Thursday, July 5, 2018

Hari ke-18

Kalau aku bilang cinta terlalu kanak-kanak untuk melandasi kebersamaan di antara kita, aku takut sombong. Well, kita tidak bicara lagi soal cinta monyet atau kingkong. Cinta yang harus kita pahami adalah wujud cinta tersempurna, itu jika memang ia berwujud. Rasa cinta terdalam, jika memang ia berasa.

Kita harus mengakui, kita bahkan telah hampir berkali-kali mati rasa, kemudian Dia tumbuhkan. Lagi, dan lagi. Ya, tentu saja cinta kepada Yang telah mempertemukan kita, apa lagi? Yang telah mempertemukan kita pada hari itu, Senin, 18 Juli 2018, 4 Syawal 1439 H.

Kau tahu, setelah beberapa hari dari hari itu, aku baru sadar nama panggilan kita memiliki kesamaan yang menakjubkan. Coba hilangkan huruf pertama kedua nama itu. Jadinya "Ina" dan "Ibu". Ina adalah Ibu dalam bahasa Bima.
Norak, sih...
Alay? Banget.
Tapi, apakah ini kebetulan? Aku meragukannya. Apakah terlalu pagi untuk aku bilang ini takdir?

Apa pun itu, aku harap kamu setuju kalau kamu akan membimbing dan membantuku belajar mencintai-Nya. Menjalani takdir kita.





Sudah berjalan 18 hari sejak hari itu, kita masih bermain dengan perasaan masing-masing. Kebersamaan yang percaya nggak percaya terlewati begitu saja. Lebih banyak nggak percaya tepatnya. Are we really already getting married? Aku, sih, yang merasa begitu, nggak tahu kalau kamu. Mungkin kamu punya cukup kepercayaan diri sehingga tidak perlu merisaukan hal-hal sepele ini. Soal perasaan kita maksudku. Seperti banyak tulisan perihal cowok yang kubaca, katanya cowok lebih realistis memandang segala sesuatu. Tidak terlalu mementingkan perasaan. Sialnya, cewek sangat perasa dan masalah perasaan memiliki urutan terpenting, bahkan dari list belanja rumah tangga ia menempati urutan teratas. Mereka meyakini urusan rasa ini akan mempengaruhi segala hal. Lalu, aku yang sering bertanya apakah kamu bahagia dan kamu yang sering mengatakan takut tidak bisa membahagiakanku. Harusnya itu cukup meyakinkanku kalau kita memang sudah bahagia. Atau paling tidak sedang menuju ke sana. Tapi, ternyata meyakinkan diri sendiri akan hal itu seperti meyakini bahwa puncak gunung sudah dekat padahal masih sangat jauh ketika didaki. Untuk membuktikannya butuh perjuangan. Begitu pula dengan konsep kebahagiaan kita. Aku masih tidak yakin dengan perasaanmu. Pernah ada yang mengatakan bahwa wanita butuh diyakinkan berkali-kali kalau dia dicintai, itu pun besoknya dia akan bertanya lagi. Aku setuju dengan itu. Tapi, aku juga setuju bahwa cinta tidak perlu dijelaskan. Ia memang tidak terjelaskan. Ia indah dengan ketidakjelasannya itu. Ia menarik dengan kesanggupannya mengoyak dan mempermainkan perasaan anak-anak manusia.

Satu hal saja yang aku catat. Kamu belum pernah mengatakan "aku bahagia" sebagaimana aku yang sering mengatakan itu. Itu tak jadi soal. Hanya saja, kurasa... kamu sangat mengerti kalau kita sudah menikah dan kita harus menjalani kenyataan.

Selama 18 hari ini aku cukup diberi banyak kejutan. Tentu saja kamu tidak menyadarinya karena mungkin itu memang adanya dirimu. Jika dulu (sebelum menikah) kamu amat tak acuh, tak peduli, pesan hari ini dibalas besok atau dua, tiga hari lagi, setelah menikah kau bahkan lebih banyak mengirim pesan alarm jam makan. Saat itu, aku bertanya-tanya jangan-jangan aku sudah lanjut usia sehingga harus diingatkan untuk makan. Meski bagitu, aku senang. Aku menyukainya. Amat sangat. Jadi, teruslah seperti itu.

Dulu, aku menilai dan menganggapmu sebagai wujud manusia yang tidak peka. Tidak memiliki kepekaan sedikit pun. Namun, kebersamaan 18 hari ini membuat penilaianku berubah. Saat raut wajahku berbeda sedikit saja, kau menanyakan "ada apa?". Ah, kau terlalu peka. Kau juga tidak pernah membiarkanku mengeluarkan dan memasukkan motor sendiri. Emm... itu manis sekali. Kau juga membantu merapikan tempat tidur, kadang menyapu. Juga membantu menyuci pakaian yang berat-berat. Kau tidak keberatan membantuku memasak. Detail-detail kecil seperti itu sungguh membuat haru. Dari sana aku yakin kita telah memiliki persepsi yang sama soal keluarga dan rumah tangga, bahwa keluarga ini adalah milik kita bersama, di dalamnya kita akan saling membantu. Saling menolong dan bukan memerintah. Saling memberi dan bukan saling menuntut. Saling bertanggung jawab dan bukan hanya menginginkan hak.

Pagi tadi, kau berinisiatif mengganti kran air yang rusak di tempat cuci karena tidak tega melihatku mencuci di kamar mandi. Ngg... itu... aku minta maaf karena pernah menganggapmu tidak detail. Lebih dari apa pun, aku meyakini kamu memiliki respek yang baik kepada sesama manusia. Termasuk kepadaku. Ya, respect.
Karena itu semua, aku merasa bersalah karena sepertinya aku belum benar-benar menjadi teman hidup yang baik buatmu. Maafkan ya, K... aku akan berusaha. Aku tidak berani berjanji. Tapi, aku akan memberikan usaha terbaik.
Hold my hand!

Hold my hand
There are many ways to do it right
Hold my hand
Turn around and see what we have left behind

*Maher Zain

Just put your arms around me, tell me everything's okay
You don't make me wait and never let me break, you never let fall
You don't make me wait and never let me break, you never let fall
Darling, hold my hand
Soul is like a melting pot when you're not next to me
Tell me that you've got me and you're never gonna leave
Tryna find a moment where I can find release
Please tell me that you've got me and you're never gonna leave

No comments: