Wednesday, October 21, 2015

Kemungkinan saya keturunan Antasena





Hari itu, di lereng gunung Puntang, Kabupaten Bandung, masih pagi dan sangat dingin. Saya berpikir keras (walaupun sebenernya gak keras, biar drama) apa yang harus dilakukan biar ga berasa dingin selain mengelilingi bekas api unggun semalam.
Well, ini lah yang saya lakukan.... taaraa...!!!


 

Ternyata belum berhasil tercapture.
ulang lagi, lompat lagi,
lompat lagi,
lagi,
lagi,
dan lagi.
daaan....



 akhirnya... saya kaget!
Jangan-jangan saya keturunan Antasena ato Mahabrata.
Oh, my God!
Ibuuu... kenapa gak bilang-bilang?


#istirahatsiangyangapalah

Monday, October 19, 2015

Menjadi yang paling cantik

Lihat, apa yang baru saja dilakukan oleh bapak-bapak dan calon bapak--belum-dewasa-itu. Tingkah mereka semakin hari benar-benar seperti anak kecil. Niatnya saja mau ngebully orang, mereka nggak sadar apa kalau mereka semakin terlihat seperti anak-anak kurang piknik. Ck, ck. Saya jadi menyedihkan punya teman seperti mereka. Tuhan, boleh minta ganti teman?

Menyusun sedemikian rupa berbagai benda di depan pintu ruang redaksi yang dibuka dengan ditarik. Mending kalau pintu itu dibukanya dengan didorong. Otomatis daun pintu akan susah dibuka atau setidaknya menjatuhkan barang-barang--yang-terdiri-dari-beberapa-kursi-kardus-meja-dan-sebagainya--itu. Jadi, saya bisa panik atau pura-pura kaget. Iya, saya akan berpura-pura karena saking seringnya mereka melakukan hal-hal aneh seperti itu. Sudah bukan surprise lagi, yang kreatif dikit dong kalau mau ngerjain orang. Mereka selalu seperti itu, kalau saya berencana pulang nggak tenggo (teng and go), tepat waktu. Lampu dimatiin, pintu ditutup. Walaupun saya sangat yakin mereka sadar kalau saya masih di depan komputer.

Susah memang kalau jadi yang paling cantik. Apalagi jadi yang minoritas, di mana-mana minoritas selalu kena serangan bullying. Nggak di sekolah, kos-kosan, pergaulan, parah lagi ini di sebuah tempat dimana di dalamnya orang-orang dewasa berkerja. Kantor. Tapi, ya sudahlah. Mereka pasti sangat menyayangi saya. Jadi, sehari aja nggak rusuh, semenit aja nggak gangguin, nggak ngerjain, mungkin mereka nggak akan bisa tidur. Atau nggak akan ada cerita buat istri mereka di rumah. Semoga saja mereka tidak mendongengi anak-anak sebelum tidur dengan cerita "ayah merasa bahagia telah mem-bully teman di kantor". Bahaya, kan, kalau sampai itu yang terjadi? Mereka akan mencontoh perbuatan tidak bersahaja ayahnya. Duh, Gusti. Ampunilah teman-temanku.
dan pertemukanlah saya dengan jodoh saya. (Katanya doa orang yang teraniaya itu akan dikabulkan). Aamin...

Renjana


Beberapa saat lalu, saya me-retweet cuitan @GagasMedia tentang kosakata "renjana". Saya malu karena baru tahu kosakata itu. Lihat, betapa ternyata saya amat miskin kosakata.
Entah kenapa kata "renjana" ini menjadi menarik. Saya langsung suka dengan pengucapan maupun penulisannya. Apalagi dengan artinya. Kata ini mungkin lebih kita kenal dengan bahasa inggris "passion".
Tahu, kan, ya "passion" apa artinya?
rasa hati yang kuat, kesukaan, kegemaran.
Nah, kebetulan saat ini saya sedang--berusaha--menentukan passion, eh, renjana saya. Sekitar tiga atau empat tahun lalu, renjana saya adalah menulis, menulis, dan menulis. Apa pun saya tulis, sampai bikin blog hampir di semua web penyedia blog gratis, blogdetik, kompasiana, wordpress,--sampe yang udah gulung tikar--multiply, tapi dari semua itu yang terbebas dari sarang laba-laba kayaknya cuma di sini.
Jangan ditanya kalau di sosmed. Dulu, saya aktif sekali. Laman Facebook yang menyediakan page note itu "kotor" dengan tulisan saya. Mulai dari yang penting, sampai yang gak penting atau mending nggak usah ditulis, ada.
Tapi, sekarang? Renjana saya itu ke mana ya? Lihat saja blog ini. Beberapa waktu terakhir hanya diisi resensi buku yang saya edit. Dan itu, sebenernya tulisan di file kerjaan yang saya copy-paste. Xixixi.... Bener-bener memprihatinkan.