Wednesday, May 10, 2017

Ramaharamarahmahar #eh?

Mengapa manusia perlu bersikap ramah? Ya, sebaiknya manusia perlu bersikap ramah sebelum benar-benar menjadi zombie karena semua kebutuhan dipenuhi mesin. Sebelum mesin menjadi lebih hidup dari manusia. Sebelum manusia benar-benar digantikan oleh mesin.
Pernah lihat mesin penjual minuman dingin? Biasanya ada di stasiun atau terminal, terminal bandara tentu saja. Terminal bus sejauh ini masih dikuasai kaum bapak-bapak dengan kalimat andalannya "Yang aus... Yang aus... Akua... akua.... mijon... mijon.... dingin...dingin..."



Pernah beberapa kali saat membeli minuman di toko-toko atau gerobak jualan di pinggir jalan, saya menghadapi penjual yang tidak ramah. Oke, saya juga tidak menuntut mereka harus seramah pegawai swalayan yang kita kenal keramahanannya di seantero negeri itu, sih. Nggak harus mengucapkan "Selamat pagi... selamat datang di... selamat berbelanja.." dan sebagainya itu. Nggak harus seperti itu. Cukup senyum sedikit saja saat menyerahkan kembalian sambil bilang terimakasih. Itu saja sudah menyenangkan. Bukankah membuat orang lain senang itu pahala? Apalagi orang yang kita bikin senang itu baru saja menjadi perantara rezeki buat kita. Kalau dengan senyum terlalu berat dan merasa bisa meruntuhkan harga diri, minimal nggak harus nunjukin muka masam laah. Heran, sebenernya mereka niat jualan nggak, sih?


Oke, kita tahu setiap orang pasti punya masalah atau mereka sudah terlalu capek menghadapi pelanggan dari pagi. Tapi, nggak harus orang lain juga kena imbasnya, kan? Apalagi buat mbak-mbak di loket pelayanan administrasi kantor pemerintah atau loket-loket penjualan seperti di stasiun atau bandara. Ada yang pernah menghadapi kejutekan mereka? Ssst... ini kita memang lagi ngomongin mereka--yang gak ramah itu. Semoga mereka nggak baca tulisan ini. Beberapa kali saya pernah menggoda "Lagi pe em es ya, Mbak?" sesaat sebelum beranjak. Ada yang kemudian berubah tersenyum, ada yang hanya senyum seringai dan kembali jutek, tapi tidak sedikit yang tersinggung dan makin jutek lagi, mereka seolah pengin nelan saya hidup-hidup. Di saat seperti itu, saya harus menyelamatkan nyawa dan kabur tanpa lihat-lihat lagi ke belakang. Beruntung sekarang beli tiket udah online, nggak perlu berhadapan dengan muka jutek lagi.

Di tempat-tempat umum yang sudah menyediakan mesin penjual minuman juga, mending beli di mesin itu kalau lagi ada uang pas daripada menanggung risiko bertemu penjual gak ramah, kan? Untuk di daerah Bima, saya masih jarang menemukan penjual yang ramah di sini. Jarang ya, jarang, bukan  gak ada sama sekali. Masih ada kok satu dua, dan saya bisa menjamin selalu ada keinginan untuk kembali ke toko itu. Kenapa penjual atau pelayanan di Bima kurang ramah? Berdasarkan penelitian yang tidak bisa saya jamin keakuratannya, penjual di sini tidak memerlukan sikap ramah untuk menarik pembeli. Karena jumlah pembeli masih lebih banyak daripada penjual. Pembeli masih butuh penjual. Bukan penjual yang butuh pembeli. Jika pembeli yang satu tidak jadi beli hanya karena pelayanannya kurang ramah, masih banyak pembeli lain yang mengantri. Tapi, sebenarnya hukum ini tidak berlaku keseluruhan. Masih ada penjual yang ramah, mau itu banyak pembeli atau sedikit pembeli karena mereka yakin menjual adalah menyambut rezeki. KMengapa manusia perlu bersikap ramah? Ya, sebaiknya manusia perlu bersikap ramah sebelum benar-benar menjadi zombie karena semua kebutuhan dipenuhi mesin. Sebelum mesin menjadi lebih hidup dari manusia. Sebelum manusia benar-benar digantikan oleh mesin.
Pernah lihat mesin penjual minuman dingin? Biasanya ada di stasiun atau terminal, terminal bandara tentu saja. Terminal bus sejauh ini masih dikuasai kaum bapak-bapak dengan kalimat andalannya "Yang aus... Yang aus... Akua... akua.... mijon... mijon.... dingin...dingin..."

Pernah beberapa kali saat membeli minuman di toko-toko atau gerobak jualan di pinggir jalan, saya menghadapi penjual yang tidak ramah. Oke, saya juga tidak menuntut mereka harus seramah pegawai swalayan yang kita kenal keramahanannya di seantero negeri itu, sih. Nggak harus mengucapkan "Selamat pagi... selamat datang di... selamat berbelanja.." dan sebagainya itu. Nggak harus seperti itu. Cukup senyum sedikit saja saat menyerahkan kembalian sambil bilang terimakasih. Itu saja sudah menyenangkan. Bukankah membuat orang lain senang itu pahala? Apalagi orang yang kita bikin senang itu baru saja menjadi perantara rezeki buat kita. Kalau dengan senyum terlalu berat dan merasa bisa meruntuhkan harga diri, minimal nggak harus nunjukin muka masam laah. Heran, sebenernya mereka niat jualan nggak, sih?


Oke, kita tahu setiap orang pasti punya masalah atau mereka sudah terlalu capek menghadapi pelanggan dari pagi. Tapi, nggak harus orang lain juga kena imbasnya, kan? Apalagi buat mbak-mbak di loket pelayanan administrasi kantor pemerintah atau loket-loket penjualan seperti di stasiun atau bandara. Ada yang pernah menghadapi kejutekan mereka? Ssst... ini kita memang lagi ngomongin mereka--yang gak ramah itu. Semoga mereka nggak baca tulisan ini. Beberapa kali saya pernah menggoda "Lagi pe em es ya, Mbak?" sesaat sebelum beranjak. Ada yang kemudian berubah tersenyum, ada yang hanya senyum seringai dan kembali jutek, tapi tidak sedikit yang tersinggung dan makin jutek lagi, mereka seolah pengin nelan saya hidup-hidup. Di saat seperti itu, saya harus menyelamatkan nyawa dan kabur tanpa lihat-lihat lagi ke belakang. Beruntung sekarang beli tiket udah online, nggak perlu berhadapan dengan muka jutek lagi.

Di tempat-tempat umum yang sudah menyediakan mesin penjual minuman juga, mending beli di mesin itu kalau lagi ada uang pas daripada menanggung risiko bertemu penjual gak ramah, kan? Untuk di daerah Bima, saya masih jarang menemukan penjual yang ramah di sini. Jarang ya, jarang, bukan  gak ada sama sekali. Masih ada kok satu dua, dan saya bisa menjamin selalu ada keinginan untuk kembali ke toko itu. Kenapa penjual atau pelayanan di Bima kurang ramah? Berdasarkan penelitian yang tidak bisa saya jamin keakuratannya, penjual di sini tidak memerlukan sikap ramah untuk menarik pembeli. Karena jumlah pembeli masih lebih banyak daripada penjual. Pembeli masih butuh penjual. Bukan penjual yang butuh pembeli. Jika pembeli yang satu tidak jadi beli hanya karena pelayanannya kurang ramah, masih banyak pembeli lain yang mengantri. Tapi, sebenarnya hukum ini tidak berlaku keseluruhan. Masih ada penjual yang ramah, mau itu banyak pembeli atau sedikit pembeli karena mereka yakin menjual adalah menyambut rezeki. Karena itu, hai manusia, ramahlah selagi sempat.

Karena itu, hai manusia, ramahlah selagi sempat.

No comments: