Sunday, April 14, 2013

Cerpen (finishing)




Langit Andalusia




“Saya terima nikah dan kawinnya Langit Andalusiana binti Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat Sholat dibayar tunai.”
“Bagaimana? Sah?”
“Sah, sah, Sah…” terdengar suara bersahutan dalam masjid itu.
“Alhamdulillah…” suara mereka kemudian hampir bersamaan.
Setetes air mata mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut mata gadis itu. Gadis yang sengaja didudukkan beberapa jarak di belakang pemuda yang telah mengucapkan kalimat sakral penuh penghargaan untuk calon bidadarinya. Bidadari itu mengenakan gaun semi gamis berwarna putih, jilbab yang juga dihiasi payet-payet putih terbentuk sempurna bak mahkota menutupi kepalanya. Cantik. Itu satu kata yang mampu menggambarkan keelokan lukisan Sang Pencipta yang sedang duduk diapit oleh ibunda dan adiknya itu.

***
Tiga bulan yang lalu…
Langit:
“Kamar lu di atas, yang ini kamar gue.” Ujarnya dingin, aku dan dia melewati satu kamar dekat ruang tengah, kami menaiki anak tangga yang berbentuk melingkar seperti ular. Awan menunjukkan kamar di lantai atas untukku. “Bawaan lu berat banget sih, apaan aja nih?!” gumamnya meletakkan koperku tepat di depan pintu kamar yang tertempel sticker Parental Advisory. Aku tidak menghiraukan apa yang dia bicarakan, aku terlanjur takjub dengan apa yang sedang terhampar di mataku sekarang. Aku berjalan mengelilingi seluruh lantai sibuk memperhatikan detail seluruh ruangan, juga barang-barang yang memenuhi ruangan ini. Aku seperti berada dalam istana mungil.
 Sejak dulu aku memang terpesona dengan desain interior rumah yang tidak terlalu besar ini. Aku sering main ke sini bersama Bima dan juga Odi, tapi aku tidak pernah naik ke lantai dua ini. Tak ku sangka lantai ini didesain sangat indah. Plafond dibangun tinggi ukuran ideal berbentuk agak cekung di bagian tengah dan diwarnai menyerupai langit. Tepat di bawah langit-langit itu ada seperangkat sofa bukan buatan lokal berwarna creamy honey senada dengan warna dinding. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu Bayam serta lantai keramik Malibu terpacak dengan apik. Meski terhalang jendela kaca lebar, dari depan pintu kamar ini aku bisa melihat ada balkon berpagar ukiran besi di bagian depan sehingga bisa terlihat bangunan rumah dan jalan di depan, juga void digandeng balkon belakang yang berukuran lebih besar dengan panorama taman yang indah di bawahnya. Sumpah, ini benar-benar hebat.
Ada satu kamar lagi tepat di sebelah kamar yang akan kutempati. Aku hendak membuka pintu kamar itu. “Eh, eh, jangan! jangan dibuka! Lu ngga boleh buka kamar ini! yang itu kamar lu, masuk sana!” Dia mengunci pintunya dan mengantongi kunci itu. Aku mendelik tak peduli, aku masih mengagumi karyanya. Aku benar-benar tak percaya dengan keindahan ini. Selama ini aku hanya berkeliaran di lantai bawah dan di taman, malas rasanya menaiki tangga berular itu.
Tidak perlu heran sebenarnya, temanku yang bernama lengkap Muhammad Rengga Darmawan ini memang seorang arsitek canggih menurutku. Masih muda dan memang karirnya baru saja dimulai. Dimulai dengan menciptakan rumahnya sendiri. Hebat!
“Gue gak yakin yang di lantai ini lu desain sendiri juga?” Aku tak ingin memujinya, dia terlihat tak peduli dan hanya mencibir ringan.  “Eh, emang gak papa kalo gue tinggal di sini?”
“Gak papa lah, santai aja.” Aku tahu dia memang pelit bicara.
“Lu gak bakal ngapa-ngapain gue kan?”
“Enak aja!” Satu jitakan mendarat di kepalaku. Awan beringsut ke sofa yang kukagumi tadi dan menyandarkan punggungnya. “Tapi, kalo emang lu mau bener-bener aman, ada syaratnya.” Awan menyilang kedua kakinya di atas meja, lagaknya seperti bos mafia saja. “Pertama, lu harus masakin gue tiap hari. Kedua, bersih-bersih rumah, seluruh ruangan, juga halaman depan-belakang. Ketiga, hmm.. itu aja dulu. Ntar gue pikirin lagi.”
“Sarap lu ya! Lu pikir kita lagi maen filem korea. Itu sih sama aja gue jadi budak lu!”
“Terserah, kalo gak terima, gue ga bisa jamin keamanan lu. Karena pertama-tama gue bakal usir lu beberapa saat lagi.” Awan mengganti posisinya, ia berbaring di sofa itu, matanya terpejam angkuh. Sedangkan aku hanya bisa menggerutu pasrah. Sekarang aku memang benar-benar butuh tempat tinggal. Setidaknya untuk sementara waktu sampai aku dapat tempat kos baru yang aman.

Awan:
Aku memberinya tiga syarat yang sebenarnya bagiku itu tak penting, hanya saja aku suka mengerjainya agar aku bisa melihat ekspresinya itu. Tadi ngotot seperti orang mau ngajak berkelahi, sekarang lihatlah! dia tertunduk pasrah seperti petinju yang kalah telak. Aku senang dari tadi dia sibuk mengedarkan pandangan, matanya berkeliaran, aku tahu dia sedang mengagumi hasil karyaku. Gayanya seperti seorang seniman saja. Aku suka sekali bisa melihat ekspresinya yang suka berubah tiba-tiba. “Gue gak yakin yang ini lu desain sendiri juga?” itu yang dia katakan tadi, aku paling tahu, itu caranya untuk memuji.
Ah, tiba-tiba rasa kantuk menyerang, aku berbaring di sofa kesayangan, mungkin aku terlalu lelah untuk beberapa hari ini. Meski lelah, bibirku tetap bisa tersenyum, dengan syarat seperti itu aku tidak perlu khawatir Langit akan berubah pikiran, karena dia sedang benar-benar butuh tempat tinggal. Setidaknya untuk sementara waktu sampai dia dapat tempat kos baru yang aman. Dan sampai traumanya benar-benar hilang.
Dalam perjalanan tadi Langit menceritakan semuanya padaku. Dua hari yang lalu, di kos Langit ada kejadian yang menggemparkan. Bahkan sampai terdengar hingga ke kantor. Sekitar pukul 11 malam, saat itu Langit sudah tertidur pulas ketika tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan penutup kepala seperti ninja masuk ke kamarnya. Langit memang suka teledor, bukan kali ini saja dia tidak mengunci kamar. Sebenarnya dia belum akan tidur, tapi cewek ini lebih sering ketiduran dan biasa terbangun tengah malam nanti. Sebelum laki-laki berninja itu ingin berbuat jahat, untungnya Langit cepat tersadar ketika merasakan seperti ada orang lain duduk di kasur springbednya, ia terbangun dan langsung berdiri memasang kuda-kuda. Tangannya mencari-cari tombol lampu. Aku tertawa saat ia bercerita sambil memperagakannya. Sebelum semua orang terbangun karena mendengar teriakan Langit, orang itu meraih celananya jeansnya yang tergeletak di lantai, kemudian langsung melesat kabur tanpa celana, hanya koloran. Setelah bercerita seperti itu, aku kaget bisa-bisanya dia tiba-tiba nangis tersedu. Ini anak emang perlu dimasukin rumah sakit jiwa pikirku kadang-kadang.

Langit:
Kejadian itu benar-benar membuatku trauma, tidak hanya itu, aku juga merasa sangat malu, aku benar-benar terpukul. Dua hari aku tidak masuk kantor dan hanya mengunci diri dalam kamar. Sampai Awan teman sekantorku datang menjemput di kos pagi tadi. Aku, Awan, juga kedua teman kami Bima Sakti dan Sholahudin yang minta dipanggil Odi bersahabat akrab sejak memulai karir sebagai Arsitek di Perusahaan Desain Interior dan Kontraktor ini. Aku tidak tahu kenapa mereka dengan tanpa merasa berdosa menyuruhku untuk sementara tinggal di rumah Awan. Alasannya sih jarak rumah Bima dan Odi jauh dari kantor, selain itu Bima dan Odi juga masih tinggal dengan orang tua mereka yang merasa keberatan untuk menampungku, mereka memikirkan apa kata tetangga. Pikirku itu memang tak salah. Kalau sudah begini, aku merasa jadi beban buat mereka, sesuatu yang selalu kuhindari adalah menjadi beban buat orang lain. Tapi, mereka malah memarahiku jika aku tak menurut. “Lu gak membebani sama sekali, Ngit. Sebagai teman kan kita harus saling menolong. Iya nggak?” Begitu kata Bima menenangkanku. Jadilah rumah Awan sebagai pilihan terakhir. Selain dekat dari kantor, Awan juga tinggal sendiri di rumah minimalis bergaya Spanyol yang dibangun di komplek perumahan yang dianggap tidak akan terlalu peduli dengan sekitar. Hanya saja waktu melapor ke pak RT, kami harus berbohong, mengaku saudara sepupuan demi mendapatkan ijin.

***
Dua minggu berlalu, masih tinggal di rumah Awan. Teman-teman di kantor tidak ada yang tahu kecuali Bima dan Odi. Semuanya berjalan seperti biasa. Aku senang tinggal di rumah ini, aku dan Awan sering ngobrol sampai larut malam, aku mamasak dan mencuci, kami juga membersihkan rumah bersama. Aku sadar kami tinggal dalam satu atap, padahal kami bukan suami-isteri, bukan juga saudara sepupu seperti yang diketahui warga sekitar. Tapi, aku tidak peduli kenyataan itu, yang penting kami tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama. Aku bahagia tinggal di sini bersama Awan. Aku mulai merasakan sesuatu yang lain terhadapnya, entahlah.
Selain karena memang belum dapat kos baru, trauma itu masih belum benar-benar hilang. Ketiga sahabatku mengatakan belum mendapatkan tempat kos yang aman untukku, di kota ini cukup sulit mencari kos-kosan khusus cewek. Di daerah dekat kantor apalagi, kebanyakan kos-kosan campur cewek-cowok meskipun terlihat aman. Aku tidak mau masuk ke lubang Harimau untuk kedua kali, aku sudah cukup trauma dengan kos lamaku yang campur cewek-cowok. Sekarang kalau pun ada kos khusus cewek, kosnya udah penuh semua. Intinya aku masih tinggal di rumah Awan.

                Dua bulan yang lalu….
Awan:
Malam itu aku dan Langit sedang duduk-duduk santai di Balkon depan lantai atas, sambil menikmati kopi susu buatannya. Sesekali lewat penjual nasi goreng dan sate bergantian di jalan depan rumah. “Lu tau kenapa gue sebenernya ga mau nyariin kosan buat lu,” Entah kosa kata dari hantu mana yang datang memaksaku untuk memulai pembicaraan ini. “gue pengen lu tetep tinggal sama gue di rumah ini, selamanya. Lu mau kan?”
Aku lihat raut wajah Langit terkejut, seperti biasa dia selalu penuh ekspresi. Sepertinya dia sudah tahu ke arah mana pembicaraanku. Tapi, dia hanya terdiam. Seperti memikirkan sesuatu, tapi bisa ku pastikan dia masih mendengarkanku.
“Gue bisa liat dari tatapan lu ke gue selama ini. Lu ga usah bilang juga gue tau. Sejak awal kita berteman sebenernya gue emang tertarik sama lu. Gue seneng kita bisa bersahabat. Waktu gue sakit, gue tau lu khawatir, tapi lu ga liatin, lu malah marah-marahin gue.” Aku menatap lekat wajah Langit sekilas, lalu kembali melemparkan pandanganku ke angkasa. “Tapi, waktu Bima kecelakaan, gue sempet cemburu liat lu peduli juga sama Bima, peduli banget malah, tiap hari lu jengukin dia, bahkan lu juga sampe ikutan nginep buat jagain Bima. Tapi, gue tahu lu emang sahabat yang peduli sama kita.”
“Gue juga gak tau sejak kapan gue mikirin ini. yang pasti sejak lu masuk ke kehidupan kita, gue merasa semua jadi lebih beda. Ada dan gak adanya lu diantara kita itu beda. Tadinya gue pikir ini hanya perasaan sebagai sahabat. Tapi, semakin ke sini, gue selalu pengen ada di deket lu. Gue pengen lu tetep tinggal sama gue di rumah itu, Ngit. Lu mau kan nikah sama gue?” Sekarang aku menatap kembali wajah Langit yang juga menatapku tanpa ekspresi. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya kali ini. Aku akui dia memang gadis paling cerdas yang pernah aku kenal. Kali ini dia sedang menunjukkan kecerdasanya untuk mempertimbangkan pengakuanku. Yang pasti aku tahu, dia juga punya perasaan yang sama padaku.
Langit:
Aku hanya bisa terdiam memandang wajah lelaki tampan yang sedang mengungkapkan perasaan di depanku, yang berbicara tanpa benar-benar melihatku. Siapa sih yang gak suka dilamar sama lelaki super tampan seperti dia? Jadi, idola cewek-cewek sekantor. Bisa bersahabat dengan mereka aja aku sudah senang sekali. Awan, Bima, dan Odi ibarat hiasan antik di kantorku. Ketiganya sama-sama kece. Tampan dan cerdas. Sayang sekali mereka alergi dengan cewek agresif. Untungnya aku juga tidak perlu meng-agresif-kan diri untuk bisa dekat dengan mereka, karena memang kami dipasangkan dalam satu bidang, dalam satu ruangan, hanya terhalang kubikel, sehingga kami hanya perlu berdiri untuk bisa saling melihat, bahkan tanpa berdiri pun kami masih bisa ngobrol. Kami sering membicarakan sesuatu di luar urusan kantor, saat tiba-tiba si Bos berdehem pelan di belakang salah satu di antara kami.
                Aku belum menjawab apa pun, tiba-tiba bel pagar berbunyi, dari atas balkon ini kami melihat seperti ada orang di luar pagar sana. Tapi, kami tidak bisa melihat dengan jelas karena dihalangi dedaunan pohon mangga. Paling Bima sama Odi, pikirku.
                “Gue aja yang bukain pintu, tumben mereka dateng malem-malem.” Aku beranjak.
                “Nggak usah, biar gue aja.” Awan mengisyaratkanku untuk tetap duduk di sini.

Awan:
Aku sedikit terkejut ketika membuka pintu ada banyak orang di depan pagar, sekitar lima atau tujuh orang, Aku tidak sempat menghitung pasti jumlahnya. Tumben orang-orang ini bertamu. Batinku.
“Pak RT? Tumben pak? Ada kegiatan apa nih Pak rame-rame?” Sambutku sopan sembari mempersilakan tamu-tamu itu masuk. Aku sadar raut wajah mereka sedang tidak ramah.
“Gak perlu mas Awan. Terima kasih. Kami disini saja. Saya minta mas Awan dan sepupunya untuk ikut ke rumah saya sekarang.” Ujar Pak RT tanpa basa-basi.
“Ada acara apa ya Pak?”
“Tidak ada acara apa-apa, tapi ada yang harus kita bicarakan.”
“Oh, iya, sebentar pak, saya panggilkan tem, e.. sepupu saya dulu.” Aku hampir saja keceplosan.
***
                Sekarang kami sudah duduk di ruang tamu rumah Pak RT dengan beberapa orang yang juga menjemputku tadi, entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres, mereka memandang tak suka padaku dan Langit.
“Sudah nggak usah basa-basi, kami tahu mbak ini bukan sepupu Mas Awan, kan!?” Seorang bapak-bapak tetangga tidak jauh dari rumahku terlihat emosi. Tapi, aku masih bersikap tenang meskipun dalam hati aku bertanya-tanya, siapa yang memberitahu warga?
“Iya! Kenapa kalian membohongi pak RT dengan mengaku sepupu? Bisa-bisanya kalian tinggal serumah padahal bukan saudara, bukan suami-istri! Kalian sudah mengotori komplek kami!” yang lain kudengar menimpali dengan emosi yang tak kalah.
“Ehm, jadi ini masalahnya. Sebelumnya saya minta maaf pak RT dan juga bapak-bapak karena saya sudah mengenalkan identitas yang tidak benar mengenai teman saya. Kami tidak bermaksud untuk berbohong sebenarnya. Kami kuatir tidak diberi ijin. Tapi, teman saya ini hanya sementara tinggal di sini. Karena dia belum mendapatkan tempat kos yang baru.” Aku berusaha menjelaskan.
“Tapi, kenapa nggak bilang dari awal? Alaaahh.. Sudahlah Pak RT, kita usir saja mereka! atau panggil orang tuanya. Anak muda jaman sekarang emang banyak tingkah, nggak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar!” Salah seorang mengkompori.
“Sekali lagi saya minta maaf, saya akui saya salah karena telah berbohong. Tapi, sungguh, saya hanya berniat menolong teman. Saya kira bapak-bapak sudah kenal saya. Apa saya pernah membawa teman perempuan selain teman saya ini?”
“Yaa mana kita tau ya? Iya kan?” Rasanya aku ingin nonjok orang itu.
“Eh, iya juga sih, saya tahu kok paling yang main ke sini ya teman-temannya yang tiga orang itu.” Aku kenal orang ini, rumahnya tepat di depan rumahku.
“Bapak-bapak sekalian boleh percaya boleh nggak, yang jelas kami tidak melakukan apa-apa. Saya tinggal di lantai bawah dan teman saya di lantai atas.”
“Tapi, ya tetap serumah! Tetep aja salah, Mas!” masih emosi.
“Tenang, coba tenang dulu bapak-bapak.” Pak RT mencoba menengahi. “Begini, saya juga minta maaf ini mas Awan, saya khawatir dengan kerisauan warga disini. Saya juga tidak ingin warga disini merasa terganggu jika ada yang melanggar peraturan yang telah kita sepakati bersama. Kami tahu Mas Awan sudah lama tinggal di sini. Meskipun kami sudah kenal Mas Awan, saya tidak berani menjamin keamanan mas Awan dan temannya kalau masih tinggal bersama. Teman mas Awan sudah cukup lama tinggal disini. Rencananya mau sampai kapan?”
“Saya mengerti Pak, tapi, baiklah, begini saja, saya minta pengertiannya sampai besok. Besok kami akan usahakan sudah dapat tempat kosnya.”
“Wah, nggak bisa Mas, Kami khawatir warga yang lain nanti malah ngamuk. Ini kami masih mau berbicara baik-baik.”
“Ehm, maaf sebelumnya. Pak RT dan Bapak-bapak sekalian tenang saja, tolong jangan salahkan teman saya, dia nggak salah. Saya yang sudah merepotkannya. Malam ini juga saya akan pergi dari sini.” Langit mulai angkat suara.
“Heh, lu mau tidur dimana? Di jalan?” Aku setengah berbisik membentaknya.
“Haduhh.. coba lihat Pak RT! Sudah ketahuan saja mereka masih banyak berkilah, kita panggil saja orang tuanya Pak, sebelum semua warga di sini ngamuk!”
“Iya Pak RT, selama ini kampung kita terkenal dengan kampung beriman. Ada mereka yang tinggal dalam satu rumah seperti ini apa nggak mengotori nama baik kampung kita.?”
“Saya akan menikahinya.” Kataku tiba-tiba mengejutkan seisi ruangan.

Langit:
“Apa?” aku kaget setengah mati mendengar ucapan Awan. “Heh, lu ngomong apa?” Awan tidak menjawab pertanyaanku. Pandangannya mantap ke arah pak RT.
“Saya dan Langit akan menikah.” Dia mengulangi perkataannya dengan tegas. Saat itu perasaanku tak menentu. Aku tak tahu apakah aku senang atau sedih mendengarnya, aku bingung.
“Tuh kaan… mereka pasti sudah macem-macem.”
“Iya, pasti. Kalo nggak mana mungkin mereka bilang langsung mau nikah.”
“Wah, nggak bener nih..”
“Mereka sudah mengotori kampung kita.”
“Jangan-jangan ceweknya sudah hamil duluan!”
Hatiku perih mendengar bisik-bisik dalam ruangan itu. Bukan, mereka bukan berbisik, tapi memang sengaja agar terdengar olehku. Aku menangis.
“Sudah pak RT, hubungi orang tua mereka sekarang juga, atau mereka kita arak saja keliling kampung.” Seseorang mengatakannya dengan lantang, aku tidak melihat siapa orang itu. Aku tak peduli siapa pun, yang jelas orang satu ruangan ini sudah satu suara. Tidak ada satu pun yang membela kami, termasuk pak RT.
 “Untuk malam ini, nak Langit tidur di sini saja dulu. Kita tunggu orang tua kalian datang besok, kami harus menuntaskan masalah ini sampai semua merasa enak.”
                Aku pasrah, aku tidak tau apa yang harus kukatakan pada ibu dan ayah jika mengetahui semua ini nanti. Aku menyesal. Aku menyesal dengan kebahagian sementara yang kurasakan selama tinggal di rumah itu. Menyesal memang selalu ada di akhir. Menikah seperti yang dikatakan Awan bukan solusi yang kuharapkan. Bagaimana mungkin kami bisa menikah, meskipun aku ingin, kami berasal dari keluarga yang berbeda. Apakah orang tua Awan dan keluarga besarnya yang hampir semua keluarga konglomerat itu akan setuju. Kalau saja menikah bukan urusan keluarga besar, aku tidak mempermasalahkannya.

                Awan:
                Aku tak kuasa melihatnya menangis di depan orang-orang ini. Ingin rasanya aku mengusap airmatanya. Tapi, dia pasti menolak. Selama ini pun aku bahkan belum pernah memegang tangannya. Walau pun kami tinggal serumah. Dari dulu Langit memang seperti itu. Paling anti disentuh laki-laki. Alasannya bukan karena bukan muhrim. “Gue nggak mau kesetrum.” Itu yang selalu dikatakannya. “kulit cowok dan kulit cewek itu ada magnetnya. Seperti aliran listrik yang berlawanan, positif dan negatif. Nah, kalo sampe bersentuhan akan saling tarik-menarik, bisa kesetrum.” Itu katanya, waktu kami berempat berdiskusi. Tapi, orang-orang di depanku sekarang justru menduga sebaliknya. Kehormatan yang selama ini ingin dijaganya seperti hilang hanya karena dugaan mereka. Tapi, aku sadar sekarang, kami memang salah. Aku tidak bisa menyalahkan dugaan mereka, karena kami memang tinggal serumah.
Atas desakan warga yang emosi, pak RT tidak bisa berpikir bijak lagi menurutku. Aku melihatnya mengambil buku besar yang kemarin aku tuliskan data Langit. Sialnya, aku benar-benar mengisi dengan jujur nomor telpon orang tua Langit di kampungnya. Dan nomor telpon keluarga rumah orang tuaku yang terletak masih di kota ini juga sudah tercatat di buku besar itu sejak aku resmi menjadi warga di sini. Tertulis dalam list nomor telepon penting keluarga yang mudah dihubungi. Kami berdua hanya bisa pasrah. Kami memang salah.

***
                Keesokan harinya, orang tuaku datang lebih dulu. Orang tua Langit yang jauh di luar kota, akan tiba keesokan harinya lagi. Mereka berangkat ke kota ini menggunakan kendaraan umum, Bus Malam.
                “Apa? Kamu mau menikahi gadis itu?? Gadis yang menumpang tinggal di rumahmu? Apa yang sudah kalian lakukan, hah?” Aku hanya terdiam. Saat ini aku sedang duduk di ruang tamu depan Papa dan Mama. “Awan! Kamu dengerin Mama nggak sih?” Mamaku setengah membentak. “Siapa keluarganya? Dari mana asal-usulnya? Sampe sekarang aja orang tuanya belum nyampe sini. Apa mereka jalan kaki kesini? Mama nggak yakin keluarganya bisa cocok bersanding dengan keluarga kita.” Mama mengganti posisi duduknya di dekatku. “Kamu nggak menghamilinya kan?”
                “Ya enggak lah, Ma.” Suaraku meninggi.
                “Awan! Kamu jangan membentak Mamamu seperti itu!” Papa yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Mama juga, jangan memaksakan anak seperti itu, pasti Awan sudah kenal baik dengan gadis itu. Awan kan sudah dewasa, sudah bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk. Yaah.. walaupun Papah kecewa waktu tau kamu memilih tinggal sendiri, dan ternyata kamu membawa anak gadis orang.”
                “Ini nggak seperti yang Papa dan Mama bayangkan, Awan hanya menolong Langit.”
                “Sudahlah, menolong kan tidak harus dengan cara seperti ini, tidak harus membawanya ke rumahmu, kamu sudah merusak nama baik keluarga. Papa benar-benar kecewa. Tapi, ya sudahlah, kita tunggu saja keluarganya datang. Besok kita bicarakan lagi.”

                Langit:
                Tentu saja aku malu pada keluarga Awan. Kemarin Mamanya memandangku sinis seperti merasa jijik. “Kenapa kamu mau tinggal di rumah anak saya meskipun ditawarin? Kalian sudah sama-sama dewasa harusnya tahu mana yang salah dan yang benar! Anak perempuan harusnya bisa jaga diri. Nggak sembarangan aja numpang tinggal di rumah teman laki-laki.” Aku tak bisa membela diri, karena memang aku numpang tinggal di rumah anak mereka. Aku memang menyesalinya sekarang, sangat menyesal, tapi apa gunanya. Mereka pasti berpikir aku wanita murahan, mereka pasti tidak setuju aku menikah dengan anak mereka. Aku sedang melamun minggu sore itu di teras rumah pak RT ketika aku melihat Nissan Juke Awan berhenti di depan pagar.
                “Ayo kita jemput orang tua lu.” Katanya setelah berdiri di depanku yang masih duduk tak bersemangat. Karena banyak pikiran aku bahkan lupa kalau aku harus menjemput Ayah dan ibu di terminal.
***
                Sekarang aku yang dihakimi Ayah dan Ibu di rumah pak RT. Aku bisa melihat gurat kekecewaan yang sangat mendalam di wajah mereka. Kepercayaan yang selama ini mereka berikan ternyata tidak seperti apa yang mereka harapkan. Aku sudah membuat mereka malu. Mereka dipanggil ke kota ini bukan untuk melihat prestasi yang kucapai, seperti yang mereka bayangkan setiap aku mentransferkan beberapa rupiah untuk membantu biaya sekolah dua adikku, dan untuk kebutuhan hidup mereka, Ayah sudah lama pensiun, sedangkan ibu sehari-harinya bekerja sebagai penjahit. Mereka dipanggil kesini justru untuk melihat kenyataan anak tertua mereka sudah mempermalukan keluarga.
                Aku hanya duduk tertunduk dan diam di depan Ayah dan Ibu, sampai Pak RT masuk dari pintu ruang tamu disusul Awan dan kedua orang tuanya. Aku kaget melihat perubahan raut wajah Mamanya Awan berubah, aku mengikuti arah matanya yang tertuju pada Ibuku yang juga melotot heran.
                “Farida…???”
                “Andini..???” Mama Awan dengan gaya Ibu-ibu pejabat itu mendekati ibu yang dengan pakaian lusuh berdiri terpaku keheranan. “Kamu benar-benar Farida?? Yaa..ampuuun… Faridaa… kemana saja kamu selama ini? kita cari-cari, abis wisuda kok menghilang gitu aja, nggak ada kabar sama sekali. Farida.. aku kangen sekali…” dia memeluk ibuku yang juga menangis terharu. Ada apa ini?? aku bingung. “Tunggu, tunggu! Jadi Langit ini anakmu?” tanyanya kemudian, ibuku hanya mengangguk mengusap air matanya.

***
                Ternyata Ibuku dan Mama Awan sahabat akrab waktu masih kuliah, mereka sama-sama merantau ke salah satu kota pelajar negeri ini. Mereka tinggal sekamar waktu ngekos. Sekarang kami sudah berada di rumah Awan. Kami semua duduk dalam suasana hangat penuh nostalgia mendengarkan Mama Awan yang bercerita panjang lebar tentang persahabatan mereka, Ibuku dulu termasuk mahasiswa yang mendapat kiriman banyak setiap bulan dari orang tuanya, dari kakek-nenekku. Sedangkan Mama Awan sebaliknya. Ibuku yang memang memiliki hati yang tulus, selalu membantu sahabatnya. Masalah keperluan sehari-hari, makan dan uang belanja tidak dipisah-pisah lagi. Uang ibuku adalah uangnya juga. Meskipun dia menganggapnya hutang, ibuku tidak mau menerima. Waktu masih di rumah pak RT tadi dia juga langsung minta maaf padaku atas apa yang dikatakannya kemarin.
                “Ngit, keluar yuk!” Awan membuyarkan lamunanku, aku nurut aja, aku berjalan di belakangnya diikuti suara Mama Awan dan Ibuku yang menggoda kami, juga tawa Papanya dan ayahku.
                “Mau kemana sih?”
                “Nggak kemana-mana. Keluar disini aja.” Awan duduk di kursi teras, aku masih berdiri terpaku heran, kenapa nggak di dalam aja? Batinku. “Lu nggak bosen dengerin ocehan emak-emak di dalam?” dia menjawab tanpa aku harus mengeluarkan pertanyaan. Awan memang seperti itu. Dia seperti tahu semua yang ada di pikiranku. Kadang aku bertanya, apakah aku sedang berhadapan dengan dukun? Tiba-tiba tangannya memberi isyarat agar aku duduk di kursi Taici dari kayu Jati kombinasi kayu Sono dengan finishing melamin di sebelahnya yang terhalang meja persegi kecil berbahan sama.

                Awan:
                “Ngit,” suaraku sedikit gemetar, mungkin dia mendengarnya, tapi, dia hanya duduk tertunduk. Aku tidak mengerti kenapa dia harus menunduk seperti itu. “Ngit, liat gue.” Dia masih tertunduk, padahal aku ingin sekali melihat wajahnya. “Oke, gak masalah, kalo lu gak mau liat gue. Dengerin gue sekarang, gue serius Ngit, gue serius mau nikah sama lu, bukan karena semua kebetulan ini. bukan karena kita ketahuan tinggal serumah, bukan karena ternyata nyokap kita temenan. Bukan. Tapi, sejak dulu Ngit. Rumah ini buktinya Ngit, rumah ini terinspirasi dari nama lu, kuberi nama rumah Andalusia.” Dia masih tidak merespon, dia benar-benar membuatku gusar. “Ngit? Lu dengerin gue kan? Eh, lu nangis? Lu kenapa nangis, Ngit?”

                Langit:
                Aku menangis bahagia, Wan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, bahkan aku tak sanggup untuk menatap matanya. Aku hanya bisa tertunduk. Aku bahagia tapi juga sedih. Karena sebenarnya ada sesuatu yang harus kuakui.
                “Maaf..” ucapku terbata. “Maaf, Awan. Tapi, gue cintanya sama Bima.” Mau tidak mau aku harus bicara jujur pada Awan, perasaan yang selama ini tersimpan rapi dalam hatiku. Perasaan bahwa Bima adalah jodohku. Aku jatuh cinta sejak pertama kali pada Bima yang memiliki kepribadian hangat dan penyayang. Pertama kali masuk kantor, masih jadi anak baru, Bima adalah yang pertama kali menyapaku dengan ramah.
“A, ap, apa..?” Suaranya bergetar.
“Maaf Wan, gue minta maaf. Dari dulu gue udah cinta sama Bima, sejak pertama kita bertemu. Lu terlalu sempurna buat gue Wan. Cewek-cewek cantik di luar sana sedang mengantri buat lu, kenapa lu malah pengen nikah sama gue yang biasa-biasa aja?”
Bima sudah melamarku dua minggu yang lalu, dan aku sudah menerimanya. Tidak seperti Awan, selama ini Bima selalu ada untukku. Bahkan yang pertama kali datang untuk menengok keadaanku pertama kali saat kejadian memalukan itu adalah Bima, bukan Awan. Bima datang menghiburku. Aku melihat Awan menggeleng beberapa kali, Awan masih sulit mempercayai pengakuanku, aku bisa melihat kesedihan di matanya.
“Maafin gue Wan.” Aku menelan ludah. Aku melihat Awan hanya terdiam tak merespon. Ia memalingkan wajahnya. Sebenarnya aku ingin memastikan Awan tidak marah padaku.

***
Awan:
Jelas aku marah mendengarnya. “Maaf, Awan. Tapi, gue cintanya sama Bima.” Bagaimana mungkin dia bisa berkata semudah itu. Ini sama halnya dia sedang menusuk jantungku dengan sembilu, sakit sekali. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyerang di bawah cerahnya angkasa malam ini. Bintang-bintang seperti sedang tertawa mengejekku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jawaban Langit seperti ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku sudah yakin akan membawa Langit tinggal di bawah atap Andalusia ini. Lalu apa arti perhatian Langit padaku selama ini? Harusnya aku memang sadar kalau Langit memang perhatian pada kami semua, tidak hanya pada diriku. Kecemburuanku pada Bima memang tidak salah. Dan Bima sudah lebih dulu melamarnya.

***
                Hari ini…
“Saya terima nikah dan kawinnya Langit Andalusiana bin Farhan Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat Sholat dibayar tunai.” Sebenarnya suara Bima sahabatku itu masih bergemuruh seperti petir di gendang telingaku. Tapi, aku tetap berusaha tersenyum.
“Bagaimana? Sah?” Suara Penghulu terdengar kemudian, aku bahkan tak sanggup mengatakan “Sah”, lidahku teramat kelu. Aku melihat air mata di wajah gadis yang amat kucintai tapi ternyata tidak mencintaiku mengkristal bagai embun bening bergulir dari sudut matanya. Aku tahu ia menangis terharu. Ia bahagia, dan aku juga harus bahagia melihatnya. Bima memang sahabat terbaikku. Dan dia pantas mendapatkan bidadari kami. Setelah dua bulan lamanya aku menelah pahit rasa sakit hatiku, sekarang aku sudah ikhlas dan aku menghadiahkan rumahku sebagai kado untuk mereka. Sebenarnya bukan hadiah, tapi aku memaksa mereka untuk membelinya dariku, dengan harga seberapapun mereka sanggup membayarnya, karena aku tahu mereka belum memiliki rumah. Aku pun kembali tinggal dengan kedua orang tuaku yang juga harus rela dengan keputusan Langit. Kamar yang belum pernah dilihat Langit di lantai atas itu adalah kado untuk mereka. Di dalam kamar itu, ku temple banyak sekali gambar sketsa wajah Langit dalam bingkai dengan bermacam ukuran. Kamar yang ku desain khusus untuknya.
***

Langit:
Aku sudah berada di kamar hadiah darinya sekarang, bersama suamiku, Bima Sakti Kencana. Suami yang sangat kucintai dan mempercayaiku sepenuhnya. Dia duduk disampingku yang sedang menulis kisah ini di blog pribadiku sambil membaca blog pribadinya yang sekarang sudah tinggal dan bekerja di kota impiannnya, ia menyebutnya “kota romantis” bertolak belakang dengan sifatnya yang sama sekali tidak romantis, namanya Kota Ronda di Spanyol. Kota tua yang terletak di daerah pegunungan Serrania Ronda de itu dikelilingi tebing-tebing curam seperti dalam cerita film animasi, dibangun pada abad ke-18, sebelah barat laut Provinsi Malaga. Begitu cerita yang dia tuliskan diblognya yang kami baca. Aku dan Bima saling pandang ketika melihat fotonya bersama seorang gadis cantik berjilbab dengan latar bangunan seperti Masjid. Caption foto itu ditulis, with Wulan (teman dari Indonesia) at Gereja Saint Mary, dulunya adalah Masjid Arab. Kami pun sama-sama mendoakan semoga mereka berjodoh.
                Aku menutup kisah di postingan blogku dengan pesan kecil dibawahnya.
NB: Buat kalian yang masih tinggal serumah tanpa ada ikatan apa pun, segeralah mengambil keputusan untuk pindah atau menikah. Cukuplah kami yang menerima gunjingan dan sanksi adat. Malu sekali rasanya, malu pada keluarga, pada teman, dan pada Tuhan. Jangan menunggu pak RT datang ke rumah kalian atau warga yang langsung menyerbu tempat tinggal kalian. Kalau pun lingkungan tidak ada yang peduli. Peduli lah pada diri kalian masing-masing. Tidak ada yang bisa memastikan apakah orang yang tinggal bersama kalian sekarang akan jadi suami/istri kalian atau tidak, hanya Tuhan yang tahu, belajarlah dari kisah ini.
                Aku menyalin Link alamat blog Awan dibawahnya. Lalu, kuklik “perbarui”. Sesaat kemudian, Aku membuka kembali blog Awan, dia menyalin pesan yang kutulis itu dibagian bawah laman blog kisah kami, dan dia me-link alamat blogku dibawahnya. Aku dan suamiku saling pandang dan tersenyum.

THE END


No comments: