Tuesday, December 8, 2015

Intervensi



Mendapat nilai tertinggi saat ujian akhir nasional tidak selalu membahagiakan. Saat itu, hasil ujian--yang disebut NEM (Nilai Ebtanas Murni)--saya tertinggi di sekolah. Saya kebetulan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah yang notabene tidak ada siapa-siapa di sana. Maksud saya seperti ini, Ibu mengajar di SD ujung selatan desa, Paman mengajar di ujung barat desa, Bibi mengajar di SD sebelah, Bapak mengajar SMP di kecamatan tetangga. Saya menduga mereka pasti ingin membuang saya. Lupakan tujuan ingin menjadikan saya anak mandiri dan menghindari nepotisme. Lupakan. Tapi, mungkin juga mereka menyekolahkan saya di sana untuk tujuan pendidikan agama sejak dini karena mereka cukup sadar memiliki anak yang nakal. Sampai di sini saya cukup bangga menjadi anak mereka.
Sampai pada suatu hari, pengumuman nilai ujian akhir itu tiba. Saya mendapat nilai tertinggi. bahkan tertinggi dari seluruh sekolah di desa itu. Seharusnya saya senang, tapi tidak. Saya bingung, ini Sesuatu yang sulit untuk saya terima. Pasalnya, sejak duduk di kelas satu MIN, saya tidak pernah sekalipun mendapat rangking satu. Ada satu orang sahabat saya yang selalu rangking satu. Dan saya setia dengan rangking dua dari kelas satu sampai kelas enam. Dan kami bersahabat dekat. Sangat dekat. She is really smart. Sampai dengan keluarnya hasil ujian akhir itu, saya tiba-tiba mendapat mukjizat mengalahkannya, bahkan mengalahkan semua sekolah dasar sedesa. Itu sempat membuat saya stres. Tapi, saya yang ketika itu berusia belum genap 12 tahun tidak mengerti apa yang membuat saya tidak senang dengan prestasi itu.
Selama mengikuti ujian saya memang belajar. Tapi, saya lupa apakah saat itu saya belajar keras atau tidak, yang jelas Bibi saya yang baik hati dan mengajar di sekolah sebelah itu menjadi pengawas ujian dan dia menuliskan jawaban ujian dengan tenang di papan tulis (tanpa mau repot-repot ngumpet atau menyamarkan gerakan). Jelas saja kami semua senang dan menyalin jawaban itu tanpa perasaan berdosa. Kami berpikir semunya melakukan hal yang sama. Jadi tidak masalah. Pepatah just because a thousand people are doing it, it doesn’t mean it’s right. And just because no one is doing it, it doesn’t mean it’s wrong. Tidak berlaku bagi kami yang memang belum belajar bahasa inggris waktu itu.
Sebenernya Bibi tidak sepenuhnya salah, soal-soal yang keluar saat itu, benar-benar diluar kemampuan kami. Masalah yang mungkin masih terjadi hingga saat ini adalah, apa yang kami pelajari di desa bisa sangat jauh berbeda dengan soal ujian yang dibuat oleh orang-orang di pusat. Itu sebabnya Bibi membantu kami semua yang sebenarnya bukan muridnya. Bibi posisinya sebagai pengawas untuk sekolah saya, ingat? Meskipun perbuatan itu tidak dibenarkan, kami saat itu berterima kasih. Dan lagi-lagi saya menduga tidak hanya Bibi yang seperti itu, semunya, semunya turut andil.
Saya berpikir peran Bibi tidak cukup sampai di sana. Karena kalau iya, nilai ujian kami harusnya sama, atau bukan nilai saya yang tertinggi sendiri. Saya menduga Bibi juga ikut andil dalam menciptakan nilai saya jadi terbaik, mungkin dia punya chanel di bagian pemeriksa ujian. Tapi, ini hanya dugaan saya, sampai sekarang saya belum berani menanyakannya kepada Bibi. Mungkin saya tidak siap dengan pengkuan Bibi kalau sampai dugaan saya tepat.
Kenapa saya menulis ini? Saya baru saja membaca istilah “Helicopter Parenting” di blog sebelah. Di sana dikatakan begini tentang Helicopter Parenting: Julie Lythcott-Haims dalam bukunya, “How to Raise and Adult” melihat trend beberapa decade terakhir di antara orangtua golongan kelas menengah, bahwa orangtua terlalu ingin melihat anaknya sukses sehingga mereka mengintervensi langsung kepada anak setiap kali sang anak memiliki masalah. Mereka berpandangan bahwa anak akan belajar menjadi sukses jika semua hambatan dalam hidup sang anak, dihilangkan. (http://suamigila.com/2015/11/helicopter-parenting.html) Jadi, sepertinya itu yang sudah dilakukan Bibi saya. Ini masih ‘sepertinya’ karena saya yang tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri  untuk mendapat nilai terbaik. Nanti, suatu saat akan saya tanyakan, biarlah saya menduga-duga, jadi saya bisa membuat tulisan di sini. Tapi, saya yakin, sih, dugaan saya 99% benar.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitar saya adalah, saat saya mengikuti perlombaan kasidah rebana. You know what’s that? Kasidah rebana adalah sebuah kesenian bernyanyi satire atau keagamaan diiringi alat musik rebana yang dimainkan oleh beberapa orang, dan satu orang sebagai vokalis—saya sebut vokalis saja biar gampang, saya kesulitan menemukan nama posisi penyanyi dalam kasidah. Yap, saya adalah vokalisnya. Jangan salah, saya juga pernah menjadi vokalis. Ya, saya juga heran saya bisa bernyanyi. Saya yakin itu karena tidak ada lagi pilihan, jadi terpaksa saya yang diterjunkan oleh si mbak ‘pelatih’. Dan, luar biasanya adalah tim kami memenangkan perlombaan itu. Masih segar dalam ingatan, saat itu, saya sempat lupa lirik lagunya di tengah-tengah. Dan itu penampilan yang amat mengecewakan diri saya sendiri. Saya yakin banyak tim yang lebih bagus penampilannya dari kami. Tapi, kenapa kami bisa menjadi juara? Kenapa?
Usut punya usut, si mbak ‘pelatih’nya memaksa—entah bagaimana caranya, saya tidak bisa bayangin, apakah itu disuap, diancem, atau dijadiin suami, saya tidak tahu—panitia acaranya untuk menjadikan kami juaranya. Itu karena saya yang jadi vokalis, sebelumnya saya dipaksa untuk jadi vokalis menggantikan vokalis yang saya lupa apa sebab ia tidak tampil. Saya dipaksa. Karena itu, si mbak ‘pelatih’nya merasa bersalah kalau tim kami tidak menang. Karena setelah tampil itu saya menyalahkan diri sendiri, terlihat sedih, suram, dan sebagainya sebab lupa lirik di tengah-tengah penampilan. Jadi, demi menghibur saya dan mengatakan penampilan saya bagus, tidak hanya mengatakan, dia ingin membuktikan tidak salah memaksa saya sebelumnya dengan mengancam panitia acara. Ya Tuhan, sebenarnya apa, sih, yang saya punya waktu kecil sampai membuat orang-orang dewasa repot seperti itu. Kenapa mereka ingin sekali menjadikan saya yang terbaik, padahal saya tidak memiliki kemampuan untuk itu?
Saya mengetahui masalah ini, setelah Ibu saya protes ke mbak ‘pelatih’ dengan mengatakan sesuatu yang sebenernya buat saya sakit hati, tapi juga mengakui Ibu benar. “Namanya juga perlombaan, pasti ada yang kalah, ada yang menang. Nggak boleh memaksakan diri untuk jadi juara seperti itu, apalagi dengan meminta ke panitia untuk ‘dijuarakan’. Itu tidak adil, memalukan. Padahal, kan, ada yang lebih baik penampilannya dari mereka, ada yang nggak lupa lirik di tengah-tengah.” Begitu kata Ibu. Saya yang masih kecil tidak mengikuti perbincangan itu, hanya mendengarkan, tanpa mampu menyampaikan sepakat atau protes, atau apa pun. Yang jelas itu kemenangan yang tidak membahagiakan sebelum masalah hasil ujian tadi.
Sebelum itu, ada lagi, Ibu juga pernah melakukan intervensi seperti yang dilakukan Bibi dan mbak ‘pelatih’ tadi. Sekali, cukup sekali itu saja. Saya sedang mengerjakan PR Bahasa Arab dari sekolah, ada beberapa soal yang saya tidak tahu jawabannya (menerjemahkan bahasa Indonesia ke Bahasa Arab) karena tidak memperhatikan saat pak Guru menjelaskan di kelas. Saya anak yang nakal dan malas belajar, ingat? Jadi, karena tidak tahu jawabannya, saya bertanya kepada Ibu. Saat itu, Ibu membantu dengan mengacu pada entah buku atau kamus bukan untuk tingkat madrasah ibtidaiyah, mungkin itu buku Ibu waktu kuliah. Jadi, Ibu—yang mungkin lupa bahwa kenyataan pelajaran bahasa arab tingkat dasar dengan perguruan tinggi itu berbeda—membantu dengan suka cita sambil menjelaskan dan kalau tidak salah menyuruh menghafalnya juga.
Saat di sekolah, buku PR saya diangkat tinggi-tinggi oleh pak Guru, dan bertanya “Nak, PRnya kamu nggak dikerjakan sendiri, ya?” Saya diam. “Jawabannya, sih, bener, tapi, Bapak belum sampai mengajar bahasa yang sesulit ini. Ini terjemahannya bukan bahasa yang kita pelajari minggu lalu. Dari mana kamu dapat jawabannya?” lanjut pak Guru berusaha membuat saya agar tidak malu di depan teman-teman. “Saya… saya mengerjakannya melihat kamus milik Ibu saya, Pak. Di bantu sama Ibu juga.” “Tidak masalah sebenarnya, tapi, nanti coba diulangi lagi pelajaran yang minggu lalu, ya, pinjam catatan mufrodat dari teman sebangkumu, coba dihafalin lagi.” “Baik, Pak”
See? Saya mengalami cukup banyak peng-intervensi-an orang dewasa dalam hidup ini. Ya, tiga kali itu cukup banyak lah menurut saya. Apalagi mengenai hasil ujian itu. Saya tidak pernah membahas atau membanggakannya di mana pun. Setelah itu, saya hanya membuktikan kepada diri saya sendiri dengan nilai ujian akhir yang tidak mengecewakan saat duduk di bangku MTs. Pernah mendapatkan nilai Bahasa Arab tertinggi dari seluruh kelas bahkan melampaui nilai anak-anak kelas unggulan. Dan saya sempat terkenal gara-gara itu. Demikian juga saat Ujian Akhir SMA, saya mengambil jurusan Bahasa dan Bahasa Arab sebagai pelajaran bahasa asingnya juga tidak mengecewakan, 8 koma sekian—saya lupa komanya. Nilai yang baik untuk skala 0 sampai 10.
Namun sayangnya, sekarang, di masa sekarang, saya lupa dengan pelajaran bahasa Arab yang pernah saya pelajari hilang entah ke mana. Jangan meminta saya untuk bercakap dengan bahasa Arab. Serius, saya lupa, saya perlu membuka-buka lagi buku pelajaran. Perlu recall. Semoga saya bisa belajar dari semua pengalaman itu untuk anak saya kelak.



No comments: