Sunday, April 7, 2013

Editan Cerpen sebelumnya "Badgirl itu Humairah"



Kesan pertama


“KAMU???!” keduanya berujar hampir bersamaan. 
            Untuk yang entah ke berapa kalinya di dunia ini, ungkapan bahwa Dunia hanya selebar daun kelor terbukti lagi. Aira tentu tidak lupa dengan pria menyebalkan itu. Orang yang dulu pernah jadi lawan duet dalam perjalanan karirnya sebagai badgirl. Dan sekarang dia harus mewawancarainya, itu berarti ia harus berbaik-baik padanya, dan sang menejer ini juga yang ternyata ditunggunya sejak tadi pagi, hingga baru bisa ditemui sesore ini. Menyebalkan bukan? ‘Oh mai God.. mimpi apa aku semalam? apakah aku salah baca doa keluar rumah tadi?’ Aira membatin.
Kalimat yang terakhir itu bohong besar. Apalagi tentang doa itu, ia sedang berdusta pemirsa. Doanya justru harus makin dimantapkan. Aira bukannya tidak senang bin bahagia bertemu setan ganteng ini lagi. Setelah pertemuan pertamanya di Toko Buku itu, setan ganteng ini terus saja menghantuinya, nggak pagi, nggak siang, nggak malam, nggak lagi di kantor, di kos, di pasar, di jalan, sebelum tidur, bangun tidur, lagi ngaca, lagi gosok gigi, bahkan lagi sholat pun setan ini selalu datang menggodanya, menari-nari di otaknya sampai-sampai terkadang dia lupa sudah tahiyyat awal atau belum, parah kan?

Tak ayal pertemuan itu menjadi momen terindah yang sulit dilupakan gadis berperawakan kurus, tidak tinggi, tidak juga pendek, dan tidak imut ini. Semenjak itu, Aira suka tak sadar mampir di Toko Buku dekat kantornya itu, meskipun tak ada rencana beli buku. Kalau sudah demikian Ia hanya membongkar-bongkar, baca, nanya buku ini-buku itu ke pramuniaga, muter-muter sampai berjam-jam di sana. Tapi, ujung-ujungnya tak ada juga yang dibeli, yang ditunggu pun tak kunjung menampakkan batang kaki, eh batang hidung maksudnya. Jika sudah lelah menunggu, dengan wajah tak berdosa ia melenggang keluar toko diantar dengan tatapan jengkel pramuniaga yang direpotkannya tadi. Selalu saja.
Aira sangat berharap bertemu dengan sosok asli sang setan itu lagi, entah nanti dia mau cari masalah kayak apa lagi. Mungkin pura-pura jatuhin buku, atau pura-pura jinjit ngambil buku di rak yang tinggi biar bisa diambilin. Atau mungkin pura-pura rebutan buku yang sama, yang tinggal satu kayak di sinetron-sinetron. Apapun itu, yang jelas sekarang judulnya adalah pura-pura atau ekting, tidak orisinil lagi kayak dulu.

☺☻☺

Penjaga Kasir itu terkejut dan kebingungan melihat dua pelanggan di depannya sedang memperebutkan sesuatu. Bukan, bukan memperebutkan buku yang sisa satu, tapi berebut lebih dulu bayar di Kasir. Keduanya dalam waktu bersamaan berdiri di depan Kasir dan tidak ada yang mau kalah, saling mempertahankan berada di antrian pertama. Tidak peduli beberapa mata pengunjung menatap ke arah mereka.
Dalam beberapa waktu terakhir, Aira si gadis desa tengah bertekad kuat ingin jadi Badgirl, menjadi cewek yang lebih berani, bahkan lebih disegani dan ditakuti. Aira pun mengambil kesempatan ini untuk menguji mentalnya. Aira yang selama ini penurut dan lebih suka mengalah (baca: takut), kini bertekad ingin berubah menjadi orang yang lebih berani mempertahankan pendapatnya selama itu benar. Lawannya kali ini adalah seorang pria berkemeja kantoran. Sayang sekali, bukan melawan preman pasar atau mafia.
Pria yang terlihat terburu-buru itu hanya membeli satu buku, sedangkan Aira memborong hampir penuh tas belanjaannya. Dari materi yang berat hingga yang ringan seperti komik, dan tidak ketinggalan buku resep masakan.
“Saya duluan mbak, satu doang nih.” Pria itu menyodorkan bukunya pada Kasir yang terlihat tidak enak juga sama Aira. Tadinya pria itu tidak ingin cari masalah, ia ingin menghargai adat internasional Ladies First. Tapi, demi melihat banyaknya belanjaan Aira, tentu saja ia keberatan jika harus antri di belakangnya.
“Wahh.. ngantri dong, Mas..!” Aira menepis buku yang disodorkan pria itu ke penjaga kasir. Sekilas pria itu terlihat berperangai sombong, dingin, dan egois. Setidaknya itulah first impression Aira. Tipe orang seperti inilah yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Batinnya.
Pria itu tidak menanggapi Aira. “Mbak, mana yang ngantri duluan? Saya atau dia?” ia bertanya pada penjaga Kasir.
            “Aa, a, eh…? “ penjaga kasir itu terlihat bingung.
            “Saya kan mbak, iya kan?!” Aira ngotot.
            “Ck,” Pria yang berpenampilan necis itu berdecak kesal, ia menoleh ke Aira. “Mbak..! belanjaanmu itu banyak, dan saya lagi terburu-buru. So, Please!” ujarnya sedikit emosi. Tapi, tunggu, lihatlah si Aira! Tiba-tiba ia merasakan desiran angin yang entah datang dari mana menyibak wajah dan rambut berponinya. Gila!! Nih setan cakep bangeeet.. Rambutnya agak cepak, hidungnya mancung, matanya indah, alisnya agak tebal rapi, kulitnya putih bersih, sekitar lima belas senti lebih tinggi dari aku, dan wanginya… sunkist. Perfect! Tuhan, kenapa aku baru sadar? Batin Aira yang hanya dalam waktu kurang dari sepuluh detik sudah meneliti begitu banyak.
“Gak bisa, gak bisa!” sanggah Aira tak sadar, kepalanya geleng-geleng, sebenarnya Aira sedang berbicara dengan dirinya sendiri, gak bisa, gak bisa naksir dengan setan sombong seperti ini. Pria itu emosi, pikirnya itu sanggahan untuk dirinya.
“Ssh, yaa Tuhan..!!!” Pria itu membanting bukunya di meja kasir. Aira dan petugas Kasir kaget.
“Maaf Mbak, Mas, sudah, sudah… Mas-nya biar sama teman saya, Mbak-nya sini, biar sama saya aja, silakan mbak..” Penjaga Kasir itu mencoba memberi solusi sebelum ada yang mengeluarkan serangan maut dan tokonya berubah jadi arena gladiator, kalau di film kartun si Aira akan berubah pake baju silat, kepala diikat, dan pria itu memakai baju kebangsawanan sang Pangeran, dua kasir tadi jadi dayangnya menonton si Aira yang mengeluarkan jurus-jurusnya, “hiyaaa…hiyaaa…” alias berantem sendiri, karena yang diajak berantem juga nggak peduli. Bukannya terlihat keren, malah jadi nyebelin. Stempel Badgirl, FAILED!

☺☻☺
“Saya Aira dari Harian Pagi,” Aira mendatangi wanita bagian front office yang berdiri menyambutnya di Lobby gedung itu sambil menunjukkan kartu Pers yang tergantung di lehernya.
            “Ada yang bisa saya bantu mbak Aira?” Tanya wanita itu ramah.
            “Saya ingin menemui kepala bagian Humas, saya harus kemana ya Bu?”
            “Oh, Humas? Bisa langsung ke lantai tiga aja Mbak,” ujar wanita itu tersenyum sambil menunjuk ke arah Lift di sisi kiri Lobby. Aira melirik tag-name wanita itu tertulis Liza Fahrani – Front Officer.
            “Baiklah, terima kasih bu Liza.” Aira langsung menuju lift dan memencet tombol sehingga lift terbuka, ia masuk dan menuju lantai tiga.
Begitu pintu lift berhenti di lantai tiga, Aira menghampiri seorang wanita yang sedang duduk dibalik kubikel dengan tulisan Public Relations. Ia menyapa wanita yang kira-kira umurnya sebaya dengan dirinya itu dan menanyakan siapa orang yang bisa ia wawancarai terkait Sponsor. Dengan wajah yang tidak terlalu ramah seperti di bagian front office tadi wanita itu menunjuk ke sebuah ruangan yang tertulis Manager Assistant. Belum sempat masuk ke ruangan itu, seorang wanita sebaya lagi yang letak mejanya tepat di samping pintu ruangan itu berdiri menyambutnya. Aira tau itu sekretarisnya.
            “Ada yang bisa saya bantu, Mbak.”
            “Saya Aira, dari Harian Pagi mau bertemu pak Gunawan,” Aira mendapatkan nama itu atas informasi dari wanita dibalik kubikel sebelumnya.
            “Mbak sudah buat janji?”
            “Belum.”
            “Baik, mohon tunggu sebentar.” Lalu Sekretaris itu mengangkat ganggang telepon di ujung mejanya. “Pak, ini ada Mbak Aira dari Harian Pagi ingin bertemu bapak,” “iya, baik pak.” Diletakkannya ganggang telepon itu. “Silakan Mbak, kebetulan Pak Gunawan ada.” Wanita itu membukakan pintu untuk Aira. Aira lega ternyata tidak terlalu sulit. Ia tidak harus membuat janji. Akan tetapi kesenangan Aira tidak bertahan lama, setelah masuk ke ruangan itu dan berbicara sebentar dengan sang asisten menejer, orang yang bernama pak Gunawan itu menyarankan Aira agar langsung menemui Menejernya atau atasannya atau sang Kepala Bagian Humas untuk mendapatkan informasi lebih valid. “Biasaa… dioper lagi deh!” batinnya. Aira sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, orang yang didatangi menyarankan ke orang lain, orang lain itu merekomendasikan orang yang lainnya lagi. Orang-orang di negeri ini memang banyak yang tidak ingin diekspose, mereka semua low profile, atau lebih tepatnya malas menjawab pertanyaan wartawan. Tapi tidak sedikit juga yang justru sangat menginginkan publikasi diri, dan dengan senang hati menerima tawaran dijadikan narasumber, bahkan ada yang mencari wartawan dan sengaja mencari sensasi. Akhirnya dengan langkah yang masih bersemangat ia keluar ruangan dan menghampiri sekretaris tadi untuk menanyakan ruangan Sang Menejer.
            Saat ini dia sudah berada di ruangan lain, berhadapan dengan Sekretaris Manager yang jutek abis. Saking juteknya, wanita yang sebenarnya berumur hampir sama dengan sekretaris sebelumnya tadi, wajahnya jadi terlihat lebih tua sepuluh tahun. Dari apa yang disampaikan oleh sekretaris jutek itu, sepertinya sang Manager bukan orang yang mudah ditemui, sekarang saja sedang meeting di luar, dan kemungkinan akan kembali setelah makan siang, kemungkinan.
            Setelah meminta sekretaris jutek itu untuk membuatkan janji dengan bosnya yang kemungkinan kembali setelah makan siang, ia memutuskan untuk menunggu saja karena yang bersangkutan infonya belum ada janji lain untuk siang ini. di kursi ruang tunggu Aira menyandarkan punggungnya, menarik napas lega, lalu mengeluarkan notebook kecil 10 inci dari dalam ranselnya. Ia memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan sebagian deadline.
            Satu jam, dua jam, tiga jam, ide menulisnya telah habis, atau lebih tepatnya ia sudah merasa lelah mengetik, orang yang ditunggu tak kunjung datang.
“Belum, nanti kalau beliau sudah datang pasti saya beri tahu!” Itu yang kelima kalinya Aira mendatangi untuk konfirmasi ke sekretaris jutek itu. Dengan perasaan pasrah ia kembali ke ruang tunggu. Ia duduk kembali di kursi dan hendak melanjutkan mengetik, tapi dia sudah tidak berselera, perasaannya gelisah menunggu. Tepat pukul 2 Siang, masih gelisah ia duduk dan menyandarkan punggungnya, tak lama matanya terpejam, sedetik kemudian cepat-cepat ia terbangun, beberapa kali ia mencoba menahan rasa kantuknya. Tapi, ternyata tidak bisa, dan akhirnya lama-lama tertidur juga.
☺☻☺
            Kurang lebih selama tiga puluh menit ia tertidur di kursi, ia terbangun ketika mendengar ponselnya berdering, sms dari Korlip (Koordinator Liputan) yang menanyakan perkembangan beritanya. Segera ia bergegas ke meja Sekretaris tadi.
“Tadi sih udah datang, tapi langsung pergi lagi.” Masih jutek.
“Tapi mbak udah bilang saya yang nunggu?”
“Udah,” makin jutek.
Sebenarnya ini orang kenapa sih? Pe em es paling ya? Batin Aira. “Lalu?” Aira sedikit emosi, tapi tetap tersenyum, mengingat posisinya adalah dia yang butuh. Ya, itu memang yang harus dilakukan seseorang dengan profesi wartawan.
“Lalu? Lalu yaa terserah anda mau menunggu lagi, atau membuat janji di lain waktu.”
‘Oh, my God..’ pekiknya dalam hati. “Baiklah, saya tunggu saja.” Lirihnya, hanya dibalas anggukan kepala dari orang paling jutek yang pernah ia temui di dunia, “Tapi, nanti kalo orangnya datang, tolong langsung kasi tau ya Mbak.” Lanjutnya. “Eh, atau saya tunggu di sini aja?”
“Anda ga percaya sama saya? Ntar pasti saya kasih tau. Tunggu di ruang tunggu aja.” Wanita itu melanjutkan pekerjaannya tanpa menghiraukannya, ia kembali ke ruang tunggu dengan langkah tak bersemangat.
☺☻☺
            Tepat pukul setengah lima sore, sebagian karyawan sudah ada yang pulang, masih ada setengah jam sebelum semuanya pulang kecuali OB dan kantor tutup. Bersamaan dengan itu, sekretaris jutek tadi mendatanginya. Ini berarti ada dua kemungkinan, kemungkinan yang ditunggu sudah datang atau kemungkinan bakal diusir. Ternyata kemungkinan kedua tidak berlaku. Si Sekretaris Jutek mengantarnya masuk ke ruangan sang Menejer. Belum sempat mengenalkan Aira ke bosnya, si Sekretaris heran melihat perubahan raut wajah atasannya itu.
☺☻☺
“Oke, baiklah, saya tau kamu masih marah tentang kejadian itu. Sekarang kamu mau ngapain?” Pria itu terlihat santai sambil menyeruput segelas kopi di mejanya. Sekarang mereka sudah duduk di kursi tamu dalam ruang kerja yang menurut Aira sangat luas. 
“Maaf bapak Erry Angga Prayudha yang terhormat, sepertinya anda terlalu percaya diri. Untuk apa saya menghabiskan energi harus marah pada anda?” Aira menatap tajam dan menekan suaranya dengan senyum yang dipaksakan. Emosi bohongan.
            “Oh, kamu nggak marah? Tapi saya yang masih marah dan nggak bisa terima. Panggil saya Rian.” Raut wajah Rian datar.
            Aira sedikit terkejut dengan jawaban Rian. “Duuh, kenapa aku mesti bikin masalah sih? kan lagi mau wawancara!” Aira merutuk dalam hati menyesali ucapannya tadi. 
“Tu..tunggu! Ri..an??” Aira spontan memeriksa catatannya. “dari mana hubungannya?” ia setengah berbisik sambil meneliti kembali nama narasumbernya. Panik, takut salah nama. Berharap emang salah aja sih sebenarnya, biar nggak mewawancara orang di depannya ini.
“Coba diliat baik-baik nama itu? Anda tidak salah orang kok.” Aira nyengir kecewa, melirik Rian sekilas, ternyata Rian mendengar komentarnya. Dilihatnya kembali nama itu. Erry Angga Prayudha, sekilas nggak ada hubungannya kan sama Rian?? Iya, mana ada nyambungnya? Kalo Erry atau Angga atau Yudha sih bisa. Tapi, Rian? dari mana nyambungnya? Ck,ck, Anak jaman sekarang emang banyak tingkah, nama bagus-bagus dikasih orang tuanya, sampe sembeleh sapi, malah diganti-ganti seenak perut. Aira mencerca dalam hati. Eh, tunggu bentar! Matanya melotot, diperhatikannya lagi nama itu baik-baik, ahaa! Ia mengerti sekarang. Dua huruf terakhir di kata pertama dan dua huruf pertama di kata kedua. Yup! erRY ANgga. Maksa banget nggak sih? tapi, kok bener orang ini? Booosss.. bisa ganti narasumber nggaaakk?? batin Aira. Ia pura-pura manggut tanpa komentar.
“Sekarang, apa yang bisa saya bantu, mbak… ‘Ufairah Dzihni A.?” tanya Rian melirik kartu pers yang tergantung di leher Aira
“Oh iya, saya sampai lupa mengenalkan diri, nama saya ‘Ufairah Dzihni Amalia, panggil saja Aira. Saya dari rubrik Sport Harian Pagi. Saya ingin konfirmasi beberapa hal terkait Pekan Olahraga Nasional yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi.” Aira melihat perubahan mimik wajah Rian, antusias. Rian merubah posisi duduknya.
“Hm, tapi saya gak yakin kamu wartawan?”
Apaahh??” Aira berteriak tapi dalam hati. Sama sekali diluar dugaan Aira “Ini kartu pers saya, anda boleh periksa.” Aira mengeluarkan kartu pers dari gantungan lehernya.
“Oh, nggak perlu, nggak perlu. Bisa aja kan kamu buat kartu pers palsu buat nyari-nyari alasan biar bisa menemui saya?!”
“Whattt??” Aira melotot heran, tak habis pikir.
“Anda tidak membawa surat tugas dari Harian Pagi kan?”
“Wartawan tidak memerlukan surat tugas Pak, karena kami punya kartu pers ini.”
“Saya masih nggak yakin. Mana? Saya bisa bicara dengan atasan anda agar saya bisa percaya sepenuhnya?”
Oh mai God.. ini orang bener-bener cari perkara! Kalau saja lagi nggak butuh, udah kutonjok mukanya walopun ganteng, biar gantengnya ilang sekalian! Lagi-lagi Aira hanya bisa merutuk dalam hati sambil mencari nama Korlip di daftar kontak ponselnya. Lalu, menghubungi nomor itu.
“Halo, ini nasumber saya mau bicara dengan anda pak.” Aira berbicara di telpon lalu menyerahkan ponselnya ke Rian.
Setelah berbicara dengan Korlip Aira untuk meyakinkan dirinya, Rian tidak langsung mengembalikan ponselnya, ia mengetik beberapa tuuts, lalu ponsel di saku jasnya berbunyi. Kening Aira bertaut heran.
“Nih, lain kali kalo mau wawancara tinggal hubungi nomor itu.” Ujar Rian cuek.
“Hooh.. Bilang aja mau minta nomor hape!?” Bisik Aira dalam hati, ia masih harus bersikap baik. “Baiklah, terima kasih. Sekarang anda sudah percaya?”
“Oke, silakan, mau tanya apa?”
“Berdasarkan Informasi yang kami terima, Perusahaan properti ini sebagai salah satu perusahaan sponsor. Oh iya, mmm.. kira-kira bapak menyediakan waktu berapa lama untuk wawancara?” Aira sambil mengeluarkan tape-recorder dari ranselnya.
“Sampai tidak ada lagi yang ingin ditanyakan.” Sang Executive Manager PR itu menjawab santai, Aira mengangguk mantap dan memulai wawancaranya. Wawancara itu berlanjut dalam situasi yang benar-benar formal. Untuk hal ini, Rian harus mengakui sikap professional wartawan yang ada di depannya sekarang.
Di akhir jawaban dari pertanyaan terakhir, masih dengan bahasa formal Aira mengucapkan terima kasih atas kesediaan narasumbernya meluangkan waktu. Tanpa banyak basa-basi lagi Aira undur diri untuk pulang. Tapi, ditahan oleh Rian.
“Umm,, kita bisa berteman kan?” Ucap Rian sebelum Aira pergi.
“Bisa, bisa banget.. kenapa nggak sekalian nanya, kita bisa nikah kan? Ya Salam… aku mikir apaan ssih!?” untunglah Aira tidak sampai benar-benar mengatakannya. “Oh, why not? Kita nggak punya masalah kan?” jawab Aira datar padahal dari tadi jantungnya lompat-lompat tak karuan.
Rian membukakan pintu “Ransel, sepatu kets, celana jeans, kemeja kotak-kotak dilapisi jaket, topi, hm… manis juga, topinya ntar diganti jilbab ya.” Ucapan Rian melambai mengantar kepergian Aira, ia menggeleng tersenyum sendiri. Aira tidak tau kalau tadi siang saat kembali ke kantor sebenarnya Rian sudah akan menemuinya di ruang tunggu. Tapi, Aira ketiduran. Dan begitu melihat wajahnya, ternyata yang menunggunya adalah cewek yang dulu pernah bikin masalah di toko buku itu, Rian sengaja pergi lagi dan membiarkannya menunggu sampai sore.

☺☻☺


No comments: