Monday, March 25, 2013

Cerpen



Badgirl itu Humairah




“KAMU???!” keduanya berujar hampir bersamaan.

Untuk yang entah ke berapa kalinya di dunia ini, ungkapan bahwa Dunia hanya selebar daun kelor terbukti lagi. Aira tentu tidak lupa dengan pria menyebalkan itu. Orang yang dulu pernah jadi lawan duet dalam perjalanan karirnya sebagai badgirl. Dan sekarang dia harus mewawancarainya, itu berarti ia harus berbaik-baik padanya, dan orang ini juga yang ternyata ditunggunya sejak tadi pagi, hingga baru bisa ditemui sesore ini. Menyebalkan bukan? Oh mai God.. mimpi apa aku semalam? apakah aku salah baca doa keluar rumah tadi?

Kalimat yang terakhir itu bohong besar. Apalagi doanya, ia sedang berdusta pemirsa. Doanya justru harus makin dimantapkan. Aira bukannya tidak senang bin bahagia bertemu setan ganteng ini lagi. Setelah pertemuan pertamanya di Toko Buku itu, setan ganteng ini terus saja menghantuinya, nggak pagi, nggak siang, nggak malam, nggak lagi di kantor, di kos, di pasar, di jalan, sebelum tidur, bangun tidur, lagi ngaca, lagi gosok gigi, bahkan lagi sholat pun setan ini selalu datang menggodanya, menari-nari di otaknya sampai-sampai terkadang dia lupa sudah tahiyyat awal atau belum, parah kan?


Tak ayal pertemuan itu menjadi momen terindah yang sulit dilupakan gadis berperawakan kurus, tidak tinggi, tidak juga pendek, dan tidak imut ini. Semenjak itu, Aira suka tak sadar mampir di Toko Buku dekat kantornya itu, meskipun tak ada rencana beli buku. Kalau sudah demikian Ia hanya membongkar-bongkar, baca, nanya buku ini-buku itu ke pramuniaga, muter-muter sampai berjam-jam di sana. Tapi, ujung-ujungnya tak ada juga yang dibeli, yang ditunggu pun tak kunjung menampakkan batang kaki, eh batang hidung maksudnya. Lalu, dengan wajah tak berdosa ia melenggang keluar toko diantar dengan tatapan jengkel pramuniaga yang direpotkannya tadi. Selalu saja. Aira sangat berharap bertemu dengan sosok asli sang setan itu lagi, entah nanti dia mau cari masalah kayak apa lagi. Mungkin pura-pura jatuhin buku, atau pura-pura jinjit ngambil buku di rak yang tinggi biar bisa diambilin. Atau mungkin pura-pura rebutan buku yang sama, yang tinggal satu kayak di sinetron-sinetron. Apapun itu, yang jelas sekarang judulnya adalah pura-pura atau ekting, tidak orisinil lagi kayak dulu.

☺☻☺


Penjaga Kasir itu terkejut dan kebingungan melihat dua pelanggan di depannya sedang memperebutkan sesuatu. Bukan, bukan memperebutkan buku yang sisa satu, tapi berebut lebih dulu bayar di Kasir. Keduanya dalam waktu bersamaan berdiri di depan Kasir dan tidak ada yang mau kalah, saling mempertahankan berada di antrian pertama. Tidak peduli beberapa mata pengunjung menatap ke arah mereka.

Dalam beberapa waktu terakhir, Aira si gadis desa tengah bertekad kuat ingin jadi Badgirl, ia pun mengambil kesempatan ini untuk menguji mentalnya. Aira yang selama ini penurut dan lebih suka mengalah (baca: takut), kini bertekad ingin berubah menjadi orang yang lebih berani mempertahankan pendapatnya selama itu benar. Lawannya kali ini adalah seorang pria berkemeja kantoran. (Jiyyah..! harusnya lawan tuh preman pasar)
Pria yang terlihat terburu-buru itu hanya membeli satu buku, sedangkan Aira memborong hampir penuh tas belanjaannya. Dari materi yang berat hingga yang ringan seperti komik, dan tidak ketinggalan buku resep masakan.

“Saya duluan mbak, satu doang nih.” Pria itu menyodorkan bukunya pada Kasir yang terlihat tidak enak juga sama Aira. Tadinya pria itu tidak ingin cari masalah, ia ingin menghargai adat internasional Ladies First. Tapi, demi melihat banyaknya belanjaan Aira, tentu saja ia keberatan jika harus antri di belakangnya.

“Wahh.. ngantri dong, Mas..!” Aira menepis buku yang disodorkan pria itu ke penjaga kasir. Sekilas pria itu terlihat berperangai sombong, dingin, dan egois. Setidaknya itulah first impression Aira. Tipe orang seperti inilah yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Batinnya.

Pria itu tidak menanggapi Aira. “Mbak, mana yang ngantri duluan? Saya atau dia?” ia bertanya pada penjaga Kasir.

“Aa, a, eh…? “ penjaga kasir itu terlihat bingung.

“Saya kan mbak, iya kan?!” Aira ngotot.

“Ck,” Pria yang berpenampilan necis itu berdecak kesal, ia menoleh ke Aira. “Mbak..! belanjaanmu itu banyak, dan saya lagi terburu-buru. So, Please!” ujarnya sedikit emosi. Tapi, tunggu, lihatlah si Aira! Tiba-tiba ia merasakan desiran angin yang entah datang dari mana menyibak wajah dan rambut berponinya. Gila!! Nih setan cakep bangeeet.. Rambutnya agak cepak, hidungnya mancung, matanya indah, alisnya agak tebal rapi, kulitnya putih bersih, sekitar lima belas senti lebih tinggi dari aku, dan wanginya… sunkist. Perfect! Tuhan, kenapa aku baru sadar? Batin Aira yang hanya dalam waktu kurang dari sepuluh detik sudah meneliti begitu banyak.

“Gak bisa, gak bisa!” sanggah Aira tak sadar, kepalanya geleng-geleng, sebenarnya Aira sedang berbicara dengan dirinya sendiri, gak bisa, gak bisa naksir dengan setan sombong seperti ini. Pria itu emosi, pikirnya itu sanggahan untuk dirinya.

“Ssh, yaa Tuhan..!!!” Pria itu membanting bukunya di meja kasir. Aira dan petugas Kasir kaget.

“Maaf Mbak, Mas, sudah, sudah… Mas-nya biar sama teman saya, Mbak-nya sini, biar sama saya aja, silakan mbak..” Penjaga Kasir itu mencoba memberi solusi sebelum ada yang mengeluarkan serangan maut dan tokonya berubah jadi arena gladiator, kalau di film kartun si Aira akan berubah pake baju silat, kepala diikat, dan pria itu memakai baju kebangsawanan sang Pangeran, dua kasir tadi jadi dayangnya menonton si Aira yang mengeluarkan jurus-jurusnya, “hiyaaa…hiyaaa…” alias berantem sendiri, karena yang diajak berantem juga nggak peduli. Bukannya terlihat keren, malah jadi nyebelin. Stempel Badgirl, FAILED!


☺☻☺
           


            “Oke, baiklah, aku tau kamu masih marah tentang kejadian itu. Sekarang kamu mau ngapain?” Pria itu terlihat santai sambil menyeruput segelas kopi di mejanya. Sekarang mereka sudah duduk di kursi tamu dalam ruang kerja yang menurut Aira sangat luas.

            Maaf bapak Erry Angga Prayudha yang terhormat, sepertinya anda terlalu percaya diri. Untuk apa saya menghabiskan energi harus marah pada anda?” Aira menatap tajam dan menekan suaranya dengan senyum yang dipaksakan. Emosi bohongan.

“Haha.. iya..iya. em, panggil aja Rian.” Pria itu masih santai.

“Ri..an??” Aira spontan memeriksa catatannya. “dari mana hubungannya?” ia setengah berbisik sambil meneliti kembali nama narasumbernya. Panik, takut salah nama.

“Coba diliat baik-baik nama itu?” Aira nyengir, meliriknya sekilas, ternyata Rian mendengar komentarnya. Dilihatnya kembali nama itu. Erry Angga Prayudha, sekilas nggak ada hubungannya kan sama Rian?? Iya, mana ada nyambungnya? Kalo Erry atau Angga atau Yudha sih bisa. Tapi, Rian? dari mana nyambungnya? Ck,ck, Anak jaman sekarang emang banyak tingkah, nama bagus-bagus dikasih orang tuanya, sampe sembeleh sapi, malah diganti-ganti seenak perut. Aira mencerca dalam hati. Eh, tunggu bentar! Matanya melotot, diperhatikannya lagi nama itu baik-baik, ahaa! Ia mengerti sekarang. Dua huruf terakhir di kata pertama dan dua huruf pertama di kata kedua. Yup! erRY ANgga.[1] Maksa banget nggak sih? batin Aira. Ia pura-pura manggut tanpa komentar.

 “Sekarang, apa yang bisa saya bantu, mbak… Humairah Dzihni A.?” tanya Rian melirik kartu pers yang tergantung di leher Aira.

“Oh iya, saya sampai lupa mengenalkan diri, nama saya Humairah Dzihni Amalia,[2] panggil saja Aira. Saya dari rubric Sport Harian Pagi.” Aira melihat perubahan mimik wajah Rian, antusias.  “Saya ingin konfirmasi beberapa hal terkait Pekan Olahraga Nasional yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi. Berdasarkan Informasi yang kami terima, Perusahaan properti ini sebagai salah satu perusahaan sponsor. Oh iya, mmm.. kira-kira bapak menyediakan waktu berapa lama untuk wawancara?” Aira sambil mengeluarkan tape-recorder dari ranselnya.

“Sampai tidak ada lagi yang ingin ditanyakan.” Sang Executive Manager PR itu menjawab santai, Aira mengangguk mantap dan memulai wawancaranya. Wawancara itu berlanjut dalam situasi yang benar-benar formal. Untuk hal ini, Rian harus mengakui sikap professional wartawan yang ada di depannya sekarang.

            Di akhir jawaban dari pertanyaan terakhir, masih dengan bahasa formal Aira mengucapkan terima kasih atas kesediaan narasumbernya meluangkan waktu. Tanpa banyak basa-basi lagi Aira undur diri untuk pulang. Tapi, ditahan oleh Rian.

“Umm,, kita bisa berteman kan?” Ucap Rian sebelum Aira pergi.

Bisa, bisa banget.. kenapa nggak sekalian nanya, kita bisa nikah kan? Ya Salam… aku mikir apaan ssih!? “Oh, why not? Kita nggak punya masalah kan?” jawab Aira datar padahal dari tadi jantungnya lompat-lompat tak karuan dan hampir lepas dari tempatnya.

☺☻☺



            Ajakan pertemanan itu akhirnya membuat mereka berteman akrab. Kepribadian Aira yang cuek membuat Rian senang berteman dengannya. Mereka sering kemana-mana bareng. Rian juga mengenalkan Aira ke orang tuanya, Aira disambut baik oleh keluarga itu, keluarga yang merindukan anak perempuan. Rian juga sering mengajak Aira ke acara kumpul bersama teman-temannya atau ke pesta-pesta rekan kerjanya. Rian menyukai kepribadian Aira yang spontan, tidak jaim juga tidak centil seperti wanita-wanita cantik yang selama ini selalu mendekatinya. Aira memang tidak secantik wantita-wanita itu, tidak berpenampilan seksi dan memukau seperti mantan-mantannya. Aira tidak pernah mencari-cari perhatiannya, bahkan jika Rian memegang tangannya waktu nyebrang jalan saja Aira langsung memamerkan bogemnnya. Silakan saja kalau mau ditonjok. Padahal kalau cewek lain, sudah mampus kelepak-kelepek mendapat perhatiannya. Tapi, justru itu yang membuat Rian nyaman. Di dekat Aira dia merasakan suatu hubungan yang hangat, kasual, cuek, ia merasa Aira adalah wanita yang ingin ia lindungi, ia menganggap Aira seperti adiknya sendiri, ia tidak ingin ada sesuatu apa pun yang menyakiti dan menyentuh Aira. Mendengar kebawelannya, memarahinya, menjitak kepalanya kalau Aira bertingkah yang aneh-aneh.

            Perhatian Rian terhadap Aira tak urung membuat Aira bangga, meski terkadang ia tidak nyaman dengan tatapan sinis teman wanita Rian yang lain. Tapi, bukan Aira namannya kalau memikirkan tatapan sinis mereka. bodo’ amat. Itu kata-kata andalan Aira membalas tatapan mereka. Aira tidak peduli dengan semua itu. Ya, memang semenjak menyandang label Badgirl (dia sendiri yang memberi label itu) Aira berubah menjadi pemberani terhadap apapun dan siapapun kecuali Tuhan.

Rian adalah yang paling dekat dengan dirinya saat ini. Terkadang ia tak suka jika Rian memperlakukannya seperti anak kecil, karena sebenarnya ia menganggap Rian bukan hanya sebagai seorang sahabat ataupun Kakak, tapi lebih dari itu, meskipun terkadang di pikirannya terlintas Rian tidak mungkin memiliki perasaan yang sama dengan dirinya.  Selama ini, banyak cewek-cewek cantik dan lebih berkelas yang mendekati Rian, Aira tahu mereka saja tidak digubris oleh Rian, apalagi dirinya yang biasa saja, tidak feminin, tidak cantik tapi juga tidak jelek. Aira juga sering berpikir apakah dia sedang menciptakan perasaannya sendiri, mensugesti diri sendiri bahwa Rian menyukainya?

Sialnya semua kekhawatiran dan keminderan itu bisa ditepis. Lihatlah bagaimana Rian memperlakukannya, Rian sangat perhatian padanya, mereka sering bepergian bersama, Rian juga hampir setiap hari mengantar dan menjemput Aira ke kantor, ke kampus, bahkan mengikuti Aira jika ada liputan di lokasi yang jauh. Rian sering mengajaknya jalan-jalan atau nonton di bioskop. Selain itu, mereka memang memiliki banyak kesamaan, sama-sama suka bola, musik favorit mereka pun sama music rock, band favorit Green Day, lebih suka nonton film komedi atau action ketimbang drama romantis. Semuanya serba seragam dengan Rian. Aira tidak bisa bohong, Aira tidak sedang ge’er, ia percaya pada bisikan hatinya bahwa Rian juga memiliki perasaan yang sama padanya, melihat sikap Rian padanya akhir-akhir ini. Terlebih lagi, selama ini Rian selalu menolak cewek lain dan perhatian sekali pada dirinya.

Meskipun di kota ini ia tinggal merantau seorang diri karena orang tua dan keluarganya jauh di kota lain, kampung halamannya, tapi ia merasa memiliki keluarga kedua yang menyayanginya di sini. Ya, Rian dan keluarganya yang merindukan keceriaan anak perempuan menganggap Aira malaikat kiriman Tuhan untuk memenuhi keceriaan di rumah mereka. Meski demikian, biarlah semua berjalan apa adanya, walaupun Rian tidak mengatakannya langsung, semua perhatian Rian sudah cukup sebagai ungkapan itu. Tuhan, terima kasih karena sudah mengirimkan pangeran ganteng ini. Tapi, kapan dia akan melamarku?

☺☻☺




“Eh, sorry, tunggu, tunggu!” Seorang wanita berlari masuk lift, badannya yang langsing dengan sigap menelusup pintu lift yang hampir tertutup tapi terbuka lagi. Rian yang menahan tombolnya dari dalam. “Makasih.” ucapnya singkat. Rian hanya membalas dengan anggukan pelan. Ada tiga orang di dalam ruangan persegi yang telah berhasil menggeser fungsi tangga itu. Rian, wanita itu, dan satu lagi yang pasti bukan setan. Dari ujung matanya, Rian memperhatikan wanita itu. Rambut panjang lurus, mengenakan blus ungu muda dengan span dark purple sebatas lutut, sepatu pantofel setinggi 7 cm, dan tas jinjing warna senada blus di lengan kanannya.

Rian mengenal wanita itu, tapi memang tidak terlalu akrab, hanya bersay-hai saja setiap berpapasan. Siapa sih yang tak kenal dengan Karina Mustika, sang sekretaris Direktur. Cantik, cerdas, feminin, fashionable, dan selalu tampil profesional. Karin juga dikenal ramah dan santun. Hampir semua kaum adam yang bekerja di kantor itu tergila-gila padanya. Bagi yang punya keberanian, modal tampang dan materi tentu sudah pernah merasakan ditolak dengan santun olehnya. Hingga saat ini belum ada yang sakit hati sampai mengirim pelet untuknya, atau pelet-pelet yang dikirim memang nggak mempan, entahlah. Hanya Rian lah di antara kandidat yang memenuhi kriteria yang belum pernah mendekatinya. Rian terkenal dengan sifat cueknya atau kata para gadis Rian itu cool. Tentu Karin hanya angin lalu. Pada rekan-rekannya Rian mengaku sudah bosan dengan wanita cantik.
☺☻☺



            Siang itu, teman-teman Rian yang biasa makan siang bersamanya sedang meeting di luar semua. Walhasil Rian makan sendirian di kantin.

            “Boleh duduk di sini?” tiba-tiba seorang wanita dengan nampan berisi menu makan siang di tangannya membuyarkan lamunan Rian yang tengah menikmati santap siang sambil sesekali memperhatikan macetnya jalan raya di luar jendela dari lantai 4 gedung. Rian mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan Kantin yang cukup luas itu, masih banyak tempat kosong.

            “Oh, silakan.” Jawab Rian setelah melihat wanita itu ternyata adalah Karin.

            “Terima kasih.” Karin tersenyum manis seperti biasanya. “Pak Rian tumben sendirian?” lanjutnya membuka percakapan.

            “Iya, yang laen pada meeting di luar.” Rian sadar dengan pernyataan “tumben” yang baru saja dilontarkan Karin. Ia menyimpulkan Karin memperhatikannya. “Anda juga tumben sendirian?” ia berusaha membalas dengan kalimat yang kurang lebih sama sambil berdoa semoga ia tidak salah bicara. Sejak kapan ia memperhatikan Karin? Ia tidak pernah tahu apakah selama ini Karin selalu makan siang dengan rekan-rekannya atau tidak.

            Mendengar pertanyaan Rian, Karin berusaha menahan tawa “Saya tidak selalu makan siang dengan teman-teman kok, malah sering makan siang sendirian di sini.”

            “Oh..” Rian hanya bisa ber-oh ria. Tuh kan.. sok tau sih… Rian merutuki dirinya.

            Selanjutnya mereka menyantap makan siang sambil ngobrol banyak. Sedikit banyak Rian mulai mengenal Karin. Dalam hatinya ia akhirnya paham kenapa Karin begitu menarik bagi teman-temannya yang selalu membawa nama Karin dalam setiap pembicaraan mengenai wanita. Karin memang menarik, cerdas dan nyambung diajak bicara. Lebih dari itu, dia cantik. Sampai saat ini, Rian tidak memiliki perasaan apa-apa. Selama ini juga ia sering berhadapan dengan wanita cantik seperti Karin. Ia hanya sebatas tertarik biasa saja, sebagai laki-laki normal siapa sih yang tidak menyukai wanita cantik. Di akhir percakapan mereka siang itu, sebelum berpisah di lift karena Karin harus naik ke lantai 5, sedangkan Rian turun ke Lantai 3, mereka sempat bertukar nomor ponsel Karin.

            Tidak ada di skenario Rian, makan siang itu ternyata mengawali makan siang mereka di hari-hari berikutnya. Kadang tidak sengaja ketemu di kantin. Sering juga mereka memang janjian makan siang bareng. Rian tidak terlalu sadar dirinya mulai tertarik dengan Karin, malam hari ia mulai sering menelepon Karin. Membicarakan apa saja, tentang pekerjaan, kehidupan masing-masing, cita-cita, dan lainnya.

            Hingga suatu hari mereka dinas ke luar kota bersama beberapa kepala bagian lainnya. Selama tiga hari, mereka bekerja bersama. Karin yang mewakili Direktur tentu menjadi ketua rombongan tersebut. Karena keterbatasannya sebagai wanita, Karin kerap meminta bantuan Rian sebagai Kepala Bagian Humas untuk membantunya. Posisi tersebut mendukung intensitas pertemuan mereka jadi lebih sering.

            “Bisa turun sebentar? aku tunggu di lobby ya.” Pada malam terakhir dinas luar itu Rian mengirim sms pada Karin. Sms itu segera mendapat balasan “Oke” tidak lama Rian menunggu, Karin turun dengan pakaian santai, Rian belum pernah melihat Karin mengenakan pakaian selain pakaian kantor sebelum-sebelumnya. Celana panjang, kaos dibalut sweater lengan seperempat, dan syal melingkar di lehernya. “Ini cewek idaman yang emang selalu memperhatikan penampilan. Dia tau betul bagaimana bisa tampil menarik.” Bisik Rian dalam hati menyambut Karin yang menghampirinya. Kemudian ia mengajak Karin, berjalan-jalan ke taman kota yang jaraknya tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Di taman itulah Rian mengungkapkan perasaannya bahwa selama ini ia menyukai Karin dan ingin mengenalnya lebih dekat.

            “Ternyata aku perlu melakukan banyak hal ya agar kamu bisa suka sama aku?” ungkap Karin kemudian setelah Rian menyatakan perasaannya.

            “Maksudnya??” Rian perlu waktu untuk mencerna kalimat Karin. Tapi, Karin tidak serta merta menjawab, ia hanya mengulum senyum membiarkan Rian mencerna sendiri kalimat yang ia utarakan tadi. “ah, jadi… jyyah..” Rian menepuk jidat. “kamu bikin aku deg-degan. Jadi…??” Rian akhirnya mengerti meskipun ia masih setengah tidak percaya.

            “Iya Rian! Aku juga suka sama kamu. Bahkan sejak lama. Tapi, kamu ngelirik aku aja enggak.” Karin menundukkan wajahnya, ia malu mengatakannya. Tapi, ia bahagia, ternyata cintanya pada Rian tidak bertepuk sebelah tangan. “Kamu tau kenapa aku tolak semua cowok yang pernah nembak aku selama ini, itu karena aku mengharapkan kamu yang deketin aku.” lanjutnya dengan wajah masih tertunduk. Sekarang Rian sudah menemukan cinta yang selama ini ia cari. Wanita yang dewasa, cantik luar-dalam, lembut dan santun. Sungguh malam yang indah di sudut taman kota.

☺☻☺


Tanpa berkata sepatah kata pun Aira bangkit dari duduknya, ia tidak tau harus mengatakan apa pada Rian, sebenarnya ia ingin bertanya banyak hal, bertanya kenapa dulu Rian ingin berteman dengannya, kenapa Rian suka mengajaknya jalan-jalan, kenapa Rian sering mengantar dan menjemputnya, kenapa Rian suka mengajak ke rumahnya, dan bertemu orang tuanya sampai mereka mengganggap dirinya anak mereka, ingin bertanya kenapa Rian selalu memperhatikannya? bertanya kenapa Rian kesini? Kenapa Rian masih mengkhawatirkannya padahal Rian sudah punya pacar? kenapa? Kenapa? Tapi, ia tidak mau mendengar jawabannya. Ia sudah tau jawaban Rian. Adik, ya adik, Rian hanya menganggapnya adik. Rian hanya kesepian tidak punya saudara.

Badannya terasa lemas, tapi, Aira tetap berusaha tersenyum. Ia pun langsung masuk ke dalam kamar kosnya, tanpa berkata apa pun. Lalu, menutup pintunya. Rian kebingungan, tapi dia juga tidak berkata apa-apa lagi, ia masih berdiri terpaku beberapa saat, ragu ia hampir mengetuk kembali pintu itu, tidak jadi, lalu ia pulang. Aira yang masih berdiri dibalik pintu mencoba menahan tangis, tapi begitu ia mendengar suara Juke Rian meninggalkan kosnya, tangisnya makin meledak.

“Dia temen kantorku. Orangnya cantik. Di kantor banyak yang naksir dia. Banyak yang nembak, tapi gak pernah ada yang diterima, pas giliranku yang nembak, eh langsung diterima?!” kata-kata Rian kemarin waktu dia main ke rumah Rian kembali terngiang. Saat itu Rian tidak melihat ekspresi wajah Aira. Entah disebut apa ekspresi wajah Aira saat mendengar ceritanya. Sedih, kecewa, sakit, senang, bangga, tapi lebih dari itu ia,,,,,,,, cemburu. Mendengar cerita Rian, hatinya seperti tercabik-cabik, dunia jadi hanya punya satu warna, abu-abu. Rian selama ini membuat hatinya berwarna-warni, kini seperti sedang memberi cat warna hitam. “kok diem?” Rian mengalihkan pandangannya dari tivi dan melihat reaksi Aira.

“Eh, perutku tiba-tiba mules nihh, aku pulang dulu ya. Daah..” Aira yang ingin menyembunyikan kekalutannya secepat kilat berdiri dan berlari pulang ke kos. Jangan sampai Rian menangkap ekspresi aneh di wajahnya saat itu.

Selama ini ia memang selalu ge’er, selalu mensugesti dirinya bahwa Rian memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat atau saudara. Selalu mengait-ngaitkan segala kejadian yang membuat anggapan Rian juga menyukainya semakin kuat. Cintanya ternyata tidak bertepuk tangan, atau bahasa kebanyakan orang bertepuk sebelah tangan, pungguk merindukan bulan, apalah daya tangan tak sampai, dan ungkapan galauers lainnya.

“Ah, lagipula  bukannya dari dulu aku ga mau pacaran, buang waktu, buang tenaga, buang pikiran. Dan satu lagi, nambah dosa!” Lagi-lagi Aira berbicara dengan dinding yang tak bergoyang, eh, itu rumput ya. Bukan, Aira bukan sudah gila, tapi kalimat itu selalu terucap saat sekelebat setan Rian menghantuinya. Tiba-tiba Aira mendengar sang dinding menjawab “Kan kamu emang gak pengen pacaran sama Rian, tapi kamu maunya dinikahin langsung?!” jawaban sang dinding sinis ditimpali pula oleh si meja, kursi, kipas angin, leptop dan seisi kamarnya. “Tapi, udahlah, dia sudah punya wanita pilihan dan dia sepertinya akan menikahi wanita itu. Aku ikhlas kok, yang penting dia bahagia.” Aira sok tegar. “Nggak usah mengutip bahasa dari gue deh?” kali ini si Tivi angkat bicara.

☺☻☺

            Sebenarnya Rian tetap tidak berubah, ia masih sering mendatangi Aira, menelepon, sms, masih sama, tidak ada yang berubah. Tapi, justru Aira yang berubah, Aira sengaja menjaga jarak dan mengurangi intensitas hubungannya dengan Rian. Ia tak mengerti jenis hubungan apa yang ada antara Rian dan dirinya. Sahabat, Kakak-adik, atau apa? Yang jelas itu tidak bisa diteruskan karena Rian sudah memiliki pacar yang tentu tidak akan suka dengan kedekatan mereka. Terlebih lagi, Aira tidak bisa lagi pura-pura tidak menyadari perasaannya, ya, ia benar-benar jatuh cinta pada Rian, dan ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan.

☺☻☺



Suatu ketika agar tidak terlalu kelihatan sedang menjauh, bias-bisa perasaannya ketahuan, Aira sengaja mampir ke rumah Rian seperti biasanya, bermain seperti sebelum sebulan yang lalu, sebelum ia mengetahui Rian pacaran dengan Karin.

“Yan, Rian..! kamu kenapa siih..?” Aira mengikutinya. Yang ditanya tidak menyahut, serasa tidak ada orang. Rian mengambil toples bersisi kripik kentang di atas meja makan dan berjalan ke tangga. Aira masih mengikutinya. “RIAANN…!” Aira setengah berteriak merasa kesal karena dicuekin. Rian akhirnya berhenti di anak tangga ke tiga. Ia bersandar sambil mencomot kripik kentang di toples yang dibawanya.

“Kenapa?” Rian bertanya tanpa melihat lawan bicaranya, nada suaranya terdengar tidak biasa di telinga Aira. Aira langsung berlari menaiki tangga dan berdiri berhadapan dengan Rian yang langsung membuang muka.

“Kamu kenapa ssih, Yan.?” Rian nggak menjawab, ia kembali menaiki anak tangga, Aira mengikutinya. “Kamu udah sarapan belum? Makanannya tadi aku anter ke atas udah kamu makan? Yan, kamu kenapa? Kemarin telponku gak diangkat?? Kamu kok jadi aneh gini?”” Rian tiba-tiba berhenti membuat kepala Aira membentur punggung kokoh itu. “Aph!” Aira meringis memegang jidatnya yang sakit. Jika biasanya Rian pasti tertawa melihat tingkah lucu Aira. Sekarang situasinya sedang berbeda. Ia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Aira. Ia merasa muak, Ia merasa Aira mengganggunya.

“Apa kamu bilang tadi??”

            “Bilang yang mana?” Tanya Aira polos.

            “Aku? aneh?? kamu mikir donk! Lagian kamu kenapa sih pengen tau aja urusan orang?! Terserah aku lah mau sarapan atau enggak! Mau ngangkat telfon atau gak ngangkat telpon siapa pun! Kenapa kamu mesti nanya-nanya?! Hah?! Lama-lama kamu ngeselin juga tau nggak!!” Rian tiba-tiba saja menghardiknya. Jelas Aira kaget bukan kepalang. “pake bilang aku aneh lagi! yang ada kamu tuh yang aneh! kamu sengaja kan jaga jarak sama aku?! Kenapa? Hah?! kamu cemburu sama Karin?” Aira tercekat lalu menunduk merasa bersalah. “Hh, gak nyangka, aku kira kamu bener-bener polos. Aku kira kamu bener-bener tulus, selalu jujur. Tapi, apa??!” nada suara Rian meninggi. Rian tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tidak tega juga melihat Aira yang hanya tertunduk. Yang jelas Rian kecewa dengan Aira. Aira yang ternyata selama ini pura-pura senang mengetahui ia punya pacar. Pria 28 tahun itu langsung masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras.

Aira tertegun, ia sangat shock dengan semua yang didengarnya baru saja. Tubuhnya lemas, rasanya ia tak sanggup lagi berdiri. Ia pun tak mengerti kenapa perasaannya begitu sakit, hatinya hancur, padahal Rian sering memarahinya, dan ia justru senang dimarahi Rian. Tapi, kali ini rasanya lain, pandangan mata Rian, pandangan mata Rian tadi dingin sekali, kata-kata Rian terngiang berulang-ulang di kepalanya. Dadanya terasa sesak, hampir lima belas detik ia tidak bernapas, ia tercekat. Apa salah ia memiliki perasaan itu terhadap Rian? Tentu saja salah, karena dari awal ia selalu memakai ‘topeng’. Dan itu memang berhasil membuat Rian tidak memiliki pikiran bahwa Aira akan menyukainya.

Tiba-tiba ia merasakan air matanya menetes, hanya setetes di sudut mata kanannya. Setelah itu sudah, ia tidak bisa menangis, rasanya menangis saja belum cukup, ia bahkan ingin bisa menghilang dari bumi saat ini juga. Shocknya masih belum hilang. Ia tidak pernah melihat Rian semarah itu terhadapnya. Sekali pun tidak pernah. Hatinya seperti tercabik-cabik. Saat ini ia benar-benar membutuhkan ada orang yang minimal menggerakkan tubuhnya, syukur-syukur memapahnya, entah Mama Rian atau siapa pun. Tapi, tak ada, tak ada seorang pun di rumah itu yang mengetahui situasinya saat ini. Mamanya Rian sedang sibuk menyiram bunga di halam belakang dengan pembantunya. Sekarang tinggal suara pintu yang ditutup dengan keras tadi masih terdengar berulang-ulang. Beberapa saat Aira hanya berdiri terdiam tanpa bergeser se-centi pun. Lalu, ia pun tersadar tidak bisa berada di sana terus, Aira berlari menuruni tangga, ia meraih tasnya yang tergeletak di atas meja, ia bahkan lupa mengambil jaketnya yang di sofa dekat meja itu, ia berlari keluar dan pergi tanpa pamit ke pemilik rumah.

            Rian sendiri tidak mengerti kenapa dia harus membenci Aira, ya, dia sangat membencinya sekarang. Rian merasa muak dengan Aira, kenapa Aira berani mencintainya? Kenapa Aira bisa menyalah-artikan kebaikannya selama ini? apa tidak cukup dengan dianggap seperti keluarga? Kenapa Aira harus memiliki perasaan lebih terhadapnya? Semua itu membuat Rian merasa muak, ia tidak ingin melihat Aira sama sekali.

☺☻☺


Aira cukup sadar diri bahwa dia tidak masuk dalam kategori cewek cantik. Bukan berarti dia tidak mensyukuri ciptaan Tuhan, tapi bukankah memang kehidupan sosial menciptakan kategori-kategori itu. Walaupun ada yang mengatakan cantik itu relatif, bagi Aira itu tak lebih dari sebuah kalimat penghibur. Ya, kehidupan manusia di bumi mengkategorikan cantik, tidak cantik, tampan, tidak tampan, dan jelek. Banyak faktor yang mempengaruhinya, iklan produk kecantikan yang menampilkan kategori cantik dan jelek menurut mereka, kontes-kontes kecantikan, dan banyak lagi faktor lain. Untuk menghilangkan perasaan sakit hatinya dan sebelum setan membuatnya galau internasional, lalu menggodanya untuk bunuh diri, Aira harus mencari cara. Tapi apa? Masa harus menangis meraung-raung di depan rumah Rian?

Menurut salah seorang temannya, cara untuk mengobati patah tulang, eh, patah hati maksudnya, hanya ada tiga. Pertama, membunuh Rian, yang kedua bunuh diri, dan yang ketiga menyibukkan diri. Pilihan pertama sebenarnya boleh juga, tapi banyak resikonya, selain memang akan menjadi terkenal, ia juga akan mendekam di penjara seumur hidup. Pilihan kedua tentu hanya pilihan orang yang tidak punya otak atau kalau pun punya (karena sesungguhnya otak itu ciptaan Tuhan untuk setiap manusia), otaknya pasti salah diinstal. Mungkin instalnya masih pake Intel 8808 yang lahir waktu neneknya nenek neneknya lagi nenek Aira masih muda. Kalau otak Aira sekarang pake yang terbaru Intel Core i7 E-Sandy Bridge, halah. Jadi untuk bunuh diri itu mustahil, takut dosa juga siih. Nah, pilihan ketiga nih yang sudah pasti tokcer untuk badgirl seperti Aira. Menyibukkan diri. Ya, ia bertekad akan lebih fokus ke pekerjaan dan kuliahnya. No man, no cry!


☺☻☺




Sejak kejadian itu, Aira memutuskan pergi, kali ini benar-benar pergi dari kehidupan Rian untuk selamanya. Aira benar-benar ingin menghilang dari kehidupan Rian.  Oleh karena itu, waktu kantornya mengadakan seleksi untuk dua kandidat terpilih yang akan diutus untuk meliput Perayaan Olimpiade di Inggris. Aira bertekad kuat agar bisa lolos seleksi itu. Selain karena ia sudah menyelesaikan gelar Master Jurnalistiknya, dia juga berharap tidak lagi memikirkan Rian dan perasaannya.

Jika benar-benar lolos, setidaknya ia bisa melupakan perasaannya pada Rian. Rian yang benar-benar hanya ingin menganggapnya sebagai adik. Tidak hanya itu, bahkan sekarang Rian sangat membencinya. Meskipun Rian tidak secara langsung mengatakannya, Aira sangat mengerti bagaimana perasaan Rian menyadari kenyataan bahwa akhirnya Rian tau bahwa orang yang sudah dianggap sebagai saudara justru memiliki perasaan lebih padanya.

Akhirnya dengan tekad yang kuat Aira berhasil menyingkirkan beberapa kandidat lain, Atasannya juga melihat prestasi kerja Aira dalam beberapa waktu belakangan berpotensi untuk menjadi wartawan handal, mereka juga tidak menyesal telah meloloskan Aira sebelumnya untuk mendapatkan beasiswa S2, Aira pun menjadi salah satu kandidat terpilih yang berangkat ke London. Ia dan salah seorang yang berprofesi kameramen dari rubrik yang sama, rubrik Sport, yang juga lolos seleksi akan bertugas di sana untuk waktu yang cukup lama sampai Olimpaide itu berakhir. Ini adalah pertama kalinya Aira ke luar negeri, sekalinya ke luar negeri langsung ke negeri sepak bola. Gadis 25 tahun ini merasa sangat beruntung, selama ini ia hanya bermimpi kapan ya bisa bertandang ke negerinya The Blues, The Reds, The Red Devils, The Gunners, dan lainnya. Ia sungguh tak menyangka impian masa kecilnya bisa terwujud juga, terbang ke luar negeri. Tapi dulu Aira bercita-cita ingin ke Amerika karena waktu itu ia hanya tahu Negara Amerika, luar negeri itu ya Amerika, semuanya Amerika. Sampai ketemu pelajaran IPS kelas IV Madrasah Ibtidaiyah di desa yang sangat terpencil itu, baru ia mengetahui ternyata banyak negara lain selain Amerika. Dan sekarang ia akan ke Inggris, ke negeri Pangeran. Negeri yang sangat ingin Ia datangi sejak ia sering menemani ayahnya nonton liga Inggris.

