Thursday, April 21, 2016

Kartini yang Gemar Baca dan Suka Menulis


Wat zijn wij toch stom, toch dom, om een heel leven lang
een berg schatten naast ons te hebben et het niet te zien, niet te weten.
(Alangkah bebalnya, bodohnya kami tiada melihat, tiada tahu
bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Al-Quran) di samping kami).
Wij zochten niet bij demenschen troost wij klemden ons vast aan  Zijn hand.
(Kami tidak perlu mencari pelipur hati pada manusia,
kami hanya berpegang teguh pada Tangan Allah).
–Api Sejarah—

Raden Adjeng Kartini terkenang bukan karena dia berhasil memenangkan nobel dalam bidang tertentu. Bukan pula karena menjadi ketua organisasi, ketua PKK, ketua partai, anggota dewan yang terhormat, bupati, presiden, atau apa pun sejenis itu. Disebutkan dalam deretan nama Pahlawan juga bukan karena maju di medan perang melawan penjajah. Terkenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan juga bukan karena menjadi menteri pemberdayaan perempuan. Bukan. Kartini justru terkenang karena tulisan angan-angan, cita-cita, pemikiran, dan keinginan pribadinya.
Akan tetapi, bagaimana perempuan saat ini bisa mendapatkan nobel, bisa diakui menjadi ketua organisasi, ketua partai, anggota dewan, menjadi bupati, menteri, atau bahkan presiden, faktor terbesarnya adalah karena perjuangan yang dilakukan Kartini di masa hidupnya. Bagaimana kaum perempuan sekarang dapat memiliki pengaruh dalam masyarakat, salah satunya adalah karena pemberontakan Kartini terhadap sistem adat pada masa itu yang tidak mengizinkan kaum perempuan untuk meraih pendidikan tinggi. Perjuangan dan pemberontakan yang ia lakukan adalah dengan terus membaca—karena saat usianya menginjak 12 tahun ia sudah tidak diizinkan melanjutkan sekolah—dan menulis surat. Ya, Kartini menulis surat kepada teman-temannya. Tulisan-tulisan yang akhirnya membuka jalan bagi kemajuan sebuah bangsa. Betapa hanya dengan rajin membaca dan menulis kita bahkan bisa membuat perubahan besar.
Tulisan-tulisan dalam bentuk surat yang ia kirimkan kepada teman-temannya di negeri Belanda itu kini dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang. Surat-surat yang belum sempat dibuktikan dengan banyak tindakan nyata itu mendapat dukungan dari teman-temannya. Mereka adalah Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama; juga kepada istrinya Ny. Abendanon; Ny. Marie Ovink Soer, istri Residen Jepara; Nn. Stella Zeehandelaar; Ir. H. H. van Kol, Anggota Tweede Kamer; Ny. Nellie van Kol; dan Dr. Adriani. Mengapa Kartini bisa mengenal, berteman, dan berkirim surat dengan orang-orang tersebut?
R. A. Kartini lahir di tengah keluarga bangsawan. Pada saat ia lahir, ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang Patih yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara. Ia termasuk bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini hanya dibolehkan sekolah di ELS (Europese Lagere School) sebelum dipingit pada usia 12 tahun. Saat itulah ia mulai merasakan ketidakadilan terhadap dirinya. Kartini merasa tertekan karena keinginannya untuk belajar dibatasi. Tapi, karena ia sangat menyayangi ayahnya, ia tidak ingin nama baik ayahnya dan keluarga tercoreng jika ia melakukan pemberontakan secara frontal. Saat itu, selain Kartini memang sudah ada segelintir perempuan yang berjuang melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Beberapa di antaranya kita bisa mengenal Martha Christina Tiahahu di Maluku, Dewi Sartika di tanah Sunda, Rohana Kudus di Kabupaten Agam, Rahmah El Joenoesijah di Padang Panjang, dan Cut Nyak Dien di Aceh. Kartini yang saat itu sudah menguasai bahasa belanda hanya bisa menulis surat kepada teman-temannya sebagai pelipur lara. Belum sempat melakukan banyak tindakan nyata selain mendirikan sekolah wanita di sebuah bangunan yang kini dikenal dengan Gedung Pramuka.
