“Saya terima
nikah dan kawinnya Langit Andalusiana bin Farhan Abdurrahman dengan mas kawin
seperangkat alat Sholat dibayar tunai.”
“Sah, sah, Sah…”
terdengar suara bersahutan dalam masjid itu.
“Alhamdulillah…”
suara mereka kemudian hampir bersamaan.
Setetes air mata
mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut mata gadis itu. Gadis yang
sengaja didudukkan beberapa jarak di belakang pemuda yang telah mengucapkan
kalimat sakral penuh penghargaan untuk calon bidadarinya. Bidadari itu mengenakan
gaun semi gamis berwarna putih, jilbab yang juga dihiasi payet-payet putih
terbentuk sempurna bak mahkota menutupi kepalanya. Cantik. Itu satu kata yang
mampu menggambarkan keelokan lukisan Sang Pencipta yang sedang duduk diapit
oleh ibunda dan adiknya itu.
***
Enam
bulan yang lalu…
“Kamar lu di
atas, yang ini kamar gue.” Mereka melewati satu kamar dekat ruang tengah, dan
menaiki tangga yang berbentuk melingkar seperti ular itu. Awan menunjukkan
kamar untuk Langit yang ada di lantai dua. “Bawaan lu berat banget sih, apaan
aja nih?!” gerutu Awan meletakkan koper yang dibawa Langit setelah mereka
sampai di depan pintu kamar yang tertempel sticker Parental Advisory. Gadis
itu tidak menyahut, matanya berkeliaran, memperhatikan seluruh seluk beluk
ruangan dan hiasannya, gayanya seperti seorang seniman yang sedang mengagumi
hasil karya arsitek ternama. Benar sekali, Awan yang bernama lengkap Muhammad
Rengga Darmawan itu adalah seorang arsitek muda yang karirnya baru saja
dimulai. Dimulai dengan menciptakan rumahnya sendiri.
“Yakin ini
lantai atas lu desain sendiri juga? Keren, keren.” Langit menjawab sendiri
pertanyaannya. “Eh, emang gak papa kalo gue tinggal di sini, Wan?”
“Gak papa lah,
santai aja.”
“Lu gak bakal
ngapa-ngapain gue kan?”
“Enak aja!” Satu
jitakan mendarat di kepala Langit. “yang ada juga gue yang takut lu apa-apain.
Lu kan udah sabuk merah!” Awan menyandarkan punggung di sofa Coklat tua buatan
italia yang diletakan di tengah-tengah ruangan lantai dua ini. “Tapi, kalo
emang lu mau bener-bener aman, ada syaratnya.” Awan menyilang kedua kakinya di
atas meja. “Pertama, lu harus masakin gue tiap hari. Kedua, bersih-bersih
rumah, seluruh ruangan, juga halaman depan-belakang. Ketiga, hmm.. itu aja
dulu. Ntar gue pikirin lagi.”
“Sarap lu ya! Lu
pikir ini filem korea. Itu sih sama aja gue jadi budak lu.”
“Terserah, kalo
gak terima, gue ga bisa jamin keamanan lu. Karena pertama-tama gue bakal usir
lu beberapa saat lagi.” Awan mengganti posisinya, ia berbaring di sofa itu,
matanya terpejam angkuh. Sedangkan Langit hanya bisa menggerutu pasrah.
Sekarang dia memang benar-benar butuh tempat tinggal. Setidaknya untuk
sementara waktu sampai mendapatkan tempat kos baru yang aman. Dan sampai
traumanya benar-benar hilang.
Dua hari yang
lalu, di kos Langit ada kejadian yang menggemparkan seluruh kampung. Bahkan sampai
terdengar hingga ke kantor mereka. Sekitar pukul 11 malam, saat itu Langit
sudah tertidur pulas ketika tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan penutup
kepala seperti ninja masuk ke kamarnya. Langit memang suka teledor, bukan kali
ini saja ia tidak mengunci kamar. Sebenarnya dia belum akan tidur, tapi ia
lebih sering tertidur dan biasa terbangun tengah malam nanti. Rupanya laki-laki
berninja tadi ingin berbuat jahat terhadapnya. Tapi, untungnya Langit yang
merasakan ada orang lain duduk di kasur springbednya terbangun dan langsung
berdiri memasang kuda-kuda. Tangannya mencari-cari tombol lampu. Sebelum semua
orang terbangun karena mendengar teriakan Langit, orang itu meraih celananya
jeansnya yang tergeletak di lantai, kemudian langsung melesat kabur.
Kejadian itu
benar-benar membuat Langit trauma, tidak hanya itu, Langit juga merasa sangat malu,
ia benar-benar terpukul. Dua hari dia tidak masuk kantor dan hanya mengunci
diri dalam kamar. Sampai Awan teman sekantornya datang menjemput di kosnya pagi
ini. Langit, Awan, juga kedua temannya Bima dan Odi bersahabat akrab sejak
mereka memulai karir sebagai Arsitek di Perusahaan Desain Interior ini. Setelah
berembuk Awan, Bima, dan Odi sepakat bahwa untuk sementara bidadari mereka,
Langit, akan tinggal di rumah Awan. Jarak rumah Bima dan Odi jauh dari kantor,
mereka juga masih tinggal dengan orang tua mereka yang merasa keberatan untuk
menampung Langit, mereka memikirkan apa kata tetangga. Jadilah rumah Awan
sebagai pilihan terakhir. Selain dekat dari kantor, Awan juga tinggal sendiri
di rumah minimalis bergaya Spanyol yang dibangun di komplek perumahan. Hanya
saja waktu melapor ke pak RT, mereka harus berbohong, mengaku saudara sepupuan
demi mendapatkan ijin.
***
Seminggu
berlalu, Langit masih tinggal di rumah Awan. Sebenarnya dia merasa tidak nyaman,
apalagi mendengar desas-desus di kantor yang tentunya menyudutkan dirinya,
mereka dikatakan “kumpul kebo.” Langit hanya bisa mengelus dada. Terlebih lagi,
Awan, Bima dan Odi selalu membelanya di depan teman-teman kantor yang lain.
Akan tetapi, traumanya masih belum benar-benar hilang, Ketiga sahabatnya belum
mendapatkan tempat kos yang aman untuk Langit, di kota ini cukup sulit mencari
kos-kosan khusus cewek. Di daerah dekat kantor apalagi, kebanyakan kos-kosan
campur cewek-cowok meskipun terlihat aman. Langit tidak mau masuk ke lubang
Harimau untuk kedua kali, dia sudah cukup trauma dengan kos lamanya yang campur
cewek-cowok. Sekarang kalau pun ada kos khusus cewek, kosnya udah penuh semua. Intinya
Langit masih tinggal di rumah Awan.
“Bengong aja
lu!”
“Masya Allohh…!”
Langit terlonjak kaget. “Busset dahh…! Lu mau bikin gue jantungan!” Langit yang
dari tadi melamun di kursi ayunan taman belakang rumah itu tentu saja kaget
ketika Awan tiba-tiba muncul di belakangnya, tak ada suara langkah kaki.
“Lebay lu.” Awan
mengambil tempat di sisi kanan Langit. “Mau?” ia menawarkan brownis yang baru
saja diambilnya dari kulkas.
“Lha itu kan
brownis bikinan gue tadi? Kenapa lu makan?”
“Lho? emang
kenapa? Ini emang buat dimakan kan?”
“Iyaa, tapi itu
bukan buat eluu..!” dengan gemas Langit mengambil loyang Brownis di tangan
Awan. “Ini kan buat Bima sama Odi, mereka udah rela capek-capek bantuin gue
keliling nyari kosan. Nah elu? Mana? malah sibuk sendiri, sama sekali ga
bantuin kita.”
“Ya elaah..
pelit amat! Gue lagi banyak proyek dadakan dari Bos.”
“Iya deh yang
jam terbangnya udah tinggi, anak emas si Bos.” Langit mencibir. “Nih, gue kasih
sepotong aja, buat ucapan makasih lu udah mau nampung gue di sini.”
“Suapin dong!”
“Ogah! Kalo gak
mau ya udah.” Langit memasukkan potongan brownis ke mulutnya sendiri. Tiba-tiba
bel dari pintu depan berbunyi. Keduanya saling pandang, lalu sama-sama
mengangkat bahu.
“Biar gue yang
bukain pintu. Pelit!” Awan meledek.
***
Awan merasa
sedikit terkejut ketika membuka pintu ada banyak orang di depan rumahnya,
sekitar lima atau tujuh orang, Awan tidak sempat menghitung jumlahnya. Tumben orang-orang ini bertamu. Awan
membatin.
“Pak RT? Tumben
pak? Ada kegiatan apa nih Pak rame-rame?” Sambut Awan sopan, gerakan tangannya mempersilakan
tamunya masuk. Ia tidak sadar kalau raut wajah tamunya sedang tidak ramah.
“Gak perlu mas
Awan. Terima kasih. Kami disini saja. Tujuan kami kesini ingin menanyakan
mengenai sepupu mas Awan.” Ujar Pak RT tanpa basa-basi.
“Kami tahu mbak
yang tinggal disini bukan sepupu Mas Awan, kan!?” Seorang bapak-bapak tetangga
tidak jauh dari rumahnya terlihat emosi. Tapi, Awan masih bersikap tenang.
Tidak terlihat sedikit pun kegusaran atau kepanikan di wajahnya, meskipun dalam
hatinya bertanya-tanya, siapa yang memberitahu warga? Berbeda dengan Langit
yang mendengar suara pak RT dari dapur, hampir saja ia menjatuhkan gelas
minumannya, perasaannya tidak tenang, ia jalan mondar-mandir, tapi tidak
mungkin untuk menampakkan diri. Ia memilih di dalam saja sebelum Awan yang
memanggilnya untuk keluar.
“Iya! Kenapa kalian
membohongi pak RT dengan mengaku sepupu? Bisa-bisanya kalian tinggal serumah
padahal bukan saudara, bukan suami-istri! Kalian sudah mengotori komplek kamu.”
yang lain menimpali dengan emosi yang tak kalah.
“Sebelumnya saya
minta maaf pak RT dan juga bapak-bapak karena saya sudah mengenalkan identitas
yang tidak benar mengenai teman saya. Kami tidak bermaksud untuk berbohong
sebenarnya. Kami kuatir tidak diberi ijin. Tapi, teman saya ini hanya sementara
tinggal di sini. Karena dia belum mendapatkan tempat kos yang baru.” Awan
berusaha menjelaskan. Batinnya tidak mungkin menceritakan keseluruhan kejadian
yang dialami Langit pada mereka. Langit pasti akan sangat terpukul.
“Tapi, kenapa
nggak bilang dari awal? Sudahlah Pak RT, kita usir saja mereka. Anak muda jaman
sekarang emang banyak tingkah, nggak bisa membedakan mana yang salah dan mana
yang bener!” Salah seorang mengkompori.
“Sekali lagi
saya minta maaf, saya akui saya salah karena telah berbohong. Tapi, sungguh,
saya hanya berniat menolong teman. Saya kira bapak-bapak sudah kenal saya. Apa
saya pernah membawa teman perempuan selain teman saya ini?”
“Yaa mana kita
tau ya? Iya kan?”
“Eh, iya juga
sih, saya tahu kok paling yang main ke sini ya teman-temannya yang tiga orang
itu.” Tetangga sebelah rumah menyahut perkataan Awan.
“Percayalah
bapak-bapak, Kami tidak melakukan apa-apa. Saya tinggal di lantai bawah dan
teman saya di lantai atas.”
“Tapi, ya tetap
aja salah, Mas!” masih mengompori.
“Begini, saya
juga minta maaf nih mas Awan, saya khawatir dengan kerisauan warga disini. Saya
juga tidak ingin warga disini merasa terganggu jika ada yang melanggar
peraturan yang telah disepakati bersama. Teman mas Awan sudah cukup lama
tinggal disini. Rencananya mau sampai kapan?”
“Saya mengerti
Pak, tapi, baiklah, begini saja, saya minta pengertiannya sampai besok. Besok
kami akan usahakan sudah dapat tempat kosnya.”
“Wah, nggak bisa
Mas, Kami khawatir warga yang lain nanti malah ngamuk. Ini kami masih datang
berbicara baik-baik.”
“Ehm, maaf
sebelumnya. Bapak-bapak dan pak RT tenang saja, tolong jangan salahkan teman
saya, dia nggak salah. Malam ini juga saya akan pergi dari sini.” Langit tidak
tahan untuk tidak menampakkan diri.
“Heh, lu mau
tidur dimana? Di jalan?” Awan setengah membentak.
“Udah lah Wan,
gue nggak enak juga kayak gini. Gue gak apa-apa kok, gue akan cari penginapan
di luar buat sementara.” Langit meyakinkan. Awan tidak mengindahkan perkataan
Langit.
“Gini pak RT,
terpaksa saya harus jelaskan masalah sebenarnya, teman saya ini sedang tidak
aman, dia pindah dari kosnya yang lama karena ada psikopat yang suka
mengikutinya. Saya tidak bisa membiarkannya tinggal sendirian di luar.” Wajah
bapak-bapak itu sebagian berubah simpatik. “Psikopat itu selalu mengikutinya
kemana-mana. Untungnya sampai saat ini, dia belum berani ke sini.” Awan mencoba
menjelaskan. Langit mendengar ucapan Awan itu tiba-tiba ada perasaan aneh
mendesir seperti angin, Langit tak menyangka Awan sangat peduli padanya.
“Emm.. ya sudah,
begini saja, bagaimana kalau mbak ini sementara tinggal di rumah saya saja. Di
rumah ada istri dan anak perempuan saya. Saya rasa mbak akan aman. Gimana?” Pak
RT memberi solusi.
“Baiklah, kalo
begitu saya setuju, Pak.” Ucap Awan merasa lega.
“Iya, di rumah
pak RT aja sementara, Dek.” Seorang bapak-bapak menepuk bahu Langit, turut prihatin.
“Mbaknya cantik
sih.. makanya nggak heran kalo dikejar-kejar.” Salah seorang diantara mereka
yang terlihat paling muda menyahut genit. Disambut tawa yang lain.
Setelah
mengambil tas dan jaket, Langit pun ikut ke rumah pak RT diantar juga oleh
Awan.
***
Keesokan
harinya, Awan dan Langit dalam perjalanan menuju rumah Pak RT, setelah lelah
mencari kos-kosan dari sore sepulang kantor hingga malam begini.
“Lu tau kenapa gue sebenernya ga mau nyariin
kosan buat lu,” Awan menoleh, dipandanginya wajah Langit lekat namun sekilas.
“gue pengen lu tetep tinggal sama gue di rumah itu, selamanya. Lu mau kan?”
Raut wajah
Langit terkejut penuh tanda tanya, Dia sudah tahu ke arah mana pembicaraan
Awan. Siapa sih yang gak suka dilamar sama lelaki super tampan seperti Awan?
Jadi, idola cewek-cewek sekantor. Bisa bersahabat dengan mereka aja Langit
sudah senang sekali. Awan, Bima, dan Odi ibarat hiasan antik di kantor itu.
Ketiganya sama-sama kece. Tampan dan cerdas. Sayang sekali mereka alergi dengan
cewek agresif. Dari semua cewek yang ada di kantor (meskipun jumlah cewek emang
sedikit) hanya Langit yang terlihat cuek-cuek saja dengan mereka. Karena memang
Langit tidak perlu meng-agresif-kan diri, mereka berempat sudah dipasangkan
dalam satu bidang.
“Malah bengong. Gue
bisa liat dari tatapan lu ke gue selama ini. Lu ga usah bilang juga gue tau.
Sejak awal kita berteman sebenernya gue emang tertarik sama lu. Gue seneng kita
bisa bersahabat. Waktu gue sakit, gue tau lu khawatir, tapi lu ga liatin, lu
malah marah-marahin gue.” Awan menatap lekat wajah Langit sekilas, lalu kembali
melemparkan pandangannya ke angkasa. “Tapi, waktu Bima kecelakaan, gue sempet
cemburu liat lu peduli banget sama Bima, tiap hari lu jengukin dia, bahkan lu
juga sampe ikutan nginep buat jagain Bima. Tapi, gue tahu lu emang sahabat yang
peduli sama kita.”
Langit masih
terdiam memandang wajah lelaki tampan yang sedang mengungkapkan perasaan di
depannya, yang berbicara tanpa melihatnya. Pikiran mereka masing-masing
melayang ke beberapa waktu lalu. Bima hampir mau bunuh diri, gara-gara salah
diagnosa dokter yang mengatakan kaki kanannya bakal lumpuh total. Padahal
ternyata enggak.
“Gue juga gak
tau sejak kapan gue mikirin ini. yang pasti sejak lu masuk ke kehidupan kita,
gue merasa semua jadi lebih beda. Ada dan gak adanya lu diantara kita itu beda.
Tadinya gue pikir ini hanya perasaan sebagai sahabat. Tapi, semakin ke sini,
gue selalu pengen ada di deket lu. Gue pengen lu tetep tinggal sama gue di
sini, Ngit. Lu mau kan nikah sama gue?” Lanjut Awan menatap kembali wajah
Langit yang juga menatapnya tanpa ekspresi.
“Maaf, Awan.
Tapi, gue cintanya sama Bima.”
Raut wajah Awan
berubah tak terdefinisikan. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyerang rumahnya
di bawah cerahnya angkasa malam itu. Bintang-bintang seperti sedang tertawa
mengejek dirinya. Awan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya seperti
langsung ditusuk sembilu. Jawaban Langit tidak pernah terbayang sebelumnya.
Lalu apa arti perhatian Langit pada dirinya selama ini? Harusnya dia memang
sadar kalau Langit memang perhatian pada mereka semua, tidak hanya pada
dirinya. Kecemburuannya pada Bima memang tidak salah.
“A, ap, apa..?”
Awan terbata-bata mencoba meyakinkan dirinya. Matanya berkaca-kaca.
“Maaf Wan, gue
minta maaf. Dari dulu gue udah cinta sama Bima, sejak pertama kita bertemu. Lu
terlalu sempurna buat gue Wan. Cewek-cewek cantik di luar sana sedang mengantri
buat lu, kenapa lu malah pengen nikah sama gue yang biasa-biasa aja?”
“Tapi, lu tau
kan Bima naksir anak HRD, bahkan lu ikut nyomblangin?”
“Tak apa, gue
bahagia kalo Bima juga bahagia. Haha… Itu ungkapan paling basi, iya gak sih?”
Langit menertawakan ucapannya sendiri. Awan hanya terdiam tak merespon, ia
manggut-manggut memalingkan wajahnya ke arah lain, seperti menahan perih.


No comments:
Post a Comment