Thursday, January 11, 2018

Mafia Pupuk


Saya tinggal di sebuah Desa bernama Ngali. Sekali lagi, NGALI. Kenapa saya bahkan merinding menyebut nama Desa saya sendiri? Entahlah. Yang jelas, jika kalian menyebut nama Ngali di kawasan Bima dan Dompu, bahkan mungkin NTB, orang yang mengetahuinya tidak pernah tidak ingin memastikannya kembali. "Apah?? Ngali?", "Wah, dou (orang) Ngali?", "Ngali? Ngali yang di sana?", "Ngali?", "Oh, Ngali...". Itu yang terakhir biasanya komentar mereka yang memiliki sifat kul, cuek atau yang sedang pura-pura tahu Ngali padahal enggak. "Ngali?? Ngali yang sering perang itu?" Itu pasti komentar orang yang belum pernah ke Ngali dan hanya mengetahui Ngali waktu rame peristiwa perang. Ya, perang. Jika kalian membayangkan perang seperti zaman penjajahan. Itu enggak salah. Kami memang pernah berperang melawan penjajah, dulu. Dan itu jadi perkakas kesombongan orang Ngali. Dan berperang melawan desa sebelah. Perang sungguhan.


Jika dulu senjata favoritnya bambu runcing. Perang antar desa saat itu, senjatanya panah besi rakitan yang jika mengenai kaki bisa mematahkan tulang. Tidak. Tidak. Saya tidak sampai ikut merakit panah itu atau ikut berperang. Tidak juga ikut menyediakan makanan bersama emak-emak. Saya hanya sampai menjadi penonton setia dari atas bukit Wuwu bersama teman-teman kecil yang saya ingat saat itu kami sama-sama ketakutan, sama-sama merasakan suasana tegang, tapi juga penasaran.
Seluruh warga desa bersatu, tua-muda, kopiah hitam-kopiah putih, tidak pandang kaya-miskin, apalagi pilihan partai, tim bola kesayangan, atau hobi. Semua bersatu padu. Mereka semua turut andil. Walaupun ada beberapa Bapak-bapak penganut paham peace, love, and gaul. Mereka tetap mendukung dengan doa. Toa masjid dan langgar terdengar menggemakan takbir berkali-kali. Tegang. Tidak ada yang melarang warga untuk ke perbatasan. Karena jika tidak ada yang berjaga di sana, tinggal menunggu waktu saja pasukan perang desa sebelah akan memasuki desa kami, membakar dan membunuh kami di rumah kami sendiri. Setidaknya itu yang kami percaya. Walaupun sebenarnya saya yakin, pasti satu dua dari mereka yang di perbatasan juga ada yang memprovokasi. Saling memprovokasi dengan Pengacau dari desa sebelah. Tidak hanya menjaga atau bertahan. Nggak seru dong kalau selesai begitu saja tanpa ada yang terbunuh atau setidaknya terluka. Sia-sia juga memipihkan besi semalaman membuat senjata rakitan. Saya juga mempercayai karakter dasar masyarakat desa ini yang ibarat singa. Tidak akan marah jika tidak diganggu. Lihat, saya mulai nggak objektif. Tetap saja saya ingin membela desa saya sendiri. Tapi, ini sungguh, kami tidak akan marah atau membalas jika tidak diganggu lebih dulu. Walaupun singa yang baik tidak akan marah atau memiliki hasrat untuk balas dendam (Emang ada?). Seringnya kejadian memang adalah balas dendam, bukan memulai. Mari kita buktikan. Tak bohong juga jika ini kesempatan yang membara bagi segelintir yang memang selama ini terkenal berandal untuk unjuk gigi. Walaupun Gigi sudah sampai jingkrak-jingkrak menyanyikan perdamaian... perrrdamaian.
Itulah sekilas mengapa pupil mata mereka membesar setiap disebut nama Desa Ngali. Kesombongan ini tidak hanya berlaku pada saat-saat tidak damai sebagaimana di atas. Beberapa kali pengendara motor (orang desa lain, bahkan kadang warga antara kedua desa itu sendiri) yang tidak pernah menaruh curiga, tidak suudzhon, dan merasa bakal aman melewati area batas desa diberhentikan di tengah jalan, diancam dengan senjata, dan diambil motornya. Setelah diambil motor, orang itu lalu terus berjalan kaki memohon pertolongan dengan warga atau siapa saja yang dilihatnya pertama kali. Orang yang melihatnya akan bersimpati, mengerubunginya, ada juga yang berfoto-foto, share di media sosial, membagikan kejadian ini, kemudian beberapa orang akan mengantarnya ke kantor desa atau melapor ke polisi. Besoknya polisi datang. Dua atau tiga hari lagi sepeda motor kembali ke pemiliknya. Saya tidak tahu pasti apa dan bagaimana prosedur melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat untuk soal ini. Yang pasti, esok lusa kejadiannya masih berulang. Dengan kabarnya, pelakunya itu-itu juga.
Warga desa ini pun sebenarnya bukan tidak mengetahui masalah ini. Ingin rasanya membakar dan memusnahkan segelintir cicak gondrong itu. Tapi, selain karena tidak ingin mencari perkara dengan komplotan pengacau, tidak ingin main hakim sendiri, atau sepengecut-pengecutnya karena takut dan tidak peduli, kami masih percaya desa ini masih berada dalam lindungan negara hukum. Kami masih menyimpan harapan besar kepada para "pelindung" negara. Terbukti setiap ada kasus kejahatan yang tidak mampu diselesaikan secara kekeluargaan, kami akan melapor. Tidak langsung membakar seperti kejadian yang menimpa terduga pencuri amplifier masjid hingga tewas itu.
Kesombongan lain pernah terjadi saat benar-benar dalam suasana damai. Saat warga desa melakukan kegiatan perniagaan. Suatu hari, saat sedang menjaga toko. Datang truk besar dengan muatan pupuk urea bersubsidi. Saat para buruh dengan semangatnya bekerja dibawah terik dan dengan teratur menurunkan pupuk satu persatu. Tiba-tiba datang seseorang dengan pick up dan meminta membeli pupuk yang sedang diturunkan itu dalam jumlah yang tidak sedikit. Selain karena tidak ada Ibu dan Bapak, saya juga tidak bisa menjualnya kepada siapa pun. Karena pupuk-pupuk bersubsidi tersebut sudah ada pemiliknya. Posisi toko ini adalah sebagai Pengecer. Sebelum pupuk-pupuk ini tiba di toko, saya sendiri yang membuat dan menyusun Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Pupuk Bersubsidi ini untuk kemudian diantar ke kantor Distributor setiap tiga bulan sekali. RDKK tersebut berisi nama-nama kelompok tani yang berhak membeli pupuk bersubsidi. Mereka juga adalah para petani yang sudah menjadi langganan toko. Oleh karena itu, jelas sudah kepada siapa pupuk-pupuk tersebut harus dijual.
Namun sialnya, ada saja pengacau, yang bukan petani, bukan langganan, bukan juga pedagang datang dengan kesombongan dibuat-buat, apalagi kalau tidak bermaksud bikin gentar agar diberi apa yang mereka inginkan. Mereka tidak akan merasa puas dengan hanya diberi 2 atau 3 sak pupuk. Mereka akan meminta 10 bahkan dengan tidak tahu dirinya sampai 30 sak. Begitu tahu saya tidak akan mau menjual, dia langsung dengan frontalnya menabrakkan belakang pickupnya dengan buntut truk yang sedang menurunkan pupuk. Dengan mengancam, ia meminta para buruh untuk menurunkan pupuk langsung ke pickupnya. Saya yang tidak terima digertak oleh orang semacam itu. Saya melarang para buruh (yang terlihat tidak ingin cari masalah karena mereka bukan warga desa ini) untuk menurutinya. Buruh-buruh itu galau dan terpaksa ikut membujuk saya untuk menuruti saja orang itu. Dengan tangan disaku saya geleng-geleng nggak mau tapi juga nggak tega menyulitkan buruh-buruh itu. Sedang si pengacau tadi terus saja membujuk setengah memaksa dengan menyerahkan sejumlah uang. Saya tidak terima. Saya sebenarnya ingin berkacak pinggang, tapi itu terlalu terlihat emak-emak. Dan gak berani juga sih. Selama saya direcoki orang itu, para buruh yang pasrah sudah menurunkan 5 sak pupuk ke pickupnya. Dan beberapa tetangga yang berkerumun juga menasihati untuk mencari aman. Mereka memang belum tahu kalau saya pernah punya rekor berkelahi sama tukang parkir.
"Tahor, tahor de! Waur lima sa ka. Tahor de. Laor! Ntau dou ncau ke. (Ya sudah, itu sudah lima sak, cukup sudah. Pergi sana! Ini, kan, jatah orang lain.)"
"Nahu rau ke di pupu rau kaik. Ngoa lalop ibum ka. Nahu ke lain doum kalai. (Saya juga nih buat pupuk tanaman. Bilang saja sama Ibu. Saya nih bukan orang lain)."
Padahal baru saja saya telepon Ibu, dan Ibu melarang memberi orang itu.
"Nggaran ndedes ngena pu mai Ibu ni, auku kanggonggi kaim mada? Toba.. (Kalo gitu, tunggu Ibu pulang nih, kenapa mempersulit saya? Astaga..)"
"Wati raka wali lao pupu pede ni. (Ya nggak sempet lagi mupuk ntar nihh.)"
"Tahor. Laor! (Cukup. Pergi sudah!)
Akhirnya, pengacau itu pun menjauhkan pickupnya, saya pikir dia akan langsung pergi, tapi dia turun lagi sambil menyerahkan lembaran seharga 5 sak pupuk. Awalnya saya tidak mau terima. Sialan, saya merasa kalah. Sampai para tetangga menyarankan untuk menerima saja. Lagian pupuknya udah di pickup. Para buruh kembali menurunkan sisa pupuk. Sedang saya masih kuat-kuatan nahan emosi sambil mbayangin seandainya punya tenaga super, rasanya pengin ngebalik, meremas-remas, dan melempar pick up itu jauh-jauh.
Dan lagi, kejadian di atas ternyata berulang sore tadi, saat pupuk datang. Bahkan katanya lebih parah. Sialnya, saya tidak ada, masih di perjalanan dari kota. Kalau tidak, pasti saya juga tidak bisa berbuat apa-apa.  Komplotan mereka datang membawa pick up juga, tapi kondisinya pupuk sudah selesai diturunkan, dan pagar toko sudah ditutup agar pupuk yang menjadi hak petani tidak diserbu mafia. Ibu sendirian di dalam rumah. Bapak tidak ada. Dari luar pagar, mereka berteriak memanggil Ibu agar bersedia menjual pupuk kepada mereka. Ibu tidak membuka pintu, ogah meladeni mereka. Atau mungkin juga takut. Cara mereka tidak pernah sopan. Jangan ditanya apakah mereka membeli dengan baik. Mereka selalu datang dengan terburu-buru biar orang panik, dan meminta dalam jumlah banyak. Jika ditolak, mereka ngeyel, memaksa. Bahkan tadi katanya sampai mengancam akan mencuri dan menghadang truk pupuk yang akan masuk ke desa ini besok-besok.
Kalian ingin tahu ke mana pupuk-pupuk yang mereka "rampas" tadi dibawa? Biasanya mereka akan menjualnya ke para petani, petani desa sebelah, atau desa-desa lain di sekitar Ngali, juga ke pedagang di kecamatan dengan harga sangat tinggi. Sangat tinggi. Kabarnya, 1 sak pupuk bersubsidi dengan harga 100ribu mereka bahkan tega menjualnya kembali 170 sampai 200ribu.
Kurang lebih seperti itulah setiap barang dengan label subsidi diperlakukan. Kemungkinan mengapa tabung gas melon 3 kg juga hilang di peredaran, karena ada mafianya, kan? Lagipula sesulit-sulitnya cobaan hidup, siapa yang sampai putus asa mau makan tabung gas?
Jadi, kira-kira mafia seperti ini perlu diapakan? Dilaporkan ke polisi? Sepertinya berlebihan. Mereka juga akan berdalih sama-sama cari makan. Yasudah, didoakan saja semoga mereka bisa lebih kreatif untuk cari makan.😑

No comments: