Kenapa aku yang harus selalu lebih dulu tahu apa yang gadis itu rasakan?
Semuanya harus dia ceritakan padaku. Aku bosan. Bosan mendengar keluh kesahnya,
bosan mendengar cerita sedihnya. Kalau cerita bahagia, sih, aku tidak terlalu
ambil pusing. Saat dia senang, aku pun terkadang turut merasa senang. Sialnya,
dia lebih banyak berkeluh kesah tentang kesedihannya ketimbang berbagi cerita
bahagia. Saat senang, dia tidak selalu menceritakannya. Tapi, aku sudah cukup
mengenalnya. Saat senang, akan sangat terlihat dari tingkah lakunya.
Jika gadis itu bangun lebih pagi dari biasanya,
melihat dan memegangku beberapa lama sambil berdendang mengikuti alunan musik
yang aku nyanyikan, bersiap-siap berangkat kerja dengan semangat dan senyuman
yang tidak lepas dari bibirnya, menyapukan bedak tipis pada wajahnya, bahkan
sampai memakai lipstik yang aku yakin sudah expired—karena sejak
kedatanganku tiga tahun yang lalu aku sudah melihatnya bertengger manis tidak
terurus di antara botol-botol dan kemasan yang tak kumengerti mengapa bisa
sebanyak itu, padahal yang dia sentuh hanya dua atau tiga saja. Parahnya lagi,
botol-botol ini sudah banyak yang kosong, kenapa tidak dibuang? Apa segitu
inginnya dia bertingkah seperti gadis pada umumnya?
Baiklah, kita kembali. Setelah memakai lipstik yang
kemudian diusap lagi dengan tissu, dia tersenyum absurd pada cermin yang
menertawakannya. Sayangnya, dia tidak bisa lihat. Kalau saja dia bisa lihat bagaimana
cermin itu menertawakannya, aku yakin dia tidak akan se-percaya diri itu di
sana. Sekarang dia memakai kaos kaki, masih sambil bersenandung riang. Aku ikut
senang juga, sih, melihatnya. Kemudian dia meraihku dan mengunci pintu kamar.
Mengambil sepatu dan memakainya. Lagi-lagi, masih bersenandung meskipun aku sudah
tidak bersuara. Menuruni tangga, dan dia melewati temanku begitu saja. Baiklah,
aku tahu dia ingin punya banyak waktu menikmati perjalanan dengan berjalan
kaki. Mau tidak mau aku harus tetap menemaninya. Bye.. Bye.. Bleki. Kami
berangkat dulu. Kamu boleh istirahat hari ini.
Dia tersenyum dan menyapa hampir kepada semua orang
yang kami lewati. Itu sudah biasa sebenarnya. Nah, yang aku tidak mengerti, dia
bahkan tersenyum karena melihat air di selokan yang mengalir dan ingin menyapa
kecebong yang berenang di sana. Untungnya kecebong itu tidak ada. Baginya air
di selokan itu mengalir jernih seperti aliran sungai di pegunungan puntang. Padahal,
menurutku, air di selokan itu sama saja seperti biasanya. Jorok dan bau.
Itu yang aku perhatikan sekitar dua hari yang lalu
dan beberapa hari sebelumnya. Sekarang, dia sudah kembali seperti biasa. Tersenyum
seperlunya. Tidak bersenandung. Tidak lagi memperhatikan air di selokan. Mungkin
itu karena aku sudah benar-benar muak dengan kelakuannya. Sekarang aku tidak
mau lagi bermain dengannya. Aku capek dimanfaatkan terus seperti ini. Aku bosan
dimanfaatkan untuk segala modus yang dia ciptakan. Oke, aku tahu dia terlalu
jujur. Tapi, plis atu lah, nggak semua yang ada di pikiran dan perasaan dia
harus diumumin juga, kan? Cukup, aku lelah. Aku sedang berpura-pura sakit, aku
sekarat, aku bahkan mati suri. Kalau dia mau aku sembuh, dia harus membawaku ke
rumah sakit lagi. Tapi, sebelumnya dia harus berjanji untuk tidak terlalu bergantung
padaku. Aku ini bukan apa-apa, lho. Aku hanya seonggok barang bernama phone
yang mereka gelari ‘smart’. Well, aku akui, aku memang smart.
Tapi, come on, aku ingin pemilikku lebih smart. Sekian.

No comments:
Post a Comment