Tuesday, January 16, 2018

Berhala Subsidi

"Pupu ru'u masyarakat ke. Ne'em da mbei!" (Pupuk buat masyarakat, nih. Kok nggak dikasih!) Kalimat itu keluar dari seorang pemuda yang tidak saya kenal datang melemparkan 3 lembar rupiah bernilai 2 sak pupuk yang dia paksa ambil langsung dari buruh yang sedang sibuk menurunkan pupuk urea dari truk ke dalam toko. Saya tidak bisa menerima uang itu selain karena saya tidak mengetahui apakah namanya ada dalam daftar gapoktan atau tidak, juga karena caranya yang kasar, juga karena memang saya tidak diizinkan untuk menjual pupuk urea ini sementara pemilik tokonya (Bapak/Ibu.red) masih di sekolah.

Sebenarnya saya ingin membalas dan mendebat kalimat yang dia ucapkan tadi. Tapi, pemuda itu tergesa-gesa setelah 2 sak pupuk terangkut di atas sepeda motornya. Mungkin tanaman (entah bawang atau padi) di sawahnya sudah "kelaparan" harus segera diberi pupuk. Saya berharap dia benar-benar anak petani yang sedang membantu orangtuanya atau seorang suami yang menafkahi keluarganya dari hasil pertanian. Belakangan saya mengetahui kalau yang tadi itu ternyata preman. Itu kata warga lain yang sudah mengerubungi saya, mengerubungi pupuk maksud saya. Dan laporan dari buruh dan sopir yang bawa pupuk juga ternyata komplotannya tadi sudah menghadang truk itu di ujung desa. Mengancam untuk menurunkan 2 sak pupuk. Tapi, juga mereka memberikan uang. Ia mereka membayar harga 2 sak pupuk itu. Sungguh mulia, kan, mereka? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya membeli pupuk bersubsidi itu di tengah jalan.


Masalahnya adalah, sudah ada ratusan petani sungguhan yang tengah menunggu pupuk itu untuk tanaman mereka. Dan pupuk yang diturunkan kali ini hanya 50 sak di toko. Sejumlah itu pula di pengecer lain. Kemudian, sudah dibeli (kalau nggak mau bilang dirampas) di ujung desa 2 sak. Dan diangkut pemuda pembela rakyat tadi 2 sak. Sisa 46 sak. Untuk empat gapoktan dengan rata-rata 100 nama petani dalam satu gapoktan. Coba, ada yang punya saran gimana kira-kira cara menjual pupuk kurang dari 50 sak untuk 400an petani? Atau setidaknya jika tidak semuanya beli saat itu juga, cara menghadapi 50an petani lah dengan 1 petani merasa gak cukup hanya dengan 1 sak. Saya, membayangkannya saja pusing. Belum lagi kalau ada dari petani itu yang merasa jadi keluarga, dan bersungut-sungut saat tidak diberi sebanyak yang ia inginkan.

Lalu, pemuda tadi (siapa, sih, namanya?) dengan luar biasa rendah hatinya meminta diberi hak sebagai masyarakat padahal saat diminta bantuan ngangkut batu sebiji saat bangun masjid aja, well.. saya gak terlalu mengenal mereka. Saya gak boleh menuduh mereka gak membantu pembangunan masjid, kan, ya? Siapa tahu mereka justru menyumbang lebih banyak dari siapa pun setiap panen. Who knows? Hanya saja, mengapa harus dengan cara yang kasar? Melempar uang? Oh, mamenn... saya merasa sedang dalam adegan sinetron. Tentu saja saya sebagai antagonisnya, dan pemuda pembela masyarakat tadi sebagai petani korban rezim kapitalisme, yang tidak materialistis, yang hanya mementingkan bagaimana agar tanamannya bisa tumbuh dengan baik, bagaimana agar anak istrinya bisa makan hari ini.

Saya pernah menonton ftv yang menggambarkan seorang laki-laki miskin yang sombong dengan kemiskinannya. Dia selalu mengatakan "Saya miskin, tidak punya apa-apa. Saya tidak pantas bersama kamu.", "Saya tidak punya uang untuk itu. Saya anak orang miskin.", "Saya miskin, tidak berhak bla.. bla.. bla...". Kasus lain, orang yang sombong dengan kebodohannya, "saya bodoh, gak kayak kamu yang pinter", "Itu maksudnya apa? Maaf, saya bodoh sampai nggak ngerti." Kasus lain lagi, orang yang sombong dengan dosanya. Pernah dengar kalimat "Kamu suci, aku penuh dosa"? Saya sendiri pernah bahkan sering mengatakan kalimat-kalimat itu dengan maksud ingin merendah walaupun sebenarnya sedang menyampaikan fakta. Tapi, bagi orang lain, kalimat-kalimat itu justru lebih berniat merendah untuk meninggi.

Dan saya menyadari, kadang-kadang memang itu yang saya inginkan. Menutupi fakta bahwa kita memang miskin, bodoh, dan penuh dosa dengan mengatakannya dan berharap orang lain akan menyangkal. Ngerti gak maksudnya? Nggak? Sama. Saya juga gak. Lagian apa pula hubungannya dengan pupuk urea? Baiklah. Lupakan.
Soal pemuda tadi, saya hanya tidak suka cara-cara kasar, apalagi dalam jual-beli. Jual beli yang baik ada akad, penjual dan pembeli sama-sama ikhlas, mencapai kesepakatan, soook bawaaa. Bukan dengan cara melempar uang, dan mengambil barang yang ingin diambil dan membawa kabur begitu saja. Terlebih kondisi penjual sedang tidak menjual barangnya. Kita sama-sama manusia yang bisa bicara, saling memahami, dan saling mengerti. Jika petani yang lain bisa bersabar, kenapa Anda tidak? Lagipula pupuknya tidak bisa saya makan. Lantas gimana cara saya menahan hak masyarakat seperti yang Anda katakan.

Saya jadi paham sekarang kenapa Ibu sering mengeluh dan rasanya ingin berhenti jadi pengecer pupuk bersubsidi. Capek. Tapi, jika benar-benar berhenti, pupuk urea bersubsidi ini didistrisbusikan terbatas dan tidak dijual bebas. Saya khawatir petani bisa makin kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi ini. Ah, masih ada pengecer lain. Daripada makan hati terus sampai merusak hubungan keluarga, tetangga, dan kehidupan bermasyarakat. Mending gak usah sekalian sih, ya.

Wahai Penguasa, tolonglah bantu nasib para petani kami, setidaknya bantu tingkatkan distribusi pupuk urea bersubsidi ke desa-desa di daerah kabupaten Bima biar tidak rebutan. Teman saya yang di Wawo kemarin bahkan jauh-jauh nanyain apakah ada pupuk di desa Ngali. Di desa Ngali sendiri selalu penuh drama setiap pupuk urea itu datang. Tadi, seorang nenek-nenek bahkan rela nggak ke masjid dulu padahal sudah pakai mukenah demi ingin membeli pupuk. Dan duh Gusti... siapa, sih, yang nekat ngehadang truk di ujung desa tadi? Kok gemes pengin tak uyel-uyel. See? Lihatlah, wahai penguasa, rakyatmu bisa saja saling membunuh jika kau tidak memenuhi hasrat akan pupuk urea bersubsidi ini. Pliss... jebal!


No comments: