Kesan pertama
“KAMU???!”
keduanya berujar hampir bersamaan.
Untuk yang entah ke berapa kalinya di
dunia ini, ungkapan bahwa Dunia hanya selebar daun kelor terbukti lagi. Aira
tentu tidak lupa dengan pria menyebalkan itu. Orang yang dulu pernah jadi lawan
duet dalam perjalanan karirnya sebagai badgirl.
Dan sekarang dia harus mewawancarainya, itu berarti ia harus berbaik-baik
padanya, dan sang menejer ini juga yang ternyata ditunggunya sejak tadi pagi,
hingga baru bisa ditemui sesore ini. Menyebalkan bukan? ‘Oh mai God.. mimpi apa aku semalam? apakah aku salah baca doa keluar
rumah tadi?’ Aira membatin.
Kalimat
yang terakhir itu bohong besar. Apalagi tentang doa itu, ia sedang berdusta
pemirsa. Doanya justru harus makin dimantapkan. Aira bukannya tidak senang bin
bahagia bertemu setan ganteng ini lagi. Setelah pertemuan pertamanya di Toko
Buku itu, setan ganteng ini terus saja menghantuinya, nggak pagi, nggak siang,
nggak malam, nggak lagi di kantor, di kos, di pasar, di jalan, sebelum tidur,
bangun tidur, lagi ngaca, lagi gosok gigi, bahkan lagi sholat pun setan ini
selalu datang menggodanya, menari-nari di otaknya sampai-sampai terkadang dia
lupa sudah tahiyyat awal atau belum,
parah kan?
Tak
ayal pertemuan itu menjadi momen terindah yang sulit dilupakan gadis
berperawakan kurus, tidak tinggi, tidak juga pendek, dan tidak imut ini.
Semenjak itu, Aira suka tak sadar mampir di Toko Buku dekat kantornya itu, meskipun
tak ada rencana beli buku. Kalau sudah demikian Ia hanya membongkar-bongkar,
baca, nanya buku ini-buku itu ke pramuniaga, muter-muter sampai berjam-jam di
sana. Tapi, ujung-ujungnya tak ada juga yang dibeli, yang ditunggu pun tak
kunjung menampakkan batang kaki, eh batang hidung maksudnya. Jika sudah lelah
menunggu, dengan wajah tak berdosa ia melenggang keluar toko diantar dengan
tatapan jengkel pramuniaga yang direpotkannya tadi. Selalu saja.
Aira
sangat berharap bertemu dengan sosok asli sang setan itu lagi, entah nanti dia
mau cari masalah kayak apa lagi. Mungkin pura-pura jatuhin buku, atau pura-pura
jinjit ngambil buku di rak yang tinggi biar bisa diambilin. Atau mungkin
pura-pura rebutan buku yang sama, yang tinggal satu kayak di sinetron-sinetron.
Apapun itu, yang jelas sekarang judulnya adalah pura-pura atau ekting, tidak
orisinil lagi kayak dulu.
☺☻☺
Penjaga
Kasir itu terkejut dan kebingungan melihat dua pelanggan di depannya sedang
memperebutkan sesuatu. Bukan, bukan memperebutkan buku yang sisa satu, tapi
berebut lebih dulu bayar di Kasir. Keduanya dalam waktu bersamaan berdiri di
depan Kasir dan tidak ada yang mau kalah, saling mempertahankan berada di
antrian pertama. Tidak peduli beberapa mata pengunjung menatap ke arah mereka.
Dalam
beberapa waktu terakhir, Aira si gadis desa tengah bertekad kuat ingin jadi Badgirl, menjadi cewek yang lebih
berani, bahkan lebih disegani dan ditakuti. Aira pun mengambil kesempatan ini
untuk menguji mentalnya. Aira yang selama ini penurut dan lebih suka mengalah
(baca: takut), kini bertekad ingin berubah menjadi orang yang lebih berani
mempertahankan pendapatnya selama itu benar. Lawannya kali ini adalah seorang
pria berkemeja kantoran. Sayang sekali, bukan melawan preman pasar atau mafia.
Pria
yang terlihat terburu-buru itu hanya membeli satu buku, sedangkan Aira
memborong hampir penuh tas belanjaannya. Dari materi yang berat hingga yang
ringan seperti komik, dan tidak ketinggalan buku resep masakan.
“Saya
duluan mbak, satu doang nih.” Pria itu menyodorkan bukunya pada Kasir yang
terlihat tidak enak juga sama Aira. Tadinya pria itu tidak ingin cari masalah,
ia ingin menghargai adat internasional Ladies
First. Tapi, demi melihat banyaknya belanjaan Aira, tentu saja ia keberatan
jika harus antri di belakangnya.
“Wahh..
ngantri dong, Mas..!” Aira menepis buku yang disodorkan pria itu ke penjaga
kasir. Sekilas pria itu terlihat berperangai sombong, dingin, dan egois.
Setidaknya itulah first impression Aira. Tipe orang seperti inilah yang harus
dilenyapkan dari muka bumi. Batinnya.
Pria
itu tidak menanggapi Aira. “Mbak, mana yang ngantri duluan? Saya atau dia?” ia
bertanya pada penjaga Kasir.
“Aa, a, eh…? “ penjaga kasir itu
terlihat bingung.
“Saya kan mbak, iya kan?!” Aira
ngotot.
“Ck,” Pria yang berpenampilan necis
itu berdecak kesal, ia menoleh ke Aira. “Mbak..! belanjaanmu itu banyak, dan
saya lagi terburu-buru. So, Please!” ujarnya sedikit emosi. Tapi, tunggu,
lihatlah si Aira! Tiba-tiba ia merasakan desiran angin yang entah datang dari
mana menyibak wajah dan rambut berponinya. Gila!! Nih setan cakep bangeeet..
Rambutnya agak cepak, hidungnya mancung, matanya indah, alisnya agak tebal
rapi, kulitnya putih bersih, sekitar lima belas senti lebih tinggi dari aku,
dan wanginya… sunkist. Perfect! Tuhan, kenapa aku baru sadar? Batin Aira yang
hanya dalam waktu kurang dari sepuluh detik sudah meneliti begitu banyak.
“Gak
bisa, gak bisa!” sanggah Aira tak sadar, kepalanya geleng-geleng, sebenarnya
Aira sedang berbicara dengan dirinya sendiri, gak bisa, gak bisa naksir dengan
setan sombong seperti ini. Pria itu emosi, pikirnya itu sanggahan untuk
dirinya.
“Ssh,
yaa Tuhan..!!!” Pria itu membanting bukunya di meja kasir. Aira dan petugas
Kasir kaget.
“Maaf
Mbak, Mas, sudah, sudah… Mas-nya biar sama teman saya, Mbak-nya sini, biar sama
saya aja, silakan mbak..” Penjaga Kasir itu mencoba memberi solusi sebelum ada
yang mengeluarkan serangan maut dan tokonya berubah jadi arena gladiator, kalau
di film kartun si Aira akan berubah pake baju silat, kepala diikat, dan pria
itu memakai baju kebangsawanan sang Pangeran, dua kasir tadi jadi dayangnya
menonton si Aira yang mengeluarkan jurus-jurusnya, “hiyaaa…hiyaaa…” alias berantem sendiri, karena yang diajak berantem
juga nggak peduli. Bukannya terlihat keren, malah jadi nyebelin. Stempel
Badgirl, FAILED!
☺☻☺
“Saya Aira dari Harian Pagi,” Aira
mendatangi wanita bagian front office
yang berdiri menyambutnya di Lobby gedung itu sambil menunjukkan kartu Pers
yang tergantung di lehernya.
“Ada yang
bisa saya bantu mbak Aira?” Tanya wanita itu ramah.
“Saya ingin
menemui kepala bagian Humas, saya harus kemana ya Bu?”
“Oh, Humas?
Bisa langsung ke lantai tiga aja Mbak,” ujar wanita itu tersenyum sambil
menunjuk ke arah Lift di sisi kiri Lobby. Aira melirik tag-name wanita itu
tertulis Liza Fahrani – Front Officer.
“Baiklah,
terima kasih bu Liza.” Aira langsung menuju lift dan memencet tombol sehingga
lift terbuka, ia masuk dan menuju lantai tiga.
Begitu pintu lift berhenti di lantai
tiga, Aira menghampiri seorang wanita yang sedang duduk dibalik kubikel dengan
tulisan Public Relations. Ia menyapa
wanita yang kira-kira umurnya sebaya dengan dirinya itu dan menanyakan siapa
orang yang bisa ia wawancarai terkait Sponsor. Dengan wajah yang tidak terlalu
ramah seperti di bagian front office tadi wanita itu menunjuk ke sebuah ruangan
yang tertulis Manager Assistant.
Belum sempat masuk ke ruangan itu, seorang wanita sebaya lagi yang letak
mejanya tepat di samping pintu ruangan itu berdiri menyambutnya. Aira tau itu
sekretarisnya.
“Ada yang
bisa saya bantu, Mbak.”
“Saya Aira,
dari Harian Pagi mau bertemu pak Gunawan,” Aira mendapatkan nama itu atas
informasi dari wanita dibalik kubikel sebelumnya.
“Mbak sudah
buat janji?”
“Belum.”
“Baik, mohon
tunggu sebentar.” Lalu Sekretaris itu mengangkat ganggang telepon di ujung
mejanya. “Pak, ini ada Mbak Aira dari Harian Pagi ingin bertemu bapak,” “iya,
baik pak.” Diletakkannya ganggang telepon itu. “Silakan Mbak, kebetulan Pak
Gunawan ada.” Wanita itu membukakan pintu untuk Aira. Aira lega ternyata tidak
terlalu sulit. Ia tidak harus membuat janji. Akan tetapi kesenangan Aira tidak
bertahan lama, setelah masuk ke ruangan itu dan berbicara sebentar dengan sang
asisten menejer, orang yang bernama pak Gunawan itu menyarankan Aira agar
langsung menemui Menejernya atau atasannya atau sang Kepala Bagian Humas untuk
mendapatkan informasi lebih valid. “Biasaa… dioper lagi deh!” batinnya. Aira
sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, orang yang didatangi menyarankan
ke orang lain, orang lain itu merekomendasikan orang yang lainnya lagi.
Orang-orang di negeri ini memang banyak yang tidak ingin diekspose, mereka
semua low profile, atau lebih
tepatnya malas menjawab pertanyaan wartawan. Tapi tidak sedikit juga yang justru
sangat menginginkan publikasi diri, dan dengan senang hati menerima tawaran
dijadikan narasumber, bahkan ada yang mencari wartawan dan sengaja mencari
sensasi. Akhirnya dengan langkah yang masih bersemangat ia keluar ruangan dan
menghampiri sekretaris tadi untuk menanyakan ruangan Sang Menejer.
Saat ini dia
sudah berada di ruangan lain, berhadapan dengan Sekretaris Manager yang jutek
abis. Saking juteknya, wanita yang sebenarnya berumur hampir sama dengan
sekretaris sebelumnya tadi, wajahnya jadi terlihat lebih tua sepuluh tahun.
Dari apa yang disampaikan oleh sekretaris jutek itu, sepertinya sang Manager
bukan orang yang mudah ditemui, sekarang saja sedang meeting di luar, dan
kemungkinan akan kembali setelah makan siang, kemungkinan.
Setelah
meminta sekretaris jutek itu untuk membuatkan janji dengan bosnya yang
kemungkinan kembali setelah makan siang, ia memutuskan untuk menunggu saja
karena yang bersangkutan infonya belum ada janji lain untuk siang ini. di kursi
ruang tunggu Aira menyandarkan punggungnya, menarik napas lega, lalu
mengeluarkan notebook kecil 10 inci dari dalam ranselnya. Ia memanfaatkan waktu
untuk menyelesaikan sebagian deadline.
Satu jam,
dua jam, tiga jam, ide menulisnya telah habis, atau lebih tepatnya ia sudah
merasa lelah mengetik, orang yang ditunggu tak kunjung datang.
“Belum, nanti kalau beliau sudah
datang pasti saya beri tahu!” Itu yang kelima kalinya Aira mendatangi untuk
konfirmasi ke sekretaris jutek itu. Dengan perasaan pasrah ia kembali ke ruang
tunggu. Ia duduk kembali di kursi dan hendak melanjutkan mengetik, tapi dia
sudah tidak berselera, perasaannya gelisah menunggu. Tepat pukul 2 Siang, masih
gelisah ia duduk dan menyandarkan punggungnya, tak lama matanya terpejam,
sedetik kemudian cepat-cepat ia terbangun, beberapa kali ia mencoba menahan
rasa kantuknya. Tapi, ternyata tidak bisa, dan akhirnya lama-lama tertidur
juga.
☺☻☺
Kurang lebih
selama tiga puluh menit ia tertidur di kursi, ia terbangun ketika mendengar
ponselnya berdering, sms dari Korlip (Koordinator Liputan) yang menanyakan
perkembangan beritanya. Segera ia bergegas ke meja Sekretaris tadi.
“Tadi sih udah datang, tapi langsung
pergi lagi.” Masih jutek.
“Tapi mbak udah bilang saya yang
nunggu?”
“Udah,” makin jutek.
Sebenarnya ini orang kenapa sih? Pe em es paling ya? Batin Aira. “Lalu?” Aira sedikit
emosi, tapi tetap tersenyum, mengingat posisinya adalah dia yang butuh. Ya, itu
memang yang harus dilakukan seseorang dengan profesi wartawan.
“Lalu? Lalu yaa terserah anda mau
menunggu lagi, atau membuat janji di lain waktu.”
‘Oh, my God..’ pekiknya
dalam hati. “Baiklah, saya tunggu saja.” Lirihnya, hanya dibalas anggukan
kepala dari orang paling jutek yang pernah ia temui di dunia, “Tapi, nanti kalo
orangnya datang, tolong langsung kasi tau ya Mbak.” Lanjutnya. “Eh, atau saya
tunggu di sini aja?”
“Anda ga percaya sama saya? Ntar
pasti saya kasih tau. Tunggu di ruang tunggu aja.” Wanita itu melanjutkan
pekerjaannya tanpa menghiraukannya, ia kembali ke ruang tunggu dengan langkah tak
bersemangat.
☺☻☺
Tepat pukul setengah lima sore,
sebagian karyawan sudah ada yang pulang, masih ada setengah jam sebelum
semuanya pulang kecuali OB dan kantor tutup. Bersamaan dengan itu, sekretaris
jutek tadi mendatanginya. Ini berarti ada dua kemungkinan, kemungkinan yang
ditunggu sudah datang atau kemungkinan bakal diusir. Ternyata kemungkinan kedua
tidak berlaku. Si Sekretaris Jutek mengantarnya masuk ke ruangan sang Menejer.
Belum sempat mengenalkan Aira ke bosnya, si Sekretaris heran melihat perubahan
raut wajah atasannya itu.
☺☻☺
“Oke,
baiklah, saya tau kamu masih marah tentang kejadian itu. Sekarang kamu mau
ngapain?” Pria itu terlihat santai sambil menyeruput segelas kopi di mejanya.
Sekarang mereka sudah duduk di kursi tamu dalam ruang kerja yang menurut Aira
sangat luas.
“Maaf
bapak Erry Angga Prayudha yang terhormat, sepertinya anda terlalu percaya diri.
Untuk apa saya menghabiskan energi harus marah pada anda?” Aira menatap tajam
dan menekan suaranya dengan senyum yang dipaksakan. Emosi bohongan.
“Oh, kamu nggak marah? Tapi saya yang
masih marah dan nggak bisa terima. Panggil saya Rian.” Raut wajah Rian datar.
Aira sedikit terkejut dengan jawaban
Rian. “Duuh, kenapa aku mesti bikin
masalah sih? kan lagi mau wawancara!” Aira merutuk dalam hati menyesali
ucapannya tadi.
“Tu..tunggu!
Ri..an??” Aira spontan memeriksa catatannya. “dari mana hubungannya?” ia
setengah berbisik sambil meneliti kembali nama narasumbernya. Panik, takut
salah nama. Berharap emang salah aja sih sebenarnya, biar nggak mewawancara
orang di depannya ini.
“Coba
diliat baik-baik nama itu? Anda tidak salah orang kok.” Aira nyengir kecewa,
melirik Rian sekilas, ternyata Rian mendengar komentarnya. Dilihatnya kembali
nama itu. Erry Angga Prayudha, sekilas
nggak ada hubungannya kan sama Rian?? Iya, mana ada nyambungnya? Kalo Erry atau
Angga atau Yudha sih bisa. Tapi, Rian? dari mana nyambungnya? Ck,ck, Anak jaman
sekarang emang banyak tingkah, nama bagus-bagus dikasih orang tuanya, sampe
sembeleh sapi, malah diganti-ganti seenak perut. Aira mencerca dalam hati. Eh,
tunggu bentar! Matanya melotot, diperhatikannya lagi nama itu baik-baik, ahaa!
Ia mengerti sekarang. Dua huruf terakhir di kata pertama dan dua huruf pertama
di kata kedua. Yup! erRY ANgga. Maksa banget nggak sih? tapi, kok bener orang
ini? Booosss.. bisa ganti narasumber nggaaakk?? batin Aira. Ia pura-pura
manggut tanpa komentar.
“Sekarang,
apa yang bisa saya bantu, mbak… ‘Ufairah Dzihni A.?” tanya Rian melirik kartu pers
yang tergantung di leher Aira
“Oh
iya, saya sampai lupa mengenalkan diri, nama saya ‘Ufairah Dzihni Amalia, panggil
saja Aira. Saya dari rubrik Sport Harian Pagi. Saya ingin konfirmasi beberapa
hal terkait Pekan Olahraga Nasional yang akan diselenggarakan beberapa hari
lagi.” Aira melihat perubahan mimik wajah Rian, antusias. Rian merubah posisi
duduknya.
“Hm,
tapi saya gak yakin kamu wartawan?”
“Apaahh??” Aira berteriak tapi dalam
hati. Sama sekali diluar dugaan Aira “Ini kartu pers saya, anda boleh periksa.”
Aira mengeluarkan kartu pers dari gantungan lehernya.
“Oh,
nggak perlu, nggak perlu. Bisa aja kan kamu buat kartu pers palsu buat
nyari-nyari alasan biar bisa menemui saya?!”
“Whattt??” Aira melotot heran, tak habis pikir.
“Anda
tidak membawa surat tugas dari Harian Pagi kan?”
“Wartawan
tidak memerlukan surat tugas Pak, karena kami punya kartu pers ini.”
“Saya
masih nggak yakin. Mana? Saya bisa bicara dengan atasan anda agar saya bisa
percaya sepenuhnya?”
Oh mai
God.. ini orang bener-bener cari perkara! Kalau saja lagi nggak butuh, udah
kutonjok mukanya walopun ganteng, biar gantengnya ilang sekalian! Lagi-lagi Aira hanya bisa merutuk dalam hati
sambil mencari nama Korlip di daftar kontak ponselnya. Lalu, menghubungi nomor
itu.
“Halo, ini nasumber saya mau bicara dengan anda
pak.” Aira berbicara di telpon lalu menyerahkan ponselnya ke Rian.
Setelah berbicara dengan Korlip Aira untuk
meyakinkan dirinya, Rian tidak langsung mengembalikan ponselnya, ia mengetik
beberapa tuuts, lalu ponsel di saku jasnya berbunyi. Kening Aira bertaut heran.
“Nih, lain kali kalo mau wawancara tinggal hubungi
nomor itu.” Ujar Rian cuek.
“Hooh.. Bilang
aja mau minta nomor hape!?” Bisik
Aira dalam hati, ia masih harus bersikap baik. “Baiklah, terima kasih. Sekarang
anda sudah percaya?”
“Oke, silakan, mau tanya apa?”
“Berdasarkan
Informasi yang kami terima, Perusahaan properti ini sebagai salah satu
perusahaan sponsor. Oh iya, mmm.. kira-kira bapak menyediakan waktu berapa lama
untuk wawancara?” Aira sambil mengeluarkan tape-recorder dari ranselnya.
“Sampai
tidak ada lagi yang ingin ditanyakan.” Sang Executive Manager PR itu menjawab
santai, Aira mengangguk mantap dan memulai wawancaranya. Wawancara itu
berlanjut dalam situasi yang benar-benar formal. Untuk hal ini, Rian harus
mengakui sikap professional wartawan yang ada di depannya sekarang.
Di
akhir jawaban dari pertanyaan terakhir, masih dengan bahasa formal Aira
mengucapkan terima kasih atas kesediaan narasumbernya meluangkan waktu. Tanpa
banyak basa-basi lagi Aira undur diri untuk pulang. Tapi, ditahan oleh Rian.
“Umm,,
kita bisa berteman kan?” Ucap Rian sebelum Aira pergi.
“Bisa, bisa banget.. kenapa nggak
sekalian nanya, kita bisa nikah kan? Ya Salam… aku mikir apaan ssih!?” untunglah Aira tidak sampai benar-benar
mengatakannya. “Oh, why not? Kita nggak punya masalah kan?” jawab Aira datar
padahal dari tadi jantungnya lompat-lompat tak karuan.
Rian
membukakan pintu “Ransel, sepatu kets, celana
jeans, kemeja kotak-kotak dilapisi jaket, topi, hm… manis juga, topinya ntar diganti
jilbab ya.” Ucapan Rian melambai mengantar kepergian Aira, ia menggeleng
tersenyum sendiri. Aira tidak tau kalau tadi siang saat kembali ke kantor sebenarnya
Rian sudah akan menemuinya di ruang tunggu. Tapi, Aira ketiduran. Dan begitu
melihat wajahnya, ternyata yang menunggunya adalah cewek yang dulu pernah bikin
masalah di toko buku itu, Rian sengaja pergi lagi dan membiarkannya menunggu
sampai sore.
☺☻☺

No comments:
Post a Comment