21 Desember 2016, di hari yang sama 28 tahun silam, juga jatuh pada hari Rabu, banyak kejadian menakjubkan menurut alkisah Ibunda tercinta. Begitu pun dengan hari ini. Mulai dari pagi hari yang tidak bermatahari a.k.a mendung. Gulungan awan seolah arakan kerajaan majapahit melewati sebuah pedesaan. Bedanya, menurut sinema kolosal Tutur Tinular, arakan kerajaan itu disambut oleh rakyatnya yang ikhlas keluar dari rumah masing-masing dan berdiri berjejer kepala tertunduk. Memberi hormat. Sedang arakan awan yang melintasi desaku pagi tadi, memang disambut rakyat yang ikhlas keluar dari rumah, namun dengan urusannya masing-masing. Mana sempat menyambut awan. Melihat ke atas saja mungkin tidak ada yang sempat. Lebih-lebih sambil memejamkan mata menghirup udara segar.
Sampai sekitar kurang dari jam 9 pagi, turunlah hujan tanpa merasa perlu repot-repot ngasih klakson, aba-aba, tanda gelegar guntur atau kilatan petir. Baiklah, mungkin arakan itu ingin memberi kejutan. Atau justru mereka jengah karena tidak ada yang memperhatikan? Karenanya mereka mengaliri bumi dengan air penuh kedamaian. Namun, tampaknya tidak damai bagi para rakyat yang merasa terhalangi kesibukannya. Salah satunya adalah kami yang mengagendakan tepat jam 9 pagi akan melangsungkan pernikahan. Bukan, bukan saya yang menikah. Sepupu saya. Mungkin Yang Di Langit hanya ingin mengabarkan bahwa ada arakan yang perlu disambut meski hanya dengan mengingat hakikat diri masing-masing sebagai apa. Tidak mampu berbuat apa-apa tanpa Sang Kehendak. Meski persiapan sudah teramat matang dan mendidih.
Thursday, December 29, 2016
Friday, December 16, 2016
Kehilanganmu
Kukira saat melihat tubuhmu yang terbujur kaku kemarin adalah hari terberat. Namun, ternyata aku salah. Kemarin masih banyak yang mengelilingimu. Keluargamu yang mungkin lebih merasa kehilangan, teman-temanmu, para sahabat, tetangga, kenalan, atau bahkan mungkin ada pengagum rahasiamu di antara mereka. Artinya, banyak yang merasakan hal yang sama denganku. Jadi, aku tidak sendiri. Dan kau pun tidak sendiri.
Thursday, December 15, 2016
14 Desember 2016
Kamu masih ingat? Dulu, kamu selalu juara satu, dan aku cuma sanggup bertahan di juara dua. Saat itu, pikiran anak-anakku tidak pernah mendefinisikan kata bersaing di antara kita. Selain karena aku yang memang malas belajar, alibiku sudah seperti itulah takdir kita. Kalau aku menganggapmu sebagai saingan, siapa lagi teman berangkat ke sekolah bareng? Siapa lagi yang akan jadi teman sebangkuku?
Tuesday, December 13, 2016
Malam + Hujan + Sendiri = Horor
Mungkin aku terlalu sering ge'er kepada Tuhan hanya karena selalu menurunkan hujan di saat hati sedang dikelebati awan komulonimbus. See, aku nggak salah, kan? Ada mendung dan ada hujan. Walaupun mendungnya di manaa, hujannya di mana. Akhir-akhir ini memang sering turun hujan, baiklah, hujan memang turun, yang naik itu harga sembako, harga bbm, naik jabatan, naik ke singgasana, naik ke pelaminan. Eeh? Masalahnya, setiap kali galau melanda atau sedang ingin melow, pasti selalu turun hujan. Selama ini, aku selalu berpikir hujan di drama-drama atau sinetron saat lakonnya sedang merasa sedih dan menangis itu sesuatu yang mengada-ada, lebay, dan nggak realistis. Tapi, sepertinya aku harus menarik kembali anggapan itu. Dan jangan-jangan, gumiho atau rubah yang mewujud manusia itu memang ada? Iya, ada, sih. Sepertinya tidak lama lagi Negara Indonesia yang akan mewujud jadi rubah. Pernah lihat judul buku yang ditulis bapak politisi yang lagi hits baru-baru ini? Merubah Indonesia.
Monday, December 12, 2016
International (Universe) You Day
Allahumma sholi alaa sayyidina wa maulana muhammad...
Ketika rasamu terkikis dengan harapan kepada manusia,--Salah sendiri. Siapa suruh. Kena kau!--masih banyak yang menginginkan rasa itu di jagat ini, terserah rasa apa, cinta, simpati, kasih sayang, atau apa pun. Sementara menunggu cinta lain yang tumbuh di hatimu yang tidak tahu malu, tidak tidak tahu diri, dan tidak tahu diuntung itu, kamu masih bisa mencintai hewan. Oke, kamu sudah mempraktikkannya dengan memberi makan kambing yang melongok dengan wajah melas seolah nggak makan tiga puluh purnama itu, untuk ekting, harus kuakui mereka memang berbakat. Tapi, apa iya harus ngasih makanan nasi sisa kemarin yang sudah dikerumuni semut-semut nakal tanpa mau mengusir semutnya terlebih dahulu. Ya, kamu memang lagi kesal. Tapi, kan, nggak harus dendam sama kambing juga. Kasian, kan, kalau mulut mereka gatel-gatel. Mereka bukan manusia yang sudah mengerti semut gatal dan kalau kemakan otomatis menjadi peristiwa besar yang tidak tercatat dalam sejarah hidupmu. Ya, tentu saja, ketidaknyamanan yang ditimbulkan semut masih kalah dengan ketidaknyamanan yang kau timbulkan sendiri akibat membuka jendela lebar-lebar. Jendela hati. #eaaa
Saturday, December 10, 2016
Desember
"Assalamu'alaikum..."
Seseorang tiba-tiba membisiki salam dari arah belakang. Kaget? Tentu saja. Apalagi begitu berbalik, seorang wanita dengan pakaian serba hitam dan hanya mata yang terlihat, berdiri dengan manisnya. Dari sudut matanya aku bisa melihat dia sedang tersenyum lebar. Siapa?
Seseorang tiba-tiba membisiki salam dari arah belakang. Kaget? Tentu saja. Apalagi begitu berbalik, seorang wanita dengan pakaian serba hitam dan hanya mata yang terlihat, berdiri dengan manisnya. Dari sudut matanya aku bisa melihat dia sedang tersenyum lebar. Siapa?
Sunday, December 4, 2016
Balada Bapak-Anak Nonton TV
Bapak: Mana remote? Ganti, ganti! coba lihat inews!
Anak: Kenapa ganti inews? (Sbnernya dari tadi juga gonta-ganti cenel)
Bapak: Bapa suka inews, nih. Seneng lihat berita-beritanya. (sambil setengah mati pencet2 remote yang udah gak makan gak minum)
Anak: Kok bisa gitu?
Bapak: Berita-beritanya tepercaya, ulasannya bagus. Berimbang. Kayaknya cuma ini yang nggak berpihak.
Anak: Kayaknya susah, Pa, kalo nggak berpihak. Kayaknya. Hm... jangan-jangan justru karena mereka berpihak sama keinginan Bapa makanya Bapa seneng. Mereka, kan, harus bikin kita suka, biar ditonton terus.
Bapak: (diem, pandangan lurus ke tipi, mungkin dalam hati sambil berdoa, "ampuni anak hamba, ya Allah... biasanya dia gak durhaka gini.")
*untung si Bapak nggak tahu kalau anaknya malah suka lihat berita-berita di sosmed. :D
Friday, December 2, 2016
yang adil dan beradab
Kemarin lihat meme yang ngelarang nonton beberapa channel tv untuk siang tadi, salah satunya MetroTV. Tapi, saya jadi penasaran dan malah nonton channel tersebut.
Sekitar pukul 10-11 WITA, salah seorang reporter (laki-laki) tengah melaporkan situasi terkini. Di belakang reporter tersebut terlihat masa yang berlalu-lalang dengan tertib.
Sekitar pukul 10-11 WITA, salah seorang reporter (laki-laki) tengah melaporkan situasi terkini. Di belakang reporter tersebut terlihat masa yang berlalu-lalang dengan tertib.
Thursday, November 17, 2016
Azan di Desa
Selama hampir 28 tahun saya hidup di dunia, baru kali ini menyadari satu hal tentang desa ini. Well, memang sih, dari 28 tahun itu jika ditotal paling hanya sekitar 7 atau 8 tahun saya bener-bener berada di desa ini. Utuhnya 6 tahun selama sekolah dasar, 1-2 tahunnya akumulasi kalo mudik pas liburan termasuk yang sekarang. 5 tahun pertama di tempat lahir. 15 tahun sisanya saya keluyuran. Hitung-hitungan semacam ini pasti terpengaruh faktor kesadaran akan usia yang semakin menua, namun belum juga melakukan hal penting, berguna, bermanfaat untuk bangsa, negara, dan agama? Duh, jauuuh... oke, setidaknya untuk diri sendiri lah. Menikah misalnya. (Eeaa...)
Wednesday, November 2, 2016
Pintu dan Jendela
Pernah denger ungkapan "Buku adalah jendela dunia"?
Sebuah rumah biasanya tidak hanya memiliki jendela. Ada juga yang namanya pintu. Jika buku adalah jendela. Lalu, di mana pintunya?
Tuesday, October 18, 2016
Ibu
"Ibu perhatikan... laju motornya selalu dipelanin setiap lewat depan rumah kita."
"Siapa?"
"Ya anak itu, yang kemarin Ibu cerita."
"Baiklah, Ibu memang memiliki kepercayaan diri tinggi. Tapi, itu namanya over PD."
"Lho apa? Emang bener, kok, wong dia sambil lirak-lirik ke sini."
"Ibu, plis, deh... jangan ge'er."
Di atas sebenernya hanya prolog yang tidak ada kaitannya dengan yang ingin saya tulis sekarang. Kalau biasanya tulisan di blog ini, awalnya ingin menulis tema berbobot, dan ternyata ujung-ujungnya selalu lari ke curhat jodoh. Kali ini, saya ingin melakukan sebaliknya.
Ibu, Ibu adalah makhluk Tuhan yang paling nggak ngebosenin buat diceritain.
"Siapa?"
"Ya anak itu, yang kemarin Ibu cerita."
"Baiklah, Ibu memang memiliki kepercayaan diri tinggi. Tapi, itu namanya over PD."
"Lho apa? Emang bener, kok, wong dia sambil lirak-lirik ke sini."
"Ibu, plis, deh... jangan ge'er."
Di atas sebenernya hanya prolog yang tidak ada kaitannya dengan yang ingin saya tulis sekarang. Kalau biasanya tulisan di blog ini, awalnya ingin menulis tema berbobot, dan ternyata ujung-ujungnya selalu lari ke curhat jodoh. Kali ini, saya ingin melakukan sebaliknya.
Ibu, Ibu adalah makhluk Tuhan yang paling nggak ngebosenin buat diceritain.
Wednesday, October 5, 2016
Saturday, September 24, 2016
Wisdom
Satu hal yang paling saya ingat dari seorang dosen--yang pernah ngaku sebagai 'bapak angkat' saya :D --adalah kata-katanya yang senantiasa mengandung 'hikmah'. Pernah suatu ketika, saat bekerja part-time di lab. jurusan, saya diminta membuat surat permohonan pengadaan barang ATK-entah apa, opening surat yang saya buat kira-kira begini, "Sehubungan dengan tidak adanya bla..bla..bla.." kalimat tersebut mendapat coretan 'menyakitkan' khas beliau. Namun, 'bapak angkat' saya bukanlah seorang bos dalam novel yang saya baca yang mengkritik tanpa memberi penjelasan sehingga sekretarisnya harus mengerti segala keinginannya tanpa dia jelaskan. Bukan. Setelah mencoret, beliau menjelaskan bahwa dalam surat permohonan seperti ini jangan menggunakan kalimat negatif. Maksudnya kalimat negatif dalam aturan bahasa Inggris. Kalimat "Sehubungan dengan TIDAK adanya bla..bla..bla.." sebaiknya diganti dengan kalimat semisal "Sehubungan dengan adanya peningkatan kinerja bla..bla.. maka dibutuhkan bla..bla..bla..." ini contoh jeleknya saja, redaksional tepatnya saya tidak begitu ingat. Tentu saja kalimat yang beliau sarankan lebih bagus, lebih tertata teratur, lebih positif, dan lebih sopan.
Friday, September 9, 2016
Takjub
Sekitar 20 tahun lalu, tak sengaja seorang anak kecil menemukan buku cerita dengan ketebalan 1 cm berukuran kira-kira 6 x 18 cm di antara tumpukan rak buku ayahnya. Pada sampulnya yang usang tertulis judul "Wali Songo". Hanya itu yang terekam, kata atau kalimat sebelum dan sesudahnya dia sudah tak ingat. Saat itu, dia masih duduk di bangku madrasah setara SD, tepatnya kelas berapa dia pun sudah tidak mengingatnya. Satu yang jelas, buku itu sudah tidak ada sekarang, terakhir kali ia ingat sekali, buku itu dipinjam guru ngajinya. Beberapa kali minta dikembalikan, tapi guru yang juga mengajarkan ia dan teman-temannya shalawat keliling desa itu selalu menjawab, "Sebenernya saya sudah selesai membacanya, tapi, saya harus baca ulang lagi dua atau tiga kali agar bisa menghafal ceritanya untuk diceritakan ke teman-temanmu."
Sunday, August 28, 2016
Curhat Pengangguran
Oh astaga, ternyata surat-surat dari distrik pada postingan sebelumnya belum selesai dibalas. Maapkan aku, wahai Blog. Mungkin kamu agak kecewa karena salah satu penggunamu ini tidak konsisten. Suka sekali membuat tulisan yang tidak selesai, setengah-setengah, ababil, sok sibuk. Ya, aku akan mengakui, akhir-akhir ini memang agak sibuk. Jangan bayangkan sibuk beneran. Sebenarnya, aku tidak sibuk, eh, sibuk ding. Eh, enggak sibuk. Aissh, sudahlah, yang jelas saat menulis di sini aku sedang lari dari empat naskah yang menunggu diutak-atik. Dan aku belum juga mau menyentuhnya. Selain karenanya nyantai belum dibayar di muka, aku terlanjur berada di zona nyaman. Males ngapa-ngapain.
Saturday, July 23, 2016
Surat dari Distrik dan Balesannya
Sebelumnya, aku minta maaf karena baru membalas surat kalian sekarang. Dan kenapa aku mengunggahnya di sini, biar blog ini gak sepi tulisan karena aku yang terlalu sibuk dagang, ke kebun, memasak, makan, dan tidur. Padahal, kalian tahu surat kalian sudah aku baca di pesawat saat perjalanan pulang. Udah aku fotoin ya.. Kalian memintaku membacanya di pesawat biar dramatis, kan? Biar kayak di sinetron-sinetron itu, kan? Biar aku nangis sendirian dengan backsound lagu "let me go home..." trus orang di sebelah ngelirik sambil membatin "kirain cuma di sinetron ada adegan seperti ini. Dasar alay!"
Yang pertama surat dari yang paling senior dulu, ya, Kak Enta. Astaga, aku nggak nyangka Kak Enta bisa nulis sebagus itu. Maksud aku bukan bentuk tulisannya, melainkan isi tulisannya, rangkaian kata-katanya. Selama ini Kak Enta yang aku kenal itu emang orangnya cerewet, ramah, periang, dan kayak nggak pernah sedih. Oleh karena cerewetnya yang kebanyakan itu, aku pikir Kak Enta tidak terlalu suka menulis. Tapi ternyata tulisannyaa... terangkai indah. Aku harus ngasih bintang 4 buat surat Kak Enta. Kalo dikasih nilai, 85, deh. Inget, ini yang ngasih nilai mantan editor Salamadani lho ya, Kak.
Oya, mana, sih, suratnya Kak Enta itu? Bentar, aku unggah dulu.Monday, July 18, 2016
Perjalanan Tanpa Rencana
Adikku yang nomer 4, si Qorry Ainan, biasa dipanggil Kori atau Oi, dan Bapakku hari Sabtu kemarin sudah berbaik hati menemaniku ke Pelabuhan Bima. Aku janjian dengan seorang teman yang datang dari Makassar menuju Lombok dengan sebuah Kapal. Kapal itu ceritanya bakal merapat di Pelabuhan beberapa saat. Nah, aku dan temanku yang sudah lumayan lama tak berjumpa ingin mengambil kesempatan itu. Sampai di Pelabuhan ternyata kapal yang dinaiki temanku belum sampai. Untuk menghubungi temanku itu pun sulit, nomornya tidak aktif karena berada di tengah lautan. Jadi, sambil menunggu kedatangan kapal itu. Kami, aku, Kori, dan Bapak memutuskan untuk berjalan-jalan. Aku dan Bapak sepakat menyerahkan kepada Si Kori yang nyetir (aku bersumpah harus bisa nyetir juga. Masa kalah sama anak ingusan ini. Oke, oke, sekarang dia sudah mau SMA kelas 3) untuk membawa kami ke mana saja. Jadilah kami menempuh perjalanan yang lumayan atau kalau tidak bisa dibilang sangat jauh. Menuju arah utara Kota Bima. Sekalian biar keliatan kapal yang ditunggu karena kapal dari luar kota akan datang dari arah utara.
Sunday, July 17, 2016
Friday, July 15, 2016
Pisang
Bingung pisang di rumah banyak banget. Sampai-sampai mau bilang ke orang-orang yang ngasihnya "Om, Tante, Paman, Bibi, aku nggak pelihara monyet atau sejenisnya." Tapi, apalah daya, aku ditakdirkan sebagai anak yang baik dan lemah lembut. Jadi, cuma bisa bilang "Makasih banyak." Dengan senyuman termanis yang kupunya.
Sebagai mantan anak kos yang serba kekurangan, kurang asupan makanan bergizi, kurang minum jamu, kurang pengalaman memasak, kurang tidur, kurang kerjaan, dan kurang kurang lainnya, aku tidak terbiasa membuang-buang makanan. Aku pusing menghadapi pisang dan berbagai hasil kebun sebanyak ini. Kemarin aku sudah membuat pisang goreng, kemarinnya lagi aku bikin kolak dicampur labu, dan hari ini aku kehabisan ide. Cuma bisa digoreng begini aja. Lalu, seolah menemukan permata di sungai, aku menemukan keju di kulkas. Aku pun membubuhkan parutan keju di atasnya. Sambil memarut keju, iseng aku membaca tulisan di kemasannya. Ini kebiasaan burukku. Suka sekali membaca tulisan di kemasan. Kemasan apa saja. Kebiasaan ini terbawa bahkan sampai ke toilet. Karena toilet di rumah bukan toilet kering yang bisa sambil membaca koran, tanganku hanya mampu meraih botol shampoo atau sabun. Aku membaca tulisan dibalik kemasannya walaupun aku sudah membacanya berkali-kali. Harusnya kebiasaan ini bisa membuatku menguasai minimal tiga bahasa asing.
Kembali ke kegiatanku membaca kemasan keju tadi. Oh tidak! Kejunya sudah expired! Aku membaca lagi tulisan itu baik-baik. Benar saja, expired tahun 2015!! Duh, gustii. Pisang keju buatanku 😢ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Sebagai mantan anak kos yang serba kekurangan, kurang asupan makanan bergizi, kurang minum jamu, kurang pengalaman memasak, kurang tidur, kurang kerjaan, dan kurang kurang lainnya, aku tidak terbiasa membuang-buang makanan. Aku pusing menghadapi pisang dan berbagai hasil kebun sebanyak ini. Kemarin aku sudah membuat pisang goreng, kemarinnya lagi aku bikin kolak dicampur labu, dan hari ini aku kehabisan ide. Cuma bisa digoreng begini aja. Lalu, seolah menemukan permata di sungai, aku menemukan keju di kulkas. Aku pun membubuhkan parutan keju di atasnya. Sambil memarut keju, iseng aku membaca tulisan di kemasannya. Ini kebiasaan burukku. Suka sekali membaca tulisan di kemasan. Kemasan apa saja. Kebiasaan ini terbawa bahkan sampai ke toilet. Karena toilet di rumah bukan toilet kering yang bisa sambil membaca koran, tanganku hanya mampu meraih botol shampoo atau sabun. Aku membaca tulisan dibalik kemasannya walaupun aku sudah membacanya berkali-kali. Harusnya kebiasaan ini bisa membuatku menguasai minimal tiga bahasa asing.
Kembali ke kegiatanku membaca kemasan keju tadi. Oh tidak! Kejunya sudah expired! Aku membaca lagi tulisan itu baik-baik. Benar saja, expired tahun 2015!! Duh, gustii. Pisang keju buatanku 😢ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Wednesday, July 13, 2016
Cermin
Aku mematut diri di depan bayangan debu
Kurasa kaca yang ini sungguh besar
Lebih besar dari yang lain
Tak habis pikir
Mengapa tak juga tahu diri
Kaca sebesar apa lagi yang kuperlukan?
Andai bisa terbang
Aku akan berkaca di atas lautan
Atau di sepanjang sungai bening
Setelahnya, kupinta semesta menghalauku
Mengingatkanku
untuk terbang dan berkaca lagi
Kurasa kaca yang ini sungguh besar
Lebih besar dari yang lain
Tak habis pikir
Mengapa tak juga tahu diri
Kaca sebesar apa lagi yang kuperlukan?
Andai bisa terbang
Aku akan berkaca di atas lautan
Atau di sepanjang sungai bening
Setelahnya, kupinta semesta menghalauku
Mengingatkanku
untuk terbang dan berkaca lagi
Sajak Patah Hati
Aku patah hati
Hatiku patah lagi
Ini yang ke sekian kali
Jika memang tak ada obat,
Tolong pinjamkan aku perekat
Sejenis lem atau selotip
Jika memang masih tidak ada,
Benang pun tak apa
Aku akan mencoba menjahitnya
Mungkin akan sedikit terasa sakitnya
Tapi, aku harus tetap mencobanya
Jika tidak ingin hancur ianya
Yang aku percaya
Tuhan sedang bercanda
Agar aku tidak lupa
Karena setelahnya
Aku tidak tahan untuk tidak berairmata
Memanggil-manggil-Nya
Tidak jika di saat aku bahagia
Seringnya aku lupa
Dan tidak tahu diri rupanya
Terimakasih
untuk kamu yang mematahkannya
Aku tahu, kamu mungkin tidak menyadarinya.
^____^
Hatiku patah lagi
Ini yang ke sekian kali
Jika memang tak ada obat,
Tolong pinjamkan aku perekat
Sejenis lem atau selotip
Jika memang masih tidak ada,
Benang pun tak apa
Aku akan mencoba menjahitnya
Mungkin akan sedikit terasa sakitnya
Tapi, aku harus tetap mencobanya
Jika tidak ingin hancur ianya
Yang aku percaya
Tuhan sedang bercanda
Agar aku tidak lupa
Karena setelahnya
Aku tidak tahan untuk tidak berairmata
Memanggil-manggil-Nya
Tidak jika di saat aku bahagia
Seringnya aku lupa
Dan tidak tahu diri rupanya
Terimakasih
untuk kamu yang mematahkannya
Aku tahu, kamu mungkin tidak menyadarinya.
^____^
Friday, June 17, 2016
Cerdas Memanfaatkan Media Sosial
Media Sosial sebagai
lingkungan dan dunia baru tentu saja memiliki dampak positif dan negatif bagi
penggunanya. Lebih dari itu, media sosial kini menjadi semacam kehidupan lain
yang tidak terpisahkan dari manusia. Baca: Alam Gaib Punya Saingan Bernama Media Sosial . Kemajuan teknologi informasi serta
kebutuhan akan eksistensi diri membuat manusia sulit mengingkari pengaruh
lingkungan baru bernama media sosial. Itulah mengapa manusia perlu cerdas dan
bijak dalam memanfaatkan fenomena ini. Jika menghindarinya menjadi sesuatu yang
tidak mungkin, setidaknya kita harus menuai manfaat positif lebih banyak dan
meminimalisir dampak negatif, sebisa mungkin menghindari terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan. Lalu, bagaimana cara cerdas memanfaatkan media sosial?
Kira-kira apa saja triknya? Yuk, simak!
- Tabayyun
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS 49 : 6)
Tabayyun
di sini artinya memeriksa dengan teliti. Pernah lihat link berita
tersebar di timeline atau home akun media sosialmu? Apakah kamu
tipe yang rajin membagi berita-berita itu? Jika iya, sebaiknya mulai sekarang
jangan terlalu rajin, jangan mudah percaya, dan jangan biasakan jarimu untuk
langsung meng-klik share. Jangan hanya karena ingin dinilai sebagai
orang yang selalu update informasi terbaru, kamu langsung meng-klik share
atau me-retweet tanpa memeriksa terlebih dahulu kebenarannya. Kamu harus
biasakan diri tabayyun, memeriksa terlebih dahulu dari mana asal berita itu,
siapa yang berbicara, kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
Dengan begitu, kamu akan terselamatkan dari menyebar berita hoax yang
tentu saja bisa merusak reputasimu secara tidak langsung.
Alam Gaib Punya Saingan Bernama Media Sosial
Abad ini, seorang anak
yang baru lahir—masih bayi merah—tidak hanya mengenal (baca: dikenal)
lingkungan keluarga untuk pertama kali. Ada lingkungan baru yang menyambutnya,
lingkungan virtual yang melingkupi penjuru bumi, tak berbatas, yang diberi nama
media sosial. Selang beberapa menit lahir, gambar si bayi sudah terpajang indah
pada salah satu akun media sosial ayah, ibu, paman, bibi, tante, teman
ibunya, teman ayahnya, atau anggota keluarga lain, atau bahkan yang tidak ada
hubungan keluarga tapi turut berbahagia dengan kelahirannya. Lebih hebat lagi,
para orangtua yang kreatif memberi caption dengan kalimat seolah-olah si
bayi itu sendiri yang menulis; Halo, Om, Tante…. Kenalkan namaku …. Aku
lahir dengan selamat tanggal ini, bulan ini, dan seterusnya. Betapa sejak
lahir dia sudah canggih dan pandai menulis. Wah, hebat, ya?
Melihat hal ini, kita bisa mengambil
kesimpulan sementara, bahwa sejak lahir, manusia sudah ‘hidup’ di dalam dua
dimensi sekaligus, bahkan saat dia sendiri belum menyadarinya. Apakah ada yang
salah dengan itu? Tidak, sungguh tidak ada yang salah, tulisan ini hanya
berusaha memaparkan sebuah fenomena yang mungkin saja ada yang tidak
menyadarinya.
Thursday, June 16, 2016
Ada yang datang dan pergi, tetap pergi.
Dalam hidupmu yang sementara di jagat fana ini akan selalu ada yang datang dan pergi.
Saat kamu pergi, orang-orang mungkin menangisi kepergianmu. Tapi, tangisan mereka paling tidak hanya hari itu, atau bahkan mungkin beberapa saat untuk menghiasi lambaian tangan perpisahan.
Besok...
Dan dua, tiga hari ke depan, orang-orang yang kamu tinggalkan akan bersedih, dan merindukan keberadaanmu.
Lima...
Enam...
Tujuh hari kemudian, masih banyak yang bertanya kabarmu sejak terakhir kali meninggalkan mereka.
Sebulan...
Dua bulan setelah kepergianmu masih ada satu atau dua orang yang bertanya terkait pekerjaan yang kau wariskan kepada mereka. Bertanya di mana kau menyimpan ini dan itu yang tidak berhasil mereka temukan.
Enam bulan...
Sembilan bulan...
Satu tahun berlalu, hanya sesekali kalian saling menyapa dan bertanya kabar. Kamu juga sudah mulai sibuk dengan teman-teman dan kegiatan barumu. Hubunganmu dengan mereka baik-baik saja, tidak ada masalah, hanya intensitasnya saja yang berbeda karena waktu telah membunuhnya.
Itulah se(tidak)jatinya kehidupan. Akan selalu ada yang datang dan pergi. Hanya waktu kebersamaannya saja yang berbeda. Ada yang sebentar, ada yang lama, ada juga yang selama-lamanya. Nah, ini... Ada. Ada yang terus menetap dan tidak pernah pergi walaupun waktu dan jarak berusaha membunuh kalian.
Pergi memiliki dua makna berbeda, benar-benar pergi dan menjadi tidak berarti atau pergi dan menjadi berarti.
Dia yang datang dan benar-benar peduli tidak akan pernah pergi meskipun kamu mengusirnya berkali-kali. Dia yang tidak hanya datang saat kau mencarinya. Dia yang tidak hanya menjawab saat kau menanyakannya. Dia yang selalu mengingatmu bahkan saat kamu mulai melupakannya. Dia yang seperti itu, jagalah ia, peganglah ia, jangan biarkan ia pergi dan menjadi tidak berarti. Jika pun dia harus pergi karena kehendak Tuhan, mintalah Tuhan untuk menjaganya, karena dia memang milik-Nya.
Tapi, bagi dia yang datang dan kemudian ingin pergi. Dia akan pergi meskipun kamu menggenggam erat tangannya, meskipun kamu memintanya, memohon-mohon untuk tetap tinggal. Karena itu, lepaskanlah. Jika pun dia harus kembali karena kehendak Tuhan, bersyukurlah, dan tetap saja, ingatlah, suatu saat dia akan tetap pergi. Maka, mintalah Tuhan untuk selalu menjaganya, karena dia memang milik-Nya.
Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar tetap tinggal, bahkan dirimu pun akan pergi meninggalkanmu dari dunia ini. Karena itu, mintalah Tuhan untuk selalu menjagamu. Walaupun tidak ada yang meminta hal itu untuk dirimu. Percayalah, Tuhan Maha Menemani. [NP]
Tuesday, June 7, 2016
Malaikat di Rumahku
Kali ini, besar keinginan di dalam hati untuk berkisah tentang keberadaan malaikat di rumahku. Sebenarnya ini rahasia dan bisa saja berbahaya jika terungkap karena yang orang lain tahu malaikat adalah makhluk gaib. Well, malaikat yang Tuhan ciptakan dari cahaya memang makhluk gaib. Tapi, tahukah kamu kalau Tuhan juga sempat menciptakan malaikat dari jenis lain? Baiklah, simak baik-baik ceritaku, ya!
Dia bukan sosok malaikat yang statis, melainkan dinamis.
Dia bukan sosok yang patuh, dia selalu mengikuti apa yang menurutnya baik.
Dia bukan sosok yang lemah lembut, melainkan sosok yang kuat dan mandiri.
Dia bukan sosok yang dermawan, melainkan sosok yang bijaksana.
Dia bukan sosok yang rupawan, melainkan menawan.
Dia bukan sosok yang cerdas, melainkan ahli menempatkan sesuatu.
Dia bukanlah sosok pemberi nasihat yang baik, namun segala katanya berbuah hikmah.
Dia bukan sosok pemaaf, namun bersahaja dalam amarahnya.
Dia bukan sosok yang pendiam, namun cerewetnya dirindukan.
Lihat, aku bahkan tidak dapat menyebutkan sifat-sifat negatif untuk menggambarkan yang bukan dirinya. Yap, sosok malaikat itu adalah Ibu. Pernah dengar malaikat jenis ini? Kurasa semua manusia di bumi ini memilikinya, kecuali Adam dan Hawa karena memang mereka berasal dari surga, bukan dari bumi.
Ibu, kau memang tidak pernah mengajarkanku bagaimana cara berterimakasih kepadamu. Jadi, jangan salahkan aku kalau tidak tahu caranya. Tapi, aku merasa berkewajiban untuk berterimakasih kepada Tuhan yang telah mengizinkanku lahir dari rahimmu. Maafkan aku yang belum pulang sekarang, tunggu, tidak lebih dari dua puluh lima hari lagi. Semoga Tuhan mengizinkan.
Saturday, May 21, 2016
My Housemate, The Girl Nextdoor.
Namanya Ruth, bukan Ruth Sahanaya tentu saja. Ruth Labdawati. Panggilan Utheee, kurasa biar kedengaran lebih imut. Ya, pasti karena itu. Dia adalah orang yang paling gak rela kalo ada anak kos yang lebih muda dari dirinya. Dan paling ga bisa tenang lagi kalo ada yang lebih tua, tapi kelihatan lebih imut, seperti aku, ehm.
Pintar, cantik, memiliki kulit eksotis, tapi baginya apalah arti semua itu kalau sampai sekarang, di usianya yang menginjak 23 tahun, dirinya masih menjomblo. Hei, apa kabar gue dong? Meski suka berdebat dan mudah percaya dengan apa saja yang dia baca, Uthe sangat sensitif, gampang tersentuh, gampang nangis hanya karena nonton film--yang menurut aku gak ada sedih-sedihnya--, dan dia sangat baik hati. Sekarang aja, saat menulis ini, aku sedang makan bubur buatannya sebelum berangkat ke kampus tadi. Dibuatkan bubur dan teh anget, aku langsung sembuh. Aku sungguh terharu dibuatnya. Anak itu memang menyebalkan. Kenapa, sih, dia baik banget. Padahal aku sering jahat ke dia.
Uthe anak yang taat, nggak pernah ketinggalan atau sengaja meninggalkan ke gereja setiap hari minggu. Setiap subuh, masih dalam kegelapan kamarnya, selalu terdengar sayup-sayup suara nyanyian yang merdu. Tidak begitu jelas. Mungkin dia tidak ingin mengganggu kami yang juga sedang beribadah subuh di kamar masing-masing. Kadang aku menjadi sangat terharu dengan suasana itu. Sementara di kamar lain, depan kamar Uthe, ada juga yang seiman dengan Uthe, tapi masih tertidur nyenyak. Bukan berarti dia tidak taat. Dia punya waktu sendiri. Ada lagi, di kamar sebelahku, ibadahnya cukup seminggu sekali dengan mengajak si Bleki ke gereja yang berbeda dengan Uthe. Untungnya si Bleki cukup ikut sampai parkiran, ga minta ikut masuk ke dalam.
Kembali ke masalah Uthe yang masih jomblo. Kenapa dia masih jomblo? Pernah dia cerita beberapa kali dekat dengan cowok, tapi masalahnya selalu sama, beda keyakinan. Kalopun ada yang seiman, kebanyakan orang batak. Dia tidak suka orang batak. Rasis, sih, ya. Tapi, untuk masalah cowok yang bakal seatap dengannya mungkin dia berhak menginginkan yang ideal. Kebanyakan teman juga mengalami hal yang sama. Putus-nyambung seperti menjadi hal yang biasa. Wajar, sih, emang, kan masih dalam proses pencarian. Kadang aku suka sedih kalau mendengar cerita mereka yang tidak jadi apa-apa dengan para cowok php itu. Rasanya pengen patahin satu-satu tulang cowok-cowok tidak tahu berterimakasih itu. Karena terlalu sedih dengan kisah mereka itu pula, jadinya aku tidak sempat menyedihkan diriku sendiri yang ternyata masih jomblo juga. Baiklah guys, percaya saja, jodoh nggak akan ke mana.
Astaga, heran, deh, kenapa sih ujung-ujungnya malah masalah jodoh yang dibahas. Ini pasti gegara teror Ibu yang dateng hampir tiap hari. Haha...
Uthe, lakum diinukum waliyadiin. Tapi, buburnya asin, nih...
Monday, May 16, 2016
Sunday, May 15, 2016
Pagi Berpuisi
Lantai itu masih dingin
Dinding itu masih membisu
Daun pintu masih dengan derit mencekam
Langit-langit masih menatap cemooh
Cicak pun masih tak berdecak risau.
Tapi, sejak saat itu, terbit mentari tak lagi sama
Semburatnya melukis namamu
Bulir embun mengkilau rindu untukmu
Sejuknya udara mengabarkan cinta padamu.
Sejak saat itu, sepenggalahan tak lagi sama
Meski masih merangkak menembus pikuk menemui sunyi
Mendengar hembus angin mengantar kata-kata cinta untukmu, bercengkrama denganmu
Ah, betapa bahagianya menjadi angin.
Sejak saat itu, terik matahari tak lagi sama
Melupakan santapan yang terhidang
Meninggalkan cuap-cuap teriring gurau tawa
Mencari sunyi yang menenangkan.
Sejak saat itu, bias jingga tak lagi sama
Awan tak lagi berarak kelabu
Cuaca tak lagi mendung
Meski masih dengan rintik dan deras
Perjalanan pulang tak lagi senyap
Selalu ada yang menemani.
Harusnya
Sejak saat itu
Begitu
Tapi, mengapa tetap saja
Lantai tak begitu hangat
Dinding pun belum ingin bicara
Daun pintu bahkan terbuka lebar tak berderit
Langit-langit menatap tanpa ekspresi
Cicak kini berdecak mengganggu.
Pasti ada yang belum selesai
Ada
Pasti
Apa?
Dinding itu masih membisu
Daun pintu masih dengan derit mencekam
Langit-langit masih menatap cemooh
Cicak pun masih tak berdecak risau.
Tapi, sejak saat itu, terbit mentari tak lagi sama
Semburatnya melukis namamu
Bulir embun mengkilau rindu untukmu
Sejuknya udara mengabarkan cinta padamu.
Sejak saat itu, sepenggalahan tak lagi sama
Meski masih merangkak menembus pikuk menemui sunyi
Mendengar hembus angin mengantar kata-kata cinta untukmu, bercengkrama denganmu
Ah, betapa bahagianya menjadi angin.
Sejak saat itu, terik matahari tak lagi sama
Melupakan santapan yang terhidang
Meninggalkan cuap-cuap teriring gurau tawa
Mencari sunyi yang menenangkan.
Sejak saat itu, bias jingga tak lagi sama
Awan tak lagi berarak kelabu
Cuaca tak lagi mendung
Meski masih dengan rintik dan deras
Perjalanan pulang tak lagi senyap
Selalu ada yang menemani.
Harusnya
Sejak saat itu
Begitu
Tapi, mengapa tetap saja
Lantai tak begitu hangat
Dinding pun belum ingin bicara
Daun pintu bahkan terbuka lebar tak berderit
Langit-langit menatap tanpa ekspresi
Cicak kini berdecak mengganggu.
Pasti ada yang belum selesai
Ada
Pasti
Apa?
Monday, May 9, 2016
Sin(cere)
Suatu hari saya diberi tugas nge-proof Juz 'Amma Super, ketemulah saya dengan kosakata sincere pada halaman sekian bagian suplemen kosakata. Di sana tertulis dengan huruf hijaiyah "ikhlaasun", bahasa Inggris "sincere", dan arti bahasa Indonesianya "ikhlas". Entah apa sebab saat melihat sepenggal kata itu saya seperti tertampar "plakk". Dan di kepala saya langsung muncul balon kata tertulis tanda buka-tutup kurung yang memisahkan kata "sin", tulisannya begini: sin(cere). Dan saya langsung merinding gak disko.
Tetap Positif Setiap Hari
1. Bangun pagi.
Menurut para ahli bangun pagi, bangun di pagi hari membuat tubuh terasa lebih segar dibandingkan bangun setelah matahari sudah terbit. Bangun pagi yang dimaksud di sini sekitar jam tiga, empat, dan lima pagi. Pada waktu-waktu tersebut udara masih segar, suhu udara mengandung lebih banyak oksigen karena hasil fotosintesis tumbuhan belum ternodai oleh polusi kendaraan. Mereka bisa kehilangan kesempatan menghirup udara segar jika kesiangan. Tidak hanya buruk bagi kesehatan, bangun siang juga dapat merusak mood, akibatnya kehidupan sosialmu pun terganggu. Contohnya, kamu bangun kesiangan, lalu terburu-buru berangkat ke kantor atau sekolah, takut terlambat sehingga tidak sempat sarapan, tidak ada asupan energi, tubuh menjadi lemas dan tidak bersemangat. Tidak cukup sampai di situ, sekarang buku PR-mu ketinggalan, tentu saja kamu kena hukuman. Ditambah lagi, beberapa alat tulis tidak dibawa, sebelum berangkat tadi tidak sempat memeriksa tas. Jangankan periksa isi tas, mandi aja kamu selesaikan dalam waktu kurang dari 5 menit. Kamu merasa gerah karena capek abis lari-lari ngejar bus sekolah, rasanya ingin marah pada semua orang. Itulah yang dimaksud dengan bangun siang dapat mengganggu kehidupan sosialmu. Mulai sekarang, biasakan diri bangun di pagi hari agar kamu bisa menjalani aktivitas dengan semangat, ceria, dan tetap positif.
Tuesday, May 3, 2016
Dongeng sebelum tidur
Pada suatu masa, seorang profesor berencana menciptakan sesuatu yang bisa (dan bersedia tanpa pamrih) mengerjakan apa yang dia inginkan. Lalu, diciptakanlah sebuah robot yang bisa bergerak sesuka mesin. Ya, seperti juga manusia yang bergerak sesuka hati, robot itu diberi kepintaran sehingga bisa melakukan apa saja sesuai kehendak mesinnya. Profesor sengaja membuatnya seperti itu agar ciptaan ini berbeda dari ciptaannya yang lain. Sekaligus ia ingin membuktikan sehebat apa ciptaannya.
Friday, April 22, 2016
Baper itu bikin Laper
Hari itu, kau melihatku, menatapku seolah-olah aku adalah makhluk terindah di bumi. Tadinya aku tidak ingin terlalu percaya diri, takut baper kalau kata abege zaman sekarang. Tapi, setelah kau menanyakan tentangku kepada wanita paruh baya itu, setelah kau menanyakan bagaimana cara membuatku senang, mau tidak mau aku harus bersiap-siap. Ya, apalagi kalau bukan bersiap-siap untuk kau bawa pergi. Hei, aku tidak menguping, kau memang menanyakan tentang diriku di depanku sendiri, dan itu sangat terdengar jelas. Apakah ini seperti sebuah acara lamaran? Aku tertawa dengan pikiranku sendiri.
Thursday, April 21, 2016
Kartini yang Gemar Baca dan Suka Menulis
Wat zijn
wij toch stom, toch dom, om een heel leven lang
een berg
schatten naast ons te hebben et het niet te zien, niet te weten.
(Alangkah bebalnya,
bodohnya kami tiada melihat, tiada tahu
bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan
(Al-Quran) di samping kami).
Wij zochten
niet bij demenschen troost wij klemden ons vast aan Zijn hand.
(Kami tidak
perlu mencari pelipur hati pada manusia,
kami hanya
berpegang teguh pada Tangan Allah).
–Api Sejarah—
Raden Adjeng Kartini terkenang bukan karena dia berhasil
memenangkan nobel dalam bidang tertentu. Bukan pula karena menjadi ketua
organisasi, ketua PKK, ketua partai, anggota dewan yang terhormat, bupati, presiden,
atau apa pun sejenis itu. Disebutkan dalam deretan nama Pahlawan juga bukan
karena maju di medan perang melawan penjajah. Terkenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan juga bukan karena menjadi menteri pemberdayaan perempuan.
Bukan. Kartini justru terkenang karena tulisan angan-angan, cita-cita, pemikiran,
dan keinginan pribadinya.
Friday, April 15, 2016
belum berjudul
Abad ini, seorang anak yang baru lahir--masih bayi merah--tidak hanya mengenal (baca: dikenal) lingkungan keluarga untuk pertama kali. Ada lingkungan baru yang menyambutnya, lingkungan virtual yang melingkupi penjuru bumi, tak berbatas, yang diberi nama media sosial. Selang beberapa menit lahir, gambar si bayi sudah terpajang indah pada salah satu akun media sosial ayah, ibu, paman, bibi, tante, teman ibunya, teman ayahnya, atau anggota keluarga lain, atau bahkan yang tidak ada hubungan keluarga tapi turut berbahagia dengan kelahirannya. Lebih hebat lagi, para orangtua yang kreatif memberi caption dengan kalimat seolah-olah si bayi itu sendiri yang menulis; Halo, Om, Tante. Kenalkan namaku . Aku lahir dengan selamat tanggal ini, bulan ini, dan seterusnya. Betapa sejak lahir dia sudah canggih dan pandai menulis. (Hm, sepertinya tulisan ini terinspirasi dari beberapa teman yang akhir-akhir ini seolah janjian melahirkan bareng. Dan saya sirik).
Monday, April 4, 2016
Arema Cronus vs Persib
*Awas! Tulisan ini mengandung SARA.
Dilema, tentu saja. Apakah berhak seseorang yang sedang 'nginep' di tanah sunda tidak mendukung pemain dari tanah tersebut? Ternyata tidak masalah, dan justru perbedaan itu memang menyenangkan. Walaupun sambil nonton, sambil juga 'bergelut' dengan teman-teman kosan yang semuanya gadis sunda, kami sama-sama menikmati. Ditemani genderang botol air mineral, piring, sendok, bahkan sisir, sampai seabrek camilan, menyanyikan yel-yel yang tidak kami hafal liriknya. Suasana seperti ini yang disebut bahagia itu sederhana. Ditambah lagi bahagia dengan kemenangan Arema Cronus yang bahkan sudah membuat topi khusus bertuliskan UTAS, yang dibaca terbalik menjadi SATU. Karena itu, saya jadi mikir, betapa keyakinan itu memang penting. Lihat saja, mereka begitu yakin akan menjadi sang juara sampai sudah membuat dan menyiapkan topi itu sebelumnya. Atau mungkin mereka juga menyiapkan topi dengan tulisan AUD? Saya tidak yakin.
Wednesday, March 30, 2016
Aku si Smart
Kenapa aku yang harus selalu lebih dulu tahu apa yang gadis itu rasakan?
Semuanya harus dia ceritakan padaku. Aku bosan. Bosan mendengar keluh kesahnya,
bosan mendengar cerita sedihnya. Kalau cerita bahagia, sih, aku tidak terlalu
ambil pusing. Saat dia senang, aku pun terkadang turut merasa senang. Sialnya,
dia lebih banyak berkeluh kesah tentang kesedihannya ketimbang berbagi cerita
bahagia. Saat senang, dia tidak selalu menceritakannya. Tapi, aku sudah cukup
mengenalnya. Saat senang, akan sangat terlihat dari tingkah lakunya.
Monday, March 21, 2016
Tilang
Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan, seseorang berseragam Polisi dengan rompi hijau ngejreng-nya terlihat berjalan agak ke tengah jalan. Saat itu jalanan kebetulan lenggang. Saya langsung cek ceklekan lampu depan.
Sial. Lupa dinyalain. Saya buru-buru menyalakannya dengan wajah sok santai padahal panik setengah mampus.
Saya tetap berjalan tanpa mengurangi atau mempercepat kecepatan. Berharap dugaan saya kalau Si Bapak Polisi mau nyetopin, itu salah. Tapi, ternyata saya memang ahli membaca pikiran orang. Emang keliatan, sih. Nggak perlu ahli baca pikiran juga, keleus. Dugaan saya bener. Si Bapak Polisi bener-bener mau nyetopin saya. Dan memang cuma saya dan bleki. Bukan dalam rangka razia rutin. Ini murni hanya mencegat siapa pun yang melanggar peraturan lalu lintas. Sepintas saya ragu, antara mau jalan terus, kabur maksudnya, atau berhenti.
Akhirnya, hidayah--bahwa saya harus jadi warga negara yang baik--itu turun juga, tepat pada saat keraguan melanda. Saya meminta si Bleki berhenti. Dia nurut. Anak pinteer.
"Selamat siang, Bu!" Suara tegas sambil memberi hormat. Dan tersenyum.
Tuesday, March 15, 2016
suatu hari di tokbuk
Tiba-tiba teringat suatu kejadian yang pernah saya alami saat sedang asyik bergumul di bagian rak buku anak Gramedia Merdeka. Ini saya lagi ngapain, ya? Kok, bahasanya bergumul, sih? Lagi-lagi, saya kesulitan menemukan padanan kata yang bisa menggambarkan kondisi saya saat itu. Ya, saya sedang melihat-lihat, membaca, membuka, menerawang, meraba-raba, membolak-balik, membanding-bandingkan, mengutak-atik, memotret, bahkan melepas wrapping buku-buku tanpa mau repot-repot minta izin ke pramuniaga di sana. Parahnya, saya tidak membeli satu pun buku-buku yang malang tadi. Setelahnya, saya harus sok tidak peduli dengan tatapan ingin membunuh dari teteh-teteh pramuniaga yang cantik, sopan, dan selalu tersenyum itu.
Di saat-saat menggenaskan seperti itu, tiba-tiba seorang wanita berjilbab--yang dari tadi juga melihat-lihat buku di sekitar saya--semakin mendekat, mendekat, dan mendekat ke samping saya, sampai berjarak sekitar 30 cm. Kan, serem. Kalau di film-film mungkin akan ada adegan tak sengaja mengambil buku yang sama, lalu saling tatap, terus rebutan. Ah, itu seringnya cewek sama cowok, sih. Harusnya dia cowok tampan rupawan, bersahaja, bijak bestari, dan berbudi pekerti luhur. Tapi, sayangnya dia hanya seorang wanita.
Adegan seperti ini, seandainya terjadi baru-baru ini, saya akan su'udzon kalau dia salah satu pasien LGBT yang gagal tobat. Untungnya kejadian itu udah lumayan lama, hanya tiba-tiba keinget gara-gara saya baru saja membaca sesuatu.
Di saat-saat menggenaskan seperti itu, tiba-tiba seorang wanita berjilbab--yang dari tadi juga melihat-lihat buku di sekitar saya--semakin mendekat, mendekat, dan mendekat ke samping saya, sampai berjarak sekitar 30 cm. Kan, serem. Kalau di film-film mungkin akan ada adegan tak sengaja mengambil buku yang sama, lalu saling tatap, terus rebutan. Ah, itu seringnya cewek sama cowok, sih. Harusnya dia cowok tampan rupawan, bersahaja, bijak bestari, dan berbudi pekerti luhur. Tapi, sayangnya dia hanya seorang wanita.
Adegan seperti ini, seandainya terjadi baru-baru ini, saya akan su'udzon kalau dia salah satu pasien LGBT yang gagal tobat. Untungnya kejadian itu udah lumayan lama, hanya tiba-tiba keinget gara-gara saya baru saja membaca sesuatu.
Tuesday, March 1, 2016
InterMEZO
Chemistry editing effect
“kamu tidak
perlu C12H22O11 untuk menjadi manis.”
“walaupun kita berada di TITIK APHELIUM,
aku tetap merasa kamu berada di TITIK PERIHELIUM?” #eeaaa
Biology editing effect
"hei, kamu bahkan berhasil menembus kornea, iris, pupil, retina, hingga saraf optikku."
"lancang, ya, kamu melukai pain receptorku, apalagi liverku, benar-benar kacau keadaannya."
:D :D :D
to be continued...
-Nina Pradani-
Monday, February 29, 2016
Review Buku
Judul : Tiada Ojek di Paris
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Tahun : 2015 (Cet. 1)
Penerbit : Mizan
Yay! Akhirnya saya
selesai juga membaca buku setebal 212 halaman ini. Butuh waktu empat bulan
untuk menamatkannya. Empat bulan. Rekor! Beli tanggal 6 November 2015 dan baru
kelar dibaca kemarin, 28 Februari 2016. Lama amat. Begini akibatnya kalau
sebuah buku ditulis tidak bersambung seperti novel. Membacanya juga acak, mana
yang judulnya paling menarik. Dan hanya untuk mengisi waktu senggang. Tapi
sepertinya, memang seperti itu tujuan pengemasannya. Sebagai teman ngobrol di
kala santai. Lalu, bagaimana ceritanya saya bisa menemukan buku ini? Seorang
teman (atau lebih tepatnya Guru) ‘memaksa’ saya untuk membacanya. Mungkin dia ingin menyindir saya, atau
‘membuka mata’ saya, atau ingin saya belajar dari banyak hal yang tertulis di
dalamnya, atau mungkin sekedar ingin berbagi referensi. Apa pun itu, yang jelas
semua tujuannya tercapai. Selamat, ya, Guru!
Thursday, February 25, 2016
Tiada Zebra Cross di Indonesia
Pernah
merasa berada di ambang kematian? Berdiri di pintu kematian? Satu saja kaki salah
melangkah, sekali lagi: satu langkah! Satu langkah salah itu berarti mati? Pernah
berada di sana? Saya baru saja mengalaminya. Dan saat menulis ini, saya masih
merasakan jantung berdetak lebih cepat. Sepertinya saya terpengaruh bacaan
semalam. Tadi malam saya membaca bukunya Seno Gumira Ajidarma, Tiada Ojek di
Paris—seperti malam-malam dan subuh-subuh sebelumnya—sampai di tulisan yang
berjudul Zebra Cross, kemudian saya tertidur.
Pagi ini,
saya memutuskan untuk berangkat ke kantor sendiri, tanpa si Bleki, berjalan
kaki maksudnya. Saya ingin mencoba mempraktikkan nyeberang di Zebra Cross
dengan tenang tanpa menunggu sepi. Saya akan percaya kepada pengemudi kendaraan
(mobil dan motor) bahwa mereka akan memberikan jalan. Menyeberanglah saya di
jalan besar itu, namanya jalan Sukarno-Hatta, konon jalanan ini adalah jalan
terpanjang di Jawa Barat. Zebra cross pertama, Dari arah timur ada dua motor sekitar 30 meter
dari tempat saya berdiri, saya memberi aba-aba mengangkat tangan hendak
menyeberang, dan mereka terlihat menurunkan kecepatan. Saya pun menyeberang
dengan tenang. Sejenak berhenti di trotoar pembatas jalan dua lajur berlawanan
arah itu. Terlihat beberapa motor dan mobil sekitar 50 meter dari arah barat, di
depan saya kosong. Dari jarak itu saya melihat satu motor memang berjalan dengan
kecepatan tinggi. Saya memilih untuk tetap menyeberang dan yakin dia akan
menurunkan kecepatan. Tapi ternyata saya salah, pengemudi kendaraan bermotor
satu itu sama sekali tidak menurunkan kecepatan seperti yang lainnya. Dia malah
terlihat bingung antara mau lewat di depan atau di belakang saya yang sudah di
tengah-tengah. Melihatnya, saya juga jadi ragu. Sampai berpikir saya akan
ditabrak, wah, beneran ini bakal ditabrak. Saya bahkan sudah membayangkan posisi
jatuh, rasa sakit, tidak akan jadi masuk kerja, akan di bawa ke rumah sakit
mana, berita saya ditabrak akan menyebar, dan sebagainya. Sampai orang itu
meneriaki saya dan memutuskan lewat di belakang saya karena saya terus
melangkah dengan cepat. Saya masih bisa mendengar teriakan orang itu bahkan
saat sudah berdiri di trotoar seberang jalan. Jadi, sebenarnya dia masih bisa memberi
jalan kalau saja... mungkin dia akan kehilangan kontrak proyek senilai milyaran
kalau mengurangi kecepatannya, atau mungkin ada kucingnya yang sedang sekarat
dan tinggal menunggu dirinya hingga menghembuskan napas terakhir. Entahlah,
yang pasti, pembuktian saya mengenai fungsi zebra cross—yang bukan di bawah
lampu merah—itu tidak berguna di negeri ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)