Jika Tuhan memberi 'hadiah' untuk kembali ke masa lalu. Saya ingin kembali ke tahun 2006. Tahun awal duduk di bangku perkuliahan. Saat itu, saya akan benar-benar belajar untuk bisa lulus SPMB--yang dulu gak diniatin banget karena masih jetlag dan kena pengaruh euforia masa SMA. Oke, ini saya sedang beralasan. Meskipun misalnya saya nggak berhasil lulus SPMB, toh saya akhirnya tetap berhasil mengambil jurusan yang memang sudah diidam-idamkan. Hanya saja kampusnya bukan yang diimpikan, bukan kampus negeri. Itu bukan masalah. Yang menjadi masalah, setelahnya saya tidak benar-benar serius belajar. Oh, tidak. Saya belajar. Jelas saya belajar. Tapi, belajar hanya apa yang diberikan oleh pengajar. Cukup tahu saja. Cukup sampai di situ. Saya hanya belajar, bukan menuntut ilmu. Tidak punya keinginan untuk menuntut ilmu. Tidak ada hasrat ingin mengetahui lebih dalam. Tidak ingin bertanya kenapa begini, kenapa begitu.
Saya bisa lulus kuliah sebenernya hanya dengan modal rajin masuk kuliah. Hanya rajin. Bukan karena pintar. Bukan karena mengerti ilmu yang diambil mata kuliahnya. Bahkan bukan karena mengerti apa itu ilmu politik. Well, saya lupa mengabarkan. Halo, saya mengambil jurusan HI, Hubungan Internasional. Keren, kan, nama jurusannya? Ada internasional internasionalnya gitu. Mungkin karena 'keren'nya itu mengapa dulu saya mengidamkan jurusan ini.
Jadi, itulah penyesalan terbesar saya sekarang. Jawaban mengapa saya tiba-tiba ingin 'hadiah' berupa kembali ke masa lalu dari Tuhan. Setidaknya hadiah untuk ulang tahun saya sebentar lagi. Oh, stop ngomongin ulang tahun. Itu membuat saya merasa tua. Walaupun hakikatnya dan senormalnya memang tambah tua.
Kembali, ingin benar-benar kembali ke masa sebelum kuliah. Ingin mengikuti perkuliahan dan belajar (red._menuntut ilmu) dengan serius. Tidak terlalu penting IPK cumlaude. Cukup dengan ilmu yang tercerap, memahami semua yang dijelaskan dosen, mengerjakan dan menyelesaikan skripsi yang benar-benar 'HI'. Bukan malah bikin review film. Cukup, cukup, sungguh.... kalo udah nyinggung skripsi gini, saya langsung pengen nangis, ga sanggup. Seperti punya trauma. Karena itu juga, kalo disuruh lanjut S2 saya agak enggan. Di form pendaftaran aja udah ditanyain judul skripsi S1.
Aargh, merasa sia-sia perkuliahan selama 4 tahun itu. Maapkan anakmu, Ibu.
"It's never too late to do some good."
"It's never too late to learn."
"It's never too late to be what you might have been."
"Dibandingkan dengan mereka yang berjalan cepat, orang yang berjalan lambat bisa melihat segala sesuatu dengan lebih jelas."
Baiklah, baiklah ... kuot-kuot itu cukup menghibur memang. Tapi, tetap saja, segala sesuatu yang "terlambat" harus ada konsekuensinya, kan? Harus ada hukumannya. Saya tidak ingin penyesalan ini jadi bahan tertawaan setan, dkk. Setan akan senang melihat manusia menyesal untuk hal-hal seperti ini. Oke, saya tidak sedang menyesal, saya hanya sedang ingin membuat sebuah 'hikmah'. Buku-buku bacaan anak yang saya 'hancurkan' mengajarkan itu. Di setiap tulisan harus ada hikmahnya.
Pertama, saya harus terus belajar, belajar, dan belajar untuk lebih baik. Lebih baik setiap harinya, bahkan kalau perlu setiap satu jam ke depan. Ingat, itu hukuman pertama.
Kedua, membaca minimal 1 halaman setiap hari. Membaca apa saja. Membaca koran, membaca artikel online, membaca buku, jurnal, majalah, surel, blog, bahkan membaca aturan pakai di belakang kemasan, baca apa saja yang bermanfaat.
Ketiga, menulis minimal satu paragraf. Menulis apa saja, di mana saja, yang penting sehari harus menulis.
#ketokpalu
Aargh, merasa sia-sia perkuliahan selama 4 tahun itu. Maapkan anakmu, Ibu.
"It's never too late to do some good."
"It's never too late to learn."
"It's never too late to be what you might have been."
"Dibandingkan dengan mereka yang berjalan cepat, orang yang berjalan lambat bisa melihat segala sesuatu dengan lebih jelas."
Baiklah, baiklah ... kuot-kuot itu cukup menghibur memang. Tapi, tetap saja, segala sesuatu yang "terlambat" harus ada konsekuensinya, kan? Harus ada hukumannya. Saya tidak ingin penyesalan ini jadi bahan tertawaan setan, dkk. Setan akan senang melihat manusia menyesal untuk hal-hal seperti ini. Oke, saya tidak sedang menyesal, saya hanya sedang ingin membuat sebuah 'hikmah'. Buku-buku bacaan anak yang saya 'hancurkan' mengajarkan itu. Di setiap tulisan harus ada hikmahnya.
Pertama, saya harus terus belajar, belajar, dan belajar untuk lebih baik. Lebih baik setiap harinya, bahkan kalau perlu setiap satu jam ke depan. Ingat, itu hukuman pertama.
Kedua, membaca minimal 1 halaman setiap hari. Membaca apa saja. Membaca koran, membaca artikel online, membaca buku, jurnal, majalah, surel, blog, bahkan membaca aturan pakai di belakang kemasan, baca apa saja yang bermanfaat.
Ketiga, menulis minimal satu paragraf. Menulis apa saja, di mana saja, yang penting sehari harus menulis.
#ketokpalu
No comments:
Post a Comment