Friday, June 7, 2013

Ekspedisi Menuju Pantai Selatan

Laporan Perjalanan:
Genre: Nonfiksi

Kamis, 13 Mei 2010
Jonggring Saloka, nama itu masih terasa asing di telinga. Keberadaan pantai di bagian selatan pulau Jawa, tepatnya di Desa Mentaraman, Kecamatan Donomulyo pinggiran selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur ini tidak banyak yang tahu. Yang terkenal dan banyak dikunjungi adalah seperti pantai Sendang Biru, Balekambang, dan Pantai Ngeliyep. Padahal Malang masih memiliki banyak pantai dan pemandangan laut lepas yang indah lainnya, salah satunya adalah Pantai Jonggring Saloka ini.


Untuk mendapatkan pantai Jonggring Saloka ini membutuhkan tenaga yang kuat, waktu yang panjang, dan ke-nekat-an. Perlu jarak perjalanan yang berpuluh-puluh kilo. Saat ini, tidak ada yang mengunjungi pantai tersebut jika sekedar ingin rekreasi atau mengisi waktu libur. Orang-orang lebih memilih pantai Sendang Biru, Balekambang, atau Ngeliyep jika ingin berekreasi. Karena selain jaraknya yang sangat jauh, akses jalan menuju pantai Jonggring Saloka saat ini dalam kondisi yang sangat buruk. Akan sangat kesulitan jika ditempuh dengan kendaraan, karena kondisi jalan yang penuh dengan batu-batuan besar, licin, becek, dan sempit.



Tetapi, dengan modal kenekatan dan rasa penasaran, saya dan tiga orang teman saya mengadakan perjalanan menuju pantai yang konon terdapat batu karang yang bisa menyemburkan air ke angkasa ini. Di tengah perjalanan, yang kami rasa sudah cukup jauh ditempuh, kami berhenti di sebuah toko untuk membeli sedikit makanan. Sekaligus kami menanyakan apakah pantai tersebut masih jauh? Sang penjaga Toko dengan wajah sedikit heran menjawab, “Oh, Pantai Jonggring masih jauh sekali dek.., tapi ada apa kesana? Kalau mau jalan-jalan mending ke Ngeliyep aja, jalanannya udah bagus. Kalau Jonggring jalanannya rusak, batu-batuan. Bisa sih bisa kesana.. tapi pulangnya kalian Pijitan.” Mendengar perkataan penjaga toko, sedikit membuat kami enggan, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Lagipula pikir kami ini sudah setengah perjalanan. apakah benar sudah setengah perjalanan?


Wajah penjaga toko itu mengguratkan kekhawatiran, ia mengantar kami ke depan dan berdiri di depan tokonya lalu berpesan agar kami memberikan nomor handphone kami atau meminta nomor telepon di rumah terakhir di ujung desa nanti. Kok jadi tegang gini ya? pada kenapa sih orang-orang ini?


Kami meneruskan perjalanan sambil sesekali berhenti untuk menanyakan arah jalan, ekspresi wajah orang-orang yang kami tanya hampir sama, heran. Jalanan tepi pegunungan, tengah-tengah sawah, hutan, Desa demi Desa kami lewati, pantai itu belum juga kami temui. Kondisi jalan yang berbeda dengan di kota membuat perjalanan kami terasa lebih jauh. Hingga memasuki kecamatan Donomulyo, saya merasa sudah tidak sabar untuk melihat pantai. Pantainya sudah dekat, membatin.


Akan tetapi, kecamatan Donomulyo memiliki banyak desa, saat melewati desa-desa tersebut, berpasang-pasang mata mengikuti perjalanan kami, seolah-olah mereka tahu tujuan kami dan mungkin heran seraya bertanya, ngapain kesana? Untuk sementara keinginan segera melihat pantai teralihkan, karena kondisi jalan yang kasar dan bebatuan memaksa kami untuk lebih berkonsentrasi dan berhati-hati.


Jalan bebatuan itu ternyata tidak seperti yang kami kira, sangat jauh dan panjang. Meskipun menggunakan sepeda motor, jika tidak biasa dengan kondisi jalan seperti itu, bisa lelah dan capek. Pada jarak yang sudah cukup jauh, karena sudah tidak kuat, saya sendiri hampir terjatuh tepat di jalan turunan bebatuan. Untunglah masih bisa menahan. Tapi, saat itu saya sudah ingin menyerah. Seandainya jalan pulang dekat, saya pasti akan berbalik dan memilih untuk kembali. Ibuuuuuu...aku mau pulaaanggg... :'(


Beberapa jarak kemudian, kami sudah memasuki jalanan yang lebih sempit dan tidak menemukan rumah penduduk lagi. Ternyata rumah beberapa meter tadi adalah rumah terakhir, dan kami tidak sempat mampir untuk menanyakan nomor telepon rumah tersebut sebagaimana pesan penjaga toko tadi. Kami tetap meneruskan perjalanan, melewati jalanan licin, tanjakan, turunan dan bebatuan besar yang terasa sangat jauh. Sesekali kami istirahat mengembalikan tenaga dan menyantap makanan ringan (snack) yang dibeli di toko tadi. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan.


“Aaaoow!!! Tolong!” saya tersentak kaget dan berbalik, ternyata dua orang teman saya terjatuh, sepeda motornya terjungkir ke kanan. Mereka terjatuh dan kaki-tangan mereka yang digunakan untuk menahan tubuh berbentur dengan batu hingga sedikit memar. Akan tetapi, lagi-lagi masih untung, kami semua masih bisa meneruskan perjalanan. Perjalanan sudah terasa sangat jauh, bahkan candaan kami, kami merasa sudah sampai Australia, tapi belum ada tanda-tanda pantai sudah dekat, tidak ada suara ombak atau pun semilir angin pantai yang berhembus.


Kondisi jalan yang mengidamkan sentuhan dari Pemerintah ini membuat perjalanan kami sangat melelahkan. Pada hakikatnya jika jalan ini diaspal dan diperbaiki, akan jadi perjalanan yang menyenangkan dengan pepohonan rindang di tepi kiri dan kanan jalan, pemandangan hijau yang menyejukkan mata, dan di tengah-tengah hutan ada genangan air yang cukup besar, seperti danau. Ditemani pula kicauan burung yang bersahut-sahutan, sungguh indah. Akan tetapi, kami sulit menikmati keindahan tersebut, karena harus sibuk dan konsentrasi untuk menghindari batu-batu besar dan jalan yang licin.


Sekitar pukul 12.45 WIB kami mendapati sebuah pos jaga yang sudah tidak terawat dan gerbang tidak berpintu yang bertuliskan “DILARANG MANDI DI LAUT” dan di sebelah kiri ditulis nama pantai “PANTAI JONGGRING SALOKA”. Melihat hal ini, dalam benak kami menyimpulkan sementara, bahwa tempat ini pernah dijadikan tempat wisata dan pernah dikelola. Siapa yang mengelola, masih kami telusuri. Pemandangan birunya laut dan hamparan pasir putih sudah terlihat dari kejauhan. Betapa senangnya hati kami. kami kegirangan. Bahagia. seperti anak kecil yang baru diberi permen.


Tapi, sebelum berlari mendapati pantai, mata kami tertuju pada sejumlah bangunan rumah yang terbuat dari kayu, triplek, dan gedek yang terlihat sudah cukup lama tidak berpenghuni dan tidak terawat. Bangunan-bangunan itu seperti bekas warung dan tempat penginapan. Kami semakin yakin kalau tempat ini pernah ramai dikunjungi. Tapi, kenapa sekarang kami tidak melihat satu pengunjung pun kecuali dua orang penduduk sekitar yang sedang mencari rumput. Jawabannya jelas, kondisi jalan lah yang menutupi keindahan pantai ini.


Pemandangan laut biru cerah. Hamparan pasir putih yang bersih, tidak ada sampah kecuali beberapa helai dedaunan tua yang berjatuhan dari hutan dan diterbangkan angin. Deru ombak yang deras menerpa karang di bibir pantai, menjawab pertanyaan kami di depan tulisan “DILARANG MANDI DI LAUT” tadi. Laut dengan ombak tinggi mencapai 3 meter ini menjadi pemandangan menakjubkan. Rasa lelah di perjalanan, hilang seketika. Membuat bibir tidak berhenti memuji kekuasaan Sang Maha Pencipta.


Setelah ditelusuri, ternyata memang benar dulu pantai ini pernah dikelola. Berdasarkan penuturan warga yang sedang mencari rumput yang kami wawancara, pantai ini dulu pernah dikelola oleh warga. “Dulu banyak yang berkunjung dan berwisata di pantai ini. tapi, karena kondisi jalan yang semakin rusak dan tidak ada perbaikan, pengunjung pun enggan untuk mendatangi tempat ini,” tuturnya.


Setelah merasa cukup mengambil dokumentasi dan melepas lelah di pantai kami memutuskan untuk kembali dan menggali informasi lebih dalam lagi di desa terdekat. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan tiga orang warga yang baru selesai mengurus lahan pertaniannya. Dua dari mereka adalah anggota Perhutani (Perusahaan Umum Kehutanan Negara) dan satu adalah seorang mahasiswa dari Ternate, Nusa Tenggara Timur, yang sedang menjalani PKL (Praktek Kerja Lapangan) di desa itu. Pada mereka kami bertanya-tanya. Dan mereka menganjurkan agar kami mencari data lebih jelas lagi di Komandan Perhutani, Pak Pani panggilannya.
Dikisahkan Pak Pani, Sejarah daerah ini  pernah mencatat bahwa seorang yang bernama Mbah Sukaryo dari Mataram, Jawa Tengah datang ke sebuah desa di pinggiran selatan Kabupaten Malang. Konon, Mbah Sukaryo inilah yang memberi nama desa ini Desa Mentaraman, diambil dari kata Mataram. Pada suatu ketika di desa Mentaraman mewabah sejenis penyakit, hampir semua warga desa terkena penyakit tersebut dan banyak yang sampai meninggal. Melihat hal itu, Mbah Sukaryo memutuskan untuk bertapa di pesisir pantai selatan. Di sana, ia mendapat ilham agar warga desa mengadakan Labuan di pesisir pantai itu. Saat musim panen tiba, warga pun mengadakan Labuan, yaitu semacam sedekah laut, sebagian dari hasil panen warga ditenggelamkan ke laut. Setelah itu, penyakit yang mewabah di desa tadi hilang. Hal ini diyakini warga karena Labuan tadi. Hingga saat ini Labuah masih tetap dilakukan oleh warga setiap tahun sekali, tepatnya pada tanggal 14 Syuro.


Sedangkan nama Jonggring Saloka diambil dari nama Kayangan, karena tempat tersebut dipercaya memberi berkah dan tempat yang dianggap keramat. Terlepas dari kepercayaan dan mitos yang diyakini warga tersebut, tempat ini memang sangat indah, pemandangan laut lepas yang menyatu dengan birunya langit. Sesekali terdengar deru ombak yang deras menerpa karang dan bebatuan di bibir pantai. Pemandangan seperti ini membuat mata siapa pun tidak akan berpaling, dan tidak ingin beranjak dari sana.


Berdasarkan keterangan warga, sekitar tahun 1996-1997, pantai tersebut pernah ramai dikunjungi wisatawan, dari wisatawan domestik hingga luar kota. Pengelolaan tempat wisata ini atas inisiatif warga sendiri. Pembuatan jalan menuju pantai pun atas kerjasama warga dengan Perhutani, tanpa ada campur tangan pemerintah. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2000-an wisata ini ditutup. Kondisi jalan yang rusak berat dan bisa dikatakan tidak layak disebut Jalan, pembuatan jalan yang ala kadarnya dan tidak optimal mengakibatkan jalan rusak berat, penuh bebatuan besar, licin dan becek. Karena hal ini pula, tempat wisata tersebut sepi dan akhirnya ditutup.


Kondisi ini sangat disayangkan oleh warga, namun mereka tidak dapat berbuat banyak, mereka hanya bisa mengharapkan adanya sentuhan tangan dari pemerintah baik pemerintah Kota maupun Kabupaten Malang untuk perbaikan jalan agar wisata pantai Jonggring Saloka  kembali ramai dikunjungi.

Final edited by. Nina Pradani


No comments: