Wednesday, October 10, 2018

Tulus

Jangan kau tanya ketulusan pada iblis
mereka adalah makluk paling tulus
malaikat tak berpamrih karena dicipta
iblis tak pernah pamrih pada manusia
karena hasad, dusta, dan cinta
amat tulus mengajak untuk bersama
pantang menyerah, setia hingga binasa
mereka tak kan ingkar hingga akhir dunia
siapa pun tahu itu jalan neraka
sialnya, manusia tetap suka

ketulusan manusia kadang goyah
menangis rindu, namun payah
mengaku cinta, tapi tak bergairah
hati mencari wujud tak berarah
kemunafikkan manusia kian bertambah
akan seperti itu hingga amarah
manusia selalu sadar itu salah
namun, iblis teguh bisikkan asah
jangan salahkan iblis yang tak kenal lelah
mereka telah ikrar sejak sejarah
masalahnya adalah kau yang memang sudi kalah

-np-

Sempadan




ada cerita yang tak ingin kudengar
tapi, terdengar begitu saja tanpa kuputar
itu tanda
itu takdir

ada lukisan yang tak ingin kulihat
tapi, terlihat begitu saja tanpa pekat
aku tahu, iblis membantuku
lalu dia bisikkan penghianatan

padahal susah payah kubangun kepercayaan
berjerih kujaga ketenangan
sial memang hidup penuh kerapuhan
kadang tak setia kepada-Nya

ada alasan yang ingin sekali kudengar
tapi, tak ada yang dapat menjelaskan
apakah itu juga tanda?
apakah itu juga takdir?

aku percaya, itu takdir
aku percaya itu semua Tulisan-Nya
hanya perlu sabar yang tak berbatas
alasan itu akan terjelaskan

tidak ada kebetulan dalam kehidupan
semua terjadi karena sebuah alasan
jika sabarku ada batasan
ampuni aku, karena aku tahu sabar tak bersempadan

Bima, 10/10/2018

-np-

Tuesday, September 18, 2018

Timeline Pasca Menikah

Kebiasaan orang di dunia maya setelah menikah yang saya perhatikan beragam. Namun, ragamnya ya.. tidak terlalu banyak sih. Apa sajakah itu? Yuk, simak!

Pertama, setelah menikah tentu saja mengganti foto profil, status di media sosial, dan mengunggah beberapa foto pernikahan. Bagusnya, hal ini dapat mengundang banyak doa dan harapan dari para netijen. Aktifitas ini biasanya berlaku pada saat awal-awal pasangan menempuh hidup baru hingga melewati masa bulan madu. Membagi foto-foto saat hanimun memang menyenangkan. Tapi, tolong hargailah para jomblo yang masih berjejer rapi di friendlistmu. Mereka memang akan ikut senang dan turut mendoakan kebahagiaanmu, tapi tidak sedikit juga yang jadinya baper minta dinikahin padahal belum siap lahir batin.

Kedua, setelah menikah sering membagi tulisan, video, ceramah, ayat, hadits, dan sebagainya mengenai nasihat berumah tangga.
Biasanya para Istri sering repost atau share postingan berisi pesan-pesan dan nasihat bijak untuk suami, dengan tidak lupa me-mention nama suami mereka, namun jarang berlaku kebalikannya, para suami jarang yang mau repost atau share nasihat dan pesan buat istri mereka. Kalau pun ada, sedikit sekali. Kenapa? Mungkin karena laki-laki lebih suka bicara langsung daripada mengirim kode-kode di area publik. Lagipula kurang epik rasanya. Bukankah para istri juga lebih baik berpikir sama? Lebih baik bicara langsung saja ke suaminya ketimbang menyampaikan hal itu di media sosial yang bisa dilihat banyak orang. Masalahnya, kita tidak bisa membatasi apa saja yang bisa dipikirkan oleh orang lain saat ikut membacanya.

Ketiga, setelah menikah sering posting, like, atau share foto bayi yang lucu-lucu. Ini mungkin juga kode buat pasangan masing-masing. Sialnya, saya sering dapat pemberitahuan di-mention atau dikirimi foto bayi yang lucu-lucu ini oleh para Bibi dan keluarga besar. Oh, please...

Keempat, setelah menikah tidak ada aktifitas lagi, mati suri atau mati total hingga nggak aktif lagi di media sosial. Banyak kemungkinan. Pasangan jenis ini mungkin terlalu sibuk membangun kehidupan di dunia nyata, jadi tidak punya waktu untuk menyalin aktifitas mereka di dunia lain, dunia maya i mean. Kemungkinan lain, mungkin ganti smartphone, lupa password, jadi, akunnya nggak aktif lagi. Mau bikin lagi, udah males.

Sekian hasil pengamatan saya. Semoga kita dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Media sosial ibarat dunia yang luas tempat kita bisa bertemu dengan banyak orang. Bahkan lebih banyak dari dunia nyata. Di sana kita juga mempunyai rumah. Akun media sosial kita ibarat rumah. Dan rumah yang baik adalah yang memiliki dinding, jendela, dan pintu. Sehingga penghuni di dalamnya tidak kedinginan dan juga tidak kegerahan. Tidak semua aktifitas di dalam rumah kita biarkan terlihat oleh orang-orang di luar rumah. Karena manusia sejatinya harus tetap memiliki rasa malu baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

*Wanita biasa yang sedang berusaha menjadi istri yang baik-soleha-perhiasan-dunia. #ahem


Friday, August 24, 2018

Infinity


Terima kasih karena sudah sarapan dengan telur dadar yang ternyata tidak berasa tanpa protes sedikit pun pagi ini.
Terima kasih karena sudah menemaniku yang tiba-tiba cengeng kemarin, sampai-sampai kau terlambat memenuhi janji dengan teman-temanmu.
Aku memukul kepala sendiri berkali-kali sambil mengumpat betapa bodohnya aku.
Terima kasih karena sudah membuang buah yang sudah lama mengendap di kulkas dan tidak habis-habis itu kemarin. God, ternyata aku sangat pemalas.
Terima kasih karena sudah membersihkan poop kucing yang tidak tahu diri itu kemarinnya lagi.
Terima kasih karena sudah selalu melipat selimut dan merapikan tempat tidur hari ini, kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi. Ya, hampir setiap hari kau membuatku jatuh cin... terharu. Sial.
Terima kasih karena selalu menyimpan piring kotor ke belakang dan tidak membuatnya tak indah.
Terima kasih sudah ikut menyapu halaman setiap kali dedaunan yang tak berdaya itu mulai ramai tertiup angin. Kita memang tidak boleh menyalahkan mereka.
Terima kasih karena sudah menanam segala jenis tumbuhan di halaman rumah kita akhir-akhir ini. Semoga musim hujan segera tiba agar kau tidak perlu menyiramnya setiap hari.
Terima kasih untuk segalanya.
Aku harus menyampaikan terima kasih yang tak terhingga.
Ah, terima kasih pokoknya.

Thursday, July 5, 2018

Hari ke-18

Kalau aku bilang cinta terlalu kanak-kanak untuk melandasi kebersamaan di antara kita, aku takut sombong. Well, kita tidak bicara lagi soal cinta monyet atau kingkong. Cinta yang harus kita pahami adalah wujud cinta tersempurna, itu jika memang ia berwujud. Rasa cinta terdalam, jika memang ia berasa.

Kita harus mengakui, kita bahkan telah hampir berkali-kali mati rasa, kemudian Dia tumbuhkan. Lagi, dan lagi. Ya, tentu saja cinta kepada Yang telah mempertemukan kita, apa lagi? Yang telah mempertemukan kita pada hari itu, Senin, 18 Juli 2018, 4 Syawal 1439 H.

Kau tahu, setelah beberapa hari dari hari itu, aku baru sadar nama panggilan kita memiliki kesamaan yang menakjubkan. Coba hilangkan huruf pertama kedua nama itu. Jadinya "Ina" dan "Ibu". Ina adalah Ibu dalam bahasa Bima.
Norak, sih...
Alay? Banget.
Tapi, apakah ini kebetulan? Aku meragukannya. Apakah terlalu pagi untuk aku bilang ini takdir?

Apa pun itu, aku harap kamu setuju kalau kamu akan membimbing dan membantuku belajar mencintai-Nya. Menjalani takdir kita.





Sudah berjalan 18 hari sejak hari itu, kita masih bermain dengan perasaan masing-masing. Kebersamaan yang percaya nggak percaya terlewati begitu saja. Lebih banyak nggak percaya tepatnya. Are we really already getting married? Aku, sih, yang merasa begitu, nggak tahu kalau kamu. Mungkin kamu punya cukup kepercayaan diri sehingga tidak perlu merisaukan hal-hal sepele ini. Soal perasaan kita maksudku. Seperti banyak tulisan perihal cowok yang kubaca, katanya cowok lebih realistis memandang segala sesuatu. Tidak terlalu mementingkan perasaan. Sialnya, cewek sangat perasa dan masalah perasaan memiliki urutan terpenting, bahkan dari list belanja rumah tangga ia menempati urutan teratas. Mereka meyakini urusan rasa ini akan mempengaruhi segala hal. Lalu, aku yang sering bertanya apakah kamu bahagia dan kamu yang sering mengatakan takut tidak bisa membahagiakanku. Harusnya itu cukup meyakinkanku kalau kita memang sudah bahagia. Atau paling tidak sedang menuju ke sana. Tapi, ternyata meyakinkan diri sendiri akan hal itu seperti meyakini bahwa puncak gunung sudah dekat padahal masih sangat jauh ketika didaki. Untuk membuktikannya butuh perjuangan. Begitu pula dengan konsep kebahagiaan kita. Aku masih tidak yakin dengan perasaanmu. Pernah ada yang mengatakan bahwa wanita butuh diyakinkan berkali-kali kalau dia dicintai, itu pun besoknya dia akan bertanya lagi. Aku setuju dengan itu. Tapi, aku juga setuju bahwa cinta tidak perlu dijelaskan. Ia memang tidak terjelaskan. Ia indah dengan ketidakjelasannya itu. Ia menarik dengan kesanggupannya mengoyak dan mempermainkan perasaan anak-anak manusia.

Satu hal saja yang aku catat. Kamu belum pernah mengatakan "aku bahagia" sebagaimana aku yang sering mengatakan itu. Itu tak jadi soal. Hanya saja, kurasa... kamu sangat mengerti kalau kita sudah menikah dan kita harus menjalani kenyataan.

Selama 18 hari ini aku cukup diberi banyak kejutan. Tentu saja kamu tidak menyadarinya karena mungkin itu memang adanya dirimu. Jika dulu (sebelum menikah) kamu amat tak acuh, tak peduli, pesan hari ini dibalas besok atau dua, tiga hari lagi, setelah menikah kau bahkan lebih banyak mengirim pesan alarm jam makan. Saat itu, aku bertanya-tanya jangan-jangan aku sudah lanjut usia sehingga harus diingatkan untuk makan. Meski bagitu, aku senang. Aku menyukainya. Amat sangat. Jadi, teruslah seperti itu.

Dulu, aku menilai dan menganggapmu sebagai wujud manusia yang tidak peka. Tidak memiliki kepekaan sedikit pun. Namun, kebersamaan 18 hari ini membuat penilaianku berubah. Saat raut wajahku berbeda sedikit saja, kau menanyakan "ada apa?". Ah, kau terlalu peka. Kau juga tidak pernah membiarkanku mengeluarkan dan memasukkan motor sendiri. Emm... itu manis sekali. Kau juga membantu merapikan tempat tidur, kadang menyapu. Juga membantu menyuci pakaian yang berat-berat. Kau tidak keberatan membantuku memasak. Detail-detail kecil seperti itu sungguh membuat haru. Dari sana aku yakin kita telah memiliki persepsi yang sama soal keluarga dan rumah tangga, bahwa keluarga ini adalah milik kita bersama, di dalamnya kita akan saling membantu. Saling menolong dan bukan memerintah. Saling memberi dan bukan saling menuntut. Saling bertanggung jawab dan bukan hanya menginginkan hak.

Pagi tadi, kau berinisiatif mengganti kran air yang rusak di tempat cuci karena tidak tega melihatku mencuci di kamar mandi. Ngg... itu... aku minta maaf karena pernah menganggapmu tidak detail. Lebih dari apa pun, aku meyakini kamu memiliki respek yang baik kepada sesama manusia. Termasuk kepadaku. Ya, respect.
Karena itu semua, aku merasa bersalah karena sepertinya aku belum benar-benar menjadi teman hidup yang baik buatmu. Maafkan ya, K... aku akan berusaha. Aku tidak berani berjanji. Tapi, aku akan memberikan usaha terbaik.
Hold my hand!

Hold my hand
There are many ways to do it right
Hold my hand
Turn around and see what we have left behind

*Maher Zain

Just put your arms around me, tell me everything's okay
You don't make me wait and never let me break, you never let fall
You don't make me wait and never let me break, you never let fall
Darling, hold my hand
Soul is like a melting pot when you're not next to me
Tell me that you've got me and you're never gonna leave
Tryna find a moment where I can find release
Please tell me that you've got me and you're never gonna leave

Thursday, April 19, 2018

Menyeret Langkah ke Puncak Tambora




Tepatnya 11 April 1815 atau lebih dari dua abad lalu, gunung Tambora yang asalnya memiliki ketinggian 4.300 mdpl mengalami letusan dahsyat hingga menenggelamkan tiga kerajaan (Tambora, Pekat, dan Sanggar) bahkan menyebabkan perubahan iklim dunia karena letusannya saja terdengar hingga pulau Sumatra dan abunya menyebar hingga benua Amerika dan Eropa. Mengakibatkan kematian, gagal panen, hingga kelaparan terburuk abad 19. Meski gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara, setelah letusan dahsyat itu, ketinggiannya berkurang menjadi 2850 mdpl pada puncak bibir kawahnya. Awalnya saya mengganggap remeh angka itu. Ah, segitu aja, tidak begitu tinggi, kok, bisalah saya ke sana. Seberapa, sih, itu. Kecil...

Jika kalian ingin mendaki, dan saat ini saya memang sedang menyarankan kalian untuk mendakinya. Kenapa? Tunggu, ini nanti mau saya ceritakan kenapa kalian yang ngaku anak gunung perlu ke sana, sekarang saya lanjutkan dulu. Apa tadi? Yap, untuk menuju puncak Tambora, kalian bisa melewati dua jalur pendakian, Pendakian Doropeti di Bima dan Pancasila di Dompu karena terletak di dua kabupaten, Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara). Ah, untuk lebih jelasnya kalian bisa gugling sendiri  lah... itu pun di atas saya nulis kembali hasil gugling, kok. Wkwk.

Well, jadi April tahun 2018 ini Bima dan Dompu memperingati 203 tahun letusan itu yang mereka rayakan sebagai Festival Tambora. Berbagai kegiatan diadakan mulai dari hiburan mengundang artis ibukota, mendaki bersama, membentangkan bendera merah putih hingga 203 meter di puncak bibir kawah, dan baaanyak lagi kegiatan seru lain yang digelar dari tanggal 8 hingga puncak acaranya pada 11 April lalu.

Awalnya saya ingin ikut mendaki pada saat perayaan festival tersebut, namun karena terkendala beberapa hal, tidak bisa dan akhirnya diajakin teman-teman yang juga ingin merayakan festival yang tertunda itu pada akhir pekan. Kami berangkat jumat siang tanggal 13 April dari Bima dan sampai gerbang pendakian Pancasila sekitar ba'da magrib. Agar bisa memulai pendakian besok pagi-pagi, kami menginap dulu jumat malam itu pada salah satu home stay di desa Pancasila.

Pendakian Perdana dan Impian




Bersambung....

Wednesday, February 7, 2018

Jagalah hati!



Saat kamu dengan sengaja menunjukkan hal-hal baik dirimu dengan mengharap pujian dari orang lain. Katanya itu termasuk riya'. Pun tanpa kamu mengharap pujian dari orang lain, tapi kamu sudah merasa senang/bangga akan kebaikan yang kamu lakukan. Katanya itu ujub. Apalagi jika kamu meremehkan orang lain (walaupun dalam hati) yang tidak melakukan kebaikan yang sama. Itu namanya entah apa. Saya lupa. Jadi, ketika kamu sengaja menunjukkan kebaikan dengan menyembunyikan sisi burukmu. Katanya itu munafik. Tapi juga, kamu gak harus sengaja terlihat buruk hanya karena tidak ingin menyombongkan kebaikan. Keduanya sama saja sombong.
Jujur adalah yang terbaik.

Wednesday, January 31, 2018

Dilan dan Bulan

Rame, ya, fenomena Dilan ini. Sepertinya bakal ngalahin fenomena Super blue blood moon untuk durasinya. Kenapa? Super blue blood moon hanya terjadi malam ini. Seharian tadi hingga besok timeline hampir di semua media sosial dipenuhi foto bulan dari kualitas terburuk--karena keterbatasan kamera--hingga foto dengan kualitas terbaik layak dibeli majalah astronomi. Tapi, paling setelah besok udah hilang. Nggak ada lagi yang ngomongin bulan. Lain cerita dengan Dilan. Dari waktu novelnya terbit, baru sedikit yang baca, dan mereka yang sedikit itu udah mulai ngomongin Dilan, udah tergila-gila dengan Dilan. Waktu itu, saya menganggap kalangan mereka punya segmen bacaan yang unik. Apa pasal, sebelum Dilan terbit, pertama kali saya dikenalkan oleh Atasan saya waktu itu tulisan Pidi Baiq yang unik dan agak... bukan, sangat, sangat berbeda dan sangat gila. Agak-agak sedeng. Ingat betul waktu itu sedang hunting buku di Pameran Buku Bandung (atau IBF ya? Ya itu lah... yang jelas di Bandung), Atasan saya mengambil salah satu buku berjudul "Hanya Salju dan Pisau Batu" dan menunjukkan bagian belakang sampulnya. Kalau tidak salah ingat di sana tertulis beberapa testimoni mengenai buku itu. Yang unik adalah, kalau buku orang lain testimoninya ditulis oleh tokoh-tokoh terkenal, seperti penulis, budayawan, artis, presiden, ketua DPR, atau siapa saja yang relevan dengan tema buku. Lain cerita yang memberi testimoni untuk buku Surayah Pidi Baiq ini. Anda bisa menebaknya? Mereka adalah tetangganya, tukang kebun, Mamang penjual sayur yang lewat depan rumahnya, ketua RT, dan tokoh-tokoh tak terduga lainnya. See?

Saya melihat beberapa buku Pidi Baiq yang lain juga semuanya stres. Tidak ada satu pun yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Akhirnya saya beli dua buku yang didiskon saat itu "Drunken Marmut" dan yang tadi "Hanya Salju dan Pisau Batu". Yang belum diskon belum saya beli, termasuk Dilan. Eh.

Sekitar tahun 2015 novel Dilan terbit, beberapa teman yang sudah baca langsung kena Dilan syndrome. Kutipan dialog-dialog (baca: gombalan-gombalan) Dilan yang memang berkelas (atau receh?) itu memenuhi hari-hari mereka. Menarik dan lucu, sih. Saya selalu suka baca kutipan-kutipan mereka. Tapi, belum juga tergoda untuk membaca novelnya. Mungkin takut kena Dilan syndrome juga. Hingga novel Dilan akhirnya best-seller pun, saya belum membacanya. Waktu Harbolnas udah order di Gramed, udah bayar juga. Eh, dapat email permohonan maaf, dana akan dikembalikan. Sepertinya belum bertakdir membaca novel itu. Selama ini, saya hanya mengikuti cuitan Surayah, juga cuitan follower yang selalu beliau balas dengan kata-kata khas, hingga berfoto dengan begron kutipan beliau di jalan Asia Afrika sana.

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi."_Pidi Baiq.

Dan Bandung bagi saya belum sejauh itu. Hanya saja, saya belajar keramahan dan bobodoran (ini bener ga si?) dari kota itu. Dari profesi OB, sekuriti, hingga direktur doyannya melucu. Bahkan seorang Ustadz pun sempat mengocok perut jamaah saat khutbah Idul Adha. Iya, itu pengalaman mendengar khutbah shalat Id pertama kali yang ngalahin stand up comedy, namun juga tidak menghilangkan esensi khutbah itu sendiri.

Segala sesuatu mengenai Bandung memang menyenangkan, nggak cuma orang-orangnya baik, akang-akangnya yang kasep, eneng-enengnya yang geulis, yang gak kasep biasanya lucu seperti Sule. Lebih jauh dari itu, sosok Dilan sepertinya akan dapat mengancam standarisasi gombalan dan rayuan di tingkat nasional. Jika gombalan kalian tidak berkelas dan unik seperti Dilan jangan harap akan ada yang tergoda. 😂

Tulisan-tulisan Pidi Baiq--yang imigran dari Surga ke Bandung ini--bagi saya seperti guru yang selalu mengajarkan muridnya untuk berpikir dan memiliki logika yang tidak biasa. Mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak hanya bisa dilihat dengan satu sudut pandang. Bahwa segala sesuatu itu memiliki sisi yang membahagiakan tergantung bagaimana kita menilainya. Tergantung bagaimana kita memilih untuk bersedih atau berbahagia. Semoga sosok Pidi Baiq tidak tenggelam oleh Iqbaal, eh, Dilan. Well, kebahagiaan penulis adalah saat karakter ciptaannya seolah nyata. Selamat, Ayah.

Tuesday, January 16, 2018

Berhala Subsidi

"Pupu ru'u masyarakat ke. Ne'em da mbei!" (Pupuk buat masyarakat, nih. Kok nggak dikasih!) Kalimat itu keluar dari seorang pemuda yang tidak saya kenal datang melemparkan 3 lembar rupiah bernilai 2 sak pupuk yang dia paksa ambil langsung dari buruh yang sedang sibuk menurunkan pupuk urea dari truk ke dalam toko. Saya tidak bisa menerima uang itu selain karena saya tidak mengetahui apakah namanya ada dalam daftar gapoktan atau tidak, juga karena caranya yang kasar, juga karena memang saya tidak diizinkan untuk menjual pupuk urea ini sementara pemilik tokonya (Bapak/Ibu.red) masih di sekolah.

Sebenarnya saya ingin membalas dan mendebat kalimat yang dia ucapkan tadi. Tapi, pemuda itu tergesa-gesa setelah 2 sak pupuk terangkut di atas sepeda motornya. Mungkin tanaman (entah bawang atau padi) di sawahnya sudah "kelaparan" harus segera diberi pupuk. Saya berharap dia benar-benar anak petani yang sedang membantu orangtuanya atau seorang suami yang menafkahi keluarganya dari hasil pertanian. Belakangan saya mengetahui kalau yang tadi itu ternyata preman. Itu kata warga lain yang sudah mengerubungi saya, mengerubungi pupuk maksud saya. Dan laporan dari buruh dan sopir yang bawa pupuk juga ternyata komplotannya tadi sudah menghadang truk itu di ujung desa. Mengancam untuk menurunkan 2 sak pupuk. Tapi, juga mereka memberikan uang. Ia mereka membayar harga 2 sak pupuk itu. Sungguh mulia, kan, mereka? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya membeli pupuk bersubsidi itu di tengah jalan.

Thursday, January 11, 2018

Mafia Pupuk


Saya tinggal di sebuah Desa bernama Ngali. Sekali lagi, NGALI. Kenapa saya bahkan merinding menyebut nama Desa saya sendiri? Entahlah. Yang jelas, jika kalian menyebut nama Ngali di kawasan Bima dan Dompu, bahkan mungkin NTB, orang yang mengetahuinya tidak pernah tidak ingin memastikannya kembali. "Apah?? Ngali?", "Wah, dou (orang) Ngali?", "Ngali? Ngali yang di sana?", "Ngali?", "Oh, Ngali...". Itu yang terakhir biasanya komentar mereka yang memiliki sifat kul, cuek atau yang sedang pura-pura tahu Ngali padahal enggak. "Ngali?? Ngali yang sering perang itu?" Itu pasti komentar orang yang belum pernah ke Ngali dan hanya mengetahui Ngali waktu rame peristiwa perang. Ya, perang. Jika kalian membayangkan perang seperti zaman penjajahan. Itu enggak salah. Kami memang pernah berperang melawan penjajah, dulu. Dan itu jadi perkakas kesombongan orang Ngali. Dan berperang melawan desa sebelah. Perang sungguhan.