Saturday, April 6, 2013


“Responsibility”






Tipe : Short Story (Cerpen, Ina.edited)
Genre : Fiction
By : Nina Pradani

Judul di atas bukan judul bab di buku Kewarganegaraan, atau nama lamanya PPKN, atau namanya yang duluuuuu sekali PMP, bukan. Bukan pula sedang belajar adjective bahasa inggris. Aku ingin menceritakan kisahku, itu saja.


Namaku R.M. Adipati, jangan dikira R.M. itu singkatan dari Raden Mas, walaupun sebenarnya itu tujuanku menyingkat nama seperti itu. Tapi, tetap saja bukan, aku sama sekali bukan keturunan bangsawan, bahkan pembantu atau budak bangsawan pun bukan. Rengga Malvino Adipati, itu nama lengkapku. Aku terlahir di jaman yang sudah cukup modern sekitar tahun 80-an, jadi aku terselamatkan dari perangkap nama seperti Paijo, Soetarno, Soeharto, Soekarno, Djoko, dan sejenisnya yang lekat dengan ejaan lama, yang tentu saja bisa buat minder anak-anak jaman sekarang. Di sekolahku dulu, bapak dan ibu guru sering memuji namaku yang keren.
''R.M. Adipati'' absen di kelas baru.
''Hadir, Bu.''
''R.M. ini kepanjangannya apa?''
''Rengga Malvino, Bu.''
''Hm, nama yang bagus.''
Sayang sekali nama yang bagus tidak sebagus nasibku. Aku terlahir di keluarga yang serba berkecukupan. Cukup makan sekali sehari, cukup baju dua helai untuk ganti, cukup punya satu kamar tidur, cukup punya satu kamar tamu, cukup punya satu dapur sekaligus ruang makan digandeng ruang keluarga. Keluargaku punya semuanya dengan cukup, tidak lebih dan tidak kurang, kami bahagia dan selalu mensyukuri semua yang kami miliki.
Aku anak pertama dari tujuh bersaudara, jangan protes dulu kenapa orang tuaku tidak ikut program pemerintah yang seperti iklan mie instan itu, karena memang kalian tidak punya hak untuk protes, yang punya cerita kan aku. Aku saja nggak pernah protes. Adikku nomor dua, tiga, dan empat perempuan semua, lalu, yang kelima, keenam, dan yang bungsu, jagoan sepertiku semua. Formasi yang keren, bukan? Kadang aku berpikir hebat juga Ayah dan Ibu.
Ayahku adalah seorang Teknisi Jaringan, tidak jauh beda dengan si pemilik Microsoft atau pun Apple, bedanya Ayah bekerja sebagai abdi negara, kalau mereka bekerja di perusahaan mereka sendiri. Seutuhnya gaji Ayahku dari negara dan pekerjaannya pun untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ya, Ayahku seorang guru SMK. Khusus untuk jurusan Teknik Jaringan Komputer. Aku merasa beruntung memiliki Ayah yang sangat demokratis, terlepas dari tidak ada hal secara material yang menuntut Ayah untuk bersikap Otoriter. Tapi, bagiku Ayah tetap memiliki kedudukan sebagai Raja, kecuali saat ada tamu yang datang ke rumah, karena tamu adalah raja. Ayah tidak pernah memaksakan kehendaknya untukku, walaupun aku anak tertua yang seharusnya lebih dituntut untuk menjadi kebanggaan keluarga. Dari didikan Ayah inilah aku belajar tanggungjawab. Ya, Ayah selalu mengajarkan itu, tanggungjawab.
Ketika aku beranjak dewasa, menginjak usia lebih dari seperempat abad, Ayah menjadi sosok yang paling kukagumi melebihi kekagumanku pada Albert Einstein, walaupun aku tidak pernah mengatakannya langsung pada orangnya. Bagi kami dunia pengungkapan lisan itu hanya terjadi di kalangan kaum hawa. Seperti ketika aku mengatakan pada ibu ''aku sayang ibu.'' aku tidak pernah bisa mengatakan hal yang sama pada Ayah. Rasanya aneh. Entahlah. Sekarang kenalkan Ibuku. Semesta pasti setuju denganku jika aku mengatakan Ibu adalah malaikat sesungguhnya, bahkan aku sering merasa sepuluh malaikat ciptaan Tuhan itu tidak ada apa-apanya dibanding ibuku. Aku yakin semesta juga akan mengangkat gelas jika aku mengatakan Ibu adalah bidadari sesungguhnya. Bahkan aku tidak bisa melihat bidadari lain di dunia ini selain ibuku. Tidak ada bidadari lain. Tapi, aku tak tahu bagaimana bidadari di syurga yang bermata jelita seperti digambarkan kitab suciku. Meskipun begitu, aku sangat yakin ibuku tetap tidak tertandingi.
Kadang aku berpikir Ayah sangat beruntung bisa menikahi bidadari ini. Ibuku yang cantik jelita, meskipun sudah ada beberapa gurat kecil di wajahnya, itu tidak membuat bekas kecantikan masa mudanya luntur. Itu hanya sebagai tanda bahwa dia sudah memiliki aku dan adik-adikku, karena dia yang melahirkan juga membesarkan kami. Ibu selalu menjadi sosok bersahaja di mana pun cerita itu dibuat, begitu pula halnya dengan ibuku. Ibu selalu mengajarkanku kesabaran, kasih sayang dan ketulusan.
Aku lahir beberapa tahun setelah mereka menikah, itu menurut perhitunganku, karena aku sendiri tidak pernah menanyakannya langsung. Lalu disusul oleh adik-adikku. Sekarang tepatnya aku sudah berumur 28 tahun, usia yang sudah cukup dewasa. Tapi, aku merasa sudah dewasa jauh sebelumnya. Setelah mendapat gelar sarjana Teknik Mesin aku masih melanjutkan kontrak kerjaku sebagai Sales di sebuah perusahaan industri peralatan rumah tangga. Sementara menunggu panggilan dari perusahaan-perusahaan yang sudah kulayangkan lamaranku, aku menawarkan barang dari rumah ke rumah. Gengsi dan malu kubuang jauh-jauh walaupun terkadang aku merasakannya.
***
Setahun berlalu, masih belum ada juga panggilan yang sesuai dengan gelar kalulusanku, Sarjana Teknik Mesin, entah sudah berapa ratus lamaran yang kukirim. Kalaupun ada panggilan interview, itu untuk posisi yang sama dengan pekerjaanku sekarang. Selama setahun terakhir aku keluar-masuk dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain dengan jenis pekerjaan yang sama, sales/marketing.
Aku mencoba mengingat-ingat apakah pernah Ki Joko Bodo mendatangiku dan mengatakan ''anda tidak cocok kerja di air, anda cocoknya kerja jadi sales.'' rasanya tidak pernah. Tapi, kenapa aku sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlianku. Sertifikat kategori sepuluh besar lulusan terbaik se-universitas tidak bisa membantu banyak.
Suatu malam aku benar-benar tidak bisa tidur, rasanya beban hidup seluruh manusia di dunia dibebankan padaku. Meskipun hampir semua adik-adikku sekolah dan kuliah dengan beasiswa, keperluan mereka selain biaya sekolah masih tidak sedikit. Aku merasa bertanggungjawab mengurangi beban Ayah. Tapi, apa yang bisa kulakukan sekarang? Gajiku sebagai seles tidak bisa mencukupi semua itu. Ibu tidak kuijinkan lagi untuk menerima pesanan kue brownis dari pelanggannya, aku lihat ibu terlalu kecapekan.
''Apapun pekerjaanmu sekarang, ditelateni saja, harus disyukuri, karena masih banyak yang pengangguran yang sulit mendapat pekerjaan di luar sana. Ingat, rejeki itu sudah ada yang ngatur, ibu percaya kamu sudah bekerja keras.'' pesan ibuku suatu ketika.
Pesan itu juga yang membuatku berusaha untuk mencintai pekerjaanku sekarang. Terakhir aku bekerja –masih-- sebagai sales di sebuah perusahaan otomotif. Aku bertahan cukup lama di perusahaan ini. Meskipun aku hanya bisa melihat, memegang, menaiki, mencoba mengendarai, menguasai spesifikasi jenis mobil-mobil terbaru dari yang biasa sampai yang mewah, aku belum bisa memiliki salah satunya, itu tak apa. Aku senang bekerja di sini, setidaknya masih sedikit bersinggungan dengan gelar kesarjanaanku. Setahun lamanya aku bertahan tidak pindah-pindah lagi, tak lagi memikirkan lamaran di perusahaan-perusahaan besar impianku dulu. Aku menikmatinya sekarang. Aku sering dapat bonus dari perusahaan karena barang yang aku tawarkan pada calon pelanggan hampir 80 persen bisa deal. Atasanku bahkan beberapa kali memberikan bonus langsung dari sakunya. Dan itu jumlahnya tidak sedikit. Kini aku pun mulai bisa menabung dan menyisihkannya juga untuk membantu kebutuhan keluarga. Keperluan adik-adikku bisa juga kupenuhi untuk sekedar membeli alat tulis dan seragam sekolah mereka.
***
Hari itu aku mendapatkan dua kebahagiaan sekaligus. Nurul, adik perempuanku yang pertama dilamar oleh laki-laki yang sangat kukenal, teman kuliahku dulu yang sekarang sudah menempati posisi mapan di perusahaan milik keluarganya. Aku percaya dia akan membahagiakan adik kesayanganku yang juga baru wisuda S2 bulan lalu. Aku mengenalnya sebagai sahabat yang taat beribadah, meskipun dia dari keluarga sangat berada, dia tetap bersahaja dan rendah hati. Kebahagiaan kedua, aku diangkat sebagai Manager Marketing di perusahaan tempatku bekerja.
''Hasil rapat sudah memutuskan bahwa saudara R.M. Adipati mulai minggu depan resmi menjadi Manager Marketing.'' pengumuman dari Direktur perusahaan itu disambut tepuk tangan dari seluruh peserta rapat. Beberapa rekan yang duduk di sebelahku menyalami, memberi selamat.
Sekarang aku tidak bekerja langsung menawarkan barang ke calon pelanggan lagi, aku hanya mengawasi karyawanku dari jauh, dan aku memiliki ruangan kerja sendiri.
''Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, nikmat-Mu tak terhingga.” Batinku.
***
Namun ternyata sempurnanya kebahagiaan itu tak cukup lama singgah untukku. Sebulan kemudian, Ayahku jatuh sakit, harus dirawat di ruang ICU. Selain faktor usia, ayah juga memiliki lemah jantung yang ternyata selama ini beliau sembunyikan. Kami anak-anaknya tidak ada yang tahu, hanya ibu yang mengetahuinya. Selama ini aku selalu berpikir kalau penyakit jantung itu penyakit orang kaya, sekarang kenapa Ayahku juga ikut merasakannya?
Hanya dua hari Ayah bertahan di ruang ICU, beliau meninggal dengan tenang, seulas senyum di wajahnya terlihat jelas. Aku tidak bisa menangis lagi. Semuanya pasti akan kembali pada-Nya. Aku sudah dewasa, aku yang harus menggantikan posisi Ayah, apakah aku siap?
Tugas pertamaku setelah Ayah pergi, sangat berat. Rasanya aku ingin membunuh Astri, adikku yang kedua. Waktu makan malam kami berkumpul seperti biasa, menikmati hidangan di ruang makan merangkap ruang keluarga yang digandeng dapur. Ya, kami belum pindah dari rumah yang penuh kenangan ini. dan kami tidak akan pernah pindah. Tapi aku sudah ada rencana untuk merenovasi dan memperluas lagi bangunannya, halaman belakang masih cukup luas. Malam ini, aku, ibu, dua adik perempuanku dan si bungsu, jagoan kecil kami. Dua kakak diatasnya sudah setengah tahun tidak tinggal bersama kami. Mereka kukirim ke pondok pesantren. Aku bingung melihat adik perempuanku yang nomor tiga tiba-tiba berlari ke kamar mandi, aku mendengar suaranya seperti orang mual ingin muntah. Kami semua saling berpandangan. Ibuku langsung berlari menyusulnya.
Aku pernah baca entah dari mana kalau cewek mual-mual itu hanya ada dua indikasinya, pertama masuk angin dan kedua, hamil. Ya, aku tahu hamil itu berarti ada anak di dalam perutnya. Itu tidak mungkin, adikku belum menikah. Setahuku Astri memang banyak kelas malam semester ini, jadi sering pulang malam. Pasti masuk angin.
Beberapa saat kemudian, ibu keluar dari kamar mandi dengan memapahnya, wajah adikku yang cantik itu terlihat sangat pucat. Indah, adikku yang paling pendiam meninggalkan makanan yang masih tersisa di piring, membantu ibu memapah Astri ke kamar. Aku hanya terdiam menyelesaikan makan malam dengan sejuta bayangan skenario di kepalaku.
Selesai makan malam, aku bermain dengan jagoan kecilku, si bungsu. Sekarang dia sudah besar sebenarnya, sudah duduk di bangku kelas 3 SD. Aku sedang membantunya mengerjakan PR, tiba-tiba ibu memanggilku. Raut wajah ibu terlihat khawatir dan tampak serius.
Seperti ada petir yang menyambar rumah kami saat aku mendengar apa yang dikatakan ibu baru saja, adikku hamil! dan dia belum menikah. Apa artinya ini?? Dia hamil diluar nikah? Hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehku. Selama ini anggapanku ternyata salah bahwa aku punya tiga adik perempuan yang cantik, baik, penurut, dan shalihah. Memang, diantara ketiganya, dia yang paling rame dan keras kepala, Astri selalu menolak saat aku suruh memakai jilbab seperti kakak dan adiknya. Alasannya belum mendapat hidayah. Sekarang apa yang dia dapatkan? Bukan lagi hidayah, tapi azab Allah, bahkan aib untuk keluargaku. Aku tidak bisa terima ini. Hatiku sakit, aku kecewa, aku marah.
Aku sungguh tak bisa terima kenyataan ini. Rasanya aku ingin membunuhnya saat itu juga.
Tapi, ibu selalu bisa menenangkanku. Aku masuk ke kamar, kamar satu-satunya di rumah ini, aku melihatnya sedang tidur telungkup menghadap dinding, mungkin menangis, sungguh aku tidak bisa prihatin padanya, perasaan kecewaku terlalu besar.
''Siapa dia?? Siapa cowok itu??'' aku duduk ditepi ranjang, aku mendengar isak tangisnya, tapi rasanya tangisan itu justru sedang mengejekku. ''apa gunanya kamu nangis sekarang, hah?? SIAPA COWOK ITU??? BILANG, SIAPA DIA..???'' suaraku meninggi, aku tak bisa menahan emosi lagi. Ibu menghampiri dan menyentuh bahuku, mencoba menenangkanku, aku tidak bisa melihat tangisan ibu.
''ceritakan pada abangmu, nak? Siapa laki-laki itu?'' ibu membelai rambut adikku disela tangisnya.

***
Keesokan harinya, aku mendatangi rumah kos laki-laki yang diceritakan adikku. Aku meminta pertanggungjawaban. Tapi, apa yang kudapat, laki-laki itu tidak mau mengaku dan justru merendahkan adikku.
''Wah, maaf bang, kenapa harus gue yang tanggungjawab?! adik abang sendiri gak nolak kok, lagian bisa aja itu dengan cowok lain.''
Satu pukulan kepalan tanganku langsung mendarat di wajahnya, sudut kiri bibirnya berdarah. Kupegang kerah bajunya.
''Loh, heh, kenapa lu nonjok gue? urus sana adik lo!''
Dua kali berturut kepalangan tanganku melayang lagi kali ini hidungnya berdarah. Beberapa teman kosnya datang melerai kami.
''Tunggu, gue bakal datengin rumah orang tua lo!''
Aku akhirnya pulang meninggalkan lelaki manja yang sedang meringis kesakitan itu. Bagaimana mungkin aku bisa menyerahkan hidup adikku di tangan laki-laki seperti itu.
***
Sebenernya aku masih belum bisa memaafkan Astri. Tapi, aku juga tidak bisa memaafkan diriku sendiri, bukankah ini salahku juga karena tidak bisa menjaganya? Ayah telah menitipkan mereka semua sebelum kepergiannya.
''Ayah, kenapa kau pergi begitu saja, meninggalkan semua ini???'' lirihku menyalahkan.
Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjaga keluargaku, aku akan menjaga adik-adikku, juga adik perempuanku yang telah membuatku kecewa. Aku akan memaafkannya, karena ini juga salahku tidak menjaganya. Aku akan membantu membesarkan anaknya kelak. Janin itu tak berdosa.
''Tuhan, kenapa Kau berikan semua ini padaku?'' aku mengeluh lagi. kubuka jendela ruang tamu untuk menghirup angin segar sang malam. Tapi, aku masih yakin Tuhan akan memberikan cerita terindah untukku kelak. Seketika aku teringat dengan seorang wanita yang beberapa hari lalu memintaku untuk melamarnya. Teman SMA-ku. Ah, biarlah, aku tak bisa memikirkannya lagi. Dulu, aku memang menyukainya, sangat menyukainya. Tapi, dia tidak pernah suka padaku. Bahkan dia pernah mengatakan sangat membenciku. Sekarang kenapa dia berubah? Ah, sudahlah, masih banyak masalah lain yang harus kupikirkan, adik-adikku juga calon keponakanku.
Ponsel di atas meja tiba-tiba berdering. Di layar tertera Astri’s calling.
“Halo, Haloo?!” kuurungkan salam yang hendak kukatakan karena mendengar suara seorang pria di seberang. Astri kemana sih?
“Iya, ini siapa?”
“Mas, mas, i.. ini.. apa anda keluarganya yang punya hape ini?” suaranya sedikit panik.
“Saya kakaknya, ini siapa?”
Adik mas kecelakaan! Kami lagi bawa ke Rumah Sakit…. eh, eh, mau ke RS mana ini?” dia berbicara dengan orang-orang di sana, suaranya ramai sekali. “RSI aja, RSI aja yang deket.” Suara yang terdengar agak jauh, suara pria itu kembali lagi “Eh, mas, mas datang ke RSI sekarang!” Tuut! Diputus. Sesaat aku terpaku.
“Indah… Indah..! Astri tadi kemana Ndah?” aku berteriak panik memanggil indah yang sedang belajar kamar.
“Hah iya? Kak Astri tadi katanya mau ke rumah temannya, mau pinjem buku karena banyak ketinggalan kuliah. Ada apa kak?”
Aku tak menghiraukan lagi perkataan Indah. “Cepet, cepet kita ke RSI, ke RSI sekarang, Astri kecelakaan!”
“Astagfirullahaladziim! Apa bang??”
“Ayo, cepet Ndah..!”
“Iya, iya!”
 “Ada apa ribut-ribut, Di?” Ibu yang sedang tidur tiba-tiba terbangun.
“Astri bu, Astri kecelakaan! Ayo kira ke RSI sekarang! barusan Adipati ditelpon orang pake hapenya Astri.” Aku melihat wajah ibu yang terkejut bukan main, tanpa berkata apa-apa lagi ibu meraih kerudung dan mengenakan sekenanya. Adik bungsuku yang sedang nonton televisi pun mematikan televisi dan langsung berlari menyusulku ke depan. Mobil kantor yang kukendarai sejak menjabat menejer terparkir di halaman depan, sejurus kemudian kami berempat langsung meluncur dengannya menuju RSI.

***

      "Saya minta maaf, dia keguguran dan nyawanya tidak bisa diselamatkan, pendarahannya cukup serius. Kami semua sudah berusaha semampu kami. Sekali lagi saya pribadi minta maaf."

    Kata-kata dokter itu terdengar seperti gemuruh menabuh angkasa. Kenapa disaat aku sudah memaafkannya? kenapa harus disaat aku ingin menebus kesalahanku? Aku tidak ingin mendengar tangis ibu dan adik-adikku, aku bukannya masuk melihat jasad adikku, aku justru lari keluar, rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya pada langit.


               
                                                                   The End





No comments: