Tuesday, December 13, 2016

Malam + Hujan + Sendiri = Horor

Mungkin aku terlalu sering ge'er kepada Tuhan hanya karena selalu menurunkan hujan di saat hati sedang dikelebati awan komulonimbus. See, aku nggak salah, kan? Ada mendung dan ada hujan. Walaupun mendungnya di manaa, hujannya di mana. Akhir-akhir ini memang sering turun hujan, baiklah, hujan memang turun, yang naik itu harga sembako, harga bbm, naik jabatan, naik ke singgasana, naik ke pelaminan. Eeh? Masalahnya, setiap kali galau melanda atau sedang ingin melow, pasti selalu turun hujan. Selama ini, aku selalu berpikir hujan di drama-drama atau sinetron saat lakonnya sedang merasa sedih dan menangis itu sesuatu yang mengada-ada, lebay, dan nggak realistis. Tapi, sepertinya aku harus menarik kembali anggapan itu. Dan jangan-jangan, gumiho atau rubah yang mewujud manusia itu memang ada? Iya, ada, sih. Sepertinya tidak lama lagi Negara Indonesia yang akan mewujud jadi rubah. Pernah lihat judul buku yang ditulis bapak politisi yang lagi hits baru-baru ini? Merubah Indonesia.



Sebelum ke mana-mana, ingin menyampaikan terima kasih kepada diriku yang telah berani nginep di rumah sendirian sejak kemarin. Karena baru selesai ujian semester, Kori dan Kiki lebih memilih liburan di Ngali. Sedang aku, minggat dari rumah Ngali ke rumah Bima hanya karena ingin 'menyendiri'. Konsep 'menyendiri' di sini mengapa diberi tanda apos, adalah karena memiliki makna ganda, oh, tidak, di atas ganda. Menyendiri berarti sedang ingin sendiri, merenung, menggalau, menepi, bertapa, mencari inspirasi, mencari ide, mencari jodoh, eh, eeh?

Semalam, pintu pagar yang biasanya tidak digembok, aku gembok dulu sebelum bisa tidur dengan tenang. Iya, ternyata aku tidak cukup berani sendirian. Sejujurnya ingin memasang beberapa perangkap kayak di Home Alone. Tapi, aku harus menerima kenyataan kalau ternyata aku juga tidak cukup cerdas sebagaimana bayi. Aku tidak punya ide apa-apa selain menyimpan pisau di tempat yang mudah dijangkau, menyalakan semua lampu, dan menyetel murotal. Yang terakhir ini aku terpengaruh serial kolosal Raden Kian Santang. Dia yang selalu membaca basmalah sebelum melakukan apa pun termasuk sebelum mengeluarkan jurus andalan menghadapi penjahat. Maka dari itu, aku berharap dengan menyetel murotal aku juga bisa menghadapi kejahatan, termasuk kejahatan diriku yang penakut, agar segala jenis gangguan tidak ada yang berani mendekat. Namun, ternyata masih ada juga. Gangguan dunia maya tidak sanggup aku bendung. Walau bagaimana pun, berselancar di sana sampai jatuh tertidur itu sesuatu yang harus aku syukuri karena bisa lupa kalau sedang takut.

Suasana bertambah horor karena hujan turun sejak magrib. Tapi, perasaan horor itu dikalahkan perasaan galau. Udahlah sendirian, galau, hujan pula. Lengkap sudah nikmat Tuhan yang tidak mungkin aku dustakan. Well, aku merasa perlu mengirimkan bunga atau makanan ke kantor PLN sebagai ucapan terima kasih karena listrik tidak mati. Kalau saja ditambah kenyataan listrik mati, aku tidak akan ragu-ragu menggedor pintu tetangga. Numpang nginep. Beruntungnya Tuhan masih melindungi citra diriku yang mengaku pemberani ini.

Terbangun jam 4 kurang, suasana horor sudah tidak ada. Entah mengapa suara kokok ayam mampu membuyarkan semuanya. Kurasa bangsa jin dan bangsa ayam memiliki sejarah panjang yang tak tersentuh manusia,  sehingga mereka (jin, setan, kunti, pocong, dkk.) bisa lenyap hanya karena mendengar ayam berkokok ria. Kalian boleh mengatakan yang ini hanya halusinasi. Karena memang aku bisa takut karena sedang berhalusinasi. Membayangkan tiba-tiba ada suara lembut memanggil, tiba-tiba di pojok kamar ada mbak kunti berdiri dengan anggun, tiba-tiba terdengar suara ketokan dari dalam lemari. Masih mending kalau ketokan itu dari luar jendela. Masih bisa mikir orang usil untuk menenangkan hati, walaupun sebenarnya bukan orang. Yah, ketakutan itu memang (hanya) perasaan kita saja.

Jam di layar hp sudah menunjukkan waktu dimana seharusnya matahari menampakkan wujudnya. Namun ternyata, hujan rintik-rintik masih menggelayut bagai tali-tali penghubung langit dan bumi. Dan awan masih setia mengarak menghalangi cahayanya. Sepertinya aku tidak ge'er. Semesta memang sedang mendukungku untuk menggalau. Oke, baiklah, sekarang sudah siang.

Mari ke luar dan melihat banyak cinta di sana...


No comments: