“aku pengen dadi manten, bu.”
Kata itu terucap dari mulut saya delapan belas tahun lalu, sewaktu ada karnaval
untuk murid TK di seluruh wilayah Kepanjen-Malang dulu. Dengan logat jawa yang
kental, kalimat itu selalu terucap setiap ada perayaan karnaval. Saat itu saya
tidak tau alasan kenapa kok pengen jadi manten, padahal banyak teman yang
pengen memakai baju dokter, insinyur, guru, suster, astronot, pramugari, pilot,
polisi, polwan, tentara, tukang sate, dan berbagai profesi hebat lainnya. Saya
beneran gak tau kenapa pengen jadi pengantin. Karnaval ini adalah ajang dimana seorang anak mengekspresikan dirinya, menjadi seperti apa yang mereka cita-citakan di masa depan kelak. Semua temen-temen saya punya cita-cita yang hebat, lha saya? jadi manten. ampuuuun...
Hm, tunggu dulu! Saya inget
sedikit, dulu saya sebenernya juga pengen jadi Polwan, pengen memakai baju
Polwan, tapi berhubung saya selalu kehabisan persediaan di tempat persewaan, jadi
pilihan kedua adalah “manten”. Gak mau yang lain, pokoknya jadi manten. Saya
inget betul betapa kerasnya kepala (keras kepala, jadi ambigu nih) anak kecil
yang pengen pakai baju pengantin waktu itu.
Saat itu yang saya tau berpakaian
pengantin keren sekali, cantik, anggun, dan menawan. Bukan lagi pakai baju
pengantin ala eropa dengan gaun yang indah. Parah banget, maunya pake baju
pengantin adat jawa yang warna item bawahan batik itu, lalu kepala dikasih
konde, wajah didandan menor. Tapi, semenor apa pun anak kecil, tetep aja imut.
(silakan muntah)
Efek dari itu, setelah keluarga
saya pindah atau bahasa kerennya migrasi ke tanah asal orang tua saya, kota Bima,
kami tinggal di sana, saya melanjutkan pertumbuhan hingga remaja di sana,
sehingga bahasa jawa yang dulu sempat kental di mulut saya hilang perlahan
ditelan bahasa bima, sampai saat ini. Masa kecil saya sering sekali mendapat
tawaran syuting iklan, bukaaan, tawaran jadi pengiring pengantin. Bertugas
mengiring sampai ke pelaminan dan mengipas salah satu mempelai, saya selalu
ingin mengipas mempelai wanita yang cantik itu, tidak jarang juga rebutan
dengan partner kerja saya, tapi akhirnya partner saya yang mengalah, baik
sekali. Seringnya habis itu tangan saya pegel-pegel, tapi gak kapok-kapok juga,
selain bangga karena pasti ditanya-tanya, wah anak siapa itu?, jadi pengiring
pengantin dan tukang kipas (tee,,,sateee) adalah pekerjaan paruh waktu yang
menyenangkan, karena ikut didandan.
Aneh juga sih cita-cita kecil
saya itu, kayak judul filem aja, kecil-kecil jadi manten. Di saat semua
temen-temen kecil saya bercita-cita jadi dokter saya malah pengen jadi
penganten. Hadee.. (geleng-geleng)
Mengenai cita-cita, ada yang
bilang hidup tanpa cita-cita sama dengan nahkoda kapal yang berlayar tidak tau
tujuannya kemana. Jadi, hanya berlayar mengikuti arah angin, bagus kalau
terdampar di pulau yang penuh dengan harta karun, itu namanya takdir baik.
Tapi, kalau terdampar di pulau yang penuh misteri menakutkan, ternyata dihuni
oleh makhluk aneh pemangsa manusia seperti di pilem-pilem itu, hiiii.. kaan
serem.
Cita-cita memang perlu dimiliki
oleh setiap orang yang ingin hidupnya menjadi lebih berarti dan berguna di masa
depan. Cita-cita paling polos adalah memang yang diungkapkan anak kecil.
Seiring berjalannya waktu dan mulai mengerti serta menyadari tantangan hidup,
cita-cita yang pernah lantang diteriakkan di masa kecil itu bisa berubah.
Parahnya lagi, bisa sampai hilang. Tak bercita-cita. Katanya sih realistis aja
lah, ngalir aja laah.. hidup yang ngalir saja cenderung cari aman memang, tapi,
yakin bisa terus-terusan aman? Bagaimana kalau ngalirnya deres dan jadi banjir,
kan bisa tenggelam. Ya renang aja lah. Adeuh, banyak ya cara nge-les.
Saya sendiri waktu TK
bercita-cita pengen jadi manten, tapi SD mulai mikir, jadi manten bukanlah
sebuah cita-cita yang membanggakan, lalu berubah pengen jadi dokter. Tapi,
ketika itu saya takut disuntik, bagaimana bisa jadi dokter? Berubah lagi pengen
jadi Astronot, cita-cita itu lumayan bertahan lama sampai SMA, walaupun SMP
sebenernya sempat bercita-cita pengen jadi orang yang berguna bagi nusa,
bangsa, dan agama, itu yang selalu ditulis di diary teman-teman saya yang
memang diisi biodata teman. Tapi, segera mikir, berguna bagi nusa, bangsa, dan
agama bukanlah cita-cita, tapi itu harus. Apa artinya hidup kalau gak berguna?
Mending mati aja loe, jadi beban, berat-beratin bumi aja! (jahat ya)
Keinginan jadi Astronot sempat
meledak-ledak, menjelajah luar angkasa bener-bener keren, bisa melihat
bintang-bintang dengan jarak dekat, terbang dan mendarat dari satu planet ke
planet lain. Itu sungguh keren. Keinginan tersebut seiring dengan hobi
akhir-akhir saat itu adalah melihat bintang dan sangat menyukai film Ultraman
semua seri, Ultraman Cosmos, Ultaman Gaia, Ultraman apa lagi ya, hehe.. lupa.
Selain itu, seneng banget kalo pelajaran fisika bagian antariksa dan
mempelajari planet-planet, menghitung jarak bumi dengan matahari yang sampai
ribuan tahun cahaya, jarak bumi dengan planet-planet lain, uuh, seru banget
dahh.
Gak lama berselang, saya mulai
menyadari bahwa ternyata otak kanan saya lebih berperan dominan ketimbang otak
kiri saya. Kemampuan terhadap pelajaran sains selain Fisika tidak menunjukkan
pertanda bagus. Fisika pun selain Bab ruang angkasa, yang lainnya tidak mampu
dikelola otak saya dengan maksimal. Sebaliknya, otak saya cenderung cemerlang
di pelajaran sosial terlebih lagi bahasa dan sastra. Saya mulai hobi membaca
buku-buku sastra, komik, kumpulan cerpen dan novel. Saya juga mulai gemar
menulis, entah itu puisi sok puitis, lirik lagu gak jelas, cerpen ababil dan
cerpan yang endingnya pasti bahagia. Tapi, jangan salah, guru bahasa &
sastra Indonesia saya dulu waktu SMA sempat menawarkan untuk mengirim naskah
cerpen saya di sebuah ajang perlombaan cerpen tingkat SMA, dan gak menang.
Sejak saat itu, saya pun bercita-cita
pengen jadi Penulis. Dulu, saya sering menulis di biodata, idea = famous
writer, itu istilah yang saya buat sendiri, culun banget ya. Saya ingin menjadi
penulis terkenal seperti Kahlil Gibran dan William Shakespeare. Cita-cita itu
saya turutkan dengan mengambil kelas jurusan Bahasa mulai bangku kelas 2 SMA.
Walaupun, kelas bahasa hanya satu, kelas kami. Tapi, kelas kami selalu mampu
mengalahkan kelas IPA yang terkenal Favorit itu jika ada lomba kuis antar
kelas. Mungkin karena jadi minoritas, hanya satu kelas, jadi selalu kompak.
Sehingga kelas kami gak bohong kalau dibilang selalu dibanggakan sekolah. Tapi,
sayang sekali, saya dan teman-teman sekelas bahasa hanya memiliki satu kelas
adik tingkat. Sebelum Jurusan Bahasa hilang dari peredaran dinas Pendidikan
Negara yang sudah memiliki bahasa Indonesia ini.
2 comments:
hahahaa... polos banget de.. baru banget aq baca,
its a normal idea, when we was child and dreaming being a bride.
a long time a go aq juga pernah kayak kamu kok. cuman ngk cita2 jadi manten, samaan pas suka rebutan buat jadi pengiring manten. bahasanya jadi dayang2 gitu. haha..haha serruuuu banget tuh masa masa kecil ituh. sometimes pengen banget kalo ada mesin waktu mengulang kelucuan itu lagi.
just comment
Post a Comment