Tuesday, May 30, 2017

Sombong



"Ninaee... berangkat ke Pegadaian, ya! Kaka Nu gak ada, lagi ke Sumbawa. Ibu harus ke sekolah."

"Ke Pegadean? Ngapain, Buk?"

"Bayar kreasi."

"Oh, boleh..." saya menyahut sambil googling keyword "kreasi pegadaian"

Baiklah, saya akhirnya tahu kalau Bayar kreasi sama artinya dengan bayar utang. Tadinya saya ingin berpikir selama ini nggak nyangka Ibu punya hasil kreasi atau telah membeli hasil kreasi entah siapa yang harus dibayar.

Tapi, ke Pegadaian?

Jadi, pegadaian nggak cuma mengatasi masalah tanpa masalah. Ini masalah. Pertama, Pegadaian adalah tempat yang pernah saya berjanji pada diri sendiri, nggak akan pernah mau berurusan dengannya. Nggak ada alasan khusus, hanya tidak mau. Emm... mungkin juga ini karena dalam pikiran sempit saya, yang ke pegadaian itu kebanyakan ibu-ibu susah. Dan saya nggak mau susah atau terlihat susah. Kalo sampai saya ketahuan datang ke sana berarti, kan, saya lagi susah. Songong, ya?

Kedua, saya nggak mau kelihatan orang punya masalah finansial dengan datang ke Pegadaian, kalopun butuh uang saya akan bekerja, bekerja apa saja atau bisnis apa saja yang halal. Ke pegadaian saat butuh uang itu entah kenapa bagi saya kurang berkelas. Barang-barang yang mau digadaikan paling perhiasan, kendaraan, rumah, tanah, dan aset lainnya. Masalahnya, saya tidak punya itu semua. Haha...

Ketiga, dengan menggadaikan barang, mendapatkan utang, dan membayar cicilannya tiap bulan, bukankah membuat masalah semakin panjang. Jadi, sebaiknya dari sekarang saya akan rajin menabung saja (Baru sekarang? - -').

Poin pentingnya, dulu saya pernah memiliki tekat kuat nggak akan pernah menginjak kantor Pegadaian hanya karena ingin mengatakan pada dunia:

"Pegadaian? Tempat apa itu? Sorry, nggak pernah tuh ke sana."

Well, obat dari kesombongan ini, saya harus menebus dan membayarnya sekarang. Yah, walaupun ke sana karena disuruh orang lain, sih. Untungnya.

Kejadian lain yang sejenis adalah soal jilbab, hijab, atau berhijab.
Saya sudah memakai jilbab sedari kecil. Tidak ada seorang pun yang (bukan mahram) pernah melihat kepala saya, maksudnya tanpa ditutup sesuatu, meskipun itu sepupu yang sering datang ke rumah. Saya memegang teguh prinsip ini sampai dewasa. Sampai kuliah. Saya tidak ingin melepas jilbab saat keluar rumah atau saat ada orang yang bukan mahrom. Tidak boleh sama sekali. Saya harus suci dan terlindungi. Kelak, hal ini bisa menjadi kebanggaan saya.

Sampai suatu ketika, saat KKN, bercampur baur cewek-cowok. Walaupun tinggal di rumah yang berbeda (sebelahan), anak-anak cowok makan dan nonton tivinya di rumah yang kami tempati. Masih subuh, saya bangun tidur dan keluar dari kamar tanpa memakai jilbab, hanya ingin mengecek sudah jam berapa. Belum sempurna mata terbuka, saya dibuat kaget oleh salah seorang teman yang berdiri dengan santainya nyender di rak pembatas ruang tengah dan ruang tamu samping pintu kamar. Tanpa berkata apa-apa. Mungkin dia juga kaget. Saya tidak tau dia sedang apa. Masalahnya adalah... dia cowok! Ya, cowok. Dan saya... oh God! Kepala.. rambut saya, rambut! Saya spontan masuk kembali, membanting pintu, duduk terpaku di tepi ranjang, mengabaikan teman sekamar yang bertanya "Ada apa, Nin?",
Sedetik,
Dua detik,
Lima detik,
Sepuluh detik,
"Nin, kamu kenapa?"
Bukannya menjawab, saya malah menangis sejadi-jadinya. Bukan karena malu rambut acak-acakan atau iler yang masih nempel. Saat itu, entah kenapa saya merasa sudah tidak suci lagi.

Saya marah semarah-marahnya pada anak itu. Menyalahkan dia yang diam-diam berdiri di sana tanpa memberi kode atau aba-aba. Tapi, setelahnya saya tahu, ternyata dia sedang menunggu teman sekamar saya menggambilkan sesuatu entah apa yang ingin dia pinjam.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan hingga kalau tidak gegara kasus pegadaian tadi, saya akan terus menyesali kejadian itu dan menyalahkan keadaan yang sudah membuat saya merasa tidak suci. Jadi, baru saja, baru hari ini, baru saat Ibu menyuruh ke Pegadaian, saya disentil bahwa selama ini saya sudah sombong. Sombong menganggap diri suci hanya karena tidak ada yang pernah melihat kepala saya. Bahwa sudah sejak saat itu saya ditegur dengan membuat teman saya tadi melenyapkan apa yang selama ini saya bangga-banggakan. Bahwa sejak saat itu hingga kapan pun saya memang tidak sebaik, tidak sesoleha, tidak seterpelihara, tidak sesuci yang saya pikirkan. Karena memang hanya Dia Yang Mahasuci.


No comments: