Saturday, December 10, 2016

Desember

"Assalamu'alaikum..."
Seseorang tiba-tiba membisiki salam dari arah belakang. Kaget? Tentu saja. Apalagi begitu berbalik, seorang wanita dengan pakaian serba hitam dan hanya mata yang terlihat, berdiri dengan manisnya. Dari sudut matanya aku bisa melihat dia sedang tersenyum lebar. Siapa?



Satu... dua... tiga... empat.. belum sampai lima detik... "Astagaaa...!! TIAA???"
Aku tidak terlalu mendengar dia menyahut apa, kami sedang berada di tengah resepsi pernikahan teman sekelas waktu MTs. "MasyaAllah... ini beneran kamu?" Baiklah.. aku sudah lupa menjawab salamnya.
"Iya, gimana kabar?" Tanyanya sambil berpelukan cipika-cipiki. Aku nggak bisa berkata-kata lagi, nggak punya susunan kalimat yang bisa menggambarkan perasaanku waktu itu. Kaget, terharu, bahagia, senang, juga shock. Ya, shock karena Tia yang waktu MTs memang kami sama-sama memakai jilbab, SMA, kami berbeda, tapi, yakin dia masih berjilbab. Kemudian, waktu kuliah kami ternyata sekampus lagi, cuma beda jurusan. Dan mulai saat itu entah dikemanakan jilbabnya.

Lalu, sekarang, setelah sekitar berapa? Sekitar 5 tahun nggak ketemu, Tia sudah bercadar! Well, ngerti lah ya gimana cewek teman lama, teman yang dulu sering nginep di kos, kalo ketemu. Kami bercuap-cuap. Dan akhirnya aku mengerti satu hal, ternyata kalau berbicara dengan orang yang bercadar di tengah keramaian dan suasana berisik dia harus berbisik di telingaku. Dan tanpa sadar aku pun ikut berbisik di telinganya. Padahal dia bisa saja mendengar dan melihat bicaraku dengan baik. Tapi, rupanya begitulah ketika proses komunikasi berlangsung. Jika lawan bicara berbisik, kita nggak sadar ikut berbisik, ketika lawan bicara berteriak, kita pun ikut berteriak. Baru tahu kalau bicara atau ngobrol itu adalah sejenis penyakit menular. Ckck.


Bicara soal cadar, seseorang datang tanpa permisi memintaku menutup wajah. Ya, menutup wajahku--yang harus kuakui masih kalah cantik dengan Lindsay Lohan ini--dengan sesuatu yang mereka sebut cadar? Niqab? Burqa? Ah, entah apalah itu namanya. Pakaian haruslah berwarna gelap. Tidak mencolok. Tidak memakai warna-warna terang, mungkin seperti warna putih dari atas sampai bawah, itu sebaiknya dihindari. Selain kuatir dikira mau pergi haji, kalau dipakai malem takut dikira kuntilanak. Poinnya, aku tidak boleh mengundang syahwat yang bukan mahram, tidak mengumbar aurat. Dan batas aurat di sini sangatlah ketat. Kedua mata boleh lah tidak tertutup untuk melihat dan biar gak nabrak sana-sini kalau lagi jalan.

YaAllah... Sulit rasanya membayangkan tubuh mungil ini memakai pakaian serupa tersebut di atas. Kuatir-kuatir disangka gundukan berjalan. Dan lagi, bukankah aku akan semakin mengundang perhatian? Orang-orang justru akan semakin penasaran. Lebih mengerikan lagi, mereka (laki-laki a.k.a ikhwan.red) akan semakin tertarik melirik dan penasaran dengan kedua mataku yang tampak indah. Ya, aku harus mengakui, aku lebih cantik bercadar daripada tidak bercadar.

Sejujurnya, dulu, sempat ada keinginan untuk bercadar karena selalu malu jika berjalan keluar rumah. Biangnya adalah Ibu dan bapakku. Risiko yang harus diterima menjadi anak Bapa Nina dan Ibu Nina di desa ini. Kemana-mana selalu dilihatin orang. Ahem, mungkin ini akunya aja yang ge'er. Ya, mudah-mudahan seperti itu. Tapi, itu dulu, dulu sempet ada keinginan untuk bercadar. Sekarang sudah tidak lagi. Setelah ada yang memintaku untuk bercadar, aku justru jadi tidak ingin. Apalagi dengan bercadar, orang itu akan mau menikahiku. Jadi, apa? Alasanku bercadar biar mau dinikahi? Oh, tidak. Terima kasih. Aku hanya ingin melakukan hal-hal sejenis ini, atas keinginanku sendiri.

Tidak hanya soal menutup wajah. Aku juga tidak boleh mendengarkan musik. Oh, come on... aku yang selama ini boleh dibilang tidak bisa hidup tanpa musik, oh, itu berlebihan, bergerak, tidak bisa bergerak tanpa musik, harus berhenti mendengarkan musik karena dikatakan musik itu haram? Dikatakan semua jenis musik itu haram. Semua yang bernada/berirama tidak boleh didengar. Titik. Apa itu masuk akal? Well, aku tahu, tidak baik memang mendengarkan musik yang mengakibatkan hati terlena dari mengingat Allah, musik atau lagu yang mendayu-dayu, galau, berisi lirik-lirik gak guna, gak mutu, alay, atau lirik-lirik negatif. Tapi, setahuku--yang tidak tahu apa-apa ini--hukumnya tidak sampai haram mutlak. Sampai saat ini aku masih mencari tahu.

Hm, tapi untuk kali ini, aku mulai berpikir, maksudku mencoba untuk mencerna baik-baik perkara tadi. Baiklah, mungkin Tuhan sedang mengingatkanku dengan cara yang entah mengapa selalu menakjubkan. Barangkali selama ini aku terlalu berlebihan dalam mendengarkan musik. Kemana-mana selalu terpasang headset/handsfree. Nggak di rumah, di kosan, di tempat kerja, selalu menyalakan musik. Saat mengendarai motor, saat bekerja, belajar, sambil baca buku, saat berbelanja, saat lari pagi, jalan-jalan, sambil makan, sambil nyuci, sambil ngupil, bahkan sambil dengerin musik. #eh? Intinya, itu semua sudah berlebihan memang. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, kan?

Selain itu, masih ada lagi, pemirsa. Nggak dibolehin apload foto diri di media sosial. Untuk yang ini aku setuju. Aku pernah alay dan sering apload foto di facebook, lagi ngapain aja apload, apa-apa apload. Pokoknya semua orang di dunia ini harus tahu apa saja yang kulakukan. Setelah masa alay di facebook berakhir, aku tobat. Bahkan kalau sudah muak, kadang sampai deactive facebook. Namun ternyata, pertobatan itu tidak berlangsung lama setelah muncul lagi yang namanya instagram. Jadi, aku menemukan sarana pendukung narsisme yang mumpuni tanpa harus merasa alay karena di sana semua penggunanya mengunggah foto. Dan yang paling penting, tidak ada yang mengenalku. Ndilalah memang rupanya aku tidak diizinkan berlama-lama merasa nyaman dalam histeria mengunggah foto yang instagramable. Belum sampai sebulan, mulai muncul beberapa fans dan teman yang meminta pertemanan. Masalahnya, aku terlalu baik hati dan tidak sombong untuk tidak menerima permintaan pertemanan itu. Akhirnya, masa alay di instagram pun terpaksa harus diakhiri demi melindungi citra diri, kehormatan, dan nama baik. Haha.

Keinget juga Atasan dulu pernah nyahut, "Apa coba yang mau dilihatin dari foto (selfie) yang diapload itu selain rasa bangga? Apa ada maksud lain selain pamer?" Waktu itu saya nyinyirin dia karena mungkin dia iri karena telanjur melompati fase alay. Tapi, setelah dipikir lagi dan kepikiran berulang-ulang, apa yang Bos katakan memang benar. Apa yang menjadi tujuan dari apload foto di sosial media selain buat pamer dan bangga diri. Dan tidak hanya soal selfie. Semuanya. Aku sering apload foto dengan latar belakang yang indah-indah, tadinya mau diniatin buat menunjukin perasaan bersyukur misalnya jika latar di belakang itu sebuah view yang indah. Tuhan telah menciptakan keindahan yang luar biasa dan aku bisa berada di sana. Hanya ingin menunjukkan ras syukur. Tapi, kesini-kesini mikir lagi. Apa, iya, ini beneran mau nunjukin rasa syukur. Bukan lagi mencari alasan untuk 'menyembunyikan' kesombongan? Lagipula mau nunjukin ke siapa? Tuhan? Ngapain diunggah segala? Apalagi kalau bukan mau pamer kalo begitu. Banyak yang like, banyak yang komen, bangga. Astaga...
Baiklah, beberapa poin di atas kurasa penting juga untuk direnungkan kembali. Apa saja kebaikan dan keburukan yang didapat. Bagaimana dampaknya terhadap keberlangsungan dan hajat hidup orang banyak. Bagaimana efek psikologis, pengaruh adat, dan etika sosial kemasyarakatan yang terjadi setelahnya. Halah... sudahlah. Terus belajar.







No comments: