Abad ini, seorang anak
yang baru lahir—masih bayi merah—tidak hanya mengenal (baca: dikenal)
lingkungan keluarga untuk pertama kali. Ada lingkungan baru yang menyambutnya,
lingkungan virtual yang melingkupi penjuru bumi, tak berbatas, yang diberi nama
media sosial. Selang beberapa menit lahir, gambar si bayi sudah terpajang indah
pada salah satu akun media sosial ayah, ibu, paman, bibi, tante, teman
ibunya, teman ayahnya, atau anggota keluarga lain, atau bahkan yang tidak ada
hubungan keluarga tapi turut berbahagia dengan kelahirannya. Lebih hebat lagi,
para orangtua yang kreatif memberi caption dengan kalimat seolah-olah si
bayi itu sendiri yang menulis; Halo, Om, Tante…. Kenalkan namaku …. Aku
lahir dengan selamat tanggal ini, bulan ini, dan seterusnya. Betapa sejak
lahir dia sudah canggih dan pandai menulis. Wah, hebat, ya?
Melihat hal ini, kita bisa mengambil
kesimpulan sementara, bahwa sejak lahir, manusia sudah ‘hidup’ di dalam dua
dimensi sekaligus, bahkan saat dia sendiri belum menyadarinya. Apakah ada yang
salah dengan itu? Tidak, sungguh tidak ada yang salah, tulisan ini hanya
berusaha memaparkan sebuah fenomena yang mungkin saja ada yang tidak
menyadarinya.
Dunia Baru
Kegiatan menonton film
atau membaca novel sebenarnya bukan kegiatan pasif yang hanya menyediakan ruang
‘penerimaan’ bagi penonton atau pembaca. Lebih dari itu, kegiatan ini tanpa
disadari memicu otak untuk berkhayal, membayangkan, dan turut merasakan berada
di dalamnya, menjadi tokoh utamanya minimal sebagai sosok tak terlihat yang
merasakan menjadi semua tokoh. Dengan begitu saja kita sudah menciptakan sebuah
dunia baru di alam pikiran dengan kita sebagai tokohnya disesuaikan dengan
cerita yang disajikan. Masih dengan tidak disadari, kebanyakan dari kita tentu
saja akan memilih menjadi tokoh utama. Apakah di dunia nyata kita benar menjadi
tokoh utama? Itu tergantung siapa yang berbicara. Namun, secara naluriah setiap
diri pasti ingin menjadi tokoh utama. Oleh karenanya, ada dunia baru yang mampu
mewujudkan keinginan itu. Siapa saja bisa berkunjung ke dunia baru itu dengan
mudah, tanpa perlu menempuh jarak dan waktu. Cukup dengan memainkan jemari.
Dunia baru yang sebenarnya sudah tidak baru lagi untuk saat ini, dunia yang
sudah sangat tidak asing, kita menyebutnya Media Sosial.
Media
sosial atau dikenal dengan social media dalam istilah asing, beberapa
waktu terakhir telah menjelma sebuah dunia baru, dunia virtual yang cukup
mempengaruhi keberadaan atau eksistensi seseorang. Kita percaya ada dimensi
lain yang hidup berdampingan dengan kehidupan kita yang terlihat. Dalam kitab
suci beberapa agama, dimensi lain itu disebut dunia gaib atau alam gaib.
Sekarang, dunia gaib mendapat saingan baru yang kita kenal dengan dunia maya.
Tentu saja bukan dunianya suku maya yang diketahui pernah hidup beberapa masa
silam itu. Bukan. Ini adalah dunia yang kita sebut virtual tadi. Dunia yang
seolah nyata padahal sejatinya ia bermain dalam dimensi berbeda, yang serupa
alam gaib. Lalu, bagaimana sebaiknya kita menghadapi dunia yang lain ini? Tentu
saja kita harus cerdas dan pandai menyesuaikan diri untuk bisa bertahan hidup
di dalamnya. Kita pun berusaha menjadi “penghuni” yang sopan, bertatakrama, dan
menyenangkan agar keberadaan kita tidak mengganggu, lebih baik lagi jika
keberadaan kita bermanfaat bagi yang lain. Bukankah memang seperti itu karakter
tokoh utama dalam film atau novel kebanyakan?
Secara alami manusia mendambakan
kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya. Menginginkan pengakuan dan perhatian
dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini biasanya akan didapatkan oleh tokoh
utama protagonis. Karena itu, tidak salah jika kita ingin menjadi tokoh utama
tersebut. Namun, jika semua orang menjadi tokoh utama, tidak akan terbentuk
sebuah cerita yang menarik bagi penonton atau pembaca. Atau sebenarnya memang
tidak pernah ada pola seperti itu. Well, memang benar kalau ada yang
bilang setiap orang adalah tokoh utama. Tapi, itu bagi dirinya sendiri atau
orang-orang di sekitarnya, itu tidak akan berlaku selama kita hidup di dunia
yang luas ini. Akan selalu ada tokoh kedua, ketiga, pendamping, figuran, dan
seterusnya. Perasaan seperti inilah yang akhirnya membuat manusia menciptakan
dunianya yang baru, dan kepentingan itu mampu diwadahi oleh media sosial. Dalam
dunia bernama media sosial ini, manusia bisa menjadi diri yang diinginkannya.
Dampak
Tidak ada yang
meragukan bahwa keberadaan media sosial memang sangat terasa pengaruhnya. Teman
atau sahabat lama yang sudah tidak ketahui rimbanya tiba-tiba menyapa di
beranda salah satu akun media sosial kita. Siapa yang tidak menyukai hal
itu? Banyak contoh kasus kehilangan barang atau bahkan anggota keluarga yang
kemudian ditemukan karena media sosial. Salah satu contohnya dikutip dari citizen6.liputan6.com,
dikatakan sepasang suami istri di Amerika Serikat menemukan kembali cincin
pernikahannya yang hilang saat berlibur di pantai Santa Barbara. Sang Istri
membuat pengumuman kehilangan itu di akun facebook dengan mengunggah
foto pernikahan dan foto cincinnya. Setelah dibagikan oleh sekitar 25 ribu
‘warga’ facebook. Akhirnya, setelah dua tahun ada yang ingin menemuinya untuk
mengembalikan cincin tersebut.
Di
samping kabar bahagia itu, ada juga kabar menyedihkan dari aktifitas berlebihan
di media sosial. Dan memang—berdasarkan telusuran kami dari contoh kasus yang
diberitakan media-media online maupun offline—lebih banyak dampak
negatif ketimbang dampak positif. Ini terlepas dari selera media massa yang
cenderung lebih menyukai bad news sebagai bahan pemberitaan, ya. :)
Bukan
berita baru lagi jika kita mendengar tragedi penculikan, pembunuhan,
perampokan, pemerkosaan, dan tragedi mengerikan lainnya yang bermula hanya dari
perkenalan di media sosial. Bukan masalah baru juga jika ada pihak yang dibawa
hingga ke meja hijau karena berkonflik dengan pihak lain hanya dengan kasus
pencemaran nama baik di media sosial. Jangan ditanya lagi dengan mereka yang
awalnya hanya berdiskusi, berbeda pendapat, sampai berkonfrontasi, bahkan
saling mencaci melalui kolom komentar atau grup-grup di media sosial. Lebih
mengerikan lagi, konon ada beberapa perusahaan yang menilai karyawannya melalui
akun media sosial yang dimilikinya, hubungan keluarga atau pertemanan rusak
hanya karena salah paham di media sosial, atau pasangan suami-istri berpisah
hanya karena saling curiga pasangannya selingkuh di media sosial. Awalnya
memang berasal dari kata “hanya” dan “sekadar”, hanya kenalan, hanya update
status, sekadar bertukar pendapat, dan hanya-hanya lainnya.
Kecanduan
Mengapa manusia bisa
mengalami kecanduan ‘menjalani hidup’ di media sosial? Ada apa sebenarnya di
sana? Ada banyak. Ada semua yang diinginkan oleh manusia sebagai makhluk
beradab; pergaulan luas, persahabatan, kekeluargaan, pertemanan, eksistensi
diri, pengakuan, dukungan, pujian, sanjungan, motivasi, kedekatan, nasihat,
wawasan, pengetahuan, informasi, dan lain sebagainya. Apakah itu semua tidak
ada di dunia nyata? Tentu saja ada. Tapi, tidak semua orang bisa
mendapatkannya. Karena itu mereka mencarinya di dunia maya.
Tunggu
dulu, kalau ada yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak normal,
miris, menyedihkan, atau apa pun sejenis itu, kalian salah. Fenomena ini bukan
sebuah ketidak-normalan, dunia dalam dimensi ini sudah berjalan dengan sangat
normal, dan memang seperti itu adanya. Justru jika ada yang menolak
mentah-mentah kehadiran dunia baru ini dan menghabiskan energi untuk
menolaknya, boleh jadi dia akan punah seperti dikisahkan Darwin dalam teori
evolusinya. Minimal tertinggal. Dia menolak sesuatu dengan sia-sia, tidak akan
berpengaruh apa-apa, karena keberadaan dimensi lain berupa dunia maya akan
tetap ada. Bahkan, siapa yang bisa menebak mungkin akan ada lebih banyak lagi
dunia baru setelah ini.
Terlepas
dari semua kenormalan itu, tugas kita sebagai manusia adalah berlaku bijak.
Kebijaksanaan adalah harta terakhir yang dimiliki manusia—yang masih hidup—saat
segala yang dimilikinya telah hilang. Berlaku bijaklah saat menjalani hidup di
manapun berada, di dunia nyata, terlebih di dunia maya. Selalu gunakan akal
budi, bersikap arif, miliki pikiran yang tajam, cermat dan telitilah. Wallahu’alam
bisahawab. [NP_edited]
No comments:
Post a Comment