Tulisan pertama,
hm.. Tulisan pertamaku waktu SD, ya itu tulisan pertama. Waktu itu aku menulis
puisi. Apa judulnya? Aku sudah tidak ingat lagi. Jadi, tidak mungkin aku
ceritakan yang itu. Emm.. waktu MTs juga aku sebenernya sering nulis buat di
Mading. Tapi, aku juga lupa nulis apa saja waktu itu, yang pasti bukan resep
masakan atau tips mencontek yang baik, bukan. Well, aku akan menceritakan
tulisan pertamaku waktu SMA aja, sedikit banyak aku masih ingat, insya Allah. Waktu
itu aku lagi doyan-doyannya bikin cerita, lalu aku minta teman-teman di kelas
untuk membaca dan memberi kritik, tapi aku tidak pernah mau terima kritikan.
Terserah aku dong mau nulis kayak gimana, tulisan, tulisan aku sendiri kok, itu
pikirku dulu. Tapi, aku senang sekaligus malu, mereka mau membacanya sampai selesai,
pake ngantri malah. Sialnya, aku tidak tau mereka suka atau justru pengen
muntah baca cerita-ceritaku. Aku juga tidak tau itu novel atau cerpen, soalnya
kalo disebut cerpen terlalu panjang, kalo disebut novel juga terlalu pendek.
Tuh kaan, mulai deh galau lagi.
Karena itu pula
lah, waktu ada lomba membuat cerpen, teman-teman di kelas menyikut-nyikutku,
menyebut-nyebut namaku, “Nina aja Pak, Nina aja. Dia suka nulis-nulis cerita.
Ini kita udah baca lho pak. Pinter dia bikin cerita pak..” Kebiasaan yang susah
dihilangkan waktu jaman sekolah itu adalah menyebut nama teman, walaupun diri
sendiri pengen ditunjuk. “Siapa yang mau jadi ketua kelas?” “Joko pak, Joko
aja. Dia rajin.” “Siapa yang mau bantu saya nulis di papan?” “Rani pak, Rani
aja, tulisannya bagus.” “Siapa yang mau pulang duluan?” Naah.. kalo yang ini
nggak ada yang nyebut nama teman “Saya pak, Saya!” “Kalau mau pulang duluan,
jawab dulu pertanyaan saya!” Nah lho…
Oh, oke, kembali
ke topik. Jadi, saat itu Pak guru bahasa Indonesia yang sekaligus merangkap
wali kelas kami, langsung meminta ceritaku, katanya mau dibaca dulu. Wah, sial
nih anak-anak. Tahukah kamu, aku nulis ceritanya dimana? Ya dibuku tulis lah,
masa di buku gambar. Buku tulis yang cukup tebal dan sudah lecek itu akhirnya
terpaksa kuserahkan tapi sambil merem, malu.
Keesokan
harinya…
“Nina, ceritamu,
terlalu wah. Buat cerita setting lokal saja. Tokohnya tidak perlu kamu bawa ke
London.”
Gubrak! “Yah, tapi kan saya yang mau ke
sana pak..” dalam hati. “Baik pak. Saya akan tuliskan cerita latar dan setting
di kota ini saja.” Ini ucapan yang beneran keluar.
***
Tulisan saya
yang diikutkan lomba mewakili sekolah itu, Alhamdulillah… akhirnya tidak lolos!
Oke, mau cerita apalagi sekarang? Nggak ada, habis.
tiba2 buntu,,, :'(