Tiba-tiba teringat suatu kejadian yang pernah saya alami saat sedang asyik bergumul di bagian rak buku anak Gramedia Merdeka. Ini saya lagi ngapain, ya? Kok, bahasanya bergumul, sih? Lagi-lagi, saya kesulitan menemukan padanan kata yang bisa menggambarkan kondisi saya saat itu. Ya, saya sedang melihat-lihat, membaca, membuka, menerawang, meraba-raba, membolak-balik, membanding-bandingkan, mengutak-atik, memotret, bahkan melepas wrapping buku-buku tanpa mau repot-repot minta izin ke pramuniaga di sana. Parahnya, saya tidak membeli satu pun buku-buku yang malang tadi. Setelahnya, saya harus sok tidak peduli dengan tatapan ingin membunuh dari teteh-teteh pramuniaga yang cantik, sopan, dan selalu tersenyum itu.
Di saat-saat menggenaskan seperti itu, tiba-tiba seorang wanita berjilbab--yang dari tadi juga melihat-lihat buku di sekitar saya--semakin mendekat, mendekat, dan mendekat ke samping saya, sampai berjarak sekitar 30 cm. Kan, serem. Kalau di film-film mungkin akan ada adegan tak sengaja mengambil buku yang sama, lalu saling tatap, terus rebutan. Ah, itu seringnya cewek sama cowok, sih. Harusnya dia cowok tampan rupawan, bersahaja, bijak bestari, dan berbudi pekerti luhur. Tapi, sayangnya dia hanya seorang wanita.
Adegan seperti ini, seandainya terjadi baru-baru ini, saya akan su'udzon kalau dia salah satu pasien LGBT yang gagal tobat. Untungnya kejadian itu udah lumayan lama, hanya tiba-tiba keinget gara-gara saya baru saja membaca sesuatu.
Jadi, setelah berdekatan dengan jarak sekian senti itu, dia mengajak ngobrol, saya lupa apa yang dibicarakannya untuk membuka obrolan, yang jelas agak-agak to the point, kalau nggak salah dia nanya tempat tinggal saya.
Nah, kan, serem.
Ngobrol, ngobrol, dan ngobrol. Meskipun kebanyakan dia bertanya, saya menjawab, obrolan itu berkembang ke berbagai tema, nah, sampailah obrolan pada tema Al-Quran. Sialnya, cuma beberapa pertanyaan yang saya inget dan membekas, sebenernya ini memori otak saya berapa giga, sih?
Pertanyaannya kurang lebih seperti ini:
"Kira-kira kita bisa, nggak, sih, mengerti dan memahami semua yang ada di dalam Al-Quran."
"Bisa. Kenapa tidak?" Jawab saya (sebenernya) nggak pake mikir.
"Beneran, Mbak bisa memahami semua firman Allah di dalam Al-Quran?"
"Tinggal baca translatenya, kan?" Bukannya menjawab, saya malah bertanya balik. Biasanya ini menandakan saya sedang mencoba membaca pikiran lawan bicara. Takut-takut kalau jawaban saya tidak sesuai keinginan si penanya.
"Mbak bisa mengerti semua isi Al-Quran?"
"Bisa..." Jawab saya pongah. Dan sekali lagi, tanpa mikir.
"Wah, kalau saya nggak bisa, Mbak. Saya masih nggak sanggup." Ya ampun, kenapa dia membalas dengan sangat rendah hati begitu. Kan, saya jadi nyesel dengan jawaban saya sendiri. Jadi, seharusnya saya mesti jawab apa, sih? Bukannya bener, tinggal baca Al-Quran terjemahan.
Baiklah, untuk saat itu saya tidak bisa membedakan terjemahan dengan tafsir dengan takwil dan dengan lain sebagainya.
Saya bahkan lupa kalau kata sependek "Yaasiin" atau "Alif laam miim" saja saya tidak tahu arti dan maksudnya.
Sampai sekarang saya masih penasaran siapakah wanita itu? Waktu saya tanya di mana dia tinggal, kerja atau kuliah? Jawabanya juga nggak jelas. Dia tidak berkenan menjawab apa pun.
Oh, iya, satu lagi. Tiba-tiba keinget barusan. Sebelum pergi, dia mengatakan sesuatu, "Mbak, mau nggak mengenal Islam secara menyeluruh, memasuki Islam secara kaffah?"
"Hah? Gimana maksudnya, Mbak?"
"Kalau Mbak mau, sekarang kita sholat Asar dulu, udah Azan, kan, ya? Nanti saya ceritakan sesuatu, nanti saya ceritakan gimana memasuki Islam secara kaffah."
"Aah, haduh, gimana, ya... bukannya nggak mau, Mbak, tapi, saya sudah harus balik lagi ke kantor. Itu, temen saya udah nungguin." Saya berbohong. Temen saya memang ada, tapi entah ke mana perginya, dan kami masih akan lama lagi di sini. Hanya saja saya beneran nggak mau ikut orang itu, takut dihipnotis, terus diajakin atau didoktrin yang macem-macem. Saat itu, memang lagi rame hal semacam itu. Ampun, ya, Allah, saya sudah su'udzon (lagi). Boleh jadi, orang itu memang tulus demi melihat penampilan saya yang mendekati preman--celana chino, kemeja kotak-kotak, jilbab paris cuma dikaitin satu peniti. Normal, sih, sebenernya... saya lagi mendramatisir aja. Tapi, dari tindak tanduknya, wanita itu memang mencurigakan, sih. Tiba-tiba ngajak ngobrol, jarang bahkan hampir nggak ada, lho, orang yang nggak dikenal ngajak ngobrol hal panjang lebar seperti itu di toko buku. Kan, mau nyari buku, bukan nyari temen ngobrol. Kalo kayak di stasiun, terminal, bandara, angkot, bus, kapal, pesawat, atau semacam itu, sih, wajar untuk menghilangkan kebosanan selama menunggu sampai di tempat tujuan.
Ya, demikianlah pertemuan dengan wanita baik hati yang saya tolak ajakannya itu. Saya memandang syahdu kepergiannya. Saya pikir dia akan mencari target lain. Tapi, ternyata dia langsung menuruni tangga. Mungkin mau sholat Asar.

No comments:
Post a Comment