Friday, June 17, 2016

Alam Gaib Punya Saingan Bernama Media Sosial




Abad ini, seorang anak yang baru lahir—masih bayi merah—tidak hanya mengenal (baca: dikenal) lingkungan keluarga untuk pertama kali. Ada lingkungan baru yang menyambutnya, lingkungan virtual yang melingkupi penjuru bumi, tak berbatas, yang diberi nama media sosial. Selang beberapa menit lahir, gambar si bayi sudah terpajang indah pada salah satu akun media sosial ayah, ibu, paman, bibi, tante, teman ibunya, teman ayahnya, atau anggota keluarga lain, atau bahkan yang tidak ada hubungan keluarga tapi turut berbahagia dengan kelahirannya. Lebih hebat lagi, para orangtua yang kreatif memberi caption dengan kalimat seolah-olah si bayi itu sendiri yang menulis; Halo, Om, Tante…. Kenalkan namaku …. Aku lahir dengan selamat tanggal ini, bulan ini, dan seterusnya. Betapa sejak lahir dia sudah canggih dan pandai menulis. Wah, hebat, ya?
Melihat hal ini, kita bisa mengambil kesimpulan sementara, bahwa sejak lahir, manusia sudah ‘hidup’ di dalam dua dimensi sekaligus, bahkan saat dia sendiri belum menyadarinya. Apakah ada yang salah dengan itu? Tidak, sungguh tidak ada yang salah, tulisan ini hanya berusaha memaparkan sebuah fenomena yang mungkin saja ada yang tidak menyadarinya.


Dunia Baru
Kegiatan menonton film atau membaca novel sebenarnya bukan kegiatan pasif yang hanya menyediakan ruang ‘penerimaan’ bagi penonton atau pembaca. Lebih dari itu, kegiatan ini tanpa disadari memicu otak untuk berkhayal, membayangkan, dan turut merasakan berada di dalamnya, menjadi tokoh utamanya minimal sebagai sosok tak terlihat yang merasakan menjadi semua tokoh. Dengan begitu saja kita sudah menciptakan sebuah dunia baru di alam pikiran dengan kita sebagai tokohnya disesuaikan dengan cerita yang disajikan. Masih dengan tidak disadari, kebanyakan dari kita tentu saja akan memilih menjadi tokoh utama. Apakah di dunia nyata kita benar menjadi tokoh utama? Itu tergantung siapa yang berbicara. Namun, secara naluriah setiap diri pasti ingin menjadi tokoh utama. Oleh karenanya, ada dunia baru yang mampu mewujudkan keinginan itu. Siapa saja bisa berkunjung ke dunia baru itu dengan mudah, tanpa perlu menempuh jarak dan waktu. Cukup dengan memainkan jemari. Dunia baru yang sebenarnya sudah tidak baru lagi untuk saat ini, dunia yang sudah sangat tidak asing, kita menyebutnya Media Sosial. 
Media sosial atau dikenal dengan social media dalam istilah asing, beberapa waktu terakhir telah menjelma sebuah dunia baru, dunia virtual yang cukup mempengaruhi keberadaan atau eksistensi seseorang. Kita percaya ada dimensi lain yang hidup berdampingan dengan kehidupan kita yang terlihat. Dalam kitab suci beberapa agama, dimensi lain itu disebut dunia gaib atau alam gaib. Sekarang, dunia gaib mendapat saingan baru yang kita kenal dengan dunia maya. Tentu saja bukan dunianya suku maya yang diketahui pernah hidup beberapa masa silam itu. Bukan. Ini adalah dunia yang kita sebut virtual tadi. Dunia yang seolah nyata padahal sejatinya ia bermain dalam dimensi berbeda, yang serupa alam gaib. Lalu, bagaimana sebaiknya kita menghadapi dunia yang lain ini? Tentu saja kita harus cerdas dan pandai menyesuaikan diri untuk bisa bertahan hidup di dalamnya. Kita pun berusaha menjadi “penghuni” yang sopan, bertatakrama, dan menyenangkan agar keberadaan kita tidak mengganggu, lebih baik lagi jika keberadaan kita bermanfaat bagi yang lain. Bukankah memang seperti itu karakter tokoh utama dalam film atau novel kebanyakan?
Secara alami manusia mendambakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya. Menginginkan pengakuan dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini biasanya akan didapatkan oleh tokoh utama protagonis. Karena itu, tidak salah jika kita ingin menjadi tokoh utama tersebut. Namun, jika semua orang menjadi tokoh utama, tidak akan terbentuk sebuah cerita yang menarik bagi penonton atau pembaca. Atau sebenarnya memang tidak pernah ada pola seperti itu. Well, memang benar kalau ada yang bilang setiap orang adalah tokoh utama. Tapi, itu bagi dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya, itu tidak akan berlaku selama kita hidup di dunia yang luas ini. Akan selalu ada tokoh kedua, ketiga, pendamping, figuran, dan seterusnya. Perasaan seperti inilah yang akhirnya membuat manusia menciptakan dunianya yang baru, dan kepentingan itu mampu diwadahi oleh media sosial. Dalam dunia bernama media sosial ini, manusia bisa menjadi diri yang diinginkannya.

Dampak
Tidak ada yang meragukan bahwa keberadaan media sosial memang sangat terasa pengaruhnya. Teman atau sahabat lama yang sudah tidak ketahui rimbanya tiba-tiba menyapa di beranda salah satu akun media sosial kita. Siapa yang tidak menyukai hal itu? Banyak contoh kasus kehilangan barang atau bahkan anggota keluarga yang kemudian ditemukan karena media sosial. Salah satu contohnya dikutip dari citizen6.liputan6.com, dikatakan sepasang suami istri di Amerika Serikat menemukan kembali cincin pernikahannya yang hilang saat berlibur di pantai Santa Barbara. Sang Istri membuat pengumuman kehilangan itu di akun facebook dengan mengunggah foto pernikahan dan foto cincinnya. Setelah dibagikan oleh sekitar 25 ribu ‘warga’ facebook. Akhirnya, setelah dua tahun ada yang ingin menemuinya untuk mengembalikan cincin tersebut.
Di samping kabar bahagia itu, ada juga kabar menyedihkan dari aktifitas berlebihan di media sosial. Dan memang—berdasarkan telusuran kami dari contoh kasus yang diberitakan media-media online maupun offline—lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif. Ini terlepas dari selera media massa yang cenderung lebih menyukai bad news sebagai bahan pemberitaan, ya. :)  
Bukan berita baru lagi jika kita mendengar tragedi penculikan, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan tragedi mengerikan lainnya yang bermula hanya dari perkenalan di media sosial. Bukan masalah baru juga jika ada pihak yang dibawa hingga ke meja hijau karena berkonflik dengan pihak lain hanya dengan kasus pencemaran nama baik di media sosial. Jangan ditanya lagi dengan mereka yang awalnya hanya berdiskusi, berbeda pendapat, sampai berkonfrontasi, bahkan saling mencaci melalui kolom komentar atau grup-grup di media sosial. Lebih mengerikan lagi, konon ada beberapa perusahaan yang menilai karyawannya melalui akun media sosial yang dimilikinya, hubungan keluarga atau pertemanan rusak hanya karena salah paham di media sosial, atau pasangan suami-istri berpisah hanya karena saling curiga pasangannya selingkuh di media sosial. Awalnya memang berasal dari kata “hanya” dan “sekadar”, hanya kenalan, hanya update status, sekadar bertukar pendapat, dan hanya-hanya lainnya.

Kecanduan
Mengapa manusia bisa mengalami kecanduan ‘menjalani hidup’ di media sosial? Ada apa sebenarnya di sana? Ada banyak. Ada semua yang diinginkan oleh manusia sebagai makhluk beradab; pergaulan luas, persahabatan, kekeluargaan, pertemanan, eksistensi diri, pengakuan, dukungan, pujian, sanjungan, motivasi, kedekatan, nasihat, wawasan, pengetahuan, informasi, dan lain sebagainya. Apakah itu semua tidak ada di dunia nyata? Tentu saja ada. Tapi, tidak semua orang bisa mendapatkannya. Karena itu mereka mencarinya di dunia maya.
Tunggu dulu, kalau ada yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak normal, miris, menyedihkan, atau apa pun sejenis itu, kalian salah. Fenomena ini bukan sebuah ketidak-normalan, dunia dalam dimensi ini sudah berjalan dengan sangat normal, dan memang seperti itu adanya. Justru jika ada yang menolak mentah-mentah kehadiran dunia baru ini dan menghabiskan energi untuk menolaknya, boleh jadi dia akan punah seperti dikisahkan Darwin dalam teori evolusinya. Minimal tertinggal. Dia menolak sesuatu dengan sia-sia, tidak akan berpengaruh apa-apa, karena keberadaan dimensi lain berupa dunia maya akan tetap ada. Bahkan, siapa yang bisa menebak mungkin akan ada lebih banyak lagi dunia baru setelah ini.
Terlepas dari semua kenormalan itu, tugas kita sebagai manusia adalah berlaku bijak. Kebijaksanaan adalah harta terakhir yang dimiliki manusia—yang masih hidup—saat segala yang dimilikinya telah hilang. Berlaku bijaklah saat menjalani hidup di manapun berada, di dunia nyata, terlebih di dunia maya. Selalu gunakan akal budi, bersikap arif, miliki pikiran yang tajam, cermat dan telitilah. Wallahu’alam bisahawab. [NP_edited]

No comments: