“Responsibility”
Tipe : Short Story (Cerpen,
Ina.edited)
Genre : Fiction
By : Nina Pradani
Judul di atas
bukan judul bab di buku Kewarganegaraan, atau nama lamanya PPKN, atau namanya
yang duluuuuu sekali PMP, bukan. Bukan pula sedang belajar adjective bahasa
inggris. Aku ingin menceritakan kisahku, itu saja.
Namaku R.M.
Adipati, jangan dikira R.M. itu singkatan dari Raden Mas, walaupun sebenarnya
itu tujuanku menyingkat nama seperti itu. Tapi, tetap saja bukan, aku sama
sekali bukan keturunan bangsawan, bahkan pembantu atau budak bangsawan pun
bukan. Rengga Malvino Adipati, itu nama lengkapku. Aku terlahir di jaman yang
sudah cukup modern sekitar tahun 80-an, jadi aku terselamatkan dari perangkap
nama seperti Paijo, Soetarno, Soeharto, Soekarno, Djoko, dan sejenisnya yang
lekat dengan ejaan lama, yang tentu saja bisa buat minder anak-anak jaman sekarang.
Di sekolahku dulu, bapak dan ibu guru sering memuji namaku yang keren.
''R.M. Adipati''
absen di kelas baru.
''Hadir, Bu.''
''R.M. ini
kepanjangannya apa?''
''Rengga
Malvino, Bu.''
''Hm, nama yang
bagus.''
Sayang sekali
nama yang bagus tidak sebagus nasibku. Aku terlahir di keluarga yang serba
berkecukupan. Cukup makan sekali sehari, cukup baju dua helai untuk ganti,
cukup punya satu kamar tidur, cukup punya satu kamar tamu, cukup punya satu
dapur sekaligus ruang makan digandeng ruang keluarga. Keluargaku punya semuanya
dengan cukup, tidak lebih dan tidak kurang, kami bahagia dan selalu mensyukuri
semua yang kami miliki.
Aku anak pertama
dari tujuh bersaudara, jangan protes dulu kenapa orang tuaku tidak ikut program
pemerintah yang seperti iklan mie instan itu, karena memang kalian tidak punya
hak untuk protes, yang punya cerita kan
aku. Aku saja nggak pernah protes. Adikku nomor dua, tiga, dan empat perempuan
semua, lalu, yang kelima, keenam, dan yang bungsu, jagoan sepertiku semua.
Formasi yang keren, bukan? Kadang aku berpikir hebat juga Ayah dan Ibu.
Ayahku adalah
seorang Teknisi Jaringan, tidak jauh beda dengan si pemilik Microsoft atau pun
Apple, bedanya Ayah bekerja sebagai abdi negara, kalau mereka bekerja di
perusahaan mereka sendiri. Seutuhnya gaji Ayahku dari negara dan pekerjaannya
pun untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ya, Ayahku seorang guru SMK. Khusus
untuk jurusan Teknik Jaringan Komputer. Aku merasa beruntung memiliki Ayah yang
sangat demokratis, terlepas dari tidak ada hal secara material yang menuntut
Ayah untuk bersikap Otoriter. Tapi, bagiku Ayah tetap memiliki kedudukan
sebagai Raja, kecuali saat ada tamu yang datang ke rumah, karena tamu adalah
raja. Ayah tidak pernah memaksakan kehendaknya untukku, walaupun aku anak tertua
yang seharusnya lebih dituntut untuk menjadi kebanggaan keluarga. Dari didikan
Ayah inilah aku belajar tanggungjawab. Ya, Ayah selalu mengajarkan itu,
tanggungjawab.
Ketika aku
beranjak dewasa, menginjak usia lebih dari seperempat abad, Ayah menjadi sosok
yang paling kukagumi melebihi kekagumanku pada Albert Einstein, walaupun aku
tidak pernah mengatakannya langsung pada orangnya. Bagi kami dunia pengungkapan
lisan itu hanya terjadi di kalangan kaum hawa. Seperti ketika aku mengatakan
pada ibu ''aku sayang ibu.'' aku tidak pernah bisa mengatakan hal yang sama
pada Ayah. Rasanya aneh. Entahlah. Sekarang kenalkan Ibuku. Semesta pasti
setuju denganku jika aku mengatakan Ibu adalah malaikat sesungguhnya, bahkan
aku sering merasa sepuluh malaikat ciptaan Tuhan itu tidak ada apa-apanya
dibanding ibuku. Aku yakin semesta juga akan mengangkat gelas jika aku
mengatakan Ibu adalah bidadari sesungguhnya. Bahkan aku tidak bisa melihat
bidadari lain di dunia ini selain ibuku. Tidak ada bidadari lain. Tapi, aku tak
tahu bagaimana bidadari di syurga yang bermata jelita seperti digambarkan kitab
suciku. Meskipun begitu, aku sangat yakin ibuku tetap tidak tertandingi.
Kadang aku
berpikir Ayah sangat beruntung bisa menikahi bidadari ini. Ibuku yang cantik
jelita, meskipun sudah ada beberapa gurat kecil di wajahnya, itu tidak membuat
bekas kecantikan masa mudanya luntur. Itu hanya sebagai tanda bahwa dia sudah
memiliki aku dan adik-adikku, karena dia yang melahirkan juga membesarkan kami.
Ibu selalu menjadi sosok bersahaja di mana pun cerita itu dibuat, begitu pula
halnya dengan ibuku. Ibu selalu mengajarkanku kesabaran, kasih sayang dan
ketulusan.
Aku lahir
beberapa tahun setelah mereka menikah, itu menurut perhitunganku, karena aku
sendiri tidak pernah menanyakannya langsung. Lalu disusul oleh adik-adikku.
Sekarang tepatnya aku sudah berumur 28 tahun, usia yang sudah cukup dewasa.
Tapi, aku merasa sudah dewasa jauh sebelumnya. Setelah mendapat gelar sarjana
Teknik Mesin aku masih melanjutkan kontrak kerjaku sebagai Sales di sebuah
perusahaan industri peralatan rumah tangga. Sementara menunggu panggilan dari
perusahaan-perusahaan yang sudah kulayangkan lamaranku, aku menawarkan barang
dari rumah ke rumah. Gengsi dan malu kubuang jauh-jauh walaupun terkadang aku
merasakannya.
***
Setahun berlalu,
masih belum ada juga panggilan yang sesuai dengan gelar kalulusanku, Sarjana
Teknik Mesin, entah sudah berapa ratus lamaran yang kukirim. Kalaupun ada
panggilan interview, itu untuk posisi yang sama dengan pekerjaanku sekarang.
Selama setahun terakhir aku keluar-masuk dari perusahaan yang satu ke
perusahaan yang lain dengan jenis pekerjaan yang sama, sales/marketing.
Aku mencoba mengingat-ingat apakah pernah Ki Joko Bodo mendatangiku dan mengatakan ''anda tidak cocok kerja di air, anda cocoknya kerja jadi sales.'' rasanya tidak pernah. Tapi, kenapa aku sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlianku. Sertifikat kategori sepuluh besar lulusan terbaik se-universitas tidak bisa membantu banyak.
Aku mencoba mengingat-ingat apakah pernah Ki Joko Bodo mendatangiku dan mengatakan ''anda tidak cocok kerja di air, anda cocoknya kerja jadi sales.'' rasanya tidak pernah. Tapi, kenapa aku sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlianku. Sertifikat kategori sepuluh besar lulusan terbaik se-universitas tidak bisa membantu banyak.
Suatu malam aku
benar-benar tidak bisa tidur, rasanya beban hidup seluruh manusia di dunia
dibebankan padaku. Meskipun hampir semua adik-adikku sekolah dan kuliah dengan
beasiswa, keperluan mereka selain biaya sekolah masih tidak sedikit. Aku merasa
bertanggungjawab mengurangi beban Ayah. Tapi, apa yang bisa kulakukan sekarang?
Gajiku sebagai seles tidak bisa mencukupi semua itu. Ibu tidak kuijinkan lagi
untuk menerima pesanan kue brownis dari pelanggannya, aku lihat ibu terlalu
kecapekan.
''Apapun
pekerjaanmu sekarang, ditelateni saja, harus disyukuri, karena masih banyak
yang pengangguran yang sulit mendapat pekerjaan di luar sana .
Ingat, rejeki itu sudah ada yang ngatur, ibu percaya kamu sudah bekerja keras.''
pesan ibuku suatu ketika.
Pesan itu juga
yang membuatku berusaha untuk mencintai pekerjaanku sekarang. Terakhir aku
bekerja –masih-- sebagai sales di sebuah perusahaan otomotif. Aku bertahan
cukup lama di perusahaan ini. Meskipun aku hanya bisa melihat, memegang,
menaiki, mencoba mengendarai, menguasai spesifikasi jenis mobil-mobil terbaru
dari yang biasa sampai yang mewah, aku belum bisa memiliki salah satunya, itu
tak apa. Aku senang bekerja di sini, setidaknya masih sedikit bersinggungan
dengan gelar kesarjanaanku. Setahun lamanya aku bertahan tidak pindah-pindah
lagi, tak lagi memikirkan lamaran di perusahaan-perusahaan besar impianku dulu.
Aku menikmatinya sekarang. Aku sering dapat bonus dari perusahaan karena barang
yang aku tawarkan pada calon pelanggan hampir 80 persen bisa deal. Atasanku
bahkan beberapa kali memberikan bonus langsung dari sakunya. Dan itu jumlahnya
tidak sedikit. Kini aku pun mulai bisa menabung dan menyisihkannya juga untuk
membantu kebutuhan keluarga. Keperluan adik-adikku bisa juga kupenuhi untuk
sekedar membeli alat tulis dan seragam sekolah mereka.
***
Hari itu aku
mendapatkan dua kebahagiaan sekaligus. Nurul, adik perempuanku yang pertama
dilamar oleh laki-laki yang sangat kukenal, teman kuliahku dulu yang sekarang
sudah menempati posisi mapan di perusahaan milik keluarganya. Aku percaya dia
akan membahagiakan adik kesayanganku yang juga baru wisuda S2 bulan lalu. Aku
mengenalnya sebagai sahabat yang taat beribadah, meskipun dia dari keluarga
sangat berada, dia tetap bersahaja dan rendah hati. Kebahagiaan kedua, aku
diangkat sebagai Manager Marketing di perusahaan tempatku bekerja.
''Hasil rapat
sudah memutuskan bahwa saudara R.M. Adipati mulai minggu depan resmi menjadi
Manager Marketing.'' pengumuman dari Direktur perusahaan itu disambut tepuk
tangan dari seluruh peserta rapat. Beberapa rekan yang duduk di sebelahku
menyalami, memberi selamat.
Sekarang aku tidak bekerja langsung menawarkan barang ke calon pelanggan lagi, aku hanya mengawasi karyawanku dari jauh, dan aku memiliki ruangan kerja sendiri.
Sekarang aku tidak bekerja langsung menawarkan barang ke calon pelanggan lagi, aku hanya mengawasi karyawanku dari jauh, dan aku memiliki ruangan kerja sendiri.
''Alhamdulillah,
terima kasih ya Allah, nikmat-Mu tak terhingga.” Batinku.
***
Namun ternyata
sempurnanya kebahagiaan itu tak cukup lama singgah untukku. Sebulan kemudian,
Ayahku jatuh sakit, harus dirawat di ruang ICU. Selain faktor usia, ayah juga
memiliki lemah jantung yang ternyata selama ini beliau sembunyikan. Kami
anak-anaknya tidak ada yang tahu, hanya ibu yang mengetahuinya. Selama ini aku selalu
berpikir kalau penyakit jantung itu penyakit orang kaya, sekarang kenapa Ayahku
juga ikut merasakannya?
Hanya dua hari
Ayah bertahan di ruang ICU, beliau meninggal dengan tenang, seulas senyum di
wajahnya terlihat jelas. Aku tidak bisa menangis lagi. Semuanya pasti akan
kembali pada-Nya. Aku sudah dewasa, aku yang harus menggantikan posisi Ayah,
apakah aku siap?
Tugas pertamaku
setelah Ayah pergi, sangat berat. Rasanya aku ingin membunuh Astri, adikku yang
kedua. Waktu makan malam kami berkumpul seperti biasa, menikmati hidangan di
ruang makan merangkap ruang keluarga yang digandeng dapur. Ya, kami belum pindah
dari rumah yang penuh kenangan ini. dan kami tidak akan pernah pindah. Tapi aku
sudah ada rencana untuk merenovasi dan memperluas lagi bangunannya, halaman
belakang masih cukup luas. Malam ini, aku, ibu, dua adik perempuanku dan si
bungsu, jagoan kecil kami. Dua kakak diatasnya sudah setengah tahun tidak
tinggal bersama kami. Mereka kukirim ke pondok pesantren. Aku bingung melihat
adik perempuanku yang nomor tiga tiba-tiba berlari ke kamar mandi, aku
mendengar suaranya seperti orang mual ingin muntah. Kami semua saling
berpandangan. Ibuku langsung berlari menyusulnya.
Aku pernah baca
entah dari mana kalau cewek mual-mual itu hanya ada dua indikasinya, pertama
masuk angin dan kedua, hamil. Ya, aku tahu hamil itu berarti ada anak di dalam
perutnya. Itu tidak mungkin, adikku belum menikah. Setahuku Astri memang banyak
kelas malam semester ini, jadi sering pulang malam. Pasti masuk angin.
Beberapa saat
kemudian, ibu keluar dari kamar mandi dengan memapahnya, wajah adikku yang
cantik itu terlihat sangat pucat. Indah, adikku yang paling pendiam
meninggalkan makanan yang masih tersisa di piring, membantu ibu memapah Astri
ke kamar. Aku hanya terdiam menyelesaikan makan malam dengan sejuta bayangan
skenario di kepalaku.
Selesai makan
malam, aku bermain dengan jagoan kecilku, si bungsu. Sekarang dia sudah besar
sebenarnya, sudah duduk di bangku kelas 3 SD. Aku sedang membantunya
mengerjakan PR, tiba-tiba ibu memanggilku. Raut wajah ibu terlihat khawatir dan
tampak serius.
Seperti ada
petir yang menyambar rumah kami saat aku mendengar apa yang dikatakan ibu baru
saja, adikku hamil! dan dia belum menikah. Apa artinya ini?? Dia hamil diluar
nikah? Hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehku. Selama ini
anggapanku ternyata salah bahwa aku punya tiga adik perempuan yang cantik,
baik, penurut, dan shalihah. Memang, diantara ketiganya, dia yang paling rame
dan keras kepala, Astri selalu menolak saat aku suruh memakai jilbab seperti
kakak dan adiknya. Alasannya belum mendapat hidayah. Sekarang apa yang dia
dapatkan? Bukan lagi hidayah, tapi azab Allah, bahkan aib untuk keluargaku. Aku
tidak bisa terima ini. Hatiku sakit, aku kecewa, aku marah.
Aku sungguh tak bisa terima kenyataan ini. Rasanya aku ingin membunuhnya saat itu juga.
Aku sungguh tak bisa terima kenyataan ini. Rasanya aku ingin membunuhnya saat itu juga.
Tapi, ibu selalu
bisa menenangkanku. Aku masuk ke kamar, kamar satu-satunya di rumah ini, aku
melihatnya sedang tidur telungkup menghadap dinding, mungkin menangis, sungguh
aku tidak bisa prihatin padanya, perasaan kecewaku terlalu besar.
''Siapa dia?? Siapa cowok itu??''
aku duduk ditepi ranjang, aku mendengar isak tangisnya, tapi rasanya tangisan
itu justru sedang mengejekku. ''apa gunanya kamu nangis sekarang, hah?? SIAPA
COWOK ITU??? BILANG, SIAPA DIA..???'' suaraku meninggi, aku tak bisa menahan
emosi lagi. Ibu menghampiri dan menyentuh bahuku, mencoba menenangkanku, aku tidak
bisa melihat tangisan ibu.
''ceritakan pada
abangmu, nak? Siapa laki-laki itu?'' ibu membelai rambut adikku disela tangisnya.
***
***
Keesokan
harinya, aku mendatangi rumah kos laki-laki yang diceritakan adikku. Aku
meminta pertanggungjawaban. Tapi, apa yang kudapat, laki-laki itu tidak mau
mengaku dan justru merendahkan adikku.
''Wah, maaf
bang, kenapa harus gue yang tanggungjawab?! adik abang sendiri gak nolak kok,
lagian bisa aja itu dengan cowok lain.''
Satu pukulan
kepalan tanganku langsung mendarat di wajahnya, sudut kiri bibirnya berdarah.
Kupegang kerah bajunya.
''Loh, heh,
kenapa lu nonjok gue? urus sana
adik lo!''
Dua kali
berturut kepalangan tanganku melayang lagi kali ini hidungnya berdarah.
Beberapa teman kosnya datang melerai kami.
''Tunggu, gue
bakal datengin rumah orang tua lo!''
Aku akhirnya
pulang meninggalkan lelaki manja yang sedang meringis kesakitan itu. Bagaimana
mungkin aku bisa menyerahkan hidup adikku di tangan laki-laki seperti itu.
***
Sebenernya aku
masih belum bisa memaafkan Astri. Tapi, aku juga tidak bisa memaafkan diriku
sendiri, bukankah ini salahku juga karena tidak bisa menjaganya? Ayah telah
menitipkan mereka semua sebelum kepergiannya.
''Ayah, kenapa
kau pergi begitu saja, meninggalkan semua ini???'' lirihku menyalahkan.
Tapi, aku
berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjaga keluargaku, aku akan menjaga
adik-adikku, juga adik perempuanku yang telah membuatku kecewa. Aku akan
memaafkannya, karena ini juga salahku tidak menjaganya. Aku akan membantu
membesarkan anaknya kelak. Janin itu tak berdosa.
''Tuhan, kenapa
Kau berikan semua ini padaku?'' aku mengeluh lagi. kubuka jendela ruang tamu
untuk menghirup angin segar sang malam. Tapi, aku masih yakin Tuhan akan
memberikan cerita terindah untukku kelak. Seketika aku teringat dengan seorang
wanita yang beberapa hari lalu memintaku untuk melamarnya. Teman SMA-ku. Ah,
biarlah, aku tak bisa memikirkannya lagi. Dulu, aku memang menyukainya, sangat
menyukainya. Tapi, dia tidak pernah suka padaku. Bahkan dia pernah mengatakan
sangat membenciku. Sekarang kenapa dia berubah? Ah, sudahlah, masih banyak
masalah lain yang harus kupikirkan, adik-adikku juga calon keponakanku.
Ponsel di atas
meja tiba-tiba berdering. Di layar tertera Astri’s calling.
“Halo, Haloo?!” kuurungkan salam yang
hendak kukatakan karena mendengar suara seorang pria di seberang. Astri kemana sih?
“Iya, ini
siapa?”
“Mas, mas, i.. ini.. apa anda keluarganya
yang punya hape ini?” suaranya sedikit panik.
“Saya kakaknya,
ini siapa?”
“Adik mas kecelakaan! Kami lagi bawa ke Rumah
Sakit…. eh, eh, mau ke RS mana ini?” dia berbicara dengan orang-orang di sana ,
suaranya ramai sekali. “RSI aja, RSI aja
yang deket.” Suara yang terdengar agak jauh, suara pria itu kembali lagi “Eh, mas, mas datang ke RSI sekarang!”
Tuut! Diputus. Sesaat aku terpaku.
“Indah… Indah..!
Astri tadi kemana Ndah?” aku berteriak panik memanggil indah yang sedang
belajar kamar.
“Hah iya? Kak Astri
tadi katanya mau ke rumah temannya, mau pinjem buku karena banyak ketinggalan
kuliah. Ada apa kak?”
Aku tak
menghiraukan lagi perkataan Indah. “Cepet, cepet kita ke RSI, ke RSI sekarang,
Astri kecelakaan!”
“Astagfirullahaladziim!
Apa bang??”
“Ayo, cepet
Ndah..!”
“Iya, iya!”
“Ada apa ribut-ribut, Di?” Ibu yang sedang
tidur tiba-tiba terbangun.
“Astri bu, Astri
kecelakaan! Ayo kira ke RSI sekarang! barusan Adipati ditelpon orang pake
hapenya Astri.” Aku melihat wajah ibu yang terkejut bukan main, tanpa berkata
apa-apa lagi ibu meraih kerudung dan mengenakan sekenanya. Adik bungsuku yang
sedang nonton televisi pun mematikan televisi dan langsung berlari menyusulku
ke depan. Mobil kantor yang kukendarai sejak menjabat menejer terparkir di
halaman depan, sejurus kemudian kami berempat langsung meluncur dengannya
menuju RSI.
***
"Saya minta maaf, dia keguguran dan nyawanya tidak bisa diselamatkan,
pendarahannya cukup serius. Kami semua sudah berusaha semampu kami. Sekali lagi
saya pribadi minta maaf."
Kata-kata dokter itu terdengar seperti gemuruh menabuh angkasa. Kenapa disaat
aku sudah memaafkannya? kenapa harus disaat aku ingin menebus kesalahanku? Aku
tidak ingin mendengar tangis ibu dan adik-adikku, aku bukannya masuk melihat
jasad adikku, aku justru lari keluar, rasanya aku ingin berteriak
sekencang-kencangnya pada langit.


No comments:
Post a Comment