Jika membaca surat-surat tersebut—yang diterjemahkan Armijn Pane, benar saja, di dalamnya berisi tulisan seperti curahan hati seorang perempuan. Tentu saja bukan sekadar curahan hati biasa. Di dalamnya memuat cita-cita dan keinginan yang tidak hanya demi memenuhi kepentingan pribadi, tetapi juga mewakili keinginan dan cita-cita masyarakat pada masa itu dan (ternyata) masyarakat di masa depan juga. Surat-surat tersebut membuktikan bagaimana seorang Kartini mampu melihat kebutuhan di masa yang akan datang, bahwa kaum perempuan juga harus belajar dan berjuang untuk dirinya. Pandangan-pandangan itu juga dipengaruhi oleh rasa ingin tahunya yang besar, sehingga ia banyak membaca buku, Koran, dan jurnal-jurnal yang dikirimkan teman-temannya dari Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief, ia juga menerima Leestrommel (paket majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan). Karena kesukaannya membaca majalah De Hollandsche Lelie, ia pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di majalah wanita Belanda itu.
Setelah Kartini wafat, salah seorang temannya, Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Terdapat kontroversi mengenai hal ini, ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Mereka menduga Abendanon yang saat itu menjabat Direktur Departemen (setara Menteri) Pendidikan, Kebudayaan, Kerajinan, dan Agama telah merekayasa surat-surat Kartini. Jika dilihat dari jabatan Abendanon, kemungkinan besar memang bisa saja ia melakukan hal tersebut, mengingat surat-surat Kartini sejalan dengan kepentingannya yang mendukung Politik Etis Hindia Belanda saat itu. Terlebih lagi dengan tidak ditemukannya sebagian besar naskah asli surat-surat itu. Namun sayangnya, tidak ada juga yang bisa membuktikan keraguan tersebut. Karena itu, generasi sekarang lebih baik tidak perlu memusingkan hal semacam ini. Dan bertanya-tanya mengapa harus Kartini? Apa karena dia orang Jawa? Mengapa hanya ada peringatan Hari Kartini, padahal kita memiliki banyak perempuan yang juga memperjuangkan hal sama pada masa itu? Sederhana saja, jika kita harus menyebutkan semua perempuan pejuang saat itu, bisa jadi akan sangat panjang. Dan lagi, kita tidak perlu menduga ini itu, mencari-cari alasan dan dugaan yang nantinya dapat menimbulkan perpecahan. Kartini juga tidak akan senang. Lagi pula siapa yang bisa memastikan mereka (Dewi Sartika, dkk.) sendiri ingin diperingati hari kelahirannya sebagai hari besar nasional?
Bagaimana jika kita melihat saja dampaknya sekarang? Anak-anak Indonesia, laki-laki maupun perempuan, dapat belajar sesuka hati hingga jenjang tertinggi sesuai dengan keinginan, cita-cita, dan kemampuan mereka. Bahkan mereka dituntut dengan kemasan program pemerintah wajib belajar sembilan tahun. Setelahnya, mereka diarahkan sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing di jenjang SMA dan perguruan tinggi. Berbagai program beasiswa pun diberikan bagi yang tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu, sudah tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka bisa menjadi apa saja yang diinginkan. Menduduki posisi apa pun dalam bidang pekerjaan dan berkontribusi di lembaga mana saja. Di mata hukum juga tidak memandang perbedaan laki-laki dan perempuan. Semuanya sama dan sejajar. Inilah hasil dari buah pikiran dan kegundahan hati Kartini yang patut disyukuri bangsa ini.
Pada akhirnya, perjuangan yang dilakukan Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Rohana Kudus, dan yang lainnya adalah atas dasar kecintaan mereka terhadap tanah air tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Mereka menginginkan nusa bangsa ini mengalami kehidupan yang lebih baik di masa depan, bebas dari kungkungan, keterbelakangan. dan penjajahan. Dan itu harus kita hargai. Wujud penghargaan yang bisa kita lakukan juga banyak dan bermacam. Minimal dengan belajar dan banyak membaca. Itu minimal. Sebagai penutup, saya akan mengutip emansipasi yang amat bijak ditawarkan oleh pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus: “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.” [np]


Referensi:
Suryanegara, Ahmad Mansur, 2012 (Cet. V), Api Sejarah, Bandung: Salamadani
Kartini, R. A., Habis Gelap, Terbitlah Terang (Edisi Revisi), 2009 (Cet. 27), Terjemahan Armijn Pane, Jakarta: Balai Pustaka (ebook)

No comments: