Saturday, July 23, 2016

Surat dari Distrik dan Balesannya

Sebelumnya, aku minta maaf karena baru membalas surat kalian sekarang. Dan kenapa aku mengunggahnya di sini, biar blog ini gak sepi tulisan karena aku yang terlalu sibuk dagang, ke kebun, memasak, makan, dan tidur. Padahal, kalian tahu surat kalian sudah aku baca di pesawat saat perjalanan pulang. Udah aku fotoin ya.. Kalian memintaku membacanya di pesawat biar dramatis, kan? Biar kayak di sinetron-sinetron itu, kan? Biar aku nangis sendirian dengan backsound lagu "let me go home..." trus orang di sebelah ngelirik sambil membatin "kirain cuma di sinetron ada adegan seperti ini. Dasar alay!"

Yang pertama surat dari yang paling senior dulu, ya, Kak Enta. Astaga, aku nggak nyangka Kak Enta bisa nulis sebagus itu. Maksud aku bukan bentuk tulisannya, melainkan isi tulisannya, rangkaian kata-katanya. Selama ini Kak Enta yang aku kenal itu emang orangnya cerewet, ramah, periang, dan kayak nggak pernah sedih. Oleh karena cerewetnya yang kebanyakan itu, aku pikir Kak Enta tidak terlalu suka menulis. Tapi ternyata tulisannyaa... terangkai indah. Aku harus ngasih bintang 4 buat surat Kak Enta. Kalo dikasih nilai, 85, deh. Inget, ini yang ngasih nilai mantan editor Salamadani lho ya, Kak.
Oya, mana, sih, suratnya Kak Enta itu? Bentar, aku unggah dulu.


Monday, July 18, 2016

Perjalanan Tanpa Rencana

Adikku yang nomer 4, si Qorry Ainan, biasa dipanggil Kori atau Oi, dan Bapakku hari Sabtu kemarin sudah berbaik hati menemaniku ke Pelabuhan Bima. Aku janjian dengan seorang teman yang datang dari Makassar menuju Lombok dengan sebuah Kapal. Kapal itu ceritanya bakal merapat di Pelabuhan beberapa saat. Nah, aku dan temanku yang sudah lumayan lama tak berjumpa ingin mengambil kesempatan itu. Sampai di Pelabuhan ternyata kapal yang dinaiki temanku belum sampai. Untuk menghubungi temanku itu pun sulit, nomornya tidak aktif karena berada di tengah lautan. Jadi, sambil menunggu kedatangan kapal itu. Kami, aku, Kori, dan Bapak memutuskan untuk berjalan-jalan. Aku dan Bapak sepakat menyerahkan kepada Si Kori yang nyetir (aku bersumpah harus bisa nyetir juga. Masa kalah sama anak ingusan ini. Oke, oke, sekarang dia sudah mau SMA kelas 3) untuk membawa kami ke mana saja. Jadilah kami menempuh perjalanan yang lumayan atau kalau tidak bisa dibilang sangat jauh. Menuju arah utara Kota Bima. Sekalian biar keliatan kapal yang ditunggu karena kapal dari luar kota akan datang dari arah utara.



Friday, July 15, 2016

Pisang

Bingung pisang di rumah banyak banget. Sampai-sampai mau bilang ke orang-orang yang ngasihnya "Om, Tante, Paman, Bibi, aku nggak pelihara monyet atau sejenisnya." Tapi, apalah daya, aku ditakdirkan sebagai anak yang baik dan lemah lembut. Jadi, cuma bisa bilang "Makasih banyak." Dengan senyuman termanis yang kupunya.

Sebagai mantan anak kos yang serba kekurangan, kurang asupan makanan bergizi, kurang minum jamu, kurang pengalaman memasak, kurang tidur, kurang kerjaan, dan kurang kurang lainnya, aku tidak terbiasa membuang-buang makanan. Aku pusing menghadapi pisang dan berbagai hasil kebun sebanyak ini. Kemarin aku sudah membuat pisang goreng, kemarinnya lagi aku bikin kolak dicampur labu, dan hari ini aku kehabisan ide. Cuma bisa digoreng begini aja. Lalu, seolah menemukan permata di sungai, aku menemukan keju di kulkas. Aku pun membubuhkan parutan keju di atasnya. Sambil memarut keju, iseng aku membaca tulisan di kemasannya. Ini kebiasaan burukku. Suka sekali membaca tulisan di kemasan. Kemasan apa saja. Kebiasaan ini terbawa bahkan sampai ke toilet. Karena toilet di rumah bukan toilet kering yang bisa sambil membaca koran, tanganku hanya mampu meraih botol shampoo atau sabun. Aku membaca tulisan dibalik kemasannya walaupun aku sudah membacanya berkali-kali. Harusnya kebiasaan ini bisa membuatku menguasai minimal tiga bahasa asing.

Kembali ke kegiatanku membaca kemasan keju tadi. Oh tidak! Kejunya sudah expired! Aku membaca lagi tulisan itu baik-baik. Benar saja, expired tahun 2015!! Duh, gustii. Pisang keju buatanku 😢😭😭😭

Wednesday, July 13, 2016

Cermin

Aku mematut diri di depan bayangan debu
Kurasa kaca yang ini sungguh besar
Lebih besar dari yang lain

Tak habis pikir
Mengapa tak juga tahu diri
Kaca sebesar apa lagi yang kuperlukan?

Andai bisa terbang
Aku akan berkaca di atas lautan
Atau di sepanjang sungai bening

Setelahnya, kupinta semesta menghalauku
Mengingatkanku
untuk terbang dan berkaca lagi


Sajak Patah Hati

Aku patah hati
Hatiku patah lagi
Ini yang ke sekian kali

Jika memang tak ada obat,
Tolong pinjamkan aku perekat
Sejenis lem atau selotip

Jika memang masih tidak ada,
Benang pun tak apa
Aku akan mencoba menjahitnya

Mungkin akan sedikit terasa sakitnya
Tapi, aku harus tetap mencobanya
Jika tidak ingin hancur ianya

Yang aku percaya
Tuhan sedang bercanda
Agar aku tidak lupa

Karena setelahnya
Aku tidak tahan untuk tidak berairmata
Memanggil-manggil-Nya

Tidak jika di saat aku bahagia
Seringnya aku lupa
Dan tidak tahu diri rupanya

Terimakasih
 untuk kamu yang mematahkannya
Aku tahu, kamu mungkin tidak menyadarinya.

^____^