Awalnya memang ia diutus hanya untuk meliput Olimpiade di negeri berlajur kemudi kiri itu. Tapi, karena kinerjanya bagus, berita-berita yang ia liput mendapat banyak apresiasi, akhirnya Aira ditugaskan untuk melanjutkan dinas di Eropa selama satu tahun. Aira ditugaskan meliput semua berita olah raga di Eropa, bukan hanya di Inggris. Jadi, pekerjaan Aira adalah berkeliling Eropa. Selama setahun itu ia memilih untuk berada di antara Mancunian (Sebutan untuk penduduk asli kota Manchester), ia menyewa apartemen di tengah kota Manchester sebagai tempat tinggal permanennya untuk satu tahun ke depan, dari kota yang melahirkan stasiun kereta api pertama kali di dunia itu Aira bisa dengan mudah berkeliling Eropa. Di negeri Ratu Elizabeth itu pula ia akhirnya mendapat hidayah untuk menutup auratnya sebagai muslimah. Ya, Aira sekarang memakai jilbab. Jilbab itu membuatnya terlihat semakin cantik, setidaknya itu menurut Aira sendiri, haha. Jilbabnya tak pernah menjadi halangan untuk pekerjaannya yang harus keluar masuk stadion yang penuh dengan supporter fanatik. Tidak pula mengancam keberadaannya di negeri yang sekarang mayoritas umat Kristiani Anglikan itu.

Masih mengenakan mantelnya, jilbab dan syal masih melilit di leher, tubuh Aira langsung roboh di kasur empuk terbungkus sprei putih itu, sungguh di sini tak ada sprei warna-warni atau motif bunga-bunga, guling pun tak ada. Lelah juga rasanya seharian meliput derby MU vs Mancity di Old Traffold. Pikirannya melayang di langit-langit kamarnya, Aira teringat julukan Badgirl yang ia nobatkan untuk dirinya, Badgirl memang sama dengan kepura-puraan. Pura tak suka, padahal suka. Pura-pura tidak peduli padahal sebenarnya peduli. Pura-pura jahat padahal sebenarnya baik. Pura-pura kasar padahal sebenernya berhati lembut. Pura-pura berwajah sangar padahal kadang takut juga.

Aira selalu seperti itu, ia suka sembunyi-sembunyi ketika mendatangi rumah Anjal tempat ‘nongkrong’nya. Di sana sudah ada sekitar dua puluhan anak yang menunggu kedatangannya setiap malam Rabu dan malam Sabtu, rutin. Gadis itu datang untuk mengajari mereka bahasa Inggris (jangan dikira belajar bahasa Inggris dengan menulis kosa kata di papan lalu mengejanya satu-satu, bukan. Aira membawa lagu terbaru, mendengarkan musik, menuliskan liriknya dan mengajarkan artinya, lalu, mereka pakai buat ngamen, ngamen pake lagu bule, keren nggak tuh? Begitulah metode pembelajaran Aira di rumah tua mereka) selain itu, Aira pasti membawakan mereka makanan yang banyak, atau pakaian bekas yang ia kumpulkan dari teman-teman kantor dan teman kuliahnya secara sembunyi-sembunyi juga. Kalau ditanya buat apa, dia hanya menjawab untuk dijual dari pada dibuang kan? Lalu, dengan ekspresi tak habis pikir, geleng kepala mereka ikhlas memberikan pakaian bekas mereka. yah, dari pada dibuang. Sekarang dirinya sudah tidak jauh dari mereka, kira-kira siapa ya yang ngurusin mereka? Mudah-mudahan aja Rian mau menjenguk mereka sekali-kali. Ya, hanya Rian yang tau misi terselubungnya demi mendapatkan pahala surga itu. Ah, iya! Rian! Gimana kabarnya? Aira tiba-tiba dikejutkan nada dering ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Layarnya tertulis nomor tak dikenal tapi dari Indonesia. Ia terbangun.

“Assalamulekum? Ya, ini siapa?” Aira berpikir Ayahnya ganti nomer? Soalnya Ayah biasa nelpon malam-malam begini. Dari seberang memang terdengar suara laki-laki, tapi tidak tau siapa, soalnya nggak dispeaker. He. Apakah Ayahnya, atau ketiga adik laki-lakinya? Nggak mungkin orang kantor, mereka tau di sini sudah larut malam. Demi keamanan bersama serta keberhasilan misi menghilangnya, nggak ada yang tau nomor ponselnya sekarang selain orang kantor dan keluarganya. “RIAN???”

***THE END***


By. Nina Pradani.


Fiction is the truth inside the lie – Stephen King




[1]  Ryan: dalam bahasa Gael-Skotlandia artinya Pangeran.
[2] Humairah = bersemu merah, Dzihni = pemahamanku, Amalia = Pekeja keras.

No comments: