Judul : Tiada Ojek di Paris
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Tahun : 2015 (Cet. 1)
Penerbit : Mizan
Yay! Akhirnya saya
selesai juga membaca buku setebal 212 halaman ini. Butuh waktu empat bulan
untuk menamatkannya. Empat bulan. Rekor! Beli tanggal 6 November 2015 dan baru
kelar dibaca kemarin, 28 Februari 2016. Lama amat. Begini akibatnya kalau
sebuah buku ditulis tidak bersambung seperti novel. Membacanya juga acak, mana
yang judulnya paling menarik. Dan hanya untuk mengisi waktu senggang. Tapi
sepertinya, memang seperti itu tujuan pengemasannya. Sebagai teman ngobrol di
kala santai. Lalu, bagaimana ceritanya saya bisa menemukan buku ini? Seorang
teman (atau lebih tepatnya Guru) ‘memaksa’ saya untuk membacanya. Mungkin dia ingin menyindir saya, atau
‘membuka mata’ saya, atau ingin saya belajar dari banyak hal yang tertulis di
dalamnya, atau mungkin sekedar ingin berbagi referensi. Apa pun itu, yang jelas
semua tujuannya tercapai. Selamat, ya, Guru!
Pertama,
menyindir. Tulisan-tulisan di buku ini hampir 99 % (nominal persen yang selalu
berarti keseluruhan) berupa sindiran. Tentu saja hal ini berlaku bagi mereka
yang merasa tersindir. Tersindir berarti mengakui dengan perasaan kesal, namun
masih memiliki dua kemungkinan penerimaan yang bertolak belakang pengaruhnya.
Sindiran tetap diterima sebagai sindiran atau sindiran yang berhasil ‘membuka
mata’ (membuka mata ini nanti nyambung ke poin kedua). Keduanya tergantung
bagaimana kita menerima.
Tulisan
Kang Seno—berhubung saya lagi di tanah sunda, panggilannya Kang saja, ya—yang
berjudul Kartu Nama sungguh berhasil
menyindir dan mencabik-cabik harga diri saya. Serius. Saya termasuk orang yang
punya kartu nama, dan sangat bangga akan hal itu. 50 lembar kartu nama yang
pernah dicetak perusahaan tempat saya bekerja kurang dari tiga tahun lalu
sekarang tinggal sisa tiga lembar di dompet. Baru saja saya benar-benar
menghitungnya. Berarti sudah 47 lembar tersebar ke mana-mana. Ini pertama
kalinya saya memiliki kartu nama, pekerjaan sebelumnya tidak mengharuskan hal
itu.
Jika
Kang Seno tetap bisa bekerja lebih dari normal dan selalu bisa dicari orang
walaupun tidak punya kartu nama, sepertinya saya kebalikannya. Saya tidak bisa
bekerja lebih dari normal, pekerjaan saya begitu-begitu saja. Saya juga selalu
kesulitan dicari orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Jelas saja, orang
kartu namanya kebanyakan saya bagi ke teman-teman dan saudara-saudara yang
bahkan tidak ada hubungannya dengan kerjaan. Apalagi kalau bukan buat pamer:
Hei, ini, lho, saya. Sudah bekerja seperti cita-cita dan keinginan saya, keren,
kan? Kira-kira seperti itu efek OKB, orang kerja baru. Yaa ada, sih, beberapa kartu
nama yang berhasil diselamatkan dan pergi ke tangan yang seharusnya. Seperti
kata Kang Seno, “ada dua fungsi kartu nama, yang teknis: artinya hanya nama,
nomor, dan profesi, untuk catatan saja; dan yang berfungsi untuk menciptakan image—yakni menunjukkan bagaimana
dirinya ingin dilihat.” Nah, itu saya kebanyakan yang kedua.
Kedua,
membuka mata. Tulisan-tulisan yang 99 % berupa sindiran tadi telah berhasil
membuka mata saya untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Jika
seseorang hanya merasa tersindir dengan sindiran yang ditujukan padanya, dia
hanya akan mendapatkan kekesalan yang berarti sia-sia. Sedangkan hidup terus
berlanjut, orang lain sudah berjalan mendahului dirinya yang tadinya sempat
berhenti karena kesal. Lalu, bagaimana sebaiknya bersikap? Mundur beberapa
langkah untuk memasang aba-aba, buka mata lebar-lebar, dan lari! Ini saya
ngomong apa, sih? Sebentar, mungkin saya kena pengaruh syndrome dukungan untuk Rio Haryanto. Tidak, tidak perlu berlari,
cukup membuka mata lebar-lebar. Kemudian, lihatlah sindiran tadi dari berbagai
sisi, sudut, dan dimensi. Sindiran itu biasanya (kalau tidak bisa dibilang:
pasti) ada hikmahnya. Sindiran selalu melibatkan perhatian, kritisisme,
kepekaan, dan harapan. Ya, harapan untuk menghasilkan sesuatu yang lain agar
bisa dilakukan dengan lebih baik atau ditinggalkan agar kelak tidak melahirkan
sindiran lagi, agar kelak tidak disindir lagi. Ngerti, kan, ya, maksud saya?
Duh, maafkan, saya tidak berhasil menyusun kalimat yang lebih sederhana dari
itu.
Satu
hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Kang Seno bisa melihat segala
sesuatu dari sudut pandang yang tidak biasa. Hal-hal remeh yang orang lain tidak
sadari, menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Sebenarnya Kang Seno
dan kita melihat sesuatu yang sama yang terjadi di depan mata sehari-hari.
Bedanya, kita melihat dan hanya melihat saja, sedangkan Kang Seno melihat,
memikirkan bagaimana hal itu bisa terjadi, memikirkan untuk apa hal itu
terjadi, memperhatikan apa dan siapa di sana, dan yang terpenting dia
menuliskannya. Setelah membaca buku ini, saya jadi lebih sensitif dari
biasanya. Melihat sesuatu yang kecil jadi besar, jadi sesuatu yang menarik,
menguliknya, memikirkannya, dan tidak menuliskannya menjadi apa pun. :D
Beberapa
judul yang berhasil membuat saya membuka mata, seperti: Bajing Melintas di
Kabel Listrik; Gresik United, Real Mataram, Tangerang Wolves; Premanisme; Uang
Dengar; Seruling Bambu di Ruang Jakarta; Bukan Cengkareng/Tetap Cengkareng;
Penyanyi Dangdut di Tepi Jalan; Dari Jakarta ….; Mahaselingan; Paranoia;
Sarapan Berita; Listrik Mati; Taman; Mobil: Sebuah Mitos; Jakarta-Bandung,
Bandung-Jakarta; Dimensi Ruang: Kisah-Kisah Jakarta; dan beberapa tulisan yang
membuat mata tadinya sekedar melihat, begitu membaca tulisan Kang Seno jadi
lebih terbuka.
Jika
kita sudah berhasil melihat sindiran dari berbagai sisi, sudut, dimensi, bayangan,
dan keanekaragaman hayatinya, nanti akan menghasilkan keberhasilan ketiga,
belajar dari banyak hal. Manusia yang disebut manusia adalah yang mau terus belajar.
Jika manusia sudah tidak mau belajar, itu berarti mati, jadi zombie. Baiklah,
baru saja saya mengarang argumen. Selama masih bernafas, manusia masihlah hidup.
Jangan percaya argumen saya barusan. Itu sebenarnya kalimat motivasi buat diri
sendiri.
Jika
tujuan guru saya tadi agar saya belajar. Mungkin dia perlu memberi saya nilai dan paraf.
Buku Kang Seno membuat saya belajar banyak hal dari sindiran-sindirannya yang
menusuk sate. Eh, menusuk hati. Sebutlah tulisan yang berjudul Keberdayaan Gosip. Tadinya saya adalah
perempuan yang sebisa mungkin ingin jauh dari yang namanya gosip. Kalau ingin
jauh saja mungkin hal yang bagus, ya? Tapi, seperti yang disindirkan: “…. jika
Anda “menghina” infotainment,
sebetulnya Anda adalah bagian dari pemirsa atau konsumen aktif pula, tetapi
yang secara total beroposisi. Untuk berada dalam posisi ini, Anda tak harus
seorang intelektual pendiri LSM….” Saya adalah orang yang ingin dianggap intelektual
dengan menjauhi yang namanya gosip, tidak menonton infotainment—walaupun tetap update
perkembangan kabar para artis karena kerap ada saja yang memberitahu tanpa
perlu ditanya—karena itu tontonan ibu-ibu setelah beberes rumah sambil menunggu
anak dan suaminya pulang. Dan saya baru tahu, ternyata gosip justru merupakan
sarana pemberdayaan sikap kritis.
Terakhir,
jika guru saya tadi hanya ingin berbagi buku bacaan dan refensi, maka dia
berhasil. Sangat berhasil. Secara, saya bahkan baru mengenal Seno Gumira
Ajidarma karena membaca buku ini. Setelah membeli buku ini, saya membawanya
kemana-mana, agar bisa dibaca jika tidak tidak ada kerjaan ketimbang bengong
atau ‘hape-an’. Herannya, setiap orang yang melihat sampul buku yang saya baca
selalu mengatakan hal yang sama: “Eh? Seno? Baru, ya? Coba lihat?”. Jadi, ini
saya yang ketinggalan atau memang Seno Gumira Ajidarma seterkenal itu? (Sama
aja, sih). Karena itu, saya pun stalking-in
pemilik nama tersebut. Dan ternyata memang orang terkenal. Saking sudah lama
masa keemasan terkenalnya, ternyata saya pernah membaca cerpennya yang berjudul
“dodoli-dodolibrett” di buku kumpulan cerpen Kompas pada zaman dahulu kala.
Saat itu, saya tidak memerhatikan nama-nama penulisnya. Baiklah, poinnya guru
saya sudah berhasil mengenalkan saya dengan Kang Seno. Terima kasih, Guru!
Bandung, 29 Februari (Leap Year) 2016 - 06:37 AM
-Nina Pradani-

No comments:
Post a Comment