"Siapa?"
"Ya anak itu, yang kemarin Ibu cerita."
"Baiklah, Ibu memang memiliki kepercayaan diri tinggi. Tapi, itu namanya over PD."
"Lho apa? Emang bener, kok, wong dia sambil lirak-lirik ke sini."
"Ibu, plis, deh... jangan ge'er."
Di atas sebenernya hanya prolog yang tidak ada kaitannya dengan yang ingin saya tulis sekarang. Kalau biasanya tulisan di blog ini, awalnya ingin menulis tema berbobot, dan ternyata ujung-ujungnya selalu lari ke curhat jodoh. Kali ini, saya ingin melakukan sebaliknya.
Ibu, Ibu adalah makhluk Tuhan yang paling nggak ngebosenin buat diceritain.
Dan ibu saya lebih-lebih nggak pernah kehabisan cerita. Setiap hari selalu bertanya ini itu, cerita ini itu, komentar ini itu. Adaaa saja beritanya. Jika dibandingkan, breaking news di tivi, mereka kalah sering dengan berita-berita Ibu. Sepertinya Ibu punya kelainan tidak bisa melihat keheningan, ketenangan, dan kesunyian. Waktu tidur aja Ibu paling nggak bisa dalam keadaan hening dan lampu mati. Lampu tetep kudu dinyalain dan tivi tetap menyala dengan volume maksimal. Coba saja dikecilin volumenya, Ibu pasti kebangun. Duh, kalau kayak gini gimana saya bisa merantau lagi. Walaupun saya tidak begitu bisa membuat keramaian di rumah ini setidaknya ada lah saya bikin krusak-krusuk. Jadi, Ibu tidak kesepian.
Kepada anak-anaknya, Ibu selalu bilang "Pergi saja, merantaulah, kalian harus belajar hidup mandiri. Ibu bukan orangtua yang gampang kangen sama anak. Kalo perlu kalian pergi merantau dan jangan balik-balik lagi, biar nanti kalau Ibu sudah pensiun, Ibu saja yang mendatangi kalian, biar keliling ke rumah-rumah kalian."
See, Ibu macam apa itu?
Ibu adalah makhluk Tuhan paling cerewet sedunia.
Kenyataan ini bukan saja saya yang mengungkapnya, semua orang yang kenal Ibu mengatakan hal yang sama. Saya selalu berpikir, kenapa, sih, Ibu beda sekali dengan Bapak yang pendiam dan berbicara seperlunya? Kenapa Ibu nggak bisa jadi wanita kalem bersahaja seperti ibu-ibu lain? Ibunya teman-teman, saya rasa tidak ada yang secerewet Ibu. Apa-apa Ibu selalu cerita dan mendominasi obrolan, tidak peduli siapa yang ada dihadapannya, tidak peduli lawan bicaranya mau dengerin atau tidak. Kadang cerewetnya Ibu bahkan sampai kepada menceritakan masalah rumah tangga. Saya selalu tidak habis pikir, apa perlu itu diceritakan ke semua orang? Apa perlu omelan Ibu ke Bapak misalnya, harus didenger oleh anak-anaknya dan para tetangga? Apa Ibu harus sampai keluar urat kalau kami, anak-anaknya, melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya?
Sebelum hari ini, saya tidak suka dengan sifat Ibu yang satu ini. Sangat amat tidak suka. Beberapa kali, jika sudah muak, saya selalu protes dan mengritik.
Tapi, sekarang saya perlu berpikir ulang. Pertama, saya baru saja membaca status/tulisan AYAH EDY Parenting yang dishare Bu Dyah (dosen saya dulu),
Kira-kira bunyinya menjelaskan tentang kromosom perempuan, bahwa perempuan perlu mengeluarkan 20 ribu kata per hari.
Saya copykan di sini ya...
AYAH EDY Parenting
PENTING DIPAHAMI OLEH PARA SUAMI TENTANG FITRAH SEORANG WANITA.
Copas group sebelah, untuk di share pada para suami.
Buat ibu-ibu yang suka melampiaskan kemarahan pada anak, coba cek dulu apakah suaminya sudah jadi tempat curhat yang enak or belum.... soalnya saya dapat tulisan yang makjleb berikut ini :
_________________________________________
KROMOSOM PEREMPUAN.
_________________________________________
KROMOSOM PEREMPUAN.
Perempuan (makhluk berkromosom XX) yang jiwanya butuh mengeluarkan 20 ribu kata per hari.
Ibu yang jarang diajak ngobrol santai oleh suaminya, maka bahasa tubuh dan nada bicaranya tidak mengenakkan.
Menyusui anak akan resah, tak sabar dengann kelakuan anak, bahkan cenderung menjadikan anak sebagai sasaran pelimpahan emosi yang tidak semestinya.
Jadi, kadang endapan permasalahan dengan
sang ayah dimanifestasikan dalam bentuk amarah yang tidak jelas kepada anak-anak.
sang ayah dimanifestasikan dalam bentuk amarah yang tidak jelas kepada anak-anak.
Terkadang, ada Ibu yang tetap sabar kepada anak-anaknya meskipun Ayah tak memberi ruang bagi jiwanya..., tapi manifestasi ekstrim nya dalam bentuk penyakit fisik yang sulit sembuh.
Maka tugas wajib ayah adalah memberikan ruang, waktu dan suasana setiap hari bagi Ibu untuk bicara sebagai upaya untuk selalu menyehatkan jiwanya, mendengar keluh kesahnya.
Rangkul Ibu untuk marah dan menangis kepada Ayah saja agar sehat jiwanya, agar Ibu bisa selalu memberikan bunga cinta untuk anak-anaknya.
Ibu yang sehat jiwanya dapat menjalankan tugasnya
sebagai sekolah terbaik bagi putra-putri nya...
sebagai sekolah terbaik bagi putra-putri nya...
Ia bisa tahan berjam-jam mendengar keluhan anak-anaknya. Ia mudah memaafkan anaknya. Ia menjadi madrasah yang baik untuk menanamkan nilai- nilai Robbany..., dan hal ini harus didukung oleh ayah yang memperhatikan bathinnya, disamping kesehatan fisiknya. Ibu harus sehat luar dalam.
Ayah yang hebat, berawal dari suami yang hebat, yang mengerti jiwa dan kebutuhan pasangan.
Singkatnya, bahagiakan pasangan kita,
karena ia adalah madrasah utama bagi anak-anak kita.
karena ia adalah madrasah utama bagi anak-anak kita.
Ustadz dr .Raehanul Bahraen
Kedua, teringat kisah khalifah Umar yang terkenal pemberani bahkan ditakuti oleh Syaiton itu diam tak berkutik saat istrinya ngomel-ngomel.
Ketiga, baru saja denger kabar Mamahnya sepupu (Bibi) sedang sakit keras. Loh, hubungannya apa? Sebentar, kita lihat.
Akhir-akhir ini, setelah tinggal bersama Ibu beberapa bulan ini, saya mulai menyadari satu hal. Ibu adalah orang yang jarang sekali sakit. Saya sangat bersyukur untuk ini. Selama ini saya tidak menyadarinya, hingga mendengar kabar salah seorang Bibi yang kena hydronefrosis (semoga beliau lekas diberi kesehatan), yang saya tahu, Bibi orang sabar dan tidak secerewet Ibu. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Bibi sakit karena tidak cerewet, penyakit itu tentu saja datang sebagai ujian dan cobaan kesabaran dari Tuhan. Saya hanya ingin sedikit mengambil manfaat dari cerewetnya Ibu. Yaa kalau itu bisa dibilang manfaat cerewet, sih. Seperti kata psikolog yang tidak saya ingat namanya, bahwa orang yang terbuka, yang selalu menyampaikan perasaannya, yang tidak menyimpan beban pikiran sendirian, akan cenderung terhindar dari berbagai penyakit, terutama penyakit batin.
Tentu saja ketiga hal di atas langsung mengubah kebencian saya kepada sifat cerewet Ibu. Cerewetnya Ibu adalah sesuatu yang wajar, malah kalau tidak cerewet, saya takut Ibu akan sakit karena memendam perasaannya. Cerewetnya Ibu pun pasti ada sebabnya. Tentu saja saya tahu Ibu menyimpan banyak sekali beban pikiran.
Jadi, sekarang saya cuma ingin bilang, Ibu, maafkan anakmu yang selama ini suka protes setiap engkau mengeluarkan suara dengan nada tinggi yang aku anggap engkau sedang terbawa emosi. Aku kerap sok jadi ustazahh sok mengingatkan bahwa suara itu adalah aurat, bahwa diam itu emas, bahwa emosi amarah itu datangnya dari syaiton, bahwa Ibu tidak boleh marah pada Bapak, bahwa... bla..bla..bla... Duh, sekali lagi, maafkan anakmu yang tidak tahu diri dan tidak tahu apa-apa ini.
Ibu... tetaplah cerewet seperti itu. Pertahankan! Cerewetlah terus. Keluarkan saja semuanya! Tetaplah marah jika engkau melihat kami melakukan kesalahan. Tetaplah ngomel-ngomel jika tidak ada yang sesuai keinginanmu. Sungguh, aku tidak ingin lagi engkau menyimpannya sendirian, aku tidak ingin lagi engkau diam. Cerewetlah terus, kalau perlu anakmu ini akan ikut bantuin marahin Bapak. ekekeke... Dan juga, cerewetlah terus menanyakan perihal jodoh dan orang-orang yang sudah engkau kenalkan kepadaku. Aku tidak akan merasa bosan lagi. Tanyakan saja, aku akan menceritakan semuanya dengan senang hati. Dan marahilah aku yang tidak kunjung menikah ini. #hiks
#BukanHariIbu
No comments:
Post a Comment