Sunday, April 14, 2013

Cerpen (finishing)




Langit Andalusia




“Saya terima nikah dan kawinnya Langit Andalusiana binti Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat Sholat dibayar tunai.”
“Bagaimana? Sah?”
“Sah, sah, Sah…” terdengar suara bersahutan dalam masjid itu.
“Alhamdulillah…” suara mereka kemudian hampir bersamaan.
Setetes air mata mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut mata gadis itu. Gadis yang sengaja didudukkan beberapa jarak di belakang pemuda yang telah mengucapkan kalimat sakral penuh penghargaan untuk calon bidadarinya. Bidadari itu mengenakan gaun semi gamis berwarna putih, jilbab yang juga dihiasi payet-payet putih terbentuk sempurna bak mahkota menutupi kepalanya. Cantik. Itu satu kata yang mampu menggambarkan keelokan lukisan Sang Pencipta yang sedang duduk diapit oleh ibunda dan adiknya itu.

***

Sunday, April 7, 2013

Tulisan pertama (mau ikut lomba)



Tulisan pertama, hm.. Tulisan pertamaku waktu SD, ya itu tulisan pertama. Waktu itu aku menulis puisi. Apa judulnya? Aku sudah tidak ingat lagi. Jadi, tidak mungkin aku ceritakan yang itu. Emm.. waktu MTs juga aku sebenernya sering nulis buat di Mading. Tapi, aku juga lupa nulis apa saja waktu itu, yang pasti bukan resep masakan atau tips mencontek yang baik, bukan. Well, aku akan menceritakan tulisan pertamaku waktu SMA aja, sedikit banyak aku masih ingat, insya Allah. Waktu itu aku lagi doyan-doyannya bikin cerita, lalu aku minta teman-teman di kelas untuk membaca dan memberi kritik, tapi aku tidak pernah mau terima kritikan. Terserah aku dong mau nulis kayak gimana, tulisan, tulisan aku sendiri kok, itu pikirku dulu. Tapi, aku senang sekaligus malu, mereka mau membacanya sampai selesai, pake ngantri malah. Sialnya, aku tidak tau mereka suka atau justru pengen muntah baca cerita-ceritaku. Aku juga tidak tau itu novel atau cerpen, soalnya kalo disebut cerpen terlalu panjang, kalo disebut novel juga terlalu pendek. Tuh kaan, mulai deh galau lagi.
Karena itu pula lah, waktu ada lomba membuat cerpen, teman-teman di kelas menyikut-nyikutku, menyebut-nyebut namaku, “Nina aja Pak, Nina aja. Dia suka nulis-nulis cerita. Ini kita udah baca lho pak. Pinter dia bikin cerita pak..” Kebiasaan yang susah dihilangkan waktu jaman sekolah itu adalah menyebut nama teman, walaupun diri sendiri pengen ditunjuk. “Siapa yang mau jadi ketua kelas?” “Joko pak, Joko aja. Dia rajin.” “Siapa yang mau bantu saya nulis di papan?” “Rani pak, Rani aja, tulisannya bagus.” “Siapa yang mau pulang duluan?” Naah.. kalo yang ini nggak ada yang nyebut nama teman “Saya pak, Saya!” “Kalau mau pulang duluan, jawab dulu pertanyaan saya!” Nah lho…
Oh, oke, kembali ke topik. Jadi, saat itu Pak guru bahasa Indonesia yang sekaligus merangkap wali kelas kami, langsung meminta ceritaku, katanya mau dibaca dulu. Wah, sial nih anak-anak. Tahukah kamu, aku nulis ceritanya dimana? Ya dibuku tulis lah, masa di buku gambar. Buku tulis yang cukup tebal dan sudah lecek itu akhirnya terpaksa kuserahkan tapi sambil merem, malu.
Keesokan harinya…
“Nina, ceritamu, terlalu wah. Buat cerita setting lokal saja. Tokohnya tidak perlu kamu bawa ke London.”
Gubrak! “Yah, tapi kan saya yang mau ke sana pak..” dalam hati. “Baik pak. Saya akan tuliskan cerita latar dan setting di kota ini saja.” Ini ucapan yang beneran keluar.
***
Tulisan saya yang diikutkan lomba mewakili sekolah itu, Alhamdulillah… akhirnya tidak lolos! Oke, mau cerita apalagi sekarang? Nggak ada, habis.


tiba2 buntu,,, :'(
 

Cerpen



Langit Andalusia


“Saya terima nikah dan kawinnya Langit Andalusiana bin Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat Sholat dibayar tunai.”
“Sah, sah, Sah…” terdengar suara bersahutan dalam masjid itu.
“Alhamdulillah…” suara mereka kemudian hampir bersamaan.
Setetes air mata mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut mata gadis itu. Gadis yang sengaja didudukkan beberapa jarak di belakang pemuda yang telah mengucapkan kalimat sakral penuh penghargaan untuk calon bidadarinya. Bidadari itu mengenakan gaun semi gamis berwarna putih, jilbab yang juga dihiasi payet-payet putih terbentuk sempurna bak mahkota menutupi kepalanya. Cantik. Itu satu kata yang mampu menggambarkan keelokan lukisan Sang Pencipta yang sedang duduk diapit oleh ibunda dan adiknya itu.

Editan Cerpen sebelumnya "Badgirl itu Humairah"



Kesan pertama


“KAMU???!” keduanya berujar hampir bersamaan. 
            Untuk yang entah ke berapa kalinya di dunia ini, ungkapan bahwa Dunia hanya selebar daun kelor terbukti lagi. Aira tentu tidak lupa dengan pria menyebalkan itu. Orang yang dulu pernah jadi lawan duet dalam perjalanan karirnya sebagai badgirl. Dan sekarang dia harus mewawancarainya, itu berarti ia harus berbaik-baik padanya, dan sang menejer ini juga yang ternyata ditunggunya sejak tadi pagi, hingga baru bisa ditemui sesore ini. Menyebalkan bukan? ‘Oh mai God.. mimpi apa aku semalam? apakah aku salah baca doa keluar rumah tadi?’ Aira membatin.
Kalimat yang terakhir itu bohong besar. Apalagi tentang doa itu, ia sedang berdusta pemirsa. Doanya justru harus makin dimantapkan. Aira bukannya tidak senang bin bahagia bertemu setan ganteng ini lagi. Setelah pertemuan pertamanya di Toko Buku itu, setan ganteng ini terus saja menghantuinya, nggak pagi, nggak siang, nggak malam, nggak lagi di kantor, di kos, di pasar, di jalan, sebelum tidur, bangun tidur, lagi ngaca, lagi gosok gigi, bahkan lagi sholat pun setan ini selalu datang menggodanya, menari-nari di otaknya sampai-sampai terkadang dia lupa sudah tahiyyat awal atau belum, parah kan?

Saturday, April 6, 2013


“Responsibility”






Tipe : Short Story (Cerpen, Ina.edited)
Genre : Fiction
By : Nina Pradani

Judul di atas bukan judul bab di buku Kewarganegaraan, atau nama lamanya PPKN, atau namanya yang duluuuuu sekali PMP, bukan. Bukan pula sedang belajar adjective bahasa inggris. Aku ingin menceritakan kisahku, itu saja.