Sunday, September 16, 2012

Jadi Manten


“aku pengen dadi manten, bu.” Kata itu terucap dari mulut saya delapan belas tahun lalu, sewaktu ada karnaval untuk murid TK di seluruh wilayah Kepanjen-Malang dulu. Dengan logat jawa yang kental, kalimat itu selalu terucap setiap ada perayaan karnaval. Saat itu saya tidak tau alasan kenapa kok pengen jadi manten, padahal banyak teman yang pengen memakai baju dokter, insinyur, guru, suster, astronot, pramugari, pilot, polisi, polwan, tentara, tukang sate, dan berbagai profesi hebat lainnya. Saya beneran gak tau kenapa pengen jadi pengantin. Karnaval ini adalah ajang dimana seorang anak mengekspresikan dirinya, menjadi seperti apa yang mereka cita-citakan di masa depan kelak. Semua temen-temen saya punya cita-cita yang hebat, lha saya? jadi manten. ampuuuun...


Hm, tunggu dulu! Saya inget sedikit, dulu saya sebenernya juga pengen jadi Polwan, pengen memakai baju Polwan, tapi berhubung saya selalu kehabisan persediaan di tempat persewaan, jadi pilihan kedua adalah “manten”. Gak mau yang lain, pokoknya jadi manten. Saya inget betul betapa kerasnya kepala (keras kepala, jadi ambigu nih) anak kecil yang pengen pakai baju pengantin waktu itu.
Saat itu yang saya tau berpakaian pengantin keren sekali, cantik, anggun, dan menawan. Bukan lagi pakai baju pengantin ala eropa dengan gaun yang indah. Parah banget, maunya pake baju pengantin adat jawa yang warna item bawahan batik itu, lalu kepala dikasih konde, wajah didandan menor. Tapi, semenor apa pun anak kecil, tetep aja imut. (silakan muntah)

Efek dari itu, setelah keluarga saya pindah atau bahasa kerennya migrasi ke tanah asal orang tua saya, kota Bima, kami tinggal di sana, saya melanjutkan pertumbuhan hingga remaja di sana, sehingga bahasa jawa yang dulu sempat kental di mulut saya hilang perlahan ditelan bahasa bima, sampai saat ini. Masa kecil saya sering sekali mendapat tawaran syuting iklan, bukaaan, tawaran jadi pengiring pengantin. Bertugas mengiring sampai ke pelaminan dan mengipas salah satu mempelai, saya selalu ingin mengipas mempelai wanita yang cantik itu, tidak jarang juga rebutan dengan partner kerja saya, tapi akhirnya partner saya yang mengalah, baik sekali. Seringnya habis itu tangan saya pegel-pegel, tapi gak kapok-kapok juga, selain bangga karena pasti ditanya-tanya, wah anak siapa itu?, jadi pengiring pengantin dan tukang kipas (tee,,,sateee) adalah pekerjaan paruh waktu yang menyenangkan, karena ikut didandan.
Aneh juga sih cita-cita kecil saya itu, kayak judul filem aja, kecil-kecil jadi manten. Di saat semua temen-temen kecil saya bercita-cita jadi dokter saya malah pengen jadi penganten. Hadee.. (geleng-geleng)

Mengenai cita-cita, ada yang bilang hidup tanpa cita-cita sama dengan nahkoda kapal yang berlayar tidak tau tujuannya kemana. Jadi, hanya berlayar mengikuti arah angin, bagus kalau terdampar di pulau yang penuh dengan harta karun, itu namanya takdir baik. Tapi, kalau terdampar di pulau yang penuh misteri menakutkan, ternyata dihuni oleh makhluk aneh pemangsa manusia seperti di pilem-pilem itu, hiiii.. kaan serem.

Cita-cita memang perlu dimiliki oleh setiap orang yang ingin hidupnya menjadi lebih berarti dan berguna di masa depan. Cita-cita paling polos adalah memang yang diungkapkan anak kecil. Seiring berjalannya waktu dan mulai mengerti serta menyadari tantangan hidup, cita-cita yang pernah lantang diteriakkan di masa kecil itu bisa berubah. Parahnya lagi, bisa sampai hilang. Tak bercita-cita. Katanya sih realistis aja lah, ngalir aja laah.. hidup yang ngalir saja cenderung cari aman memang, tapi, yakin bisa terus-terusan aman? Bagaimana kalau ngalirnya deres dan jadi banjir, kan bisa tenggelam. Ya renang aja lah. Adeuh, banyak ya cara nge-les.

Saya sendiri waktu TK bercita-cita pengen jadi manten, tapi SD mulai mikir, jadi manten bukanlah sebuah cita-cita yang membanggakan, lalu berubah pengen jadi dokter. Tapi, ketika itu saya takut disuntik, bagaimana bisa jadi dokter? Berubah lagi pengen jadi Astronot, cita-cita itu lumayan bertahan lama sampai SMA, walaupun SMP sebenernya sempat bercita-cita pengen jadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama, itu yang selalu ditulis di diary teman-teman saya yang memang diisi biodata teman. Tapi, segera mikir, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama bukanlah cita-cita, tapi itu harus. Apa artinya hidup kalau gak berguna? Mending mati aja loe, jadi beban, berat-beratin bumi aja! (jahat ya)

Keinginan jadi Astronot sempat meledak-ledak, menjelajah luar angkasa bener-bener keren, bisa melihat bintang-bintang dengan jarak dekat, terbang dan mendarat dari satu planet ke planet lain. Itu sungguh keren. Keinginan tersebut seiring dengan hobi akhir-akhir saat itu adalah melihat bintang dan sangat menyukai film Ultraman semua seri, Ultraman Cosmos, Ultaman Gaia, Ultraman apa lagi ya, hehe.. lupa. Selain itu, seneng banget kalo pelajaran fisika bagian antariksa dan mempelajari planet-planet, menghitung jarak bumi dengan matahari yang sampai ribuan tahun cahaya, jarak bumi dengan planet-planet lain, uuh, seru banget dahh.

Gak lama berselang, saya mulai menyadari bahwa ternyata otak kanan saya lebih berperan dominan ketimbang otak kiri saya. Kemampuan terhadap pelajaran sains selain Fisika tidak menunjukkan pertanda bagus. Fisika pun selain Bab ruang angkasa, yang lainnya tidak mampu dikelola otak saya dengan maksimal. Sebaliknya, otak saya cenderung cemerlang di pelajaran sosial terlebih lagi bahasa dan sastra. Saya mulai hobi membaca buku-buku sastra, komik, kumpulan cerpen dan novel. Saya juga mulai gemar menulis, entah itu puisi sok puitis, lirik lagu gak jelas, cerpen ababil dan cerpan yang endingnya pasti bahagia. Tapi, jangan salah, guru bahasa & sastra Indonesia saya dulu waktu SMA sempat menawarkan untuk mengirim naskah cerpen saya di sebuah ajang perlombaan cerpen tingkat SMA, dan gak menang.

Sejak saat itu, saya pun bercita-cita pengen jadi Penulis. Dulu, saya sering menulis di biodata, idea = famous writer, itu istilah yang saya buat sendiri, culun banget ya. Saya ingin menjadi penulis terkenal seperti Kahlil Gibran dan William Shakespeare. Cita-cita itu saya turutkan dengan mengambil kelas jurusan Bahasa mulai bangku kelas 2 SMA. Walaupun, kelas bahasa hanya satu, kelas kami. Tapi, kelas kami selalu mampu mengalahkan kelas IPA yang terkenal Favorit itu jika ada lomba kuis antar kelas. Mungkin karena jadi minoritas, hanya satu kelas, jadi selalu kompak. Sehingga kelas kami gak bohong kalau dibilang selalu dibanggakan sekolah. Tapi, sayang sekali, saya dan teman-teman sekelas bahasa hanya memiliki satu kelas adik tingkat. Sebelum Jurusan Bahasa hilang dari peredaran dinas Pendidikan Negara yang sudah memiliki bahasa Indonesia ini.


2 comments:

Unknown said...

hahahaa... polos banget de.. baru banget aq baca,

its a normal idea, when we was child and dreaming being a bride.

a long time a go aq juga pernah kayak kamu kok. cuman ngk cita2 jadi manten, samaan pas suka rebutan buat jadi pengiring manten. bahasanya jadi dayang2 gitu. haha..haha serruuuu banget tuh masa masa kecil ituh. sometimes pengen banget kalo ada mesin waktu mengulang kelucuan itu lagi.

Unknown said...

just comment