Satu hal yang paling saya ingat dari seorang dosen--yang pernah ngaku sebagai 'bapak angkat' saya :D --adalah kata-katanya yang senantiasa mengandung 'hikmah'. Pernah suatu ketika, saat bekerja part-time di lab. jurusan, saya diminta membuat surat permohonan pengadaan barang ATK-entah apa, opening surat yang saya buat kira-kira begini, "Sehubungan dengan tidak adanya bla..bla..bla.." kalimat tersebut mendapat coretan 'menyakitkan' khas beliau. Namun, 'bapak angkat' saya bukanlah seorang bos dalam novel yang saya baca yang mengkritik tanpa memberi penjelasan sehingga sekretarisnya harus mengerti segala keinginannya tanpa dia jelaskan. Bukan. Setelah mencoret, beliau menjelaskan bahwa dalam surat permohonan seperti ini jangan menggunakan kalimat negatif. Maksudnya kalimat negatif dalam aturan bahasa Inggris. Kalimat "Sehubungan dengan TIDAK adanya bla..bla..bla.." sebaiknya diganti dengan kalimat semisal "Sehubungan dengan adanya peningkatan kinerja bla..bla.. maka dibutuhkan bla..bla..bla..." ini contoh jeleknya saja, redaksional tepatnya saya tidak begitu ingat. Tentu saja kalimat yang beliau sarankan lebih bagus, lebih tertata teratur, lebih positif, dan lebih sopan.
Well, bukan soal opening surat, penulisan surat yang baik dan benar, atau soal kalimat positif negatif yang ingin saya sampaikan. Satu pelajaran dari secuil kasus tadi. Bahwasannya dalam hidup ini dan tentunya dalam segala hal agar kita tidak terlebih dahulu menyampaikan sesuatu yang tidak ada apalagi menyalahkan keadaan dari ketiadaannya. Misalnya, kita bekerja karena tidak ada uang. Itu artinya kita bekerja hanya untuk mencari uang. Jika sudah ada uang, atau jika tidak bisa menghasilkan uang lagi, kita tidak bekerja. Apakah salah dengan itu? Tidak. Tidak ada yang salah. Tapi, bagaimana jika kita bekerja untuk mengisi waktu kosong? Bagaimana jika kita bekerja karena ingin meluangkan hobi? Bukankah hal itu lebih tidak salah?
Seperti kasus opening surat tadi, saya sedang berusaha untuk bisa mengambil hikmah atas segala sesuatu yang terjadi. Hikmah sama halnya dengan 'alasan Tuhan' yang bisa ditangkap oleh manusia. Seperti Tuhan menciptakan lalat tidak hanya karena salah satu sayapnya mengandung penyakit dan sayap lain mengandung obat. Tetapi juga, agar manusia yang angkuh mau berpikir kalau mereka bukan apa-apa karena bahkan lalat bisa saja hinggap di kepala dan tubuhnya tanpa kesulitan berarti, tanpa melalui alur birokrasi yang merepotkan. Tetapi juga, agar manusia sadar bahwa sesuatu yang terbuka itu jorok. Tetapi juga, agar kita tidak membuang sampah sembarangan. See? Bahkan penciptaan lalat saja banyak alasannya. Alasan-alasan tadi tentu saja bukan saya yang menangkapnya. Saya hanya mengulangi apa yang sudah ditangkap oleh orang-orang bijak sesungguhnya. Baiklah, di sini izinkan saya ingin 'mengikat makna' perihal yang biasa orang-orang sebut apa itu hikmah. Ya, hikmah.
Mengenai hikmah atau wisdom seringkali kita dapatkan di mana saja, bahkan sebenarnya setiap dimana dan kapan saja kita bisa peroleh yang namanya hikmah, tergantung seberapa besar kepekaan. Nah, ini mengingatkan saya dengan seorang guru yang boleh dikatakan telah berhasil meningkatkan kepekaan atau perihal rasa ini terhadap saya--yang sering gak peka. Sejak lama saya suka sekali baca cerita-cerita yang mengandung hikmah. Khusus cerita Nasruddin atau Abu Nawas, sangat saya sukai. Meski sering membaca cerita-cerita yang mengandung pesan kebijaksanaan seperti itu, saya tidak kunjung bijak juga. Jelas, karena yang saya ambil bukan hikmah, melainkan humornya saja.
Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi saat membaca cerita. Dalam keseharian juga seringkali kita 'keliru menangkap' hikmah atau tidak peka sama sekali terhadap hikmah. Wajar, karena memang banyak kemungkinan terjadi di dunia ini. Ya, seperti itulah dunia. Sering juga, kan, denger orang bilang "udah, ambil hikmahnya aja."? Hikmah yang mana? Tiap-tiap orang belum tentu bisa mengambil hikmah yang sama terhadap persoalan sejenis. Itu semua sangat tergantung dari perjalanan dan pengalaman hidup masing-masing. Meski demikian, bagi saya, sepenggal kalimat itu seperti obat. Sebagai manusia yang hidup normal menghadapi suka duka, sedih bahagia, tangis dan tawa, kalimat tersebut membuat kita memiliki sikap 'nrimo', bersabar, dan pasrah. Teringat lagi apa yang guru saya katakan, bahwa saat kita mendapat sesuatu yang kita sukai atau sesuatu terjadi sesuai keinginan, kita tidak perlu terlalu bahagia. Biasa saja. Begitu pun sebaliknya, saat kita kehilangan sesuatu atau sesuatu terjadi tidak sesuai dengan yang diinginkan, kita tidak boleh terlalu bersedih, bersikap biasa saja. Poinnya, bahagia atau pun sedih, kita tetap stay cool. Dan ini sulit sekali bagi yang apa-apa baper, atau istilah kerennya ekspresif. Ehm.
Demi ingin menjadi manusia yang 'penuh hikmah', bijak bestari, saya sudah mencoba untuk selalu bersikap kalem, stay cool, apa pun yang terjadi bersikap biasa saja. Setelah itu, saya malah mendapati diri saya yang jutek bin songong. Tapi, mungkin itulah watak aslinya. Karena kebijaksanaan sepertinya tidak bisa dipelajari dalam waktu singkat seperti belajar di sekolah. Apalagi hanya sekadar baca cerita. Baca koran terlebih-lebih. Baca berita online terlebih-lebih lebih lagi.
Kebijaksanaan diperoleh dalam rentang panjang perjalanan kehidupan bagi mereka yang senantiasa mengambil hikmah dan kesabaran. Telah melalui proses belajar yang lama. Tidak bisa seperti saya yang suka ekting sok bijak, sok diam biar dianggap memiliki kedalaman ilmu nan luas. Jadi, memang akan sulit ditemukan kebijaksanaan dari siapa saja yang baru belajar atau baru mengetahui sesuatu. Misalnya gini, contoh yang sering saya alami, si A berbicara dengan saya tentang seleb yang baru nikah muda, lalu saya mencak-mencak protes (ehm :D). Lalu, kami berpendapat macam-macam, komentar ini itu, begini begitu. Padahal saya kenal pun tidak dengan seleb tersebut. Baru tahu, baru lihat juga pas lagi muncul berita nikahnya. Kemudian, setelah berlalu beberapa hari, lewati beberapa minggu, jadi kepoin banyak hal juga tentang seleb itu, datang si B berbicara dengan saya perihal nikah mudanya orang yang sama. Yang dibicarakan pun hampir sama dengan yang disampaikan si A. Kalau kamu jadi saya, gimana perasaanmu? Menemukan kondisi seperti ini biasanya kita cenderung memilih diam. Sembari dalam hati sebisa mungkin nahan biar nggak sampe bilang "ah, basi." Jadi, dalam hal ini, secara tidak sadar saya sedang bersikap 'bijak' dengan diam saja karena telah mengetahui lebih dulu, telah mendengar hal yang sama sebelumnya. Jadi, mau komentar lagi berasa aneh, janggal, dan basi ah.
Masih seperti kata guru, Ada perumpaan bagus bgt dari Habib Anis. "Peminum amatir cendurung berkoar2 padahal cuma menengguk seteguk anggur. Peminum senior msh bisa terlihat tenang meski mereka habis bergelas2 anggur."
Akhirnya, seperti biasa, saya tidak tahu apa yang ingin disampaikan. Well, terakhir saya ingin menyampaikan terimakasih sekali lagi kepada guru, dan selamat untuk hari ini mungkin hari guru. Sebenarnya saya ingin memberi bunga, tapi di sini tidak ada bunga. Adanya rumput liar. Dan kering. :D
^___^

No comments:
Post a Comment