Monday, March 21, 2016

Tilang




 Dari jarak sekitar sepuluh meter di depan, seseorang berseragam Polisi dengan rompi hijau ngejreng-nya terlihat berjalan agak ke tengah jalan. Saat itu jalanan kebetulan lenggang. Saya langsung cek ceklekan lampu depan.
Sial. Lupa dinyalain. Saya buru-buru menyalakannya dengan wajah sok santai padahal panik setengah mampus.

Saya tetap berjalan tanpa mengurangi atau mempercepat kecepatan. Berharap dugaan saya kalau Si Bapak Polisi mau nyetopin, itu salah. Tapi, ternyata saya memang ahli membaca pikiran orang. Emang keliatan, sih. Nggak perlu ahli baca pikiran juga, keleus. Dugaan saya bener. Si Bapak Polisi bener-bener mau nyetopin saya. Dan memang cuma saya dan bleki. Bukan dalam rangka razia rutin. Ini murni hanya mencegat siapa pun yang melanggar peraturan lalu lintas. Sepintas saya ragu, antara mau jalan terus, kabur maksudnya, atau berhenti.

Akhirnya, hidayah--bahwa saya harus jadi warga negara yang baik--itu turun juga, tepat pada saat keraguan melanda. Saya meminta si Bleki berhenti. Dia nurut. Anak pinteer.

"Selamat siang, Bu!" Suara tegas sambil memberi hormat. Dan tersenyum.



"Siang." Jawab saya ceria, sebenernya saya ingin turun dari si Bleki, berdiri tegak, dan balas memberi hormat grak. Tapi, saya urung melakukannya. Si Bleki harus disela kalau mau dinyalain. Dan saya keberatan.

"Ibu tahu kenapa diberhentikan?"

Karena Bapak ingin ngobrol sama saya. "Kenapa, Pak?" untunglah yang keluar hanya pertanyaan pura-pura. Dan mungkin saja terdengar menyebalkan.

"Peraturannya, lampu utama harus tetap dinyalakan, Bu."

"Nah, itu nyala." Jawab saya sok kaget sambil pura-pura menjulurkan tangan di depan lampu. Memeriksa.

"He he he... ah, si Ibu." Polisi itu tertawa. Mungkin dalam hati berkata. "Ah, si Ibu mau berbohong, gak boleh main tipu-tipu. Tadi, saya sudah lihat lampunya mati. Lalu, Ibu buru-buru nyalain. Ibu sudah tertangkap basah. Udah, ngaku aja."

Karena seolah mendengar kata-kata itu, saya pun membalas tatapan si Bapak Polisi dengan cengiran lebar. Sayangnya dia tidak bisa lihat karena saya urung membuka masker. Gak enak kalo saya nggak jadi ditilang setelah membuka masker. :D
Mungkin dia bisa mendengar suara "Heehe..." dan melihat kedua mata saya yang menyipit sehingga dia berkesimpulan saya sudah ngaku kalah.

"Boleh saya lihat surat-suratnya, Bu?"

"Oh, tentu. Sebentar..." saya mengeluarkan STNK dan SIM C dari dompet. "Ini, um... tapi, SIMnya..."

"Boleh ke pinggir dulu, Bu? Dimatikan aja dulu kendaraannya."

"Gak apa-apa, Pak. Di sini aja. Harus disela soalnya. Saya sedang ditunggu juga." Ini beneran.

"Baiklah. Oh, ini... SIM Ibu sudah lewat tanggalnya."

"Iya, Pak, sebenernya udah lama saya mau perpanjang. Tapi, saya harus ke Malang dulu. Jauh, Pak. Saya belum sempet," malah curhat, "kenapa nggak ada perpanjang SIM online, sih, Pak?"

"Iya, Bu, perpanjang SIM memang belum online." Jawab Si Bapak sambil memeriksa STNK, lalu mengeluarkan pulpen dan bundel slip tilang. "Jadi, ini pelanggarannya yang pertama, Ibu tidak menyalakan lampu utama pada siang hari."

"Lupa, Pak. Bukan 'tidak'." Koreksi saya. Dan tidak dihiraukan.

".... denda maksimalnya ini..." tuturnya sambil menunjuk deretan nominal Rp.100.000, "kemudian, Ibu tidak bisa menunjukkan surat-surat yang sesuai. Dendanya ini."

Itu kenapa, sih, yang bikin undang-undang bunyi pasalnya terlalu umum? Kan, kurang srek di hati jadinya. "Jadi, kalo saya mau transfer, berapa, Pak?"

"Ini, untuk tidak menyalakan lampu utama di siang hari dendanya seratus ribu, dan untuk SIMnya denda dua ratus lima puluh ribu. Jadi, total tiga ratus lima puluh ribu bisa Ibu transfer melalui rekening BRI."

"Wah, banyak, ya, Pak. Sekarang lagi tanggal tua pula." Curhat lagi.

"Jadi, gimana, Bu?" Tanyanya ramah, siap menulis antara slip biru atau merah. Ah, si Bapak... tidak bisakah bersimpati sedikit saja. Maapin gitu kealpaan saya. Sayangnya di mata hukum tidak ada istilah lupa, alpa, khilaf, dan sejenisnya.

"Um, saya minta disidang aja, gimana. Pak?"

"Boleh. Jadi, Ibu minta disidang aja?"

Iya. Apa Bapak mau saya sogok? Untungnya kalimat itu hanya terpendam dalam hati. Tidak benar-benar keluar karena saya ingin percaya kalau Bapak Polisi ini pasti tidak akan mau disuap. Nanti yang ada malah saya yang malu. "Iya, kebetulan saya belum pernah disidang. Pengen ngerasain duduk di kursi terdakwa." Jawab saya tak perlu, karena setelah kata 'iya', Si Bapak langsung nulis-nulis. Saya tidak yakin apakah dia mendengarkan keinginan dan impian saya untuk duduk di kursi terdakwa. Tapi, saya juga nggak berani berkeinginan duduk sebagai terdakwa tindak pidana yang horor-horor itu. Walaupun saya sempat punya keinginan menulis di penjara. Tapi, saya nggak yakin dengan itu. Cukup sebagai terdakwa kasus lampu motor yang nggak nyala aja. Cukup.

Selesai menulis dan membubuhi tanda tangan, si Bapak Polisi menyerahkan slip biru karena saya sudah mengaku bersalah--tapi, nggak sanggup bayar denda. Dan menahan STNK si Bleki. Sabar, ya, Bleki. Tanda pengenalmu ditahan sementara. Cuma dua minggu, kok. Nanti aku akan jadi pengacara di hari persidanganmu. Aku akan membelamu mati-matian. Aku juga akan jadi saksi kunci yang rela dianggap bersalah karena lupa menyalakan lampu depanmu.

Well, siapa pengendara motor yang belum pernah kena tilang di negeri ini? Kalo bener ada yang belum pernah. Selamat, berarti Anda termasuk orang yang taat, patuh, dan tidak pelupa. Cerita di atas adalah peristiwa ke sekian kalinya saya kena tilang. Setidaknya sudah 3x saya kena tilang selama di Bandung, semuanya gara-gara lampu depan yang lupa dinyalain. Aturan lampu depan harus dinyalain ini sebenernya agak kurang saya pahami tujuannya. Kata salah satu Bapak Polisi yang pernah menilang--tilang pertama kali, dan saya sempet bertanya kenapa lampu utama motor harus dinyalakan siang hari? Katanya, itu untuk pengendara mobil biar motor kelihatan oleh mereka dan menghindari terjadinya kecelakaan.

Kalau memang itu benar, saya agak sedih. Saya pernah sekali nabrak mobil yang belok sembarangan tanpa lihat-lihat kalo ada Bleki yang udah melototin dengan nyala lampunya dari belakang mobil itu. Si Bleki yang merasa berhak lewat lebih dulu, gak salah, itu jalan dia. Posisinya dia lurus. Sedangkan mobil itu mau belok dengan menutup jalan Bleki. Kecepatan Bleki normal. Tapi, emang udah nanggung mau berhenti. Harusnya yang belok nunggu dulu. Itu si sopir belok seenaknya gak pake lihat-lihat, jadilah kami nyium itu kol buntung. Tapi, sebuntung-buntungnya kol, tetep aja Bleki kalah postur. Akhirnya kami tersungkur takzim tanpa slow motion. Ah, kol buntung, sih. Bapak-bapak pula yang bawa. Kan, jadi nggak tega mau bikin perkara. Saya masih ingin bertemu Bapak hakim yang humoris itu padahal. Sabar, ya, Bleki. Jangan marah. Kuatlah! Bertahanlah sampai aku dapat penggantimu yang lebih baik. Eh?

No comments: