merasa malu untuk langsung mati. Jika aku mati, itu berarti aku akan menghadap Sang Pemilik Kehidupan, bagaimana aku bisa menghadap-Nya dengan rasa malu ini?
Tapi, aku tau, Dia Maha Pengampun. Yang harus kulakukan adalah memohon ampunan-Nya. Entah berapa lamanya hukuman itu, aku tak bisa menghitung lagi, selama itu, aku melakukan pertobatan, menyesali diri, memohon ampunan-Nya. Dan setelah sekian lama, dalam hidupku, aku sudah tidak menginginkan kebahagiaan dunia. Saat aku hanya mengharapkan kebahagian di akhirat dan mendapatkan ampunan-Nya. Bukan ampunan saja yang Dia berikan. Aku mendengar Sang Raja, suamiku, telah meninggal. Aku sedih, tentu saja. Tapi, lebih sedih lagi ketika Yusuf yang saat itu telah menjadi raja, ternyata belum menikah. Raja Yusuf membebaskanku dari hukuman itu, dan melindungi kehormatanku dengan menikahiku. Aku sedih, teramat sedih. Aku takut Tuhan sedang marah kepadaku. Aku takut Tuhan sedang murka, sehingga ia memberiku siksaan dengan kebahagian dunia. Sungguh, aku tak akan sanggup menghadapinya.
Sebelumnya, aku bahkan tidak berani memimpikannya, menikah dengan Yusuf? Aku pasti sedang berkhayal, kan? Tapi, Yusuf berhasil meyakinkan, bahwa aku tidak sedang berkhayal. Dia mengatakan dia mencintaiku. Ada apa ini? Kalau dia mencintaiku, kenapa dia menolakku waktu itu? Ah, iya, aku tahu, saat itu aku masih menjadi istri raja.
Yusuf, betapa mulia dirinya, betapa besar ketakwaannya. Aku sadar, saat itu aku adalah wanita paling cantik, siapa pun akan tergila-gila kepadaku, dan tidak akan pernah menolakku. Tapi, tidak dengan Yusuf. Ketampanan wajahnya terpancar dari ketakwaannya. Dan Allah pada akhirnya menjodohkanku dengannya. Ya Allah, nikmat yang mana lagi yang aku dustakan?
Ini ceritaku, mana ceritamu? Aku berharap kalian tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti yang pernah kulakukan jika kalian tidak ingin menyesalinya. Kemurahan Allah lah yang menjadikan kisahku happy ending. Jangan pernah berharap itu juga yang akan terjadi terjadi pada kalian. Karena kita hidup di jaman yang berbeda, aku tidak yakin masih ada Yusuf-Yusuf lain setelah Yusufku, maksudku yang mau menerima kalian kembali setelah kalian ditolak, meski aku berharap ada. Tapi, buat kalian para cewek di dunia, jagalah kehormatan kalian, karena hanya itu yang berharga yang kita miliki.
Sekian dan terima kasih sudah membaca curhatanku. Dan aku berharap kalian bisa mengambil pelajaran dari kisahku. Sekali lagi, jagalah kehormatanmu.

Warm regards,
Julaikha.

Ditulis kembali oleh Nina Pradani.

No comments: