Langit Andalusia
“Saya terima nikah dan kawinnya
Langit Andalusiana binti Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat
Sholat dibayar tunai.”
“Bagaimana? Sah?”
“Sah, sah, Sah…” terdengar suara
bersahutan dalam masjid itu.
“Alhamdulillah…” suara mereka
kemudian hampir bersamaan.
Setetes air mata mengkristal bagai
embun bening bergulir dari sudut mata gadis itu. Gadis yang sengaja didudukkan
beberapa jarak di belakang pemuda yang telah mengucapkan kalimat sakral penuh
penghargaan untuk calon bidadarinya. Bidadari itu mengenakan gaun semi gamis
berwarna putih, jilbab yang juga dihiasi payet-payet putih terbentuk sempurna
bak mahkota menutupi kepalanya. Cantik. Itu satu kata yang mampu menggambarkan keelokan
lukisan Sang Pencipta yang sedang duduk diapit oleh ibunda dan adiknya itu.
Tiga bulan yang lalu…
Langit:
“Kamar lu di atas, yang ini kamar
gue.” Ujarnya dingin, aku dan dia melewati satu kamar dekat ruang tengah, kami
menaiki anak tangga yang berbentuk melingkar seperti ular. Awan menunjukkan
kamar di lantai atas untukku. “Bawaan lu berat banget sih, apaan aja nih?!”
gumamnya meletakkan koperku tepat di depan pintu kamar yang tertempel sticker Parental
Advisory. Aku tidak menghiraukan apa yang dia bicarakan, aku terlanjur
takjub dengan apa yang sedang terhampar di mataku sekarang. Aku berjalan
mengelilingi seluruh lantai sibuk memperhatikan detail seluruh ruangan, juga
barang-barang yang memenuhi ruangan ini. Aku seperti berada dalam istana
mungil.
Sejak dulu aku memang terpesona dengan desain
interior rumah yang tidak terlalu besar ini. Aku sering main ke sini bersama
Bima dan juga Odi, tapi aku tidak pernah naik ke lantai dua ini. Tak ku sangka
lantai ini didesain sangat indah. Plafond dibangun tinggi ukuran ideal berbentuk
agak cekung di bagian tengah dan diwarnai menyerupai langit. Tepat di bawah
langit-langit itu ada seperangkat sofa bukan buatan lokal berwarna creamy honey senada dengan warna dinding.
Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu Bayam serta lantai keramik Malibu
terpacak dengan apik. Meski terhalang jendela kaca lebar, dari depan pintu
kamar ini aku bisa melihat ada balkon berpagar ukiran besi di bagian depan
sehingga bisa terlihat bangunan rumah dan jalan di depan, juga void digandeng balkon
belakang yang berukuran lebih besar dengan panorama taman yang indah di
bawahnya. Sumpah, ini benar-benar hebat.
Ada
satu kamar lagi tepat di sebelah kamar yang akan kutempati. Aku hendak membuka
pintu kamar itu. “Eh, eh, jangan! jangan dibuka! Lu ngga boleh buka kamar ini!
yang itu kamar lu, masuk sana!” Dia
mengunci pintunya dan mengantongi kunci itu. Aku mendelik tak peduli, aku masih
mengagumi karyanya. Aku benar-benar tak percaya dengan keindahan ini. Selama
ini aku hanya berkeliaran di lantai bawah dan di taman, malas rasanya menaiki
tangga berular itu.
Tidak perlu heran sebenarnya, temanku
yang bernama lengkap Muhammad Rengga Darmawan ini memang seorang arsitek
canggih menurutku. Masih muda dan memang karirnya baru saja dimulai. Dimulai
dengan menciptakan rumahnya sendiri. Hebat!
“Gue gak yakin yang di lantai ini lu
desain sendiri juga?” Aku tak ingin memujinya, dia terlihat tak peduli dan
hanya mencibir ringan. “Eh, emang gak papa
kalo gue tinggal di sini?”
“Gak papa lah, santai aja.” Aku tahu
dia memang pelit bicara.
“Lu gak bakal ngapa-ngapain gue kan?”
“Enak aja!” Satu jitakan mendarat di
kepalaku. Awan beringsut ke sofa yang kukagumi tadi dan menyandarkan punggungnya.
“Tapi, kalo emang lu mau bener-bener aman, ada syaratnya.” Awan menyilang kedua
kakinya di atas meja, lagaknya seperti bos mafia saja. “Pertama, lu harus
masakin gue tiap hari. Kedua, bersih-bersih rumah, seluruh ruangan, juga
halaman depan-belakang. Ketiga, hmm.. itu aja dulu. Ntar gue pikirin lagi.”
“Sarap lu ya! Lu pikir kita lagi
maen filem korea.
Itu sih sama aja gue jadi budak lu!”
“Terserah, kalo gak terima, gue ga
bisa jamin keamanan lu. Karena pertama-tama gue bakal usir lu beberapa saat
lagi.” Awan mengganti posisinya, ia berbaring di sofa itu, matanya terpejam
angkuh. Sedangkan aku hanya bisa menggerutu pasrah. Sekarang aku memang
benar-benar butuh tempat tinggal. Setidaknya untuk sementara waktu sampai aku
dapat tempat kos baru yang aman.
Awan:
Aku memberinya tiga syarat yang
sebenarnya bagiku itu tak penting, hanya saja aku suka mengerjainya agar aku
bisa melihat ekspresinya itu. Tadi ngotot seperti orang mau ngajak berkelahi,
sekarang lihatlah! dia tertunduk pasrah seperti petinju yang kalah telak. Aku
senang dari tadi dia sibuk mengedarkan pandangan, matanya berkeliaran, aku tahu
dia sedang mengagumi hasil karyaku. Gayanya seperti seorang seniman saja. Aku
suka sekali bisa melihat ekspresinya yang suka berubah tiba-tiba. “Gue gak
yakin yang ini lu desain sendiri juga?” itu yang dia katakan tadi, aku paling
tahu, itu caranya untuk memuji.
Ah, tiba-tiba rasa kantuk menyerang,
aku berbaring di sofa kesayangan, mungkin aku terlalu lelah untuk beberapa hari
ini. Meski lelah, bibirku tetap bisa tersenyum, dengan syarat seperti itu aku
tidak perlu khawatir Langit akan berubah pikiran, karena dia sedang benar-benar
butuh tempat tinggal. Setidaknya untuk sementara waktu sampai dia dapat tempat
kos baru yang aman. Dan sampai traumanya benar-benar hilang.
Dalam perjalanan tadi Langit
menceritakan semuanya padaku. Dua hari yang lalu, di kos Langit ada kejadian
yang menggemparkan. Bahkan sampai terdengar hingga ke kantor. Sekitar pukul 11
malam, saat itu Langit sudah tertidur pulas ketika tiba-tiba seorang laki-laki
mengenakan penutup kepala seperti ninja masuk ke kamarnya. Langit memang suka
teledor, bukan kali ini saja dia tidak mengunci kamar. Sebenarnya dia belum
akan tidur, tapi cewek ini lebih sering ketiduran dan biasa terbangun tengah
malam nanti. Sebelum laki-laki berninja itu ingin berbuat jahat, untungnya
Langit cepat tersadar ketika merasakan seperti ada orang lain duduk di kasur springbednya, ia terbangun dan langsung
berdiri memasang kuda-kuda. Tangannya mencari-cari tombol lampu. Aku tertawa
saat ia bercerita sambil memperagakannya. Sebelum semua orang terbangun karena
mendengar teriakan Langit, orang itu meraih celananya jeansnya yang tergeletak
di lantai, kemudian langsung melesat kabur tanpa celana, hanya koloran. Setelah
bercerita seperti itu, aku kaget bisa-bisanya dia tiba-tiba nangis tersedu. Ini
anak emang perlu dimasukin rumah sakit jiwa pikirku kadang-kadang.
Langit:
Kejadian itu benar-benar membuatku trauma,
tidak hanya itu, aku juga merasa sangat malu, aku benar-benar terpukul. Dua
hari aku tidak masuk kantor dan hanya mengunci diri dalam kamar. Sampai Awan teman
sekantorku datang menjemput di kos pagi tadi. Aku, Awan, juga kedua teman kami Bima
Sakti dan Sholahudin yang minta dipanggil Odi bersahabat akrab sejak memulai
karir sebagai Arsitek di Perusahaan Desain Interior dan Kontraktor ini. Aku
tidak tahu kenapa mereka dengan tanpa merasa berdosa menyuruhku untuk sementara
tinggal di rumah Awan. Alasannya sih
jarak rumah Bima dan Odi jauh dari kantor, selain itu Bima dan Odi juga masih
tinggal dengan orang tua mereka yang merasa keberatan untuk menampungku, mereka
memikirkan apa kata tetangga. Pikirku itu memang tak salah. Kalau sudah begini,
aku merasa jadi beban buat mereka, sesuatu yang selalu kuhindari adalah menjadi
beban buat orang lain. Tapi, mereka malah memarahiku jika aku tak menurut. “Lu
gak membebani sama sekali, Ngit. Sebagai teman kan
kita harus saling menolong. Iya nggak?” Begitu kata Bima menenangkanku. Jadilah
rumah Awan sebagai pilihan terakhir. Selain dekat dari kantor, Awan juga
tinggal sendiri di rumah minimalis bergaya Spanyol yang dibangun di komplek
perumahan yang dianggap tidak akan terlalu peduli dengan sekitar. Hanya saja
waktu melapor ke pak RT, kami harus berbohong, mengaku saudara sepupuan demi
mendapatkan ijin.
***
Dua minggu berlalu, masih tinggal di
rumah Awan. Teman-teman di kantor tidak ada yang tahu kecuali Bima dan Odi.
Semuanya berjalan seperti biasa. Aku senang tinggal di rumah ini, aku dan Awan
sering ngobrol sampai larut malam, aku mamasak dan mencuci, kami juga
membersihkan rumah bersama. Aku sadar kami tinggal dalam satu atap, padahal
kami bukan suami-isteri, bukan juga saudara sepupu seperti yang diketahui warga
sekitar. Tapi, aku tidak peduli kenyataan itu, yang penting kami tidak
melakukan hal-hal yang dilarang agama. Aku bahagia tinggal di sini bersama
Awan. Aku mulai merasakan sesuatu yang lain terhadapnya, entahlah.
Selain karena memang belum dapat kos
baru, trauma itu masih belum benar-benar hilang. Ketiga sahabatku mengatakan belum
mendapatkan tempat kos yang aman untukku, di kota
ini cukup sulit mencari kos-kosan khusus cewek. Di daerah dekat kantor apalagi,
kebanyakan kos-kosan campur cewek-cowok meskipun terlihat aman. Aku tidak mau
masuk ke lubang Harimau untuk kedua kali, aku sudah cukup trauma dengan kos
lamaku yang campur cewek-cowok. Sekarang kalau pun ada kos khusus cewek, kosnya
udah penuh semua. Intinya aku masih tinggal di rumah Awan.
Dua
bulan yang lalu….
Awan:
Malam itu aku dan Langit sedang
duduk-duduk santai di Balkon depan lantai atas, sambil menikmati kopi susu
buatannya. Sesekali lewat penjual nasi goreng dan sate bergantian di jalan
depan rumah. “Lu tau kenapa gue sebenernya ga mau nyariin kosan buat lu,” Entah
kosa kata dari hantu mana yang datang memaksaku untuk memulai pembicaraan ini.
“gue pengen lu tetep tinggal sama gue di rumah ini, selamanya. Lu mau kan?”
Aku lihat raut wajah Langit
terkejut, seperti biasa dia selalu penuh ekspresi. Sepertinya dia sudah tahu ke
arah mana pembicaraanku. Tapi, dia hanya terdiam. Seperti memikirkan sesuatu,
tapi bisa ku pastikan dia masih mendengarkanku.
“Gue bisa liat dari tatapan lu ke
gue selama ini. Lu ga usah bilang juga gue tau. Sejak awal kita berteman
sebenernya gue emang tertarik sama lu. Gue seneng kita bisa bersahabat. Waktu
gue sakit, gue tau lu khawatir, tapi lu ga liatin, lu malah marah-marahin gue.”
Aku menatap lekat wajah Langit sekilas, lalu kembali melemparkan pandanganku ke
angkasa. “Tapi, waktu Bima kecelakaan, gue sempet cemburu liat lu peduli juga
sama Bima, peduli banget malah, tiap hari lu jengukin dia, bahkan lu juga sampe
ikutan nginep buat jagain Bima. Tapi, gue tahu lu emang sahabat yang peduli
sama kita.”
“Gue juga gak tau sejak kapan gue
mikirin ini. yang pasti sejak lu masuk ke kehidupan kita, gue merasa semua jadi
lebih beda. Ada dan gak adanya lu
diantara kita itu beda. Tadinya gue pikir ini hanya perasaan sebagai sahabat.
Tapi, semakin ke sini, gue selalu pengen ada di deket lu. Gue pengen lu tetep
tinggal sama gue di rumah itu, Ngit. Lu mau kan
nikah sama gue?” Sekarang aku menatap kembali wajah Langit yang juga menatapku
tanpa ekspresi. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya kali ini. Aku akui dia
memang gadis paling cerdas yang pernah aku kenal. Kali ini dia sedang
menunjukkan kecerdasanya untuk mempertimbangkan pengakuanku. Yang pasti aku
tahu, dia juga punya perasaan yang sama padaku.
Langit:
Aku hanya bisa terdiam memandang
wajah lelaki tampan yang sedang mengungkapkan perasaan di depanku, yang
berbicara tanpa benar-benar melihatku. Siapa sih yang gak suka dilamar sama
lelaki super tampan seperti dia? Jadi, idola cewek-cewek sekantor. Bisa
bersahabat dengan mereka aja aku sudah senang sekali. Awan, Bima, dan Odi
ibarat hiasan antik di kantorku. Ketiganya sama-sama kece. Tampan dan cerdas.
Sayang sekali mereka alergi dengan cewek agresif. Untungnya aku juga tidak
perlu meng-agresif-kan diri untuk bisa dekat dengan mereka, karena memang kami
dipasangkan dalam satu bidang, dalam satu ruangan, hanya terhalang kubikel,
sehingga kami hanya perlu berdiri untuk bisa saling melihat, bahkan tanpa
berdiri pun kami masih bisa ngobrol. Kami sering membicarakan sesuatu di luar
urusan kantor, saat tiba-tiba si Bos berdehem pelan di belakang salah satu di
antara kami.
Aku
belum menjawab apa pun, tiba-tiba bel pagar berbunyi, dari atas balkon ini kami
melihat seperti ada orang di luar pagar sana.
Tapi, kami tidak bisa melihat dengan jelas karena dihalangi dedaunan pohon
mangga. Paling Bima sama Odi, pikirku.
“Gue
aja yang bukain pintu, tumben mereka dateng malem-malem.” Aku beranjak.
“Nggak
usah, biar gue aja.” Awan mengisyaratkanku untuk tetap duduk di sini.
Awan:
Aku sedikit terkejut ketika membuka
pintu ada banyak orang di depan pagar, sekitar lima
atau tujuh orang, Aku tidak sempat menghitung pasti jumlahnya. Tumben orang-orang ini bertamu. Batinku.
“Pak RT? Tumben pak? Ada
kegiatan apa nih Pak rame-rame?” Sambutku sopan sembari mempersilakan tamu-tamu
itu masuk. Aku sadar raut wajah mereka sedang tidak ramah.
“Gak perlu mas Awan. Terima kasih.
Kami disini saja. Saya minta mas Awan dan sepupunya untuk ikut ke rumah saya
sekarang.” Ujar Pak RT tanpa basa-basi.
“Ada
acara apa ya Pak?”
“Tidak ada acara apa-apa, tapi ada
yang harus kita bicarakan.”
“Oh, iya, sebentar pak, saya
panggilkan tem, e.. sepupu saya dulu.” Aku hampir saja keceplosan.
***
Sekarang
kami sudah duduk di ruang tamu rumah Pak RT dengan beberapa orang yang juga
menjemputku tadi, entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres, mereka
memandang tak suka padaku dan Langit.
“Sudah nggak usah basa-basi, kami
tahu mbak ini bukan sepupu Mas Awan, kan!?”
Seorang bapak-bapak tetangga tidak jauh dari rumahku terlihat emosi. Tapi, aku masih
bersikap tenang meskipun dalam hati aku bertanya-tanya, siapa yang memberitahu
warga?
“Iya! Kenapa kalian membohongi pak
RT dengan mengaku sepupu? Bisa-bisanya kalian tinggal serumah padahal bukan
saudara, bukan suami-istri! Kalian sudah mengotori komplek kami!” yang lain kudengar
menimpali dengan emosi yang tak kalah.
“Ehm, jadi ini masalahnya. Sebelumnya
saya minta maaf pak RT dan juga bapak-bapak karena saya sudah mengenalkan
identitas yang tidak benar mengenai teman saya. Kami tidak bermaksud untuk
berbohong sebenarnya. Kami kuatir tidak diberi ijin. Tapi, teman saya ini hanya
sementara tinggal di sini. Karena dia belum mendapatkan tempat kos yang baru.”
Aku berusaha menjelaskan.
“Tapi, kenapa nggak bilang dari
awal? Alaaahh.. Sudahlah Pak RT, kita usir saja mereka! atau panggil orang
tuanya. Anak muda jaman sekarang emang banyak tingkah, nggak bisa membedakan
mana yang salah dan mana yang benar!” Salah seorang mengkompori.
“Sekali lagi saya minta maaf, saya
akui saya salah karena telah berbohong. Tapi, sungguh, saya hanya berniat
menolong teman. Saya kira bapak-bapak sudah kenal saya. Apa saya pernah membawa
teman perempuan selain teman saya ini?”
“Yaa mana kita tau ya? Iya kan?”
Rasanya aku ingin nonjok orang itu.
“Eh, iya juga sih, saya tahu kok
paling yang main ke sini ya teman-temannya yang tiga orang itu.” Aku kenal
orang ini, rumahnya tepat di depan rumahku.
“Bapak-bapak sekalian boleh percaya boleh
nggak, yang jelas kami tidak melakukan apa-apa. Saya tinggal di lantai bawah
dan teman saya di lantai atas.”
“Tapi, ya tetap serumah! Tetep aja
salah, Mas!” masih emosi.
“Tenang, coba tenang dulu
bapak-bapak.” Pak RT mencoba menengahi. “Begini, saya juga minta maaf ini mas
Awan, saya khawatir dengan kerisauan warga disini. Saya juga tidak ingin warga
disini merasa terganggu jika ada yang melanggar peraturan yang telah kita sepakati
bersama. Kami tahu Mas Awan sudah lama tinggal di sini. Meskipun kami sudah
kenal Mas Awan, saya tidak berani menjamin keamanan mas Awan dan temannya kalau
masih tinggal bersama. Teman mas Awan sudah cukup lama tinggal disini.
Rencananya mau sampai kapan?”
“Saya mengerti Pak, tapi, baiklah,
begini saja, saya minta pengertiannya sampai besok. Besok kami akan usahakan
sudah dapat tempat kosnya.”
“Wah, nggak bisa Mas, Kami khawatir
warga yang lain nanti malah ngamuk. Ini kami masih mau berbicara baik-baik.”
“Ehm, maaf sebelumnya. Pak RT dan Bapak-bapak
sekalian tenang saja, tolong jangan salahkan teman saya, dia nggak salah. Saya
yang sudah merepotkannya. Malam ini juga saya akan pergi dari sini.” Langit
mulai angkat suara.
“Heh, lu mau tidur dimana? Di jalan?”
Aku setengah berbisik membentaknya.
“Haduhh.. coba lihat Pak RT! Sudah
ketahuan saja mereka masih banyak berkilah, kita panggil saja orang tuanya Pak,
sebelum semua warga di sini ngamuk!”
“Iya Pak RT, selama ini kampung kita
terkenal dengan kampung beriman. Ada
mereka yang tinggal dalam satu rumah seperti ini apa nggak mengotori nama baik
kampung kita.?”
“Saya akan menikahinya.” Kataku
tiba-tiba mengejutkan seisi ruangan.
Langit:
“Apa?” aku kaget setengah mati
mendengar ucapan Awan. “Heh, lu ngomong apa?” Awan tidak menjawab pertanyaanku.
Pandangannya mantap ke arah pak RT.
“Saya dan Langit akan menikah.” Dia
mengulangi perkataannya dengan tegas. Saat itu perasaanku tak menentu. Aku tak tahu
apakah aku senang atau sedih mendengarnya, aku bingung.
“Tuh kaan… mereka pasti sudah
macem-macem.”
“Iya, pasti. Kalo nggak mana mungkin
mereka bilang langsung mau nikah.”
“Wah, nggak bener nih..”
“Mereka sudah mengotori kampung
kita.”
“Jangan-jangan ceweknya sudah hamil
duluan!”
Hatiku perih mendengar bisik-bisik
dalam ruangan itu. Bukan, mereka bukan berbisik, tapi memang sengaja agar
terdengar olehku. Aku menangis.
“Sudah pak RT, hubungi orang tua
mereka sekarang juga, atau mereka kita arak saja keliling kampung.” Seseorang
mengatakannya dengan lantang, aku tidak melihat siapa orang itu. Aku tak peduli
siapa pun, yang jelas orang satu ruangan ini sudah satu suara. Tidak ada satu
pun yang membela kami, termasuk pak RT.
“Untuk malam ini, nak Langit tidur di sini
saja dulu. Kita tunggu orang tua kalian datang besok, kami harus menuntaskan
masalah ini sampai semua merasa enak.”
Aku
pasrah, aku tidak tau apa yang harus kukatakan pada ibu dan ayah jika
mengetahui semua ini nanti. Aku menyesal. Aku menyesal dengan kebahagian
sementara yang kurasakan selama tinggal di rumah itu. Menyesal memang selalu
ada di akhir. Menikah seperti yang dikatakan Awan bukan solusi yang kuharapkan.
Bagaimana mungkin kami bisa menikah, meskipun aku ingin, kami berasal dari keluarga
yang berbeda. Apakah orang tua Awan dan keluarga besarnya yang hampir semua
keluarga konglomerat itu akan setuju. Kalau saja menikah bukan urusan keluarga
besar, aku tidak mempermasalahkannya.
Awan:
Aku
tak kuasa melihatnya menangis di depan orang-orang ini. Ingin rasanya aku
mengusap airmatanya. Tapi, dia pasti menolak. Selama ini pun aku bahkan belum
pernah memegang tangannya. Walau pun kami tinggal serumah. Dari dulu Langit
memang seperti itu. Paling anti disentuh laki-laki. Alasannya bukan karena
bukan muhrim. “Gue nggak mau kesetrum.” Itu yang selalu dikatakannya. “kulit
cowok dan kulit cewek itu ada magnetnya. Seperti aliran listrik yang
berlawanan, positif dan negatif. Nah, kalo sampe bersentuhan akan saling
tarik-menarik, bisa kesetrum.” Itu katanya, waktu kami berempat berdiskusi. Tapi,
orang-orang di depanku sekarang justru menduga sebaliknya. Kehormatan yang
selama ini ingin dijaganya seperti hilang hanya karena dugaan mereka. Tapi, aku
sadar sekarang, kami memang salah. Aku tidak bisa menyalahkan dugaan mereka,
karena kami memang tinggal serumah.
Atas desakan warga yang emosi, pak
RT tidak bisa berpikir bijak lagi menurutku. Aku melihatnya mengambil buku
besar yang kemarin aku tuliskan data Langit. Sialnya, aku benar-benar mengisi
dengan jujur nomor telpon orang tua Langit di kampungnya. Dan nomor telpon
keluarga rumah orang tuaku yang terletak masih di kota
ini juga sudah tercatat di buku besar itu sejak aku resmi menjadi warga di
sini. Tertulis dalam list nomor telepon penting keluarga yang mudah dihubungi.
Kami berdua hanya bisa pasrah. Kami memang salah.
***
Keesokan
harinya, orang tuaku datang lebih dulu. Orang tua Langit yang jauh di luar kota,
akan tiba keesokan harinya lagi. Mereka berangkat ke kota
ini menggunakan kendaraan umum, Bus Malam.
“Apa?
Kamu mau menikahi gadis itu?? Gadis yang menumpang tinggal di rumahmu? Apa yang
sudah kalian lakukan, hah?” Aku hanya terdiam. Saat ini aku sedang duduk di
ruang tamu depan Papa dan Mama. “Awan! Kamu dengerin Mama nggak sih?” Mamaku
setengah membentak. “Siapa keluarganya? Dari mana asal-usulnya? Sampe sekarang
aja orang tuanya belum nyampe sini. Apa mereka jalan kaki kesini? Mama nggak
yakin keluarganya bisa cocok bersanding dengan keluarga kita.” Mama mengganti
posisi duduknya di dekatku. “Kamu nggak menghamilinya kan?”
“Ya
enggak lah, Ma.” Suaraku meninggi.
“Awan!
Kamu jangan membentak Mamamu seperti itu!” Papa yang sejak tadi diam akhirnya
angkat bicara. “Mama juga, jangan memaksakan anak seperti itu, pasti Awan sudah
kenal baik dengan gadis itu. Awan kan
sudah dewasa, sudah bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk. Yaah..
walaupun Papah kecewa waktu tau kamu memilih tinggal sendiri, dan ternyata kamu
membawa anak gadis orang.”
“Ini
nggak seperti yang Papa dan Mama bayangkan, Awan hanya menolong Langit.”
“Sudahlah,
menolong kan tidak harus dengan
cara seperti ini, tidak harus membawanya ke rumahmu, kamu sudah merusak nama
baik keluarga. Papa benar-benar kecewa. Tapi, ya sudahlah, kita tunggu saja
keluarganya datang. Besok kita bicarakan lagi.”
Langit:
Tentu
saja aku malu pada keluarga Awan. Kemarin Mamanya memandangku sinis seperti
merasa jijik. “Kenapa kamu mau tinggal di rumah anak saya meskipun ditawarin?
Kalian sudah sama-sama dewasa harusnya tahu mana yang salah dan yang benar!
Anak perempuan harusnya bisa jaga diri. Nggak sembarangan aja numpang tinggal
di rumah teman laki-laki.” Aku tak bisa membela diri, karena memang aku numpang
tinggal di rumah anak mereka. Aku memang menyesalinya sekarang, sangat
menyesal, tapi apa gunanya. Mereka pasti berpikir aku wanita murahan, mereka
pasti tidak setuju aku menikah dengan anak mereka. Aku sedang melamun minggu
sore itu di teras rumah pak RT ketika aku melihat Nissan Juke Awan berhenti di
depan pagar.
“Ayo
kita jemput orang tua lu.” Katanya setelah berdiri di depanku yang masih duduk
tak bersemangat. Karena banyak pikiran aku bahkan lupa kalau aku harus
menjemput Ayah dan ibu di terminal.
***
Sekarang
aku yang dihakimi Ayah dan Ibu di rumah pak RT. Aku bisa melihat gurat
kekecewaan yang sangat mendalam di wajah mereka. Kepercayaan yang selama ini
mereka berikan ternyata tidak seperti apa yang mereka harapkan. Aku sudah
membuat mereka malu. Mereka dipanggil ke kota ini bukan untuk melihat prestasi
yang kucapai, seperti yang mereka bayangkan setiap aku mentransferkan beberapa
rupiah untuk membantu biaya sekolah dua adikku, dan untuk kebutuhan hidup
mereka, Ayah sudah lama pensiun, sedangkan ibu sehari-harinya bekerja sebagai
penjahit. Mereka dipanggil kesini justru untuk melihat kenyataan anak tertua
mereka sudah mempermalukan keluarga.
Aku
hanya duduk tertunduk dan diam di depan Ayah dan Ibu, sampai Pak RT masuk dari
pintu ruang tamu disusul Awan dan kedua orang tuanya. Aku kaget melihat
perubahan raut wajah Mamanya Awan berubah, aku mengikuti arah matanya yang
tertuju pada Ibuku yang juga melotot heran.
“Farida…???”
“Andini..???”
Mama Awan dengan gaya Ibu-ibu
pejabat itu mendekati ibu yang dengan pakaian lusuh berdiri terpaku keheranan.
“Kamu benar-benar Farida?? Yaa..ampuuun… Faridaa… kemana saja kamu selama ini?
kita cari-cari, abis wisuda kok menghilang gitu aja, nggak ada kabar sama
sekali. Farida.. aku kangen sekali…” dia memeluk ibuku yang juga menangis
terharu. Ada apa ini?? aku bingung.
“Tunggu, tunggu! Jadi Langit ini anakmu?” tanyanya kemudian, ibuku hanya
mengangguk mengusap air matanya.
***
Ternyata
Ibuku dan Mama Awan sahabat akrab waktu masih kuliah, mereka sama-sama merantau
ke salah satu kota pelajar negeri
ini. Mereka tinggal sekamar waktu ngekos. Sekarang kami sudah berada di rumah
Awan. Kami semua duduk dalam suasana hangat penuh nostalgia mendengarkan Mama
Awan yang bercerita panjang lebar tentang persahabatan mereka, Ibuku dulu
termasuk mahasiswa yang mendapat kiriman banyak setiap bulan dari orang tuanya,
dari kakek-nenekku. Sedangkan Mama Awan sebaliknya. Ibuku yang memang memiliki
hati yang tulus, selalu membantu sahabatnya. Masalah keperluan sehari-hari,
makan dan uang belanja tidak dipisah-pisah lagi. Uang ibuku adalah uangnya
juga. Meskipun dia menganggapnya hutang, ibuku tidak mau menerima. Waktu masih
di rumah pak RT tadi dia juga langsung minta maaf padaku atas apa yang dikatakannya
kemarin.
“Ngit,
keluar yuk!” Awan membuyarkan lamunanku, aku nurut aja, aku berjalan di
belakangnya diikuti suara Mama Awan dan Ibuku yang menggoda kami, juga tawa
Papanya dan ayahku.
“Mau
kemana sih?”
“Nggak
kemana-mana. Keluar disini aja.” Awan duduk di kursi teras, aku masih berdiri
terpaku heran, kenapa nggak di dalam aja? Batinku. “Lu nggak bosen dengerin
ocehan emak-emak di dalam?” dia menjawab tanpa aku harus mengeluarkan
pertanyaan. Awan memang seperti itu. Dia seperti tahu semua yang ada di
pikiranku. Kadang aku bertanya, apakah aku sedang berhadapan dengan dukun?
Tiba-tiba tangannya memberi isyarat agar aku duduk di kursi Taici dari kayu
Jati kombinasi kayu Sono dengan finishing melamin di sebelahnya yang terhalang
meja persegi kecil berbahan sama.
Awan:
“Ngit,”
suaraku sedikit gemetar, mungkin dia mendengarnya, tapi, dia hanya duduk
tertunduk. Aku tidak mengerti kenapa dia harus menunduk seperti itu. “Ngit,
liat gue.” Dia masih tertunduk, padahal aku ingin sekali melihat wajahnya.
“Oke, gak masalah, kalo lu gak mau liat gue. Dengerin gue sekarang, gue serius
Ngit, gue serius mau nikah sama lu, bukan karena semua kebetulan ini. bukan karena
kita ketahuan tinggal serumah, bukan karena ternyata nyokap kita temenan. Bukan.
Tapi, sejak dulu Ngit. Rumah ini buktinya Ngit, rumah ini terinspirasi dari
nama lu, kuberi nama rumah Andalusia.” Dia masih tidak
merespon, dia benar-benar membuatku gusar. “Ngit? Lu dengerin gue kan?
Eh, lu nangis? Lu kenapa nangis, Ngit?”
Langit:
Aku
menangis bahagia, Wan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, bahkan aku tak sanggup
untuk menatap matanya. Aku hanya bisa tertunduk. Aku bahagia tapi juga sedih.
Karena sebenarnya ada sesuatu yang harus kuakui.
“Maaf..”
ucapku terbata. “Maaf, Awan. Tapi, gue cintanya sama Bima.” Mau tidak mau aku
harus bicara jujur pada Awan, perasaan yang selama ini tersimpan rapi dalam
hatiku. Perasaan bahwa Bima adalah jodohku. Aku jatuh cinta sejak pertama kali
pada Bima yang memiliki kepribadian hangat dan penyayang. Pertama kali masuk
kantor, masih jadi anak baru, Bima adalah yang pertama kali menyapaku dengan
ramah.
“A, ap, apa..?” Suaranya bergetar.
“Maaf Wan, gue minta maaf. Dari dulu
gue udah cinta sama Bima, sejak pertama kita bertemu. Lu terlalu sempurna buat
gue Wan. Cewek-cewek cantik di luar sana
sedang mengantri buat lu, kenapa lu malah pengen nikah sama gue yang
biasa-biasa aja?”
Bima sudah melamarku dua minggu yang
lalu, dan aku sudah menerimanya. Tidak seperti Awan, selama ini Bima selalu ada
untukku. Bahkan yang pertama kali datang untuk menengok keadaanku pertama kali
saat kejadian memalukan itu adalah Bima, bukan Awan. Bima datang menghiburku. Aku
melihat Awan menggeleng beberapa kali, Awan masih sulit mempercayai
pengakuanku, aku bisa melihat kesedihan di matanya.
“Maafin gue Wan.” Aku menelan ludah.
Aku melihat Awan hanya terdiam tak merespon. Ia memalingkan wajahnya.
Sebenarnya aku ingin memastikan Awan tidak marah padaku.
***
Awan:
Jelas aku marah mendengarnya. “Maaf,
Awan. Tapi, gue cintanya sama Bima.” Bagaimana mungkin dia bisa berkata semudah
itu. Ini sama halnya dia sedang menusuk jantungku dengan sembilu, sakit sekali.
Seperti ada petir yang tiba-tiba menyerang di bawah cerahnya angkasa malam ini.
Bintang-bintang seperti sedang tertawa mengejekku. Aku tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Jawaban Langit seperti ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku
sudah yakin akan membawa Langit tinggal di bawah atap Andalusia
ini. Lalu apa arti perhatian Langit padaku selama ini? Harusnya aku memang
sadar kalau Langit memang perhatian pada kami semua, tidak hanya pada diriku.
Kecemburuanku pada Bima memang tidak salah. Dan Bima sudah lebih dulu
melamarnya.
***
Hari
ini…
“Saya terima nikah dan kawinnya
Langit Andalusiana bin Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat
Sholat dibayar tunai.” Sebenarnya suara Bima sahabatku itu masih bergemuruh
seperti petir di gendang telingaku. Tapi, aku tetap berusaha tersenyum.
“Bagaimana? Sah?” Suara Penghulu
terdengar kemudian, aku bahkan tak sanggup mengatakan “Sah”, lidahku teramat
kelu. Aku melihat air mata di wajah gadis yang amat kucintai tapi ternyata
tidak mencintaiku mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut matanya.
Aku tahu ia menangis terharu. Ia bahagia, dan aku juga harus bahagia
melihatnya. Bima memang sahabat terbaikku. Dan dia pantas mendapatkan bidadari
kami. Setelah dua bulan lamanya aku menelah pahit rasa sakit hatiku, sekarang aku
sudah ikhlas dan aku menghadiahkan rumahku sebagai kado untuk mereka.
Sebenarnya bukan hadiah, tapi aku memaksa mereka untuk membelinya dariku,
dengan harga seberapapun mereka sanggup membayarnya, karena aku tahu mereka
belum memiliki rumah. Aku pun kembali tinggal dengan kedua orang tuaku yang juga
harus rela dengan keputusan Langit. Kamar yang belum pernah dilihat Langit di
lantai atas itu adalah kado untuk mereka. Di dalam kamar itu, ku temple
banyak sekali gambar sketsa wajah
Langit dalam bingkai dengan bermacam ukuran. Kamar yang ku desain khusus
untuknya.
***
Langit:
Aku sudah berada di kamar hadiah
darinya sekarang, bersama suamiku, Bima Sakti Kencana. Suami yang sangat
kucintai dan mempercayaiku sepenuhnya. Dia duduk disampingku yang sedang
menulis kisah ini di blog pribadiku sambil membaca blog pribadinya yang
sekarang sudah tinggal dan bekerja di kota impiannnya, ia menyebutnya “kota
romantis” bertolak belakang dengan sifatnya yang sama sekali tidak romantis,
namanya Kota Ronda di Spanyol. Kota
tua yang terletak di daerah pegunungan Serrania Ronda de itu dikelilingi tebing-tebing
curam seperti dalam cerita film animasi, dibangun pada abad ke-18, sebelah
barat laut Provinsi Malaga. Begitu cerita yang dia tuliskan diblognya yang kami
baca. Aku dan Bima saling pandang ketika melihat fotonya bersama seorang gadis cantik
berjilbab dengan latar bangunan seperti Masjid. Caption foto itu ditulis, with Wulan (teman dari Indonesia)
at Gereja Saint Mary, dulunya adalah Masjid Arab. Kami pun sama-sama mendoakan
semoga mereka berjodoh.
Aku
menutup kisah di postingan blogku dengan pesan kecil dibawahnya.
NB: Buat kalian yang masih tinggal serumah tanpa ada
ikatan apa pun, segeralah mengambil keputusan untuk pindah atau menikah.
Cukuplah kami yang menerima gunjingan dan sanksi adat. Malu sekali rasanya,
malu pada keluarga, pada teman, dan pada Tuhan. Jangan menunggu pak RT datang
ke rumah kalian atau warga yang langsung menyerbu tempat tinggal kalian. Kalau
pun lingkungan tidak ada yang peduli. Peduli lah pada diri kalian
masing-masing. Tidak ada yang bisa memastikan apakah orang yang tinggal bersama
kalian sekarang akan jadi suami/istri kalian atau tidak, hanya Tuhan yang tahu,
belajarlah dari kisah ini.
Aku
menyalin Link alamat blog Awan dibawahnya. Lalu, kuklik “perbarui”. Sesaat
kemudian, Aku membuka kembali blog Awan, dia menyalin pesan yang kutulis itu
dibagian bawah laman blog kisah kami, dan dia me-link alamat blogku dibawahnya.
Aku dan suamiku saling pandang dan tersenyum.
THE END

No comments:
Post a Comment