Melihat
dengan jarak dekat sebenarnya membuat apa yang ingin dilihat semakin tak
terlihat.
Kau
perlu berada di luar garis atau minimal jarak yang jauh agar semua yang kau ingin
lihat bisa terlihat lebih jelas.—Nina Pradani.
Katakanlah saat ini saya sedang
bekerja di sebuah perusahaan roti. Pertama kali—sebelum saya kerja di
sana—sejujurnya saya tidak terlalu familiar dengan nama perusahaan tersebut.
Oke, saya mengatakan, perusaahaan itu tidak terkenal. Tapi, setelah saya berada
di dalamnya, saya menjadi sangat mengenal dan mencintai tempat saya bekerja, saya
berusaha meyakinkan orang-orang di sekitar saya bahwa perusaan ini cukup
terkenal. Tidak hanya itu, entah sejak kapan saya mengakui dan memuji setiap
produk roti yang kami sendiri hasilkan. Saya bahkan sering mengeluh (baca:
menyombongkan diri) tentang betapa sulitnya menciptakan dan membuat roti itu.
Saya ingin orang lain melihat kami selalu menciptakan roti terbaik di sini, tidak
memandang sebelah mata hasil ciptaan kami, dan ciptaan perusahaan roti lainnya.
Kalian sudah nonton film Now You See Me? Saya merekomendasinnya.
Dari film ini saya mulai sadar bahwa kita justru tidak bisa melihat kenyataan
sebenarnya tentang sesuatu yang paling dekat dengan kita, apalagi jika kita
tengah terlibat di dalamnya. Selama ini, saya selalu percaya bahwa produk yang
kami hasilkan itu baik, ya, karena memang itu hasil ciptaan terbaik kami. Oh, come on, itu bukanlah ekspektasi
yang baik, karena kau akan kecewa sendiri setelah melihat yang sebenarnya dari
jarak jauh. Cobalah mundur sedikit, selangkah, dua langkah, tiga langkah, atau
jarak terjauh yang kau bisa. Lalu, coba lihat dan bandingkan ciptaaan
perusahaanmu dengan perusahaan lain. Bagaimana? Milik siapa saja yang berada di
deretan bestseller? Milikmu? Mana?
Oke, ada satu, dua. Well, dua
produkmu termasuk bestseller, dan
sekarang apa? Coba lihat kembali ke dalam, mendekatlah, kau dan teman-temanmu
terlena dengan dua produk bestseller
tadi. Kalian sudah menganggap diri kalian hebat dan terus-menerus mengungkapkan
kehebatan itu berulang kali. Parahnya, entah karena lupa atau tidak ingin
menciptakan sesuatu yang lain, kalian mengulangi produksi lama, atau
menciptakan produk baru, tapi tetap tidak jauh beda jenisnya dari produk yang
sempat bestseller tadi. Sedangkan,
nah, coba mundur lagi tiga atau empat langkah, atau langkah terjauh yang kau
bisa. Lihat, perusahaan lain punya puluhan produk bestseller. Bahkan mereka menciptakan produk bestseller hampir setiap bulan karena mereka selalu punya sesuatu
yang baru. Sedangkan kalian? Waspadalah, terlena itu memang selalu tak
disadari.
Hal yang lebih membuat saya tersentak
sebenarnya adalah saat menerima telepon dari Adik saya baru saja. kebetulan dia
adalah pelahap roti yang baik dan cukup mengenal roti-roti dari berbagai
perusahaan. Tapi, sialnya apa, dia bahkan tidak kenal dengan perusahaan di mana
Kakaknya bekerja. Itu perusahaan yang menjual roti-roti murah itu, ya? Oh,
seandainya, dia ada di depan saya, sudah saya jitak kepalanya. Entahlah, entah
karena Adik saya yang nggak gaul atau apa. Tapi, saya teringat, sebenarnya
tidak hanya Adik saya yang mengatakan hal itu. Dulu saya beranggapan sama.
Beberapa teman saya juga. “Itu perusahaan apa? Rotinya yang mana?” Hikss…. Apa
yang harus saya lakukan untuk membuat perusahaan tempat saya bekerja ini
terkenal tidak hanya di kalangan tertentu. Tapi, di semua kalangan?
Meski demikian, tetap saja saya
tidak bisa memungkiri, perusahaan ini cukup besar. Sangat besar malah. Hanya
kurang terkenal di semua kalangan saja. Dan nggak bagusnya, perusahaan ini
menurut saya terkenal dengan roti-roti murahnya, saya sudah pernah mengatakan
ini pada teman-teman. Jangan terlalu sering menjual roti dengan diskon yang
besar. Roti diskonan itu bisa menurunkan brand.
Karena kesan konsumen secara umum, barang diskonan itu adalah untuk
barang-barang yang tidak laku. [NP]