Wat zijn
wij toch stom, toch dom, om een heel leven lang
een berg
schatten naast ons te hebben et het niet te zien, niet te weten.
(Alangkah bebalnya,
bodohnya kami tiada melihat, tiada tahu
bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan
(Al-Quran) di samping kami).
Wij zochten
niet bij demenschen troost wij klemden ons vast aan Zijn hand.
(Kami tidak
perlu mencari pelipur hati pada manusia,
kami hanya
berpegang teguh pada Tangan Allah).
–Api Sejarah—
Raden Adjeng Kartini terkenang bukan karena dia berhasil
memenangkan nobel dalam bidang tertentu. Bukan pula karena menjadi ketua
organisasi, ketua PKK, ketua partai, anggota dewan yang terhormat, bupati, presiden,
atau apa pun sejenis itu. Disebutkan dalam deretan nama Pahlawan juga bukan
karena maju di medan perang melawan penjajah. Terkenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan juga bukan karena menjadi menteri pemberdayaan perempuan.
Bukan. Kartini justru terkenang karena tulisan angan-angan, cita-cita, pemikiran,
dan keinginan pribadinya.
Akan
tetapi, bagaimana perempuan saat ini bisa mendapatkan nobel, bisa diakui
menjadi ketua organisasi, ketua partai, anggota dewan, menjadi bupati, menteri,
atau bahkan presiden, faktor terbesarnya adalah karena perjuangan yang
dilakukan Kartini di masa hidupnya. Bagaimana kaum perempuan sekarang dapat
memiliki pengaruh dalam masyarakat, salah satunya adalah karena pemberontakan
Kartini terhadap sistem adat pada masa itu yang tidak mengizinkan kaum
perempuan untuk meraih pendidikan tinggi. Perjuangan dan pemberontakan yang ia
lakukan adalah dengan terus membaca—karena saat usianya menginjak 12 tahun ia
sudah tidak diizinkan melanjutkan sekolah—dan menulis surat. Ya, Kartini menulis
surat kepada teman-temannya. Tulisan-tulisan yang akhirnya membuka jalan bagi
kemajuan sebuah bangsa. Betapa hanya dengan rajin membaca dan menulis kita
bahkan bisa membuat perubahan besar.
Tulisan-tulisan
dalam bentuk surat yang ia kirimkan kepada teman-temannya di negeri Belanda itu
kini dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang.
Surat-surat yang belum sempat dibuktikan dengan banyak tindakan nyata itu
mendapat dukungan dari teman-temannya. Mereka adalah Abendanon, Direktur
Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama; juga kepada istrinya Ny.
Abendanon; Ny. Marie Ovink Soer, istri Residen Jepara; Nn. Stella Zeehandelaar;
Ir. H. H. van Kol, Anggota Tweede Kamer; Ny. Nellie van Kol; dan Dr. Adriani.
Mengapa Kartini bisa mengenal, berteman, dan berkirim surat dengan orang-orang
tersebut?
R. A.
Kartini lahir di tengah keluarga bangsawan. Pada saat ia lahir, ayahnya, Raden
Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang Patih yang kemudian diangkat
menjadi Bupati Jepara. Ia termasuk bupati pertama yang memberi pendidikan Barat
kepada anak-anaknya. Kartini hanya dibolehkan sekolah di ELS (Europese
Lagere School) sebelum dipingit pada usia 12 tahun. Saat itulah ia mulai
merasakan ketidakadilan terhadap dirinya. Kartini merasa tertekan karena
keinginannya untuk belajar dibatasi. Tapi, karena ia sangat menyayangi ayahnya,
ia tidak ingin nama baik ayahnya dan keluarga tercoreng jika ia melakukan
pemberontakan secara frontal. Saat itu, selain Kartini memang sudah ada segelintir
perempuan yang berjuang melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Beberapa di
antaranya kita bisa mengenal Martha Christina Tiahahu di Maluku, Dewi Sartika
di tanah Sunda, Rohana Kudus di Kabupaten Agam, Rahmah El Joenoesijah di Padang
Panjang, dan Cut Nyak Dien di Aceh. Kartini yang saat itu sudah menguasai bahasa
belanda hanya bisa menulis surat kepada teman-temannya sebagai pelipur lara. Belum
sempat melakukan banyak tindakan nyata selain mendirikan sekolah wanita di
sebuah bangunan yang kini dikenal dengan Gedung Pramuka.
Jika
membaca surat-surat tersebut—yang diterjemahkan Armijn Pane, benar saja, di
dalamnya berisi tulisan seperti curahan hati seorang perempuan. Tentu saja bukan
sekadar curahan hati biasa. Di dalamnya memuat cita-cita dan keinginan yang
tidak hanya demi memenuhi kepentingan pribadi, tetapi juga mewakili keinginan
dan cita-cita masyarakat pada masa itu dan (ternyata) masyarakat di masa depan
juga. Surat-surat tersebut membuktikan bagaimana seorang Kartini mampu melihat kebutuhan
di masa yang akan datang, bahwa kaum perempuan juga harus belajar dan berjuang
untuk dirinya. Pandangan-pandangan itu juga dipengaruhi oleh rasa ingin tahunya
yang besar, sehingga ia banyak membaca buku, Koran, dan jurnal-jurnal yang
dikirimkan teman-temannya dari Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar
Semarang De Locomotief, ia juga menerima Leestrommel (paket
majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan). Karena kesukaannya membaca majalah De
Hollandsche Lelie, ia pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di
majalah wanita Belanda itu.
Setelah
Kartini wafat, salah seorang temannya, Abendanon mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Terdapat
kontroversi mengenai hal ini, ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat
Kartini. Mereka menduga Abendanon yang saat itu menjabat Direktur Departemen
(setara Menteri) Pendidikan, Kebudayaan, Kerajinan, dan Agama telah merekayasa surat-surat
Kartini. Jika dilihat dari jabatan Abendanon, kemungkinan besar memang bisa
saja ia melakukan hal tersebut, mengingat surat-surat Kartini sejalan dengan
kepentingannya yang mendukung Politik Etis Hindia Belanda saat itu. Terlebih
lagi dengan tidak ditemukannya sebagian besar naskah asli surat-surat itu.
Namun sayangnya, tidak ada juga yang bisa membuktikan keraguan tersebut. Karena
itu, generasi sekarang lebih baik tidak perlu memusingkan hal semacam ini. Dan
bertanya-tanya mengapa harus Kartini? Apa karena dia orang Jawa? Mengapa hanya
ada peringatan Hari Kartini, padahal kita memiliki banyak perempuan yang juga
memperjuangkan hal sama pada masa itu? Sederhana saja, jika kita harus menyebutkan
semua perempuan pejuang saat itu, bisa jadi akan sangat panjang. Dan lagi, kita
tidak perlu menduga ini itu, mencari-cari alasan dan dugaan yang nantinya dapat
menimbulkan perpecahan. Kartini juga tidak akan senang. Lagi pula siapa yang bisa
memastikan mereka (Dewi Sartika, dkk.) sendiri ingin diperingati hari
kelahirannya sebagai hari besar nasional?
Bagaimana
jika kita melihat saja dampaknya sekarang? Anak-anak Indonesia, laki-laki
maupun perempuan, dapat belajar sesuka hati hingga jenjang tertinggi sesuai
dengan keinginan, cita-cita, dan kemampuan mereka. Bahkan mereka dituntut
dengan kemasan program pemerintah wajib belajar sembilan tahun. Setelahnya,
mereka diarahkan sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing di jenjang SMA
dan perguruan tinggi. Berbagai program beasiswa pun diberikan bagi yang tidak
mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu, sudah tidak ada lagi diskriminasi
terhadap kaum perempuan dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka bisa menjadi apa
saja yang diinginkan. Menduduki posisi apa pun dalam bidang pekerjaan dan
berkontribusi di lembaga mana saja. Di mata hukum juga tidak memandang
perbedaan laki-laki dan perempuan. Semuanya sama dan sejajar. Inilah hasil dari
buah pikiran dan kegundahan hati Kartini yang patut disyukuri bangsa ini.
Pada
akhirnya, perjuangan yang dilakukan Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien,
Rohana Kudus, dan yang lainnya adalah atas dasar kecintaan mereka terhadap
tanah air tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Mereka menginginkan nusa
bangsa ini mengalami kehidupan yang lebih baik di masa depan, bebas dari
kungkungan, keterbelakangan. dan penjajahan. Dan itu harus kita hargai. Wujud
penghargaan yang bisa kita lakukan juga banyak dan bermacam. Minimal dengan
belajar dan banyak membaca. Itu minimal. Sebagai penutup, saya akan mengutip
emansipasi yang amat bijak ditawarkan oleh pendiri surat kabar perempuan
pertama di Indonesia, Rohana Kudus: “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat
perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala
kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan
rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya
hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.” [np]
*for www.grafindo.co.id
Referensi:
Suryanegara, Ahmad
Mansur, 2012 (Cet. V), Api Sejarah, Bandung: Salamadani
Kartini, R. A., Habis Gelap,
Terbitlah Terang (Edisi Revisi), 2009 (Cet. 27), Terjemahan Armijn Pane,
Jakarta: Balai Pustaka (ebook)
No comments:
Post a Comment