Monday, July 15, 2013

Telat Ngantor



“Macet, bos.”
“Kesiangan, bos.”
“Ada urusan mendadak, bos.”
“Harus ngater mamah ke pasar, bos.”
“Nenek meninggal.” Padahal neneknya memang sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Aaargh! Bukankah semua itu alasan yang tidak pernah bisa jadi alasan? Apa? Macet? Bukankah setiap hari kamu melewati jalan yang sama? Kenapa kamu baru sadar kalau jalan itu memang dan selalu macet? Setiap telat alasannya macet? Dan itu setiap hari. Huh! Bener-bener gak kreatif. Sudah tahu jalanan yang dilewati bakal macet, kenapa nggak mulai mengubah jam berangkat dari rumah, sepuluh atau lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Come on! Itu bukan alasan yang keren.
Oke, sekarang apa lagi? Kesiangan? Sungguh, itu bener-bener alasan yang memalukan! Malulah pada satpam yang sudah berjaga. Malulah pada ayam yang berkokok. Malulah pada rumput yang bergoyang. Eh? Malulah pada OB yang sudah membuat kantormu cling pagi-pagi. Bagaimana pula posisi kamu di kantor ini bisa lebih baik dari OB! Duh, itu bukan alasan yang berkelas. Kesiangan tidak pernah menjadi alasan yang tepat di saat apa pun. Apaaah? Kamu ingin berkata jujur. Saranku, lebih baik kamu diam dan tidak mengatakan apa-apa dari pada mengatakan kesiangan. Bukannya apa, bos yang profesional tidak akan pernah bisa menerima alasan seperti itu, kecuali dengan mulai menyimpulkan kamu ‘pemalas’. Meskipun mereka terlihat memaklumi, label ‘pemalas’ setidaknya sudah terstempel di halaman pertama absensi pribadi si bos.

Ada urusan mendadak? Semendadak apapun urusanmu setidaknya kamu masih bisa mengirim sms meminta maaf atau menelpon ijin terlambat, kan? Untuk alasan urusan mendadak ini kamu perlu menjelaskan urusan mendadak seperti apakah gerangan. Jika masalah pacarmu tiba-tiba minta dianter ke suatu tempat dan mengancam mau bunuh diri kalau kamu tidak mengantarnya, saranku, putusin aja pacarmu! Detik itu juga. Dan aku pikir siih itu nggak akan pernah terjadi, kecuali kalau yang kamu pacarin itu otaknya rada konslet.
Nganter mamah ke pasar. Ini juga alasan aneh. Jika memang bener, dan mamahmu ngancem mau bunuh diri juga kayak yang di atas itu, saranku putusin aja mamahmu, eh. Maksudku putusin buat bilang ke mamah suruh naik becak aja. Biasanya juga gitu, kan? Tumben-tumbenan si mamah minta dianter. Ah! Itu alasan yang (lagi-lagi) nggak masuk akal! Udah deh, nggak usah ngalesan mulu!
Apalagi ini? Nenek meninggal? Astaghpirulloh… nggak apa-apa sih kalo emang nenekmu udah meninggal beneran. Lha, kalo belum. Bener-bener kualat dah kamu! Sudah, sudah! cukup sudah beralasan setiap kali telat ngantor. Dan kenapa orang bisa telat setiap hari? Kalau sekali dua kali sih nggak masalah. Tapi, kalau sudah setiap hari, itu namanya kebiasaan. Kebiasaan seperti itu akan tetap jadi kebiasaan, selama individunya sendiri tidak pernah berniat mau mengubahnya. Kedisiplinan adalah sesuatu yang mengakar dalam diri seseorang yang secara pasti akan menjadi karakter pribadinya. Hal tersebut sebagian besar terpengaruh dari lingkungan dan kebiasaannya sehari-hari. Seseorang bersiap disiplin ada dua faktor utamanya. Pertama, kebiasaan yang menjadi karakter. Kedua, takut pada peraturan.
Faktor pertama, tentulah faktor yang positif. Seseorang tidak akan tenang dan akan merasa berdosa pada dirinya sendiri setiap kali melanggar kedisiplinan yang telah ia targetkan. Kedisiplinan seperti ini akan sulit hilang meskipun ia berada pada lingkungan yang tidak mendukung. Misalnya, ia bekerja di sebuah kantor yang sebagian besar karyawannya suka (selalu) datang terlambat. Buruknya, dia akan jadi individu yang tersudutkan. Jika atasannya juga suka terlambat, dia akan merugi sendiri, siapa suruh kerajinan. Jika ia berada di bawah naungan bos yang juga disiplin tapi karyawannya tidak, dia akan dianggap parasit. Cari muka. Terlalu loyal.
Lain ceritanya jika dia bekerja di sebuah kantor yang memang sangat ketat peraturannya dan karyawan-karyawannya juga patuh pada peraturan itu, mereka akan bersaing dan menyadari betul ketidakdisiplinan adalah kesalahan. Kondisi lingkungan seperti akan membantu banyak dalam menciptakan karakter pribadi yang disiplin dalam segala hal. Bagaimana mungkin bisa teratur dalam mengerjakan pekerjaan kantor jika datang ke kantor saja suka telat. Hal ini akan berpengaruh juga dengan faktor kedua. Apa tadi faktor keduanya?
Faktor kedua, takut pada peraturan. Ya, takut pada peraturan. Seorang karyawan yang selalu tepat waktu atau bersikap disiplin karena takut pada peraturan, ini termasuk hal yang masuk akal memang. Tapi, ini akan terlihat jelas sebagai pribadi yang tidak konsisten. Dia hanya bersikap disiplin jika ada yang mengaturnya, dia tidak akan pernah bisa mengatur dirinya sendiri. Misalnya, dia sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan, dia selalu tepat waktu, tidak pernah terlambat, pekerjaan kantor selalu selesai tepat waktu, tapi, kehidupan pribadinya berantakan. Dia tidak bisa mengatur dirinya sendiri kecuali ada orang yang selalu mengaturnya. Tapi, itu mau sampai kapan? Sungguh, karakter ini tidak akan pernah menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri.
Betewe, kenapa kita jadi semakin serius sih bahasannya? Awalnya kan Cuma masalah telat ngantor. Kenapa jadi melebar ke pelajaran ppkn bab kedisiplinan? Pelebarannya pun nggak jelas mau ngomong apa. Yang jelas ide ini muncul ketika beberapa hari lalu ada yang telat ngantor. Tepatnya, Jumat, 12 Juli 2013—ini akan terus dicatat, pertama kalinya telat, dan nggak nanggung-nanggung telatnya satu jam! Waktu ditanya kenapa telat, jawabnya malah “pengen ngerasain telat aja!” trus waktu ada yang bilang kesiangan, dia malah iya-iya aja. Sebenernya yang mana?
Sebenernya, dia nggak mau beralasan. Sudah, itu aja! Males. Paling males beralasan. Yang jelas, dia tau itu dosa besar untuk dirinya sendiri, dan berjanji dalam hati nggak bakal mengulangi. Untuk alasan kenapa, dia nggak akan pernah menjelaskannya. Karena di dinding kamarnya sudah lama tertulis, “Never shared ur sadness!” sejak dulu, dia tidak suka membagi kesedihan, apa pun itu. Kepada siapa pun itu. Dia hanya senang jika berbagi kebahagian. Dia tidak akan pernah meminta orang lain untuk mencium sesuatu yang sebelumnya sudah ia cium yang ternyata baunya nggak enak. Sebaliknya, jika ia mencium sesuatu yang wangi, baunya enak, dia akan meminta siapa pun untuk ikut menciumnya. Bukankah kita sudah bersepakat untuk hal ini. Jadi, memang sih, segala hal yang terjadi karena ada alasannya. Tapi, tidak semua alasan perlu disampaikan, kan?

Nina Pradani
(kemunculan ide tanggal 12, ditulis tanggal 14)

No comments: