Friday, June 7, 2013
Something about My Job
Genre: Nonfiksi
Pernah denger perusahaan Penerbitan dan Percetakan di kota Bandung, PT. Grafindo Media Pratama. Hadehh… penerbitan apalagi ini??? Yang aku tau itu Penerbitan Erlangga, Yudhistira, Balai Pustaka, Obor, Gramedia, Gagas Media, Bukune, Dar!mizan, Repulika. Ya yang itu-itu saja. Tapi, ini! Grafindo Media Pratama?? aku taunya Andika Pratama yang artis itu. Haish! benar-benar kuper nihh. Aku pernah mengirim lamaran sebagai Editor di perusahaan ini, meskipun tadinya aku tidak terlalu familiar dengan perusahaan ini. Setelah aku mendatanginya untuk mengikuti tes tulis dan proses interview, barulah aku melongo dengan suksesnya.
Pikirku penerbitan yang memanggilku ini paling hanya penerbitan kecil-kecilan di pojok kota Bandung. Bukan karena aku meremehkan penerbitannya, tapi karena aku mengenal siapa yang mereka loloskan untuk mengikuti wawancara. Siapa lagi kalau bukan diriku sendiri. Apa coba yang mereka lihat dari email yang aku kirim dulu?? Walaupun sebenarnya waktu mengirim itu aku berharap-harap cemas sambil komat-kamit baca doa semoga ada kelanjutan, berharap banget ada panggilan wawancara. Tapi, setelah mendapat panggilan wawancara dan tes tulis, aku malah jadi gak yakin dengan perusahaannya. Hewwh… --‘
Aku sempat membuka websitenya, ah, buat website yang bagus mah aku juga bisa. Batinku. Meski demikain, aku datang dari Surabaya ke Bandung dengan satu doa semoga aku bisa meninggalkan kesan karena aku sungguh tidak punya apa-apa, tidak punya sertifikat editor apalagi ijazah lulusan jurusan Editing, tidak punyaaaa. Sesampainya di kota Bandung, aku berhasil dibuat kaget oleh pak sopir Taxi yang mengantarku di depan kantor itu. Meskipun bukan gedung besar empat lantai seperti gedung kantorku saat itu (Posisi aku masih kerja di Speedy, ijin kabur sehari dari Surabaya), ternyata perkantorannya bukan bangunan rumah kecil seperti bayanganku. Setelah masuk ke dalam-dalamnya, perusahaan ini ternyata cukup besar, ada pabrik percetakannya juga, bangunannya terpisah-pisah seperti dalam satu komplek. Apa aku salah alamat?? Apa ini seperti yang Ayu Tingting bilang, Alamat Palsu?? Tidak, aku tidak salah, ini bukan alamat palsu. ya, ini kantornya.
Aku mengikuti tes tulis yang dilanjutkan dengan wawancara, itu karena aku datang dari luar kota. Pengertian sekali mereka. Sorenya aku langsung kembali ke Surabaya dengan perasaan pesimis, sedikit menangis karena gak mungkin aku bisa lolos di perusahaan sebesar itu. Aku juga tidak melakukan persiapan maksimal. Tidak menjawab pertanyaan wawancara dengan kata-kata manis dan menjanjikan seperti yang biasa kulakukan setiap ada wawancara. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur dan dengan bodohnya tanpa dipoles sesuatu apa pun yang sekiranya bisa menjual. Ah, bodohnya aku!!
Hempf.. tak apa lah, setidaknya aku sempat jalan-jalan keliling Bandung dulu tadi dengan Pak taxi. Setidaknya sudah sempat foto-foto narsis sendri di depan Trans Studio Bandung juga di depan Gedung Merdeka, sudah ada oleh-oleh Maicih level 5 juga dari Kartika Sari. Tapi, huwaaaaaaa… aku berharap aku bisa lolos ya Tuhaan…
Sampai akhirnya…. Tuhan mendengar doa-doaku dan doa orang-orang yang kuminta bantuan doa. Seminggu setelah itu, aku dihubungi kembali untuk nego gaji. Whatt??? Yang benerr??? Maksudnya aku keterima?? Waktu dihubungi itu aku gak langsung angkat teleponnya karena lagi kerja, pas istirahat siang baru aku liat ada telepon dan sms dari Grafindo. Aku sempet andilau bising, antara dilema, galau bin pusing dibuatnya. Haruskah aku pindah ke Bandung beneran setelah aku sudah merasa nyaman hidup di Surabaya??? Akhirnya aku memilih untuk keluar dari Zona nyaman dengan resiko gaji kembali ke awal (akan dinaikkan jika performansiku bagus). Berangkatlah aku ke kota Paris van java.
Apakah aku sedang bermimpi?? Perusahaan ini terlalu besar, apalagi untuk mempekerjakanku yang tidak berpengalaman di bidang Penerbitan. Tadinya aku bahkan berpikir mereka pasti salah milih calon karyawan. Tapi, setelah mendengar penjelasan dari Dept. Head-nya, mereka melihat ada potensi dan kemauan dalam diriku (cailah) makanya aku terpilih di antara beberapa orang yang ikut seleksi waktu itu. Ya Tuhan, semoga aku tidak mengecewakan orang-orang yang sudah memberi kepercayaan padaku, juga tidak mengecewakan-Mu yang sudah menunjukkan jalan sesuai dengan impianku.
Sekarang aku bekerja sebagai Editor. Ini sudah hari keempat aku bekerja di kantor baru, setelah sebelumnya aku mengundurkan diri dari pekerjaan di anak perusahaan dari BUMN terbesar negeri ini, TELKOM. Walaupun gajiku lebih besar di pekerjaan yang dulu, aku tetap memilih pekerjaan impianku yang sekarang. Tak apa, untuk awal karir sebagai Editor, gaji bukan masalah utama, yah sebenernya tetap butuh sih buat biaya hidup di rantauan. Gak mungkin juga kan aku makan angin. Tapi, sekali lagi aku harus profesional dulu baru bisa menargetkan imbalan yang besar.
Orang-orang di kantor lama sempat kaget dengan keputusanku yang mendadak, tapi mereka maklum setelah aku bilang mau mengejar cita-cita, SPV-ku sudah kusarankan untuk sujud syukur karena satu-satunya karyawan yang bandel dan susah dibilangin akhirnya melarikan diri. Dulu aku bekerja sebagai IBOC TECHINCAL Agent Call Center Speedy 147. Yap! Exactly, aku bekerja sebagai Call Center, meskipun gajinya besar, pekerjaan ini membuatku tak percaya diri, pekerjaan yang membuatku bersembunyi dari dunia. Pekerjaan yang menurutku tidak bisa dibanggakan. Pekerjaan yang terpaksa harus aku tekuni karena tidak ada pekerjaan lain. Bahkan, kedua orang tuaku tidak pernah kuberitahu hal ini, orang tuaku tidak pernah tahu bahwa anak mereka bekerja sebagai call center. Mereka hanya tahu aku bekerja di Speedy. Setiap kali ada yang bertanya aku bekerja di bagian apa, aku selalu menjawab, bagian membuat laporan gangguan, mengatasi masalah pelanggan terkait gangguan internet. Aku tidak berbohong, itu memang job desk utama sebagai call center.
Kenapa aku tidak pernah mau mengatakan kerja sebagai call center? karena aku tau anggapan orang mengenai call center itu seperti apa. Mereka tidak tau sebenarnya bagaimana para agen call center itu bekerja. Call center internet atau yang kami sebut IBOC Technical tentu berbeda dengan call center tempat pemesanan makanan siap saji, pemesanan taxi, atau call center untuk menanyakan informasi nomor telepon misalnya. Tentu berbeda, sangat berbeda.
Bekerja sebagai agen call center IBOC Technical tidak semudah yang kau bayangkan, pekerjaan itu menuntut penguasaan dan keterampilan di bidang teknik informatika, khususnya masalah jaringan. Tidak semua orang bisa melakukannya dengan baik. Aku teringat seorang teman pernah berkata, “Apa sih pekerjaan call center itu? Itu kan hanya perlu menghafalkan kalimat yang sama. Anak SMA juga bisa.”
Tidak, tidak hanya itu, kau salah besar, teman. Ribuan bahkan jutaan pelanggan tidak akan mengajukan atau mengadukan hal yang sama setiap harinya. Kamu tidak pernah tahu bahwa Call Center berbicara dengan siapa saja di ujung telepon. Berbicara dengan direktur perusahaan, konglomerat, dosen, kepala sekolah, dokter, pengamat politik, kepala desa, wali kota, anggota legislatif, bule dari eropa atau amerika, Koko dari cina, abah dari arab, teknisi perusahaan, teknisi warnet, bahkan bisa jadi asisten pribadi Presiden berbicara langsung dengan kami. Kamu tidak bisa menebak apa yang mereka sampaikan dalam keluhannya. Yah, tentu saja kami harus pandai berkomunikasi, kami harus pandai mencairkan perasaan pelanggan yang sedang beku, mendinginkan kepala pelanggan yang sedang panas.
Mereka tidak sekedar mencaci atau menyampaikan keluhan, kau tau? cacian tidak pernah menjadi masalah bagi kami. Bahkan jika sang Direktur perusahaan atau pelanggan dengan ragam profesinya itu sampai ingin membakar perusahaan Telkom saking marahnya karena koneksi internet yang tak kunjung lancar. Itu sama sekali bukan masalah buat kami, kami cukup menekan tombol mute lalu kami melanjutkan gosip dengan rekan sebelah, atau kami cukup meletakkan headset, sang Direktur atau si Bule dari belanda akan berkicau sendiri sampai mulutnya berbuih, kami tak mendengar, setelah beberapa saat barulah headset dipasang kembali dan kami hanya mengucapkan magic word “mohon maaf”. Itu jika kami tidak berempati. Tapi, kami dididik untuk bersikap empati terhadap pelanggan dan mau membantu pelanggan. Jika itu tidak kami lakukan, nilai kami akan berkurang, imbasnya langsung ke upah yang kami terima. Seringnya kami bukan tidak ingin membantu, tapi kebanyakan pelanggan sok tau dan menganggap kami ini tempat sampah, tidak tau apa-apa, sekedar tempat untuk berkeluh kesah.
Meski demikian tidak semua pelanggan suka marah-marah, banyak juga pelanggan yang menelepon karena benar-benar ingin minta bantuan, minta dipandu untuk setting modem misalnya. Aku sendiri sangat senang dengan pelanggan yang berinisiatif seperti ini. Lebih senang lagi jika ada pelanggan yang awalnya marah-marah, tapi mau mendengarkan penjelasan dan mau dipandu untuk melakukan perbaikan, pasti pelanggan tersebut akan kami bantu sampai benar-benar bisa tersolusikan masalahnya. Bahkan agar gangguannya tidak berulang kami akan mengirimkan teknisi untuk melakukan monitoring agar koneksi internetnya tetap stabil.
Eh, betewe, kenapa kita jadi bahas kerjaanku yang dulu sih? Ini pasti karena aku merindukan pelanggan yang baik-baik itu. Pasti karena aku merindukan suasana kerja yang tidak pernah mengenal hari minggu atau tanggal merah. Sini, kuceritakan lagi, pernah nih ya… ada pelanggan yang mau mengirimkan Brownis ke kantor hanya karena masalahnya berhasil teratasi. Seandainya diizinkan untuk memberitahu alamat kantor, pasti aku sudah dapat Brownis hari itu. Pernah juga ada pelanggan dari daerah Makassar menawarkan bantuan jika aku kesulitan masalah listrik, misalnya ingin pasang baru atau apa. Dan ternyata pelanggan tersebut bekerja di PLN. Itu juga karena masalah internetnya bisa tersolusikan. Sayangnya, aku tidak tinggal di Makassar. Seringnya lagi ada pelanggan yang iseng, kebanyakan sih anak kecil. Aku masih inget, dialognya begini;
“Telkom, selamat siang, dengan Nina, bisa dibantu?
“Ada..” (suara anak kecil)
“Iya, silakan..”
“Emm…”
“Silakan, ada yang bisa kami bantu?”
“Ada…”
“Silakan…” Gerrr… apanya yang ada? Ada ada mulu dari tadi. (di-mute, ngobrol sama teman di sebelah “ada anak kecil nih, iseng..”) “Iya, silakan…” lanjutku.
“Minta pulsa…” (suaranya beneran imut)
“Maaf adek, kalau mau pulsa belinya di konter ya..”
“Tuuuttt…” telepon ditutup.
Yah, itu hanya sebagian kecil kesan yang tertinggal selama bekerja di sana, pada hakikatnya pekerjaan itu sama sekali tidak mengharapkan imbalan apapun dari pelanggan, pelanggan merasa puas dengan pelayanan kami dan masalah internetnya teratasi saja itu sudah menjadi kepuasan batin tersendiri buat kami. Selain memang itu sudah menjadi tanggungjawab kami. Hedehh,, kan masih aja bahas call center. Oke baiklah, kita kembali ke topik awal.
Editor, kalian tau kan Editor itu apa? Yap, pekerjaan mengedit tulisan. Pekerjaan ini memang cita-citaku sejak SMA, ini impian kedua setelah nomor satu impianku adalah menjadi Penulis. Fungsi atau tujuan pokok jabatan Editor itu Mengadakan, mengemas, dan memproses naskah sehingga dihasilkan produk yang berkualitas dan dapat diterima oleh pasar. Bismillah, aku sudah memulai karir impianku sebagai Editor Buku Anak dan Remaja. Jujur saja, aku belum punya pengalaman di bidang ini, hanya saja dulu sempat jadi koordinator liputan di koran kampus waktu jaman kuliah, sempat ngedit tulisan reporter-reporterku, tapi itu tulian berupa berita dan berbeda sekali dengan pekerjaanku yang sekarang. Ah, setidaknya aku sudah punya passion dan kecintaan di dunia ini, meskipun aku belum mengenalnya, dalam hal ini aku tidak setuju dengan pernyataan sejuta umat “tak kenal maka tak sayang.” Buktinya aku sudah menyayangi pekerjaanku bahkan sebelum aku benar-benar mengenalnya. Aku yakin akan belajar cepat dan aku akan menekuni pekerjaan ini dengan baik. Bismillah, fighting!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment