Monday, April 4, 2016

Arema Cronus vs Persib



*Awas! Tulisan ini mengandung SARA.

Dilema, tentu saja. Apakah berhak seseorang yang sedang 'nginep' di tanah sunda tidak mendukung pemain dari tanah tersebut? Ternyata tidak masalah, dan justru perbedaan itu memang menyenangkan. Walaupun sambil nonton, sambil juga 'bergelut' dengan teman-teman kosan yang semuanya gadis sunda, kami sama-sama menikmati. Ditemani genderang botol air mineral, piring, sendok, bahkan sisir, sampai seabrek camilan, menyanyikan yel-yel yang tidak kami hafal liriknya. Suasana seperti ini yang disebut bahagia itu sederhana. Ditambah lagi bahagia dengan kemenangan Arema Cronus yang bahkan sudah membuat topi khusus bertuliskan UTAS, yang dibaca terbalik menjadi SATU. Karena itu, saya jadi mikir, betapa keyakinan itu memang penting. Lihat saja, mereka begitu yakin akan menjadi sang juara sampai sudah membuat dan menyiapkan topi itu sebelumnya. Atau mungkin mereka juga menyiapkan topi dengan tulisan AUD? Saya tidak yakin.



Tulisan ini sebenarnya tidak hanya dimaksudkan untuk meramaikan euforia kemenangan Arema, kebetulan saja sekarang waktunya agak tepat. Sudah lama saya ingin bercerita tentang karakter orang-orang di setiap daerah berbeda. Khususnya karakter orang-orang dengan julukan kera ngalam (Malang), dou mbojo (Bima), arek suroboyo (Surabaya), dan maung bandung (Bandung). Karena baru empat kota itu yang pernah saya singgahi untuk waktu yang cukup lama.

Malang, kota kelahiran, tepatnya di Kepanjen daerah Kabupaten, Malang bagian selatan, lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik, lucu, dan imut. Ini dari bayi aja saya sudah bakat narsis ternyata. Masih tersisa setidaknya sedikit ingatan kilasan masa kecil yang kacau. Saat masih kecil, saya sering sekali terjatuh karena memang nakal dan bandel. Kalau bahasa orang kota 'lincah' dan 'aktif'. Meski demikian, hubungan dengan teman-teman sepermainan tetangga sekitar rumah cukup baik, bahkan waktu keluarga saya harus pindah ke Bima (karena Kakek dari Bapak nggak mau pisah sama anak satu-satunya) saat saya berusia sekitar 5 atau 6 tahun, teman-teman saya menangis, saya juga menangis nggak mau pisah. Sekarang, apa kabarnya mereka, ya? Saya masih inget nama mereka; Utami, Rudi, dan ah, siapa nama anak cewek satu lagi? Aa.. em, Endang kalau nggak salah. Saat itu, tentu saja saya belum bisa mengenal dan membedakan karakter orang. Sampai kemudian, tiga belas tahun setelah itu saya kembali ke Malang dan kuliah di sana. Bukan berarti juga saat itu saya sudah bisa membedakan karakter orang. Saya baru memikirkannya sekarang-sekarang ini, setelah sempat dua tahun 'nginep' di kota pahlawan, Surabaya. Kemudian sekarang, saat berdomisili sementara di kota Bandung yang sejuk.

Bandung sebenarnya adalah kota yang asing buat saya. Sebelum ini saya belum pernah datang ke Bandung kecuali mampir beberapa jam untuk belanja oleh-oleh saat study excurse zaman kuliah dulu. Walaupun saat 'hijrah' itu belum ada satu pun teman, keluarga, atau kenalan yang bisa saya mintai untuk menjemput di stasiun, setidaknya ada bapak sopir Blue bird yang ramah dan dengan sukacita mengantar ke mana saja. Apalagi saat dia tahu penumpangnya adalah orang Bima yang baru pernah ke Bandung. Kebanggaannya sebagai orang sunda semakin menggebu, ini lho kotaku. Dia mengenalkan tempat-tempat yang kami lewati dalam perjalanan menuju calon tempat kerja saya. Itulah orang sunda, ramah dan selalu tersenyum, bahkan kepada orang yang belum mereka kenal.

Perbedaan karakter bisa disebabkan oleh banyak faktor; pendidikan, keluarga, lingkungan, daerah, iklim, suhu, adat, kebiasaan, pola pikir, dan lain sebagainya. Sekarang coba kita lihat dari permainan sepakbola tadi, kira-kira pemain mana yang suka bikin rusuh? Sebenarnya sama saja dari kedua tim itu. Tapi, bukan pemain asal kera ngalam atau maung bandung. Mereka bahkan tidak terlihat banyak protes ke wasit. Mereka bermain dengan gaya Jawa dan Sunda yang bertatakrama. Mereka tidak banyak protes, malah saling mengingatkan "Udahlah, Bray... terima aja, da hidup mah peurihh...".
Yaa, you know who lah, ya, siapa yang banyak protes di lapangan hijau kekuningan itu.

Itu hanya sebagian kecil contoh yang terlihat dari sebuah permainan sepakbola. Memang, sebagian besar orang sunda terkenal dengan karakter 'anti-konflik'nya. Mereka tidak suka dan kalau bisa tidak ingin berkonflik dengan siapa pun. Sampai ada yang bilang, kalau ada orang yang nggak sengaja nginjek kaki orang sunda, yang minta maaf adalah yang kakinya diinjek. Sebenernya mereka ini manusia apa ibu peri?
Sangat berbeda dengan sebagian besar arek suroboyo yang terkenal blak-blakan dan nada bicaranya keras. Blak-blakan dan nada bicara keras di sini bukan melulu berarti negatif, ya. Ada saatnya blak-blakan dan bicara yang tegas dan keras itu dibutuhkan. Hal ini juga disebabkan banyak faktor, Surabaya memiliki suhu udara dan iklim yang cukup panas. Cuaca yang panas kerap menyulut emosi dan orang menjadi tidak sabar. Sebenarnya orang sunda juga kalau lagi di jalan di bawah terik matahari yang amat sangat, suka nggak sabaran, tubruk sana tabrak sini, klakson berubah jadi terompet tahun baru. Beruntungnya Tuhan sering menganugerahkan hujan di tanah ini.

Diluar konteks, konon ceritanya, Bandung saat-saat sekarang memiliki warga jomblo paling banyak yang disebut geng 32k. Yes, ada sekitar tiga puluh dua ribu jomblo a.k.a. single di kota ini. Mereka itulah yang disinyalir melakukan ritual doa minta hujan setiap malam minggu. Bertujuan untuk mencegah kejahatan dan kemungkaran di muka bumi, menggagalkan niat siapa pun yang ingin berkencan padahal belum halal, dan tentu saja bertujuan untuk mewujudkan perasaan iri dengki kepada yang sudah berpasangan. Karena itu, bukan hal aneh jika setiap malam minggu hujan selalu turun menyelimuti geng 32k.


Kembali ke karakter. Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan diluar laboratorium dan diluar rencana ini, karakter arek malang yang lebih suka menyebut dirinya kera ngalam ini berada di antara kedua karakter tersebut. Mereka tidak terlalu blak-blakan seperti arek suroboyo, tidak juga terlalu menghindari konflik seperti orang sunda. Nada bicaranya tidak terlalu keras seperti bonek, tidak juga halus seperti bobotoh. Sedang-sedang saja. Baiklah, sepertinya saya memang terlihat berpihak. Tapi, siapa saja boleh berbeda pendapat.

Lalu, bagaimana dengan karakter dou mbojo? Dou mbojo memiliki karakter luar yang hampir sama dengan arek suroboyo, nada bicaranya keras dan perilakunya tidak bisa dibilang lemah lembut. Mungkin karena faktor lingkungan, suhu udara, dan cuaca di sana yang amat panas. Letak geografis daerah Bima adalah kaki bukit sekaligus pesisir pantai. Meskipun udara di sana terasa panas seperti mataharinya punya dendam leluhur, angin dari laut selalu mengirim kesejukan dengan semerbak harum amis. Di sana, siang terasa amat panas, malam bisa membuat tubuh menggigil kedinginan. Sebagian besar dou mbojo memang berkarakter keras, tegas, dan nada bicaranya jangan ditanya. Siapa, sih, yang ke pantai nggak teriak-teriak? Siapa pula yang ke bukit nggak ber-auoo ria? Nah, itulah dou mbojo. Sudah dikatakan sebelumnya, suhu udara, iklim cuaca, dan letak geografis sangat berpengaruh terhadap karakter seseorang. Itulah kenapa diperlukan mata pelajaran etika/PMP/PPKn di bangku sekolah dasar. Jadi, tolong jangan dihapus, ya, Pak Menteri.

Demikianlah sekelumit kegundahan pribadi mengenai bagaimana karakter anak bangsa mampu mempengaruhi kelangsungan dan hajat hidup orang banyak. Semoga bermanfaat minimal menghibur.



*edited: 04:11 am. 5/4/2016

No comments: