Pada suatu masa, seorang profesor berencana menciptakan sesuatu yang bisa (dan bersedia tanpa pamrih) mengerjakan apa yang dia inginkan. Lalu, diciptakanlah sebuah robot yang bisa bergerak sesuka mesin. Ya, seperti juga manusia yang bergerak sesuka hati, robot itu diberi kepintaran sehingga bisa melakukan apa saja sesuai kehendak mesinnya. Profesor sengaja membuatnya seperti itu agar ciptaan ini berbeda dari ciptaannya yang lain. Sekaligus ia ingin membuktikan sehebat apa ciptaannya.
Sebenarnya tidak banyak yang diinginkan sang profesor. Dia hanya ingin ciptaannya kali ini--well, kita sebut saja dia 'si robot'--mengingatnya dengan kapasitas memori yang sudah ia tanam. Karena jika robot itu sudah ingat, cukup hanya ingat, sekali lagi, hanya ingat, selanjutnya cara kerjanya lebih mudah, ia akan melakukan segala sesuatu yang diinginkan sang profesor tanpa perlu dijelaskan. Apalagi kalau sudah dijelaskan. Oh, benar, ternyata sudah. Sudah dibuatkan manual book untuk si robot. Semuanya sudah dijelaskan di sana. Di dalamnya sudah ada semua petunjuk dan cara kerja untuk robot itu agar ia tidak cepat rusak. Minimal mesinnya akan memiliki performa hebat. Dan ia bisa membacanya sendiri. Ya, dia juga bisa membaca. Robot itu telah diberi sebuah sistem bernama kepintaran, ingat?
Namun, seiring berjalannya waktu, robot yang amat pintar itu perlahan mengalami penurunan daya. Ia sering malas-malasan. Tidak lagi selalu memenuhi keinginan sang profesor. Terkadang bahkan mulai melawan. Ia merasa lebih mampu melakukan apa saja, sehingga merasa tidak membutuhkan keberadaan sang profesor.
Semakin hari si robot benar-benar bersikap tak acuh, hampir tidak pernah mengerjakan keinginan sang profesor. Ia sibuk mengerjakan segala sesuatu yang lain. Ditambah lagi, kehebatan dan kepandaiannya bergaul membuat ciptaan-ciptaan profesor yang lain sering menghampiri dan mengajaknya bermain. Chip kebahagiaan yang ditambahkan profesor ke dalam mesin berhasil membuatnya selalu tertawa. Ia memiliki perasaan bahagia itu sekarang. Dan itu justru membuatnya lupa. Kapasitas memorinya dipenuhi kebahagiaan, disesaki berbagai kenangan bersama teman-temannya. Si robot mampu mengenali ciptaan profesor yang lain, menghafal nama mereka, mengenali seluk-beluknya, dan mempelajari segala hal tentang mereka. Ia senang melakukannya. Ia bahkan terkadang tidak menyadari keberadaan sang profesor di sekitarnya. Saat sang profesor memanggilnya pun ia mulai tak peduli dan pura-pura sibuk dengan teman-temannya, kecuali jika teman-teman itu mengingatkannya, itu pun dengan meminta imbalan dari profesor akan memberikan apa yang dia inginkan. Tidak seperti si robot, teman-temannya penurut, tidak memiliki sifat melawan. Meskipun hanya diberi kemampuan bergerak dan memori terbatas, mereka tidak mudah melupakan profesor, mereka juga sangat mengagumi si robot sebagai ciptaan terbaik sang profesor. Melihat perubahan si robot, profesor merasa sedih. Kenapa si robot lebih mengingat teman-temannya ketimbang sang profesor yang telah membuat dirinya dan semua yang ada di sana. Dari mana si robot memiliki perasaan dan kecenderungan seperti itu? Siapa yang mengajarkannya? Apa yang mempengaruhi si robot? Apakah ada bagian mesinnya yang rusak?
Ternyata, oh ternyata, selain karena merasa puas dengan segala kelebihan yang dimilikinya, manual book tadi sudah tidak pernah dibuka-buka lagi oleh si robot. Si robot sudah merasa pintar, tidak memerlukan petunjuk untuk melakukan segala sesuatunya. Sekarang dia hanya meninggalkannya bersama tumpukan buku di dalam rak. Akibatnya, tanpa disadari si robot juga telah lupa (atau lebih tepatnya tidak peduli) dengan petunjuk-petunjuk dan cara kerja seperti yang tertulis di dalam buku tersebut. Ia tidak lagi menjalani hari-harinya seperti biasa sesuai dengan buku petunjuk.
"Tak apa, mungkin perasaan bosan sedang mempengaruhinya. Aku sendiri yang memberikannya segala macam perasaan. Biarkan dia istirahat sejenak," batin profesor. Ia masih berbaik hati memberikan waktu kepada si robot untuk melakukan sekehendak mesinnya.
Hari berlalu tanpa terjadi perubahan seperti yang diharapkan. Sang profesor menjadi sangat sedih. Ia kecewa dengan si robot yang diharapkan menjadi ciptaan terbaiknya, yang bisa melakukan keinginannya--yang si robot pun tahu itu tidak sulit--ternyata malah tak peduli dan berbalik melawannya. Sungguh, sang profesor amat sedih karena si robot benar-benar melupakannya.
Sebenarnya sang profesor bisa saja melakukan apa pun terhadap si robot. Bisa saja si robot dihancurkan atau dimusnahkannya. Bisa. Tapi, sang profesor terlanjur menyayanginya. Ia ingin si robot yang pintar menyadari keberadaannya. Ia ingin membuktikan kalau ciptaannya tidak pernah gagal. Ia ingin segala sesuatunya terjadi dengan kesadaran si robot. Sekarang sang profesor hanya akan menunggu. Pilihan itu ada pada si robot. [np]
2 comments:
Filosofinya keren. Layaknya manusia ke Tuhan ya Kak :)
Eh, ada Ade.. Kirain ga ada siapa2 di sini. Biasanya sepi sunyi senyap krikkrik.. :D
Hihi... jelas banget, ya?
Post a Comment