Monday, February 29, 2016

Review Buku





Judul                : Tiada Ojek di Paris
Penulis             : Seno Gumira Ajidarma
Tahun              : 2015 (Cet. 1)
Penerbit          : Mizan

Yay! Akhirnya saya selesai juga membaca buku setebal 212 halaman ini. Butuh waktu empat bulan untuk menamatkannya. Empat bulan. Rekor! Beli tanggal 6 November 2015 dan baru kelar dibaca kemarin, 28 Februari 2016. Lama amat. Begini akibatnya kalau sebuah buku ditulis tidak bersambung seperti novel. Membacanya juga acak, mana yang judulnya paling menarik. Dan hanya untuk mengisi waktu senggang. Tapi sepertinya, memang seperti itu tujuan pengemasannya. Sebagai teman ngobrol di kala santai. Lalu, bagaimana ceritanya saya bisa menemukan buku ini? Seorang teman (atau lebih tepatnya Guru) ‘memaksa’ saya untuk membacanya. Mungkin dia ingin menyindir saya, atau ‘membuka mata’ saya, atau ingin saya belajar dari banyak hal yang tertulis di dalamnya, atau mungkin sekedar ingin berbagi referensi. Apa pun itu, yang jelas semua tujuannya tercapai. Selamat, ya, Guru!

 
Pertama, menyindir. Tulisan-tulisan di buku ini hampir 99 % (nominal persen yang selalu berarti keseluruhan) berupa sindiran. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka yang merasa tersindir. Tersindir berarti mengakui dengan perasaan kesal, namun masih memiliki dua kemungkinan penerimaan yang bertolak belakang pengaruhnya. Sindiran tetap diterima sebagai sindiran atau sindiran yang berhasil ‘membuka mata’ (membuka mata ini nanti nyambung ke poin kedua). Keduanya tergantung bagaimana kita menerima.
Tulisan Kang Seno—berhubung saya lagi di tanah sunda, panggilannya Kang saja, ya—yang berjudul Kartu Nama sungguh berhasil menyindir dan mencabik-cabik harga diri saya. Serius. Saya termasuk orang yang punya kartu nama, dan sangat bangga akan hal itu. 50 lembar kartu nama yang pernah dicetak perusahaan tempat saya bekerja kurang dari tiga tahun lalu sekarang tinggal sisa tiga lembar di dompet. Baru saja saya benar-benar menghitungnya. Berarti sudah 47 lembar tersebar ke mana-mana. Ini pertama kalinya saya memiliki kartu nama, pekerjaan sebelumnya tidak mengharuskan hal itu.
Jika Kang Seno tetap bisa bekerja lebih dari normal dan selalu bisa dicari orang walaupun tidak punya kartu nama, sepertinya saya kebalikannya. Saya tidak bisa bekerja lebih dari normal, pekerjaan saya begitu-begitu saja. Saya juga selalu kesulitan dicari orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Jelas saja, orang kartu namanya kebanyakan saya bagi ke teman-teman dan saudara-saudara yang bahkan tidak ada hubungannya dengan kerjaan. Apalagi kalau bukan buat pamer: Hei, ini, lho, saya. Sudah bekerja seperti cita-cita dan keinginan saya, keren, kan? Kira-kira seperti itu efek OKB, orang kerja baru. Yaa ada, sih, beberapa kartu nama yang berhasil diselamatkan dan pergi ke tangan yang seharusnya. Seperti kata Kang Seno, “ada dua fungsi kartu nama, yang teknis: artinya hanya nama, nomor, dan profesi, untuk catatan saja; dan yang berfungsi untuk menciptakan image—yakni menunjukkan bagaimana dirinya ingin dilihat.” Nah, itu saya kebanyakan yang kedua.
Kedua, membuka mata. Tulisan-tulisan yang 99 % berupa sindiran tadi telah berhasil membuka mata saya untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Jika seseorang hanya merasa tersindir dengan sindiran yang ditujukan padanya, dia hanya akan mendapatkan kekesalan yang berarti sia-sia. Sedangkan hidup terus berlanjut, orang lain sudah berjalan mendahului dirinya yang tadinya sempat berhenti karena kesal. Lalu, bagaimana sebaiknya bersikap? Mundur beberapa langkah untuk memasang aba-aba, buka mata lebar-lebar, dan lari! Ini saya ngomong apa, sih? Sebentar, mungkin saya kena pengaruh syndrome dukungan untuk Rio Haryanto. Tidak, tidak perlu berlari, cukup membuka mata lebar-lebar. Kemudian, lihatlah sindiran tadi dari berbagai sisi, sudut, dan dimensi. Sindiran itu biasanya (kalau tidak bisa dibilang: pasti) ada hikmahnya. Sindiran selalu melibatkan perhatian, kritisisme, kepekaan, dan harapan. Ya, harapan untuk menghasilkan sesuatu yang lain agar bisa dilakukan dengan lebih baik atau ditinggalkan agar kelak tidak melahirkan sindiran lagi, agar kelak tidak disindir lagi. Ngerti, kan, ya, maksud saya? Duh, maafkan, saya tidak berhasil menyusun kalimat yang lebih sederhana dari itu.
Satu hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Kang Seno bisa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang tidak biasa. Hal-hal remeh yang orang lain tidak sadari, menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Sebenarnya Kang Seno dan kita melihat sesuatu yang sama yang terjadi di depan mata sehari-hari. Bedanya, kita melihat dan hanya melihat saja, sedangkan Kang Seno melihat, memikirkan bagaimana hal itu bisa terjadi, memikirkan untuk apa hal itu terjadi, memperhatikan apa dan siapa di sana, dan yang terpenting dia menuliskannya. Setelah membaca buku ini, saya jadi lebih sensitif dari biasanya. Melihat sesuatu yang kecil jadi besar, jadi sesuatu yang menarik, menguliknya, memikirkannya, dan tidak menuliskannya menjadi apa pun. :D
Beberapa judul yang berhasil membuat saya membuka mata, seperti: Bajing Melintas di Kabel Listrik; Gresik United, Real Mataram, Tangerang Wolves; Premanisme; Uang Dengar; Seruling Bambu di Ruang Jakarta; Bukan Cengkareng/Tetap Cengkareng; Penyanyi Dangdut di Tepi Jalan; Dari Jakarta ….; Mahaselingan; Paranoia; Sarapan Berita; Listrik Mati; Taman; Mobil: Sebuah Mitos; Jakarta-Bandung, Bandung-Jakarta; Dimensi Ruang: Kisah-Kisah Jakarta; dan beberapa tulisan yang membuat mata tadinya sekedar melihat, begitu membaca tulisan Kang Seno jadi lebih terbuka.
Jika kita sudah berhasil melihat sindiran dari berbagai sisi, sudut, dimensi, bayangan, dan keanekaragaman hayatinya, nanti akan menghasilkan keberhasilan ketiga, belajar dari banyak hal. Manusia yang disebut manusia adalah yang mau terus belajar. Jika manusia sudah tidak mau belajar, itu berarti mati, jadi zombie. Baiklah, baru saja saya mengarang argumen. Selama masih bernafas, manusia masihlah hidup. Jangan percaya argumen saya barusan. Itu sebenarnya kalimat motivasi buat diri sendiri.
Jika tujuan guru saya tadi agar saya belajar. Mungkin dia perlu memberi saya nilai dan paraf. Buku Kang Seno membuat saya belajar banyak hal dari sindiran-sindirannya yang menusuk sate. Eh, menusuk hati. Sebutlah tulisan yang berjudul Keberdayaan Gosip. Tadinya saya adalah perempuan yang sebisa mungkin ingin jauh dari yang namanya gosip. Kalau ingin jauh saja mungkin hal yang bagus, ya? Tapi, seperti yang disindirkan: “…. jika Anda “menghina” infotainment, sebetulnya Anda adalah bagian dari pemirsa atau konsumen aktif pula, tetapi yang secara total beroposisi. Untuk berada dalam posisi ini, Anda tak harus seorang intelektual pendiri LSM….” Saya adalah orang yang ingin dianggap intelektual dengan menjauhi yang namanya gosip, tidak menonton infotainment—walaupun tetap update perkembangan kabar para artis karena kerap ada saja yang memberitahu tanpa perlu ditanya—karena itu tontonan ibu-ibu setelah beberes rumah sambil menunggu anak dan suaminya pulang. Dan saya baru tahu, ternyata gosip justru merupakan sarana pemberdayaan sikap kritis.
Terakhir, jika guru saya tadi hanya ingin berbagi buku bacaan dan refensi, maka dia berhasil. Sangat berhasil. Secara, saya bahkan baru mengenal Seno Gumira Ajidarma karena membaca buku ini. Setelah membeli buku ini, saya membawanya kemana-mana, agar bisa dibaca jika tidak tidak ada kerjaan ketimbang bengong atau ‘hape-an’. Herannya, setiap orang yang melihat sampul buku yang saya baca selalu mengatakan hal yang sama: “Eh? Seno? Baru, ya? Coba lihat?”. Jadi, ini saya yang ketinggalan atau memang Seno Gumira Ajidarma seterkenal itu? (Sama aja, sih). Karena itu, saya pun stalking-in pemilik nama tersebut. Dan ternyata memang orang terkenal. Saking sudah lama masa keemasan terkenalnya, ternyata saya pernah membaca cerpennya yang berjudul “dodoli-dodolibrett” di buku kumpulan cerpen Kompas pada zaman dahulu kala. Saat itu, saya tidak memerhatikan nama-nama penulisnya. Baiklah, poinnya guru saya sudah berhasil mengenalkan saya dengan Kang Seno. Terima kasih, Guru!

Bandung, 29 Februari (Leap Year) 2016 - 06:37 AM

-Nina Pradani-

No comments: