Mendapat nilai tertinggi saat ujian akhir nasional
tidak selalu membahagiakan. Saat itu, hasil ujian--yang disebut NEM (Nilai
Ebtanas Murni)--saya tertinggi di sekolah. Saya kebetulan sekolah di Madrasah
Ibtidaiyah yang notabene tidak ada siapa-siapa di sana. Maksud saya seperti
ini, Ibu mengajar di SD ujung selatan desa, Paman mengajar di ujung barat desa, Bibi mengajar di SD sebelah, Bapak mengajar
SMP di kecamatan tetangga. Saya menduga mereka pasti ingin membuang saya.
Lupakan tujuan ingin menjadikan saya anak mandiri dan menghindari nepotisme.
Lupakan. Tapi, mungkin juga mereka menyekolahkan saya di sana untuk tujuan pendidikan
agama sejak dini karena mereka cukup sadar memiliki anak yang nakal. Sampai di
sini saya cukup bangga menjadi anak mereka.
Sampai pada suatu hari, pengumuman nilai ujian akhir
itu tiba. Saya mendapat nilai tertinggi. bahkan tertinggi dari seluruh sekolah
di desa itu. Seharusnya saya senang, tapi tidak. Saya bingung, ini Sesuatu yang
sulit untuk saya terima. Pasalnya, sejak duduk di kelas satu MIN, saya tidak
pernah sekalipun mendapat rangking satu. Ada satu orang sahabat saya yang selalu
rangking satu. Dan saya setia dengan rangking dua dari kelas satu sampai kelas
enam. Dan kami bersahabat dekat. Sangat dekat. She is really smart. Sampai dengan
keluarnya hasil ujian akhir itu, saya tiba-tiba mendapat mukjizat mengalahkannya,
bahkan mengalahkan semua sekolah dasar sedesa. Itu sempat membuat saya stres. Tapi,
saya yang ketika itu berusia belum genap 12 tahun tidak mengerti apa yang membuat
saya tidak senang dengan prestasi itu.
Selama mengikuti ujian saya memang belajar. Tapi, saya
lupa apakah saat itu saya belajar keras atau tidak, yang jelas Bibi saya yang baik
hati dan mengajar di sekolah sebelah itu menjadi pengawas ujian dan dia
menuliskan jawaban ujian dengan tenang di papan tulis (tanpa mau repot-repot ngumpet
atau menyamarkan gerakan). Jelas saja kami semua senang dan menyalin jawaban
itu tanpa perasaan berdosa. Kami berpikir semunya melakukan hal yang sama. Jadi
tidak masalah. Pepatah just because a thousand people are doing it, it doesn’t
mean it’s right. And just because no one is doing it, it doesn’t mean it’s
wrong. Tidak berlaku bagi kami yang memang belum belajar bahasa inggris waktu
itu.
Sebenernya Bibi tidak sepenuhnya salah, soal-soal
yang keluar saat itu, benar-benar diluar kemampuan kami. Masalah yang mungkin
masih terjadi hingga saat ini adalah, apa yang kami pelajari di desa bisa
sangat jauh berbeda dengan soal ujian yang dibuat oleh orang-orang di pusat.
Itu sebabnya Bibi membantu kami semua yang sebenarnya bukan muridnya. Bibi posisinya
sebagai pengawas untuk sekolah saya, ingat? Meskipun perbuatan itu tidak
dibenarkan, kami saat itu berterima kasih. Dan lagi-lagi saya menduga tidak
hanya Bibi yang seperti itu, semunya, semunya turut andil.
Saya berpikir peran Bibi tidak cukup sampai di sana.
Karena kalau iya, nilai ujian kami harusnya sama, atau bukan nilai saya yang
tertinggi sendiri. Saya menduga Bibi juga ikut andil dalam menciptakan nilai saya
jadi terbaik, mungkin dia punya chanel di bagian pemeriksa ujian. Tapi, ini hanya
dugaan saya, sampai sekarang saya belum berani menanyakannya kepada Bibi.
Mungkin saya tidak siap dengan pengkuan Bibi kalau sampai dugaan saya tepat.
Kenapa saya menulis ini? Saya baru saja membaca
istilah “Helicopter Parenting” di blog sebelah. Di sana dikatakan begini
tentang Helicopter Parenting: Julie Lythcott-Haims dalam bukunya, “How to Raise
and Adult” melihat trend beberapa decade terakhir di antara orangtua golongan
kelas menengah, bahwa orangtua terlalu ingin melihat anaknya sukses sehingga
mereka mengintervensi langsung kepada anak setiap kali sang anak memiliki
masalah. Mereka berpandangan bahwa anak akan belajar menjadi sukses jika semua
hambatan dalam hidup sang anak, dihilangkan. (http://suamigila.com/2015/11/helicopter-parenting.html)
Jadi, sepertinya itu yang sudah dilakukan Bibi saya. Ini masih ‘sepertinya’
karena saya yang tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri untuk mendapat nilai terbaik. Nanti, suatu
saat akan saya tanyakan, biarlah saya menduga-duga, jadi saya bisa membuat
tulisan di sini. Tapi, saya yakin, sih, dugaan saya 99% benar.
Masalah kedua yang ditimbulkan oleh orang-orang di
sekitar saya adalah, saat saya mengikuti perlombaan kasidah rebana. You know
what’s that? Kasidah rebana adalah sebuah kesenian bernyanyi satire atau
keagamaan diiringi alat musik rebana yang dimainkan oleh beberapa orang, dan
satu orang sebagai vokalis—saya sebut vokalis saja biar gampang, saya kesulitan
menemukan nama posisi penyanyi dalam kasidah. Yap, saya adalah vokalisnya. Jangan
salah, saya juga pernah menjadi vokalis. Ya, saya juga heran saya bisa
bernyanyi. Saya yakin itu karena tidak ada lagi pilihan, jadi terpaksa saya
yang diterjunkan oleh si mbak ‘pelatih’. Dan, luar biasanya adalah tim kami
memenangkan perlombaan itu. Masih segar dalam ingatan, saat itu, saya sempat
lupa lirik lagunya di tengah-tengah. Dan itu penampilan yang amat mengecewakan
diri saya sendiri. Saya yakin banyak tim yang lebih bagus penampilannya dari
kami. Tapi, kenapa kami bisa menjadi juara? Kenapa?
Usut punya usut, si mbak ‘pelatih’nya memaksa—entah
bagaimana caranya, saya tidak bisa bayangin, apakah itu disuap, diancem, atau
dijadiin suami, saya tidak tahu—panitia acaranya untuk menjadikan kami
juaranya. Itu karena saya yang jadi vokalis, sebelumnya saya dipaksa untuk jadi
vokalis menggantikan vokalis yang saya lupa apa sebab ia tidak tampil. Saya dipaksa.
Karena itu, si mbak ‘pelatih’nya merasa bersalah kalau tim kami tidak menang. Karena
setelah tampil itu saya menyalahkan diri sendiri, terlihat sedih, suram, dan
sebagainya sebab lupa lirik di tengah-tengah penampilan. Jadi, demi menghibur
saya dan mengatakan penampilan saya bagus, tidak hanya mengatakan, dia ingin
membuktikan tidak salah memaksa saya sebelumnya dengan mengancam panitia acara.
Ya Tuhan, sebenarnya apa, sih, yang saya punya waktu kecil sampai membuat
orang-orang dewasa repot seperti itu. Kenapa mereka ingin sekali menjadikan
saya yang terbaik, padahal saya tidak memiliki kemampuan untuk itu?
Saya mengetahui masalah ini, setelah Ibu saya
protes ke mbak ‘pelatih’ dengan mengatakan sesuatu yang sebenernya buat saya
sakit hati, tapi juga mengakui Ibu benar. “Namanya juga perlombaan, pasti ada
yang kalah, ada yang menang. Nggak boleh memaksakan diri untuk jadi juara
seperti itu, apalagi dengan meminta ke panitia untuk ‘dijuarakan’. Itu tidak
adil, memalukan. Padahal, kan, ada yang lebih baik penampilannya dari mereka,
ada yang nggak lupa lirik di tengah-tengah.” Begitu kata Ibu. Saya yang masih
kecil tidak mengikuti perbincangan itu, hanya mendengarkan, tanpa mampu
menyampaikan sepakat atau protes, atau apa pun. Yang jelas itu kemenangan yang
tidak membahagiakan sebelum masalah hasil ujian tadi.
Sebelum itu, ada lagi, Ibu juga pernah melakukan
intervensi seperti yang dilakukan Bibi dan mbak ‘pelatih’ tadi. Sekali, cukup
sekali itu saja. Saya sedang mengerjakan PR Bahasa Arab dari sekolah, ada
beberapa soal yang saya tidak tahu jawabannya (menerjemahkan bahasa Indonesia ke
Bahasa Arab) karena tidak memperhatikan saat pak Guru menjelaskan di kelas. Saya
anak yang nakal dan malas belajar, ingat? Jadi, karena tidak tahu jawabannya,
saya bertanya kepada Ibu. Saat itu, Ibu membantu dengan mengacu pada entah buku
atau kamus bukan untuk tingkat madrasah ibtidaiyah, mungkin itu buku Ibu waktu
kuliah. Jadi, Ibu—yang mungkin lupa bahwa kenyataan pelajaran bahasa arab
tingkat dasar dengan perguruan tinggi itu berbeda—membantu dengan suka cita
sambil menjelaskan dan kalau tidak salah menyuruh menghafalnya juga.
Saat di sekolah, buku PR saya diangkat
tinggi-tinggi oleh pak Guru, dan bertanya “Nak, PRnya kamu nggak dikerjakan
sendiri, ya?” Saya diam. “Jawabannya, sih, bener, tapi, Bapak belum sampai
mengajar bahasa yang sesulit ini. Ini terjemahannya bukan bahasa yang kita
pelajari minggu lalu. Dari mana kamu dapat jawabannya?” lanjut pak Guru
berusaha membuat saya agar tidak malu di depan teman-teman. “Saya… saya
mengerjakannya melihat kamus milik Ibu saya, Pak. Di bantu sama Ibu juga.” “Tidak
masalah sebenarnya, tapi, nanti coba diulangi lagi pelajaran yang minggu lalu,
ya, pinjam catatan mufrodat dari teman sebangkumu, coba dihafalin lagi.” “Baik,
Pak”
See? Saya mengalami cukup banyak peng-intervensi-an
orang dewasa dalam hidup ini. Ya, tiga kali itu cukup banyak lah menurut saya. Apalagi
mengenai hasil ujian itu. Saya tidak pernah membahas atau membanggakannya di
mana pun. Setelah itu, saya hanya membuktikan kepada diri saya sendiri dengan
nilai ujian akhir yang tidak mengecewakan saat duduk di bangku MTs. Pernah mendapatkan
nilai Bahasa Arab tertinggi dari seluruh kelas bahkan melampaui nilai anak-anak
kelas unggulan. Dan saya sempat terkenal gara-gara itu. Demikian juga saat
Ujian Akhir SMA, saya mengambil jurusan Bahasa dan Bahasa Arab sebagai
pelajaran bahasa asingnya juga tidak mengecewakan, 8 koma sekian—saya lupa
komanya. Nilai yang baik untuk skala 0 sampai 10.
Namun sayangnya, sekarang, di masa sekarang, saya lupa
dengan pelajaran bahasa Arab yang pernah saya pelajari hilang entah ke mana. Jangan
meminta saya untuk bercakap dengan bahasa Arab. Serius, saya lupa, saya perlu
membuka-buka lagi buku pelajaran. Perlu recall. Semoga saya bisa belajar dari
semua pengalaman itu untuk anak saya kelak.

No comments:
Post a Comment