Saturday, May 18, 2013

Cerpen:







LANGIT ANDALUSIA 2





Awan’s Blog: Posted by Awan at January, 11th 2013

Aku tahu
Kau melihatku
Kau buat ku bertemu bidadari itu
Setelah Kau biarkan luka
Perihnya kutelan
Ya, aku melihatnya
Tepat di atas tebing indah ini

Jilbab yang berkibar itu
Desau angin memanggilku
‘tuk mengganggunya
Yang tengah membidik titik-titik fokus

“Pemandangan yang bagus, bukan?”
Aku sadar, aku sedang menjelma
Menjadi perayu ulung
Basa-basi yang tak biasa kulakukan
Bidadari itu hanya tersenyum ringan
Ia tak terganggu
Masih membidik dengan kamera professional yang dikalunginya
Tapi, hei.. tunggu!
Wajah itu, bukankah pernah kulihat?

Kenapa dia begitu santai?
Kenapa dia seolah tahu ini aku?
Dia tahu aku mengenalnya?
Dan kenapa dia bersikap biasa aja?
Seolah kami datang bersama atau
Berjanji bertemu di atas kota tebing ini?
Hei, siapa dia sebenarnya?
Yang terpenting, dimana aku pernah melihatnya?

***

Wulan’s Blog: Posted by Wulan at April, 4th 2013

“Huft, gimana ini..?” aku merunduk, kedua tangan kubiarkan menggantung seolah memeluk meja makan tanpa hidangan itu. Karena merasa sakit di dahi dan hidungku, aku menempelkan pipi kiri. Aku sedang stres.
                “Ada apa?” Suara pria dengan karakter sedingin es, bahkan lebih dingin dari beruang kutub. Sialnya, suara itu tetap terdengar lembut di telingaku. Ya, dialah suamiku, pria tertampan di dunia yang baru menikahiku sebulan lalu. Makhluk paling dingin yang pernah kukenal. Maaf sayang, lirihku dalam hati. Saat ini, untuk mendongakkan kepala pun aku tak mampu, lelah. Padahal aku yakin dengan melihat wajahnya saja penatku pasti hilang. Yah, meski wajah dingin yang selalu ditampakkannya. Aku tahu, justru itu yang membuatku jatuh cinta. Tapi, aku tak mengerti kenapa setelah menikah, wajah dinginnya melumer padaku, hanya padaku, tidak pada wanita lain. Aku tak berharap itu terjadi. Tetaplah hanya tersenyum padaku.
                “Kenapa, hm? Pulang-pulang langsung lemes gitu?” Suaranya pelan tapi terdengar sangat jelas. Ah, dengar suaranya saja membuatku tenang. Tanpa dia membelai kepalaku seperti ini pun, suaranya sudah membelaiku. Senyumnya mengembang sempurna begitu aku mendongakkan kepala. Yah, kok senyum? Batinku aneh.




Awan’s Blog: Posted by Awan at April, 4th 2013

Dia sering uring-uringan akhir-akhir ini, pekerjaan di kantornya ditambah lagi atasannya yang lebih suka kritik dari pada menghargai kerja bawahannya. Aku sudah pernah memintanya untuk tidak bekerja, tapi dia tidak mau. Karir sebagai fotografer profesional memang sudah ia impikan sejak kecil. Aku pun tak ingin membunuh mimpinya. Sebelum menikah aku berjanji akan tetap membiarkannya bekerja. Aku tak merasa keberatan untuk saat ini. Aku hanya tak tega melihatnya kelelahan.

Wulan’s Blog: Posted by Wulan at April, 7th 2013

                Meski sudah sebulan menikah, kami masih merasa canggung. Bagaimana tidak, baru dua bulan berkenalan aku sudah langsung dilamar. Iya sih, saat itu aku juga sudah mantap menerimanya sebagai imamku.
                Hari ini kami akan jalan-jalan ke pantai yang tidak terlalu jauh dari rumah, rumah di Malaga, tak jauh dari Ronda, yang dia beli dua bulan lalu. Jalanan dari rumah ke pantai agak menurun, tapi jalan pulangnya yang nanjak. “Kita pake sepeda aja ya?” ujarnya menjawab kebingunganku melihatnya bukannya membuka pintu mobil, tapi mengambil sepeda pancal yang bertengger solek di dinding Garasi.
“Yah, no problem, asalkan jalan pulangnya kamu kuat gendong aku.” Jawabku asal.
                “Pegangan yang kuat kalo nggak mau jatuh!” dia menarik tanganku yang hanya berpegangan pada sela sepeda, dilingkarkan ke pinggangnya, seketika pipiku merona. Oh.. kenapa aku masih malu? Ingat, kami sudah menikah. Bibirku tak tahan untuk tak menyunggingkan senyum. Aku bahagia.

Awan’s Blog: Posted by Awan at April, 7th 2013

                Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum saat kedua tangannya melingkar di pinggangku. Ini untuk pertama kalinya. Padahal kami sudah menikah, dia masih malu-malu dan itu membuatku gemas. Aku senang dia bersandar di punggungku seperti ini, awas aja kalau ketiduran.
                Kami sudah tiba di pantai, tapi aku tidak merasakan ada tanda-tanda kehidupan di belakangku, kedua tangannya mesih terkait erat di pinggangku. Yah, aku sudah tahu memang sejak awal, aku menikahi Putri Tidur, julukan untuknya sudah melekat sejak kecil. Entah penyakit atau apa namanya, aku tak peduli, karena keunikannya itu justru membuatku jatuh cinta. Dia bisa tidur dimana pun asal kepalanya sudah bertemu tempat bersandar, seperti sekarang ini. Tapi, kali ini aku akan mengerjainya.

Wulan’s Blog: Posted by Wulan at April, 7th 2013

                Aku merasakan tubuhku seperti terbang, angin sepoi membelai lembut wajahku, terdengar riak-riak kecil ombak, suara itu dekat sekali, suaranya semakin lama semakin dekat, aku mulai sadar berada dalam gendongan, dan
                “Aaa! Aish!!” tubuhku lolos terjatuh atau sengaja dijatuhkan tepat di bibir pantai, pakaianku resmi basah. Mataku masih belum terbuka sempurna, nyawaku pun belum sepenuhnya terkumpul. Sekarang aku hanya bisa terduduk manyun, menatap kesal cowok menyebalkan tapi sangat kusayang itu tertawa terkekeh-kekeh. Gayanya santai, bercelana selutut, kaos putih polos, rambut tak disisir, tapi dibiarkan berdiri acak-acakan, dan itu keren. Sial, dia tak terlihat seperti sudah menikah. Aku yakin cewek-cewek di sini menatap kagum padanya. Tuuh kaan bener.. aku melihat empat cewek remaja yang sedang bermain air tidak jauh dari kami sedang bisik-bisik mencuri pandang padanya. Haish! Aku cemburu.
                Kubiarkan dia merasa senang di atas kekesalanku. Bukan karena apa, baru kali ini aku melihatnya tertawa selepas itu.

Awan’s Blog: Posted by Awan at April, 7th 2013

                Lucu sekali lihat ekspresi kagetnya, ditambah lagi ia akhirnya hanya bisa pasrah dengan wajah manyun. Sempat mengingatkanku dengan wajah kakaknya yang dulu pernah jadi wanita yang kucintai, Langit. Ah, kenapa aku malah teringat padanya? Dia sudah bahagia dengan Bima. Aku sudah ikhlas, bahkan sudah lama ikhlas sejak menyadari jodoh terbaik untuknya adalah sahabatku sendiri. Perasaanku sudah berubah menjadi perasaan seorang sahabat, apalagi ada cewek cantik di depanku sekarang, dialah isteriku. Cewek berjilbab yang membuat para lelaki di sekitar kami saat ini memandang iri padaku. Kecantikan yang tak membuatku bosan untuk terus memandangnya. Satu-satunya cewek pintar yang pernah kukenal, tapi sangat rendah hati. Kadang bisa sangat dewasa, kadang bisa jadi seperti anak kecil. Lihatlah dia sekarang! Tampil polosan dengan kaos krem dan celana panjang longgar favoritnya, celana apa namanya? Yang seperti celana Aladin itu? Ya, itulah. Jilbab warna senada menutupi kepalanya. Aku selalu kagum saat jilbabnya berkibar diterpa angin.

Wulan’s Blog: Posted by Wulan at April, 7th 2013

                “Kenapa berhenti ketawanya? Puas sekarang??” Aku pura-pura ngambek. Dia langsung mendekati dan berjongkok di depanku, ia menatapku tajam, hei ini kan tempat umum! Aku pikir dia mau menciumku, eh ternyata tidak. Kecewa sih.
                “Gimana? Senang ke sini?” Tangannya memegang ubun-ubun kepalaku untuk memastikan agar aku tetap melihat wajahnya yang super duper tampan, dan langsung menjawab pertanyaannya. Pertanyaan macam apa itu? Tunggu dulu! Aku teringat minggu lalu pernah bilang ingin ke pantai berdua saja. Duuh… I love you, suamiku.
                Kami duduk-duduk di pinggir pantai, menikmati hangatnya cahaya senja menabur lautan memantulkan silau segaris jingga. Pemandangan yang tidak aku sukai. Aku tak suka pemandangan sunset, itu pemandangan untuk latar sebuah perpisahan atau sesuatu yang pergi. Aku benci pemandangan ini, tapi karena sekarang aku sedang duduk di samping suamiku, bersandar di bahunya, pemandangan itu entah sejak kapan berubah jadi indah.

Awan’s Blog: Posted by Awan at April, 7th 2013

                “Honey..” Aku hendak memulai percakapan yang sedikit serius, aku menunggu responnya.
                “Hm?” dia hanya bergumam pelan. Kami sedang memandang jauh lukisan semesta sore ini.
                “Gimana kalau Honey resign aja dari kantor itu?” Ucapku datar membuat dia menjauhkan sandaran kepalanya dari bahuku, memandangku penuh tanya. Aku tak berani membalas pandangannya, mataku masih tertuju ke kaki langit. “Biar aku aja yang kerja, Honey santai-santai di rumah aja, atau jalan-jalan mencari obyek sendiri tanpa harus terikat dengan sebuah perusahaan.” Lanjutku tanpa intonasi penekanan. Aku tak ingin dia salah paham. Dengan ujung mata, aku bisa melihat ia memandangku bingung. Aku ingat, berkantor di markas National Geographic Espana sebagai Asisten fotografer terkenal adalah impiannya.
                “Maksudmu apa, Honey? Kamu tidak sedang melarangku bekerja kan?”
                “Nggak, sama sekali nggak. Aku hanya gak tega liat kamu ditekan terus di kantor itu.” Aku memandangnya lamat-lamat. Menerka kalimat sanggahan apa yang akan diucapkannya. Ini pembicaraan kesekian dengan topik yang sama.
                “Nggak, nggak... kamu sedang melarangku untuk bekerja, Awan.” Dia sudah tidak memanggil Honey lagi. “dan kamu tahu kan, dosa seorang istri yang tidak mematuhi suaminya? Aku pasti sudah berdosa jika tidak memenuhi permintaanmu. Penjelasan dan pembelaan apapun dariku tidak akan diampuni.” Sudah kuduga, dia pasti tidak setuju, tapi apa yang dikatakannya selalu sulit kutebak sebelumnya.
                “Honey, bukan seperti itu maksudku.” Aku menggenggam tangannya, mencoba menenangkannya. “Aku tidak melarangmu bekerja, aku ingin kamu bekerja di rumah saja. Aku gak melarangmu menjalani hobi fotografi itu, kamu boleh kemana saja, mencari objek dimana saja. Keliling Eropa? Aku nggak akan melarang, bahkan jika aku libur, aku akan menemanimu.” Kali ini aku menggenggam erat kedua lengannya. “ Kamu bisa membuat majalah sendiri, tidak harus terikat dengan majalah itu. Oke, aku tahu, bisa bekerja dengan mereka adalah prestise tersendiri. Tapi, kamu juga bisa seperti mereka, aku akan membantumu untuk membuat majalah sendiri, kamu jadi bosnya, kamu yang akan memiliki asisten dan banyak anak buah.” Aku menatapnya bersungguh-sungguh. Tapi, dia melepaskan genggamanku.

Wulan’s Blog: Posted by Wulan at April, 4th 2013
               
                Meski dia menggenggamku erat, aku tak merasa dia sedang mendukungku. Perlahan kulepaskan genggamannya dari kedua lenganku. Hatiku rasanya sakit sekali, aku sendiri merasakan dirinya menjauh karena tidak menolak dan memilih melepaskan genggamannya, padahal sebelumnya aku merasa seolah menyatu dengannya, di boncengan sepeda itu.
                “Kau tahu kan, bekerja di majalah itu impianku sejak kecil? Bagaimana mungkin aku membuat majalah sendiri padahal baru setengah tahun aku bekerja dengan mereka. Siapa yang akan mengakui majalahku? Aku rasa kamu juga tahu, membuat majalah itu memang mudah, nggak sulit, kita punya bahan, bawa ke percetakan, sudah, langsung jadi. Lalu, bertengger di toko buku atau pinggir jalan, tapi, hanya dilewati orang begitu saja, karena namanya saja tak pernah terdengar. Siapa yang akan mengakuinya? Mendapatkan pengakuan itu nggak mudah, Awan.” Aku menghela nafas perlahan. Lalu berdiri membelakanginya. “Aku tidak bisa membantah permintaanmu jika tidak ingin masuk neraka, aku hanya minta seseorang bisa memenuhi janjinya. Janji sebelum aku memutuskan untuk menerimanya.” Aku mengusap air mata, menyembunyikan tangis. Meski pandanganku kabur oleh air mata, aku pura-pura melihat matahari yang merangsek ke barat sebentar lagi akan tenggelam di kaki langit. Meninggalkan semburat merah. Sekarang pemandangan ini kembali kubenci. Pemandangan ini sungguh menyakitkan sekarang.

Awan’s Blog: Posted by Awan at April, 7th 2013
               
                Aku tahu dia menangis, suaranya bergetar, aku berdiri mendekatinya yang tengah memunggungiku. Aku hendak merengkuhnya, tapi dia berlari menjauh, pulang ke rumah. Aku tidak langsung menyusulnya, hanya berdiri terpaku merenungi pernikahan kami. Beberapa waktu lalu, dia pernah menyinggung dan bertanya, apakah aku menikahinya hanya untuk pelarian karena aku tidak bisa menikahi kakaknya, Langit? Aku sendiri pun sebenarnya mencari jawaban itu untuk diriku sendiri. Saat itu aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Bukan karena itu benar, tapi aku tak ingin memberi jawaban karena emosi atas pertanyaan itu.
                Saat ini, pemandangan senja menjadi saksinya, aku sudah menemukan jawaban itu. Jawaban yang sebenarnya untuk pertanyaanku sendiri selama ini. Jawaban yang membantah pertanyaan itu, Wulan bukan pelarianku, aku jatuh cinta padanya saat pertama kali melihatnya di atas tebing itu. Kalau tidak, kenapa hatiku perih melihatnya berlari menjauh seperti itu. Hatiku sakit melihatnya menangis karenaku. Aku terluka melihatnya memunggungiku dan menyembuyikan tangis seperti tadi, aku hanya ingin dia menangis sesegukan dalam pelukanku.
                Aku adalah laki-laki, dan seorang lelaki sejati tidak akan pernah mendustai janji. Aku tidak akan menghalangi impianmu, isteriku. Mimpimu adalah mimpiku juga.

Wulan’s Blog: Posted by Wulan at April, 8th 2013
               
Selamat Tinggal Mimpi

Aku ada di sini karenanya
Pertama kali aku melihatnya
Di pernikahan Langit dan Bima
Saat itu, satu yang tak dapat kucegah
Jantungku berdegup membuncah
Mencari rima pun tak indah

Lama aku mencari
Berlari dan bersembunyi
Hingga Ia menyadari
Di atas tebing indah itu
Menyapa dan tersenyum
Aku tahu, itu bukan dirinya

Kini…
Aku adalah Bidadari
Bidadari tak akan berlari
Meski menjejak duri
Meski meringkih penuh iri
Untuk meraih mimpi
Senyum ikhlaskan hati
Karena Surga ada di sini
Menderma bersama suami.

No comments: