Sunday, August 28, 2016

Curhat Pengangguran

Oh astaga, ternyata surat-surat dari distrik pada postingan sebelumnya belum selesai dibalas. Maapkan aku, wahai Blog. Mungkin kamu agak kecewa karena salah satu penggunamu ini tidak konsisten. Suka sekali membuat tulisan yang tidak selesai, setengah-setengah, ababil, sok sibuk. Ya, aku akan mengakui, akhir-akhir ini memang agak sibuk. Jangan bayangkan sibuk beneran. Sebenarnya, aku tidak sibuk, eh, sibuk ding. Eh, enggak sibuk. Aissh, sudahlah, yang jelas saat menulis di sini aku sedang lari dari empat naskah yang menunggu diutak-atik. Dan aku belum juga mau menyentuhnya. Selain karenanya nyantai belum dibayar di muka, aku terlanjur berada di zona nyaman. Males ngapa-ngapain.




Awal menyetujui permintaan Ibu akan pulang ke kampung halaman, aku membayangkan diriku akan menjalani hidup tenang sebagaimana seharusnya hidup di pedesaan. Menghirup udara segar di pagi hari, menghabiskan waktu di kebun sambil menulis diari atau membaca buku dan merasakan semilir angin berhembus dari atas rumah pohon hingga menjelang sore, melihat bintang dari balkon di malam dan subuh hari. Dan begitu seterusnya. Sekali-sekali bolehlah mencoba-coba memasak berbagai resep makanan ala eropa, itung-itung belajar masak buat suami. Eh, kok? Intinya hidup tenang lah ya, tanpa beban pikiran, tanpa keinginan terlihat hebat, tanpa berlomba-lomba menjadi hebat sebagaimana kehidupan di kota besar. 

Namun, apa yang terjadi? Jauh panggang dari api. Begitu menginjakkan kaki di Bandara Sultan Salahuddin Bima yang bangunannya tidak terlalu besar dan dikelilingi dataran garam. Tepat di hari raya Idul Fitri. Aku sudah merasakan aura yang berbeda (dari bayangan) melihat penumpang lain dengan bagasi yang over, baiklah bagasiku juga over, namanya juga pindahan, oke, oke... masih banyak barang yang nggak sanggup kebawa di Bandung. Heran juga jomblo bisa punya banyak gono gini. Sengaja ninggalin barang-barang itu selain gak sanggup bayar bagasi, buat antisipasi juga siapa tau pengen ke Bandung lagi, biar ada alesan. Hehe... Jadi, apa tadi? Bandara. Yap, aku dengan penampilan kusut kumal nggak mandi karena berangkat malam hari dari Bandung ke Bandara Soetta. Berjejer nunggu bagasi dengan ibu-ibu dan bapak-bapak besarta anak-anaknya, baiklah, cukup jelas bahwa aku yang sebatang kara di sana. Tak masalah, pura-puranya aku mahasiswa yang telat mudik aja lah. Tadinya aku tidak begitu memperhatikan kalau penampilan mereka kece-kece. Ah, maksudku penampilanku yang nggak banget. Yaa dalam pikiranku kemarin, cuma pulang ke kampung ini.... bukan ke luar negeri. Tapi, ternyata aku salah, semua orang berpenampilan keren, bagus. Nggak salah juga, kan, lagi hari raya, wajar. Saat itu, aku masih tidak peduli, sampai adik laki-lakiku yang datang menjemput menyuruhku meresleting jaket hanya karena aku mengenakan kaos. Apa aku harus pakai kebaya terus diarak sampai rumah? Nanti itu, dek, tunggu kakakmu nikah. Baiklah, aku lupa. Dia, kan, selalu berkemeja. Sekolahnya aja pakai stelan jas dengan bawahan sarung itu.
Dari sana sudah muncul persoalan pertama, penampilan. Adikku yang notabene laki-laki saja bisa memiliki perasaan malu dengan penampilan kakaknya. Akhirnya, hanya bisa sok cuek, sok sengaja berpenampilan apa adanya. Kalian harus bangga punya kakak yang nggak neko-neko. Kataku. Mungkin dalam hati mereka menjawab "makanya sampe sekarang nggak laku-laku." Tapi, nggak tega mau ngomong langsung. Terimakasih, Dek. #terharu

Persoalan selanjutnya saat memasuki desaku yang kucinta. Aku melihat pemandangan sebagaimana hari raya sebelum-sebelumnya. Ramai. Dan selalu ramai. Mobil-mobil yang berjejer di bahu kanan-kiri jalan bahkan sempat membuat kemacetan selama setengah menit. Aku sedikit terharu, desaku macet. Pemandangan kota besar masih bisa kulihat hari ini. Aku tidak terlalu kaget, biasanya hari raya memang selalu ramai. Jumlah volume kendaraan wajar meningkat karena ada beberapa yang mudik membawa kendaraan sendiri.

Namun, ternyata banyaknya mobil yang kulihat hari itu, masih ada hingga hari ini. Hanya berkurang sedikit. Bisa disimpulkan semakin banyak yang memiliki kendaraan pribadi sekarang. Kesimpulanku diperkuat pula oleh pernyataan Ibu, orang di sini diakui hebatnya kalau sudah punya mobil. Berarti Ibu sudah hebat dari dulu, kan udah punya mobil sebelum banyak yang punya. Sahutku. Itu bukan mobil, sepotong gitu gerobak namanya. Aku tertawa. Tapi itu bisa muat pupuk berpuluh karung dan obat berkardus-kardus. Mana muat kalo dimasukin ke avanza ataupun alpred. Aku mencoba menghibur Ibu yang selalu punya keinginan lebih tinggi dari orang lain.
Tapi, kamu harus tetep bisa punya mobil sendiri. Sana, belajar nyetir sama adikmu. Adikmu yang masih ingusan aja sudah bisa nyetir.

Sejak saat itu, aku mulai menyadari kalau bayanganku mengenai konsep hidup tenang di pedesaan tadi melayang, menguap, hilang, pecah satu per satu. Plup... plup...!

Konsep ketenangan hidup pedesaan yang banyak diimpikan orang kota berubah seratus delapan puluh derajat. Justru aku lebih merasakan suasana pedesaan di taman-taman kota Bandung. Okelah, langit di sini memang lebih cerah daripada di kota-kota besar. Warna birunya menyenangkan. Tidak ada awan hitam, hanya awan kelabu saat akan turun hujan. Di sini masih bisa melihat bintang-bintang bahkan rasinya membentuk sempurna karena tidak ada pencahayaan lampu jalan atau lampu gedung-gedung tinggi yang mengalahkan. Udara pagi pun masih beraroma segar menyehatkan. Angin masih tertiup menyejukkan meski di luar teriknya memanggang. Tidak banyak yang berubah dengan hal-hal seperti ini.

Adalah yang berubah itu adalah gaya hidup, impian, dan keinginan mereka. Mungkin dulu juga seperti ini, aku saja yang tidak tahu karena masih kecil. Tapi, yakin, deh, ingatanku belumlah hilang. Dulu, tidak banyak mobil di desa ini. Dan masih banyak Benhur. Sekarang benhur itu diganti 'gerobak' yang tadi Ibu katakan. Hampir tidak ada lagi yang jalan kaki. Jarak nggak sampai 100 meter saja harus naik motor. Hei, desaku dulu mana? Keceriaan lari-lari di tengah jalan sudah tidak ada. Sekarang yang ada takut ditabrak motor dengan suara mengaung yang menyebalkan, memekakkan telinga, sengaja buat ugal-ugalan. Emang ini jalanan punya mbahmu. Ingin rasanya anak-anak ingusan bermotor itu kulempar sendal atau panci biar nyaho. Pernah bilang ke Bapak suruh bikin polisi tidur depan rumah kayak di komplek-komplek di Bandung. Nggak usah katanya.

Tidak hanya soal itu, lebih berubah lagi adalah....yang terjadi dengan Ibu. Sebenarnya, sih, kenyataan bahwa Ibu punya impian mengenai hidup sukses dunia akhirat ini dari dulu. Namun, sekarang aku lebih kepada menjadi anak yang minder, kalah sama keinginan Ibu dan juga para orangtua di desa ini.

Setiap harinya, kalau tidak ingin digedor, subuh-subuh Ibu sudah harus buka toko untuk melayani para petani yang membeli pupuk atau obat-obatan sebelum mereka ke sawah. Pulang ngajar dari sekolah pun, Ibu selalu bersemangat berdagang lagi sampai nanti malam. Tidak ada tidur siang. Dulu, Ibu selalu menyuruhku tidur siang. Sekarang pun sama. Aku disuruh tidur dan Ibu nggak tidur. Anak macam apa aku ini. Sekali waktu, aku mencoba menggantikan Ibu. Tapi, aku kewalahan dan kapok karena banyak, permintaan macam-macam, dan aku tidak hafal tempat-tempat barangnya sehingga lamaaa nyarinya.

Ritme dan aktivitas warga di desa ini aku yakin tidak seperti dulu. Kebutuhan, biaya hidup, dan gaya hidup anak-anaknya yang membuat mereka harus berjuang banting tulang, harus rela dipanggang matahari, diguyur dinginnya hujan demi 'kesuksesan' sang anak, membelikan mobil dan motor buat anak-anaknya yang kemakan sinetron Si Boy apalah apalah itu. Sinetron favorit Ibu.

Meskipun semua kenyataan itu yang harus aku terima, tentu saja masih banyak hal yang tidak bisa kudapat dalam perantauan. Rumah yang nyaman, segala jenis makanan tersedia walaupun aku harus masak dulu. See, aku tetap bisa belajar memasak, sialnya bukan masakan eropa, jangankan memakannya, nggak ada yang mau menyentuh masakan ala-ala buatanku. Mau tidak mau, akhirnya aku memasak masakan ala Bima saja. Meskipun selalu dikomentari asin dan gosong, Bapak dan Ibu tetap makan dengan syahdu. Anyway, bicara soal makanan asin, entah kenapa Ibu selalu memaafkan dan tertawa sambil bilang "beneran udah kebelet nikah, ya?". Dan aku hanya bisa nyengir kuda sok malu-malu. Demi apa pun, mitos ini benar-benar menyelamatkanku dari label "gak bisa masak." :D

Selain soal belajar memasak, pemandangan langit dan udara tadi, setidaknya sekali-kali aku menyempatkan ikut Bapak ke kebun. Konsep hidup tenang di desa di kepalaku perlahan terbentuk kembali. Aku menambahkan sedikit bau-bau kebermanfaatan. Jadi, nggak semata berleha-leha. Akan tetapi, lain soal dengan bersantai di kebun. Saat ikut Bapak ke kebun, aku sudah memiliki niat nan mulia menjadi anak berbakti. Aku akan jadi petani atau tukang kebun seharian untuk membantu Bapak yang belakangan mencintai tanaman dan bertekad ingin menjadi petani sukses. Mudah-mudah dia tidak keceplosan saat mengajar tatacara shalat di sekolah menjadi tatacara menanam bawang merah. Aamiin.

Sesampainya di kebun, aku mulai bantuin Bapak membersihkan bibit bawang dari akarnya yang kepanjangan buat ditanam oleh para petani di sawah esok harinya, eh... kelopak mataku malah digigit entah oleh hewan apa namanya sampai bengkak gede. Pulangnya dari kebun, Ibu ngomel-ngomel, sudahlah berdagang saja sama Ibu.
Sejak saat itu, setiap ke kebun, niat mulia tadi kacau sudah, malah durhakanya aku, bukannya bantuin apa kek. Malah duduk-duduk aja sambil motret atau baca buku. Baiklah, konsep yang ini sepertinya terpaksa sesuai konsep awal. Daripada bengkak bentol-bentol lagi. Akhirnya, Ibu mengajak jadi pedagang saja.

Benar, aku sekarang memang sedang dicekcoki otak dagang. Setiap hari diiming-imingi duit segepok kayak anak kecil. Oleh Bapak sodorin setumpuk bukunya bang Ippho, buku entrepreneur, dan dilarang baca novel. Sekeren apa pun buku-buku entrepreneur itu, aku lebih tertarik baca novel. Hiks. Tapi juga disuruh banyak makan dan tidur terus. Jadi, aku bingung, sebenernya disuruh kerja atau tidur, sih.

Pada akhirnya aku tidak mengerti apa yang ingin kusampaikan selain curhat ngalor ngidul nggak jelas seorang pengangguran. Mungkin setelah menamatkan buku-buku yang sampai sekarang sama sekali belum kusentuh, eh, udah nyentuh ding, mungkin aku akan berdagang. Yap, aku harus jadi pengusaha sukses dunia akhirat. Ganbatte!! Baiknya kita cukupkan saja. Sekian. Wassalam.


No comments: