Sunday, April 7, 2013

Cerpen



Langit Andalusia


“Saya terima nikah dan kawinnya Langit Andalusiana bin Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat Sholat dibayar tunai.”
“Sah, sah, Sah…” terdengar suara bersahutan dalam masjid itu.
“Alhamdulillah…” suara mereka kemudian hampir bersamaan.
Setetes air mata mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut mata gadis itu. Gadis yang sengaja didudukkan beberapa jarak di belakang pemuda yang telah mengucapkan kalimat sakral penuh penghargaan untuk calon bidadarinya. Bidadari itu mengenakan gaun semi gamis berwarna putih, jilbab yang juga dihiasi payet-payet putih terbentuk sempurna bak mahkota menutupi kepalanya. Cantik. Itu satu kata yang mampu menggambarkan keelokan lukisan Sang Pencipta yang sedang duduk diapit oleh ibunda dan adiknya itu.



***
Enam bulan yang lalu…
“Kamar lu di atas, yang ini kamar gue.” Mereka melewati satu kamar dekat ruang tengah, dan menaiki tangga yang berbentuk melingkar seperti ular itu. Awan menunjukkan kamar untuk Langit yang ada di lantai dua. “Bawaan lu berat banget sih, apaan aja nih?!” gerutu Awan meletakkan koper yang dibawa Langit setelah mereka sampai di depan pintu kamar yang tertempel sticker Parental Advisory. Gadis itu tidak menyahut, matanya berkeliaran, memperhatikan seluruh seluk beluk ruangan dan hiasannya, gayanya seperti seorang seniman yang sedang mengagumi hasil karya arsitek ternama. Benar sekali, Awan yang bernama lengkap Muhammad Rengga Darmawan itu adalah seorang arsitek muda yang karirnya baru saja dimulai. Dimulai dengan menciptakan rumahnya sendiri.
“Yakin ini lantai atas lu desain sendiri juga? Keren, keren.” Langit menjawab sendiri pertanyaannya. “Eh, emang gak papa kalo gue tinggal di sini, Wan?”
“Gak papa lah, santai aja.”
“Lu gak bakal ngapa-ngapain gue kan?”
“Enak aja!” Satu jitakan mendarat di kepala Langit. “yang ada juga gue yang takut lu apa-apain. Lu kan udah sabuk merah!” Awan menyandarkan punggung di sofa Coklat tua buatan italia yang diletakan di tengah-tengah ruangan lantai dua ini. “Tapi, kalo emang lu mau bener-bener aman, ada syaratnya.” Awan menyilang kedua kakinya di atas meja. “Pertama, lu harus masakin gue tiap hari. Kedua, bersih-bersih rumah, seluruh ruangan, juga halaman depan-belakang. Ketiga, hmm.. itu aja dulu. Ntar gue pikirin lagi.”
“Sarap lu ya! Lu pikir ini filem korea. Itu sih sama aja gue jadi budak lu.”
“Terserah, kalo gak terima, gue ga bisa jamin keamanan lu. Karena pertama-tama gue bakal usir lu beberapa saat lagi.” Awan mengganti posisinya, ia berbaring di sofa itu, matanya terpejam angkuh. Sedangkan Langit hanya bisa menggerutu pasrah. Sekarang dia memang benar-benar butuh tempat tinggal. Setidaknya untuk sementara waktu sampai mendapatkan tempat kos baru yang aman. Dan sampai traumanya benar-benar hilang.
Dua hari yang lalu, di kos Langit ada kejadian yang menggemparkan seluruh kampung. Bahkan sampai terdengar hingga ke kantor mereka. Sekitar pukul 11 malam, saat itu Langit sudah tertidur pulas ketika tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan penutup kepala seperti ninja masuk ke kamarnya. Langit memang suka teledor, bukan kali ini saja ia tidak mengunci kamar. Sebenarnya dia belum akan tidur, tapi ia lebih sering tertidur dan biasa terbangun tengah malam nanti. Rupanya laki-laki berninja tadi ingin berbuat jahat terhadapnya. Tapi, untungnya Langit yang merasakan ada orang lain duduk di kasur springbednya terbangun dan langsung berdiri memasang kuda-kuda. Tangannya mencari-cari tombol lampu. Sebelum semua orang terbangun karena mendengar teriakan Langit, orang itu meraih celananya jeansnya yang tergeletak di lantai, kemudian langsung melesat kabur.
Kejadian itu benar-benar membuat Langit trauma, tidak hanya itu, Langit juga merasa sangat malu, ia benar-benar terpukul. Dua hari dia tidak masuk kantor dan hanya mengunci diri dalam kamar. Sampai Awan teman sekantornya datang menjemput di kosnya pagi ini. Langit, Awan, juga kedua temannya Bima dan Odi bersahabat akrab sejak mereka memulai karir sebagai Arsitek di Perusahaan Desain Interior ini. Setelah berembuk Awan, Bima, dan Odi sepakat bahwa untuk sementara bidadari mereka, Langit, akan tinggal di rumah Awan. Jarak rumah Bima dan Odi jauh dari kantor, mereka juga masih tinggal dengan orang tua mereka yang merasa keberatan untuk menampung Langit, mereka memikirkan apa kata tetangga. Jadilah rumah Awan sebagai pilihan terakhir. Selain dekat dari kantor, Awan juga tinggal sendiri di rumah minimalis bergaya Spanyol yang dibangun di komplek perumahan. Hanya saja waktu melapor ke pak RT, mereka harus berbohong, mengaku saudara sepupuan demi mendapatkan ijin.
***
Seminggu berlalu, Langit masih tinggal di rumah Awan. Sebenarnya dia merasa tidak nyaman, apalagi mendengar desas-desus di kantor yang tentunya menyudutkan dirinya, mereka dikatakan “kumpul kebo.” Langit hanya bisa mengelus dada. Terlebih lagi, Awan, Bima dan Odi selalu membelanya di depan teman-teman kantor yang lain. Akan tetapi, traumanya masih belum benar-benar hilang, Ketiga sahabatnya belum mendapatkan tempat kos yang aman untuk Langit, di kota ini cukup sulit mencari kos-kosan khusus cewek. Di daerah dekat kantor apalagi, kebanyakan kos-kosan campur cewek-cowok meskipun terlihat aman. Langit tidak mau masuk ke lubang Harimau untuk kedua kali, dia sudah cukup trauma dengan kos lamanya yang campur cewek-cowok. Sekarang kalau pun ada kos khusus cewek, kosnya udah penuh semua. Intinya Langit masih tinggal di rumah Awan.
“Bengong aja lu!”
“Masya Allohh…!” Langit terlonjak kaget. “Busset dahh…! Lu mau bikin gue jantungan!” Langit yang dari tadi melamun di kursi ayunan taman belakang rumah itu tentu saja kaget ketika Awan tiba-tiba muncul di belakangnya, tak ada suara langkah kaki.
“Lebay lu.” Awan mengambil tempat di sisi kanan Langit. “Mau?” ia menawarkan brownis yang baru saja diambilnya dari kulkas.
“Lha itu kan brownis bikinan gue tadi? Kenapa lu makan?”
“Lho? emang kenapa? Ini emang buat dimakan kan?”
“Iyaa, tapi itu bukan buat eluu..!” dengan gemas Langit mengambil loyang Brownis di tangan Awan. “Ini kan buat Bima sama Odi, mereka udah rela capek-capek bantuin gue keliling nyari kosan. Nah elu? Mana? malah sibuk sendiri, sama sekali ga bantuin kita.”
“Ya elaah.. pelit amat! Gue lagi banyak proyek dadakan dari Bos.”
“Iya deh yang jam terbangnya udah tinggi, anak emas si Bos.” Langit mencibir. “Nih, gue kasih sepotong aja, buat ucapan makasih lu udah mau nampung gue di sini.”
“Suapin dong!”
“Ogah! Kalo gak mau ya udah.” Langit memasukkan potongan brownis ke mulutnya sendiri. Tiba-tiba bel dari pintu depan berbunyi. Keduanya saling pandang, lalu sama-sama mengangkat bahu.
“Biar gue yang bukain pintu. Pelit!” Awan meledek.
***
Awan merasa sedikit terkejut ketika membuka pintu ada banyak orang di depan rumahnya, sekitar lima atau tujuh orang, Awan tidak sempat menghitung jumlahnya. Tumben orang-orang ini bertamu. Awan membatin.
“Pak RT? Tumben pak? Ada kegiatan apa nih Pak rame-rame?” Sambut Awan sopan, gerakan tangannya mempersilakan tamunya masuk. Ia tidak sadar kalau raut wajah tamunya sedang tidak ramah.
“Gak perlu mas Awan. Terima kasih. Kami disini saja. Tujuan kami kesini ingin menanyakan mengenai sepupu mas Awan.” Ujar Pak RT tanpa basa-basi.
“Kami tahu mbak yang tinggal disini bukan sepupu Mas Awan, kan!?” Seorang bapak-bapak tetangga tidak jauh dari rumahnya terlihat emosi. Tapi, Awan masih bersikap tenang. Tidak terlihat sedikit pun kegusaran atau kepanikan di wajahnya, meskipun dalam hatinya bertanya-tanya, siapa yang memberitahu warga? Berbeda dengan Langit yang mendengar suara pak RT dari dapur, hampir saja ia menjatuhkan gelas minumannya, perasaannya tidak tenang, ia jalan mondar-mandir, tapi tidak mungkin untuk menampakkan diri. Ia memilih di dalam saja sebelum Awan yang memanggilnya untuk keluar.
“Iya! Kenapa kalian membohongi pak RT dengan mengaku sepupu? Bisa-bisanya kalian tinggal serumah padahal bukan saudara, bukan suami-istri! Kalian sudah mengotori komplek kamu.” yang lain menimpali dengan emosi yang tak kalah.
“Sebelumnya saya minta maaf pak RT dan juga bapak-bapak karena saya sudah mengenalkan identitas yang tidak benar mengenai teman saya. Kami tidak bermaksud untuk berbohong sebenarnya. Kami kuatir tidak diberi ijin. Tapi, teman saya ini hanya sementara tinggal di sini. Karena dia belum mendapatkan tempat kos yang baru.” Awan berusaha menjelaskan. Batinnya tidak mungkin menceritakan keseluruhan kejadian yang dialami Langit pada mereka. Langit pasti akan sangat terpukul.
“Tapi, kenapa nggak bilang dari awal? Sudahlah Pak RT, kita usir saja mereka. Anak muda jaman sekarang emang banyak tingkah, nggak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang bener!” Salah seorang mengkompori.
“Sekali lagi saya minta maaf, saya akui saya salah karena telah berbohong. Tapi, sungguh, saya hanya berniat menolong teman. Saya kira bapak-bapak sudah kenal saya. Apa saya pernah membawa teman perempuan selain teman saya ini?”
“Yaa mana kita tau ya? Iya kan?”
“Eh, iya juga sih, saya tahu kok paling yang main ke sini ya teman-temannya yang tiga orang itu.” Tetangga sebelah rumah menyahut perkataan Awan.
“Percayalah bapak-bapak, Kami tidak melakukan apa-apa. Saya tinggal di lantai bawah dan teman saya di lantai atas.”
“Tapi, ya tetap aja salah, Mas!” masih mengompori.
“Begini, saya juga minta maaf nih mas Awan, saya khawatir dengan kerisauan warga disini. Saya juga tidak ingin warga disini merasa terganggu jika ada yang melanggar peraturan yang telah disepakati bersama. Teman mas Awan sudah cukup lama tinggal disini. Rencananya mau sampai kapan?”
“Saya mengerti Pak, tapi, baiklah, begini saja, saya minta pengertiannya sampai besok. Besok kami akan usahakan sudah dapat tempat kosnya.”
“Wah, nggak bisa Mas, Kami khawatir warga yang lain nanti malah ngamuk. Ini kami masih datang berbicara baik-baik.”
“Ehm, maaf sebelumnya. Bapak-bapak dan pak RT tenang saja, tolong jangan salahkan teman saya, dia nggak salah. Malam ini juga saya akan pergi dari sini.” Langit tidak tahan untuk tidak menampakkan diri.
“Heh, lu mau tidur dimana? Di jalan?” Awan setengah membentak.
“Udah lah Wan, gue nggak enak juga kayak gini. Gue gak apa-apa kok, gue akan cari penginapan di luar buat sementara.” Langit meyakinkan. Awan tidak mengindahkan perkataan Langit.
“Gini pak RT, terpaksa saya harus jelaskan masalah sebenarnya, teman saya ini sedang tidak aman, dia pindah dari kosnya yang lama karena ada psikopat yang suka mengikutinya. Saya tidak bisa membiarkannya tinggal sendirian di luar.” Wajah bapak-bapak itu sebagian berubah simpatik. “Psikopat itu selalu mengikutinya kemana-mana. Untungnya sampai saat ini, dia belum berani ke sini.” Awan mencoba menjelaskan. Langit mendengar ucapan Awan itu tiba-tiba ada perasaan aneh mendesir seperti angin, Langit tak menyangka Awan sangat peduli padanya.
“Emm.. ya sudah, begini saja, bagaimana kalau mbak ini sementara tinggal di rumah saya saja. Di rumah ada istri dan anak perempuan saya. Saya rasa mbak akan aman. Gimana?” Pak RT memberi solusi.
“Baiklah, kalo begitu saya setuju, Pak.” Ucap Awan merasa lega.
“Iya, di rumah pak RT aja sementara, Dek.” Seorang bapak-bapak menepuk bahu Langit, turut prihatin.
“Mbaknya cantik sih.. makanya nggak heran kalo dikejar-kejar.” Salah seorang diantara mereka yang terlihat paling muda menyahut genit. Disambut tawa yang lain.
                Setelah mengambil tas dan jaket, Langit pun ikut ke rumah pak RT diantar juga oleh Awan.
***
                Keesokan harinya, Awan dan Langit dalam perjalanan menuju rumah Pak RT, setelah lelah mencari kos-kosan dari sore sepulang kantor hingga malam begini.
 “Lu tau kenapa gue sebenernya ga mau nyariin kosan buat lu,” Awan menoleh, dipandanginya wajah Langit lekat namun sekilas. “gue pengen lu tetep tinggal sama gue di rumah itu, selamanya. Lu mau kan?”
Raut wajah Langit terkejut penuh tanda tanya, Dia sudah tahu ke arah mana pembicaraan Awan. Siapa sih yang gak suka dilamar sama lelaki super tampan seperti Awan? Jadi, idola cewek-cewek sekantor. Bisa bersahabat dengan mereka aja Langit sudah senang sekali. Awan, Bima, dan Odi ibarat hiasan antik di kantor itu. Ketiganya sama-sama kece. Tampan dan cerdas. Sayang sekali mereka alergi dengan cewek agresif. Dari semua cewek yang ada di kantor (meskipun jumlah cewek emang sedikit) hanya Langit yang terlihat cuek-cuek saja dengan mereka. Karena memang Langit tidak perlu meng-agresif-kan diri, mereka berempat sudah dipasangkan dalam satu bidang.
“Malah bengong. Gue bisa liat dari tatapan lu ke gue selama ini. Lu ga usah bilang juga gue tau. Sejak awal kita berteman sebenernya gue emang tertarik sama lu. Gue seneng kita bisa bersahabat. Waktu gue sakit, gue tau lu khawatir, tapi lu ga liatin, lu malah marah-marahin gue.” Awan menatap lekat wajah Langit sekilas, lalu kembali melemparkan pandangannya ke angkasa. “Tapi, waktu Bima kecelakaan, gue sempet cemburu liat lu peduli banget sama Bima, tiap hari lu jengukin dia, bahkan lu juga sampe ikutan nginep buat jagain Bima. Tapi, gue tahu lu emang sahabat yang peduli sama kita.”
Langit masih terdiam memandang wajah lelaki tampan yang sedang mengungkapkan perasaan di depannya, yang berbicara tanpa melihatnya. Pikiran mereka masing-masing melayang ke beberapa waktu lalu. Bima hampir mau bunuh diri, gara-gara salah diagnosa dokter yang mengatakan kaki kanannya bakal lumpuh total. Padahal ternyata enggak.
“Gue juga gak tau sejak kapan gue mikirin ini. yang pasti sejak lu masuk ke kehidupan kita, gue merasa semua jadi lebih beda. Ada dan gak adanya lu diantara kita itu beda. Tadinya gue pikir ini hanya perasaan sebagai sahabat. Tapi, semakin ke sini, gue selalu pengen ada di deket lu. Gue pengen lu tetep tinggal sama gue di sini, Ngit. Lu mau kan nikah sama gue?” Lanjut Awan menatap kembali wajah Langit yang juga menatapnya tanpa ekspresi.
“Maaf, Awan. Tapi, gue cintanya sama Bima.”
Raut wajah Awan berubah tak terdefinisikan. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyerang rumahnya di bawah cerahnya angkasa malam itu. Bintang-bintang seperti sedang tertawa mengejek dirinya. Awan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya seperti langsung ditusuk sembilu. Jawaban Langit tidak pernah terbayang sebelumnya. Lalu apa arti perhatian Langit pada dirinya selama ini? Harusnya dia memang sadar kalau Langit memang perhatian pada mereka semua, tidak hanya pada dirinya. Kecemburuannya pada Bima memang tidak salah.
“A, ap, apa..?” Awan terbata-bata mencoba meyakinkan dirinya. Matanya berkaca-kaca.
“Maaf Wan, gue minta maaf. Dari dulu gue udah cinta sama Bima, sejak pertama kita bertemu. Lu terlalu sempurna buat gue Wan. Cewek-cewek cantik di luar sana sedang mengantri buat lu, kenapa lu malah pengen nikah sama gue yang biasa-biasa aja?”
“Tapi, lu tau kan Bima naksir anak HRD, bahkan lu ikut nyomblangin?”
“Tak apa, gue bahagia kalo Bima juga bahagia. Haha… Itu ungkapan paling basi, iya gak sih?” Langit menertawakan ucapannya sendiri. Awan hanya terdiam tak merespon, ia manggut-manggut memalingkan wajahnya ke arah lain, seperti menahan perih.

***

to be continue....

 (terinspirasi dari dikusi Jakarta Lawyer Club ttg kumpul kebo, hehe..) 




No comments: