Friday, September 9, 2016

Takjub

Sekitar 20 tahun lalu, tak sengaja seorang anak kecil menemukan buku cerita dengan ketebalan 1 cm berukuran kira-kira 6 x 18 cm di antara tumpukan rak buku ayahnya. Pada sampulnya yang usang tertulis judul "Wali Songo". Hanya itu yang terekam, kata atau kalimat sebelum dan sesudahnya dia sudah tak ingat. Saat itu, dia masih duduk di bangku madrasah setara SD, tepatnya kelas berapa dia pun sudah tidak mengingatnya. Satu yang jelas, buku itu sudah tidak ada sekarang, terakhir kali ia ingat sekali, buku itu dipinjam guru ngajinya. Beberapa kali minta dikembalikan, tapi guru yang juga mengajarkan ia dan teman-temannya shalawat keliling desa itu selalu menjawab, "Sebenernya saya sudah selesai membacanya, tapi, saya harus baca ulang lagi dua atau tiga kali agar bisa menghafal ceritanya untuk diceritakan ke teman-temanmu."



Anak kecil itu tentu saja merasa bangga karena bukunya, bukan.. buku ayahnya, dipinjam orang dewasa. Hanya saja sialnya, buku itu tak pernah kembali. Sekarang dia penasaran dan ingin membacanya kembali. Saat itu, ia senang membaca buku itu karena ceritanya seolah sedang membaca dongeng atau cerita-cerita superhero. Ia sama sekali belum mampu memahami maksud dan pesan kebaikan dari kisah-kisah dalam buku itu. Atau mungkin tanpa sadar dia sudah memahaminya? Ia juga tidak yakin. Namun, yang pasti diyakininya hingga saat ini, ia mempercayai kisah-kisah tersebut seratus persen. Tanpa bertanya kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu. Kenapa tokohnya bisa terbang, kenapa tokohnya bisa menghilang. Ia benar-benar percaya itu semua bisa terjadi, tetapi juga sekaligus meyakini bahwa dia tidak bisa melakukan seperti tokoh-tokoh tersebut. Apakah dia memiliki keinginan seperti tokoh itu? Benar, saat itu ia ingin bisa terbang. Tapi, ia harus menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa. Seharusnya ia bisa menggunakan perihal ini untuk membantah perkataan ibunya yang sering membandingkan dirinya dengan orang lain. "Temanmu saja bisa juara satu, kenapa kamu tidak bisa?" Lagi-lagi, dia masih anak kecil yang harus menerima kenyataan bahwa ternyata dia bukan anak yang pintar dan merasa tidak habis pikir kenapa dia hanya mampu mendapat juara dua.

Kembali ke persoalan buku wali songo. Kini, ia merasa beruntung dipertemukan dengan buku itu saat masih kecil, saat pikiran polosnya menerima cerita yang disajikan dengan segala ketakjuban. Saat ia masih berpikir bahwa segala sesuatu bisa terjadi di dunia ini dengan izin Tuhannya. Saat ia kemudian mengidolakan tokoh-tokoh dalam cerita itu. Saat ia masih bisa menikmati segala yang oleh orang dewasa dianggap sebagai ketidakmungkinan. Saat ia merasa senang bahwa kemungkaran di dunia ini bisa diselesaikan oleh tokoh-tokoh itu dengan meminta pertolongan kepada Tuhannya dan bukan kepada polisi. Saat ia merasa takjub dengan kehebatan tokoh itu mengobati orang sakit dengan meminta pertolongan kepada Tuhannya dan bukan kepada dokter. Segala cerita dalam buku itu membuatnya takjub, sampai-sampai ia membawa buku temuannya itu ke mana-mana hingga akhirnya lenyap di tangan orang dewasa yang meminjam tanpa kembali.

Barangkali akan lain ceritanya jika dia membaca buku itu sekarang, setelah 20 tahun kemudian atau mungkin 10 tahun yang lalu, saat pikirannya sudah menampung begitu banyak hal yang harus ia saring semampunya. Saat pikirannya dengan pongah mulai memproses mencermati bahwa di dunia ini ternyata ada hal-hal yang tidak masuk akal. Ada hal-hal yang bisa diterima akal dan ada yang tidak boleh diterima akal. Tidak boleh. Bukan tidak bisa. Dan hal-hal tersebut harus dibuang jauh-jauh. Tabu untuk dibicarakan. Bagi orang dewasa, hidup di dunia ini harus realistis, jelas, dan terhitung. Satu ditambah satu sama dengan dua. Harus dua. Bukan tiga apalagi empat. Jika orang dewasa sudah tidak mampu menghitung, mereka membuat simbol tak terhingga (~). Demikian halnya jika orang dewasa tidak sanggup menghadapi kesulitan, mereka menyerah, pasrah, dan meminta pertolongan. Tidak seperti anak kecil yang selalu meminta pertolongan dari awal begitu mereka sadar tidak memiliki kemampuan.

No comments: