Thursday, November 17, 2016
Azan di Desa
Selama hampir 28 tahun saya hidup di dunia, baru kali ini menyadari satu hal tentang desa ini. Well, memang sih, dari 28 tahun itu jika ditotal paling hanya sekitar 7 atau 8 tahun saya bener-bener berada di desa ini. Utuhnya 6 tahun selama sekolah dasar, 1-2 tahunnya akumulasi kalo mudik pas liburan termasuk yang sekarang. 5 tahun pertama di tempat lahir. 15 tahun sisanya saya keluyuran. Hitung-hitungan semacam ini pasti terpengaruh faktor kesadaran akan usia yang semakin menua, namun belum juga melakukan hal penting, berguna, bermanfaat untuk bangsa, negara, dan agama? Duh, jauuuh... oke, setidaknya untuk diri sendiri lah. Menikah misalnya. (Eeaa...)
Jadi, begini, dari sekian subuh yang saya lalui di desa ini, baru sadar kalau ternyata desa ini banyak sekali suara azan. Gara-garanya, subuh ini, masjid di dekat rumah tidak kedengeran azannya. Biasanya masjid itu yang duluan azan, paling besar suaranya (karena deket) dan 'doyan banget' bikin kaget. Mungkin hari ini si muadzin agak telat bangun. Buktinya setelah masjid yang agak jauh selesai azan, dia baru azan. Saya agak bersyukur, sih, karena hari ini nggak ada yang kagetin. Hehe...
Kenapa saya bilang bikin kaget, kebiasaan muadzinnya nggak pake aba-aba semisal ketok-ketok maik, berdehem, atau seperti masjid lain yang kedengaran bacaan ta'awudznya dulu. Emm... tapi, mungkin kalo volume yang nyampe ke rumah nggak maksimal, sih, nggak akan kaget-kaget amat.
Nah, berhubung hal seperti tersebut di atas (derita bikin deskripsi panjang) yang terjadi, saya menyadari kalau desa ini memiliki suara azan yang banyak setiap memasuki waktu shalat. Kalau menyadari memiliki banyak masjid dan langgar, sih, sudah lama. Tapi, saya baru bener-bener menyadari ini sesuatu yang luar biasa baru hari ini. Desa ini punya 2 masjid besar dan sekira lebih dari 8 langgar dan musholla, saya tidak tahu pasti jumlah langgar/musholla (nanti tanya temen dulu), yang pasti setiap kampung minimal ada 1 langgar. Itu kampung kecil. Mungkin terdiri dari nggak lebih 20 rumah yang dibangun rapat-rapat. Sebuah desa kecil memiliki cukup banyak tempat ibadah, apa mungkin cuma di sini? Saya mencoba mengingat dan membuat perbandingan dengan desa di tempat saya KKN dulu. Di sana cuma ada 2 musholla. Cuma musholla, masjid pun nggak ada. Kalau tidak salah inget, nih, ya, masjid besarnya hanya ada 1 untuk sekecamatan. Kalau nggak salah. Mudah-mudahan saya salah.
Saya agak bangga menyadari hal ini. Betapa masyarakat desa ini sangat relijiyus. Tapi, kemudian saya teringat bahasan dengan Ibu beberapa hari lalu, saat saya bertanya kenapa masjid yang itu tidak ditingkatkan, dibangun 2 lantai padahal ada yang memberi wakaf sampai 900jt untuk pembangunan masjid? (Informasi 900jt itu dari Ibu. Dan belio termasuk salah satu penganut majas hiperbola :D ) Ibu bilang, orang-orang desa nggak setuju. Masalahnya, satu lantai aja nggak ada yang sholat, ngapain bikin 2 lantai? Fenomenanya sungguh menyedihkan, bukan? Banyak masjid dan langgar, tapi saat sholat fardhu paling cuma 1 shaf. Itu bukan masalah baru memang, hampir semua masjid dan langgar di mana pun saya berada menghadapi kenyataan yang sama. Hanya saja saya tiba-tiba memikirkan bagaimana sedihnya orang-orang dan para ulama zaman dulu yang telah bersusah payah membangunnya, sambil berperang melawan penjajah. Mereka membangun masjid dan banyak langgar itu barangkali dengan harapan agar kelak anak cucunya rajin shalat dan nggak kesulitan mencari tempat ibadah. Jadilah, di setiap kampung desa ini memiliki langgar, juga 2 masjid besar yang hanya penuh saat shalat jumat dan hari lebaran.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment