Wednesday, July 3, 2019

Motoran ke Gili Trawangan

Tujuan: Gili Trawangan, Lombok Utara, NTB
Kendaraan: Sepeda Motor
Jarak Tempuh: 435 km Cek
Waktu Tempuh: 12-15 Jam perjalanan (berangkat Minggu jam 10 pagi, sampai Mataram jam 11 malam. Hulk banget, kan, suami gue? #terharubanggabersukacita)

Yap, ini perjalanan jauh pertama berdua dan menggunakan sepeda motor. Perjalanan yang melelahkan tentu saja. Jangan ditanya bokong nasibnya gimana. Teposss.... Andai bisa denger teriakan si bokong, mungkin mereka meraung-raung minta pulang.

Istirahat di pinggir jalan, 2 jam sebelum masuk Sumbawa Besar.

Skip aja, deh, setelah sampe Gili Trawangan, sebelum sampai sini kita nginep dulu di Mataram karena udah larut malam, lalu esoknya baru ke Gili Trawangan.
Di Bangsal, beli tiket boat buat nyeberang ke Gili Trawangan 15.000/orang, udah beli tiket, galau dulu mau ganti destinasi ke Gili Air karena lihat yang ke Trawangan rame bet. Well, ganti, tiket trawangan dibalikin, ganti beli yang ke Gili Air 12.000/orang.
Nunggu boat yang ke Gili Air ternyata lama penuhnya. Balik lagi, ganti. Tiket Gili Air dibalikin, beli ulang yang ke Gili Trawangan. 😂😂


Tulisannya yang besar itu udah hancur. Masih ada bekas reruntuhan gempa. Tapi, wisatawan sudah mulai rame kembali.

Nginep di sana semalem dapat penginapan yang 200 ribu. Harusnya bisa dapat yang 100 ribuan ke bagian dalem-dalem, tapi hamba sudah tidak sanggup lagi berjalan karena kepala agak puyeng diguncang ombak waktu nyeberang tadi.

Setelah istirahat sebentar, udah ga sabar pengen sepedaan kelilingin gili. Cus deh keliling pake sepeda sore-sore. Beneran kelilingin sampe kembali ke titik semula.

Bersambung....

Friday, April 5, 2019

Hapus Kolom Pekerjaan di KTP

https://mojok.co/mzs/esai/saya-guru-taman-pendidikan-al-quran-tapi-repot-kalau-menjelaskan-kerjanya-apa/


Barusan baca tulisan di mojok. Trus, pengin ikutan curhat juga. Di KTP saya juga kolom pekerjaan akhirnya diisi BELUM/TIDAK BEKERJA. Iya, pake huruf besar semua. Kejam bnget, kan? Jadi, setiap kali lihat KTP, saya merasa diteriakin. Diteriakin nama saya yang panjang, diteriakin tahun lahir biar ketahuan kalo udah gak muda, diteriakin golongan darah biar merasa punya kewajiban donor setiap masuk pesan di grup WA "Dibutuhkan gol. Darah A, pasien kanker alis dirawat di RS bla bla bla..." padahal setiap mau donor darah, saya selalu patah hati, selalu dapat penolakan, mending kalau cuma ditolak, pake dibilangin berat badan masih kurang segala. Apa mereka gak tahu kalo berat badan itu sangat sensitif buat perempuan? Trus berasa diteriakin tidak bekerja padahal setiap hari kerjaan saya banyak. Seperti nulis status ini, kerja, kan, ya? Pokoknya setiap liat KTP saya harus tutup telinga.

Well, kolom yang lain juga huruf besar semua, sih. Dan lagi, nih, untuk penulisan ini saya bertanya-tanya. Gini, di keterangan sebelahnya gak ditulis huruf besar semua. Tapi, di isian keterangan itu kenapa huruf besar semua? Gak konsisten. Biar keliatan? Ah, enggak juga, meskipun huruf kecil (dengan awalan huruf besar seperti aturan penulisan PUEBI) tetep keliatan, kok. Emm, apakah KTP saya saja yang seperti itu?

Baiklah. Kembali ke soal pekerjaan tadi. Ya, waktu ditanya soal pekerjaan, saya pun kesulitan menjelaskan. Karena memang gak punya pekerjaan, gak pergi ke kantor, bukan karyawan pula. Akhirnya saya jawab saja pengangguran. Padahal, kan, saya gak nganggur, saya ini Unemployment. (Sama aja!) 😂

Saran buat dukcapil: BELUM/TIDAK BEKERJA coba diganti PRAKERJA aja, biar rada kerenan dikit, trus biar bisa dapat kartu entar kalo si itu menang. Atau bagaimana kalo kolom itu dihapus, soalnya itu bisa berpengaruh ke data negara soal jumlah pengangguran, padahal sekarang banyak yang bekerja a.k.a. nyari duit di dunia lain. Meraup hingga milyaran rupiah cuma dari "Halo Gaiss.... ashyiaaapp". Banyak yang dapat transferan jutaan rupiah dari jualan senjata di game online. Masa mereka mau dibilang pengangguran. Tapi, itu sulit untuk dibilang jenis pekerjaan/profesi juga, sih. Nanti kalo misalnya anak kecil ditanya mau jadi apa, masa jawabannya mau jadi Yutuber, Gamer.

Repot juga profesi pekerja lepas seperti Penulis, Editor, Desainer, Layouter, Ilustrator, Guru TPQ, Imam masjid, Biarawati, Peramal, Tukang cukur, Tukang sol sepatu, Tukang Ojek, MUA, dll., udah capek-capek jelasin kerjaan, ujung-ujungnya ditulis Karyawan Swasta padahal bukan karyawan, Belum/Tidak Bekerja padahal kerja, IRT padahal gak cuma ngIRT, atau malah Wiraswasta padahal bukan pengusaha. 😂 Dan itu ditulis huruf besar semua.

Wednesday, October 10, 2018

Tulus

Jangan kau tanya ketulusan pada iblis
mereka adalah makluk paling tulus
malaikat tak berpamrih karena dicipta
iblis tak pernah pamrih pada manusia
karena hasad, dusta, dan cinta
amat tulus mengajak untuk bersama
pantang menyerah, setia hingga binasa
mereka tak kan ingkar hingga akhir dunia
siapa pun tahu itu jalan neraka
sialnya, manusia tetap suka

ketulusan manusia kadang goyah
menangis rindu, namun payah
mengaku cinta, tapi tak bergairah
hati mencari wujud tak berarah
kemunafikkan manusia kian bertambah
akan seperti itu hingga amarah
manusia selalu sadar itu salah
namun, iblis teguh bisikkan asah
jangan salahkan iblis yang tak kenal lelah
mereka telah ikrar sejak sejarah
masalahnya adalah kau yang memang sudi kalah

-np-

Friday, August 24, 2018

Infinity


Terima kasih karena sudah sarapan dengan telur dadar yang ternyata tidak berasa tanpa protes sedikit pun pagi ini.
Terima kasih karena sudah menemaniku yang tiba-tiba cengeng kemarin, sampai-sampai kau terlambat memenuhi janji dengan teman-temanmu.
Aku memukul kepala sendiri berkali-kali sambil mengumpat betapa bodohnya aku.
Terima kasih karena sudah membuang buah yang sudah lama mengendap di kulkas dan tidak habis-habis itu kemarin. God, ternyata aku sangat pemalas.
Terima kasih karena sudah membersihkan poop kucing yang tidak tahu diri itu kemarinnya lagi.
Terima kasih karena sudah selalu melipat selimut dan merapikan tempat tidur hari ini, kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi. Ya, hampir setiap hari kau membuatku jatuh cin... terharu. Sial.
Terima kasih karena selalu menyimpan piring kotor ke belakang dan tidak membuatnya tak indah.
Terima kasih sudah ikut menyapu halaman setiap kali dedaunan yang tak berdaya itu mulai ramai tertiup angin. Kita memang tidak boleh menyalahkan mereka.
Terima kasih karena sudah menanam segala jenis tumbuhan di halaman rumah kita akhir-akhir ini. Semoga musim hujan segera tiba agar kau tidak perlu menyiramnya setiap hari.
Terima kasih untuk segalanya.
Aku harus menyampaikan terima kasih yang tak terhingga.
Ah, terima kasih pokoknya.

Thursday, April 19, 2018

Menyeret Langkah ke Puncak Tambora




Tepatnya 11 April 1815 atau lebih dari dua abad lalu, gunung Tambora yang asalnya memiliki ketinggian 4.300 mdpl mengalami letusan dahsyat hingga menenggelamkan tiga kerajaan (Tambora, Pekat, dan Sanggar) bahkan menyebabkan perubahan iklim dunia karena letusannya saja terdengar hingga pulau Sumatra dan abunya menyebar hingga benua Amerika dan Eropa. Mengakibatkan kematian, gagal panen, hingga kelaparan terburuk abad 19. Meski gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara, setelah letusan dahsyat itu, ketinggiannya berkurang menjadi 2850 mdpl pada puncak bibir kawahnya. Awalnya saya mengganggap remeh angka itu. Ah, segitu aja, tidak begitu tinggi, kok, bisalah saya ke sana. Seberapa, sih, itu. Kecil...

Jika kalian ingin mendaki, dan saat ini saya memang sedang menyarankan kalian untuk mendakinya. Kenapa? Tunggu, ini nanti mau saya ceritakan kenapa kalian yang ngaku anak gunung perlu ke sana, sekarang saya lanjutkan dulu. Apa tadi? Yap, untuk menuju puncak Tambora, kalian bisa melewati dua jalur pendakian, Pendakian Doropeti di Bima dan Pancasila di Dompu karena terletak di dua kabupaten, Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara). Ah, untuk lebih jelasnya kalian bisa gugling sendiri  lah... itu pun di atas saya nulis kembali hasil gugling, kok. Wkwk.

Well, jadi April tahun 2018 ini Bima dan Dompu memperingati 203 tahun letusan itu yang mereka rayakan sebagai Festival Tambora. Berbagai kegiatan diadakan mulai dari hiburan mengundang artis ibukota, mendaki bersama, membentangkan bendera merah putih hingga 203 meter di puncak bibir kawah, dan baaanyak lagi kegiatan seru lain yang digelar dari tanggal 8 hingga puncak acaranya pada 11 April lalu.

Awalnya saya ingin ikut mendaki pada saat perayaan festival tersebut, namun karena terkendala beberapa hal, tidak bisa dan akhirnya diajakin teman-teman yang juga ingin merayakan festival yang tertunda itu pada akhir pekan. Kami berangkat jumat siang tanggal 13 April dari Bima dan sampai gerbang pendakian Pancasila sekitar ba'da magrib. Agar bisa memulai pendakian besok pagi-pagi, kami menginap dulu Jumat malam itu pada salah satu homestay di desa Pancasila.

Pendakian Perdana dan Impian




Bersambung....

Saya melanjutkan tulisan ini, 7 tahun lebih setelah hari itu. 13 April 2018. Dan hari ini, 16 Oktober 2024. Saya tiba-tiba berkeinginan melanjutkannya karena tidak punya ide untuk kebutuhan tugas membuat tulisan dari Pelatihan Menulis yang sedang diikuti. Ide, sih, banyak, tapi merasa kurang materi akibat mulai malas membaca. Apalagi beberapa tema yang ingin ditulis ini cukup berat. Seperti; Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak; Sejauh mana efektivitas bantuan sosial bagi masyarakat Kota Bima; Ribet dan lamanya pelayanan karena Alur Birokrasi di Pemerintahan; Siapa dan Mengapa Veronica Tan dipanggil ke Kediaman Prabowo? Mengapa Israel Tidak Dapat Dihentikan?; Apakah Lebanon Akan Menjadi Gaza Kedua? Apakah Korut dan Korsel Akan Memulai Perang?; dan lain-lain.
Nah, berat, kan?

Jadi, sepertinya cerita pengalaman ini saja, ya, yang aman dan tidak membutuhkan riset mendalam, saya hanya perlu menguji kapasitas memori otak saja. Ya, karena cerita ini sudah lebih dari tujuh tahun lalu. Perjalanan pendakian pertama, tanpa persiapan fisik yang matang, hanya modal nekat dan keinginan kuat menikmati aroma kaldera di puncak Tambora.

Secara geografis, gunung Tambora terbentang di dua wilayah Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Memiliki empat jalur pendakian resmi, yaitu jalur Kawinda To'i dan Piong yang berada di wilayah Kabupaten Bima, kemudian jalur Doro Ncanga dan Pancasila yang berada di wilayah Kabupaten Dompu. Sementara saya dan teman-teman tinggal di Kota Bima. Kami memilih melewati jalur Pancasila karena menjadi jalur utama yang sering digunakan para pendaki, jalur ini juga memiliki medan yang cukup sulit, dan dengan jarak tempuh selama tiga hari dua malam. Selain karena mudah dicapai dengan kendaraan, juga karena ada homestay di dekat gerbang jalur tersebut untuk kami menginap sebelum mendaki.

Homestay tempat kami menginap meski tidak tampak seperti homestay, letaknya dekat sekali dengan gerbang jalur pendakian Pancasila, tepat di samping kanan gerbang itu. Sialnya, kami tidak kepikiran untuk mengambil gambar di sana, karena tiba hari sudah gelap. Tempat menginap itu cukup nyaman walaupun toiletnya sangat jauh dan tidak ada lampu. Jika ingin ke toilet, tidak ada yang berani sendiri, jadi harus mengajak teman. Kondisi fisik kami cukup lelah setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam dari Kota Bima ke kaki gunung Tambora, tepatnya, di Desa Pancasila Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu menggunakan mobil pick-up, karena itu kami bisa tidur nyenyak hingga keesokan harinya. Saat itu, belum ada signal provider mana pun di sana. Jadi, tidak ada kegiatan scroll-scroll feed ig atau facebook.

Setelah salat subuh, kami mulai bersiap untuk mendaki. Suasana pagi di desa itu cukup sunyi dan dingin. Kami memulai langkah dengan membaca doa masing-masing dalam hati. Rombongan ini berjumlah sembilan orang; Saya bersama teman-teman yang sebagian sudah kenal lebih dulu sebelum rencana ini, seperti Yuni, Aini, Indi, dan Masya. Selain itu, ada Wulan, Rama, Arief, dan Hisyam yang baru saya kenal. Di antara mereka, saya yang usianya paling tua, dan yang paling tidak punya pengalaman mendaki. Ini adalah pendakian pertama saya dan langsung lewat jalur Pancasila yang dikenal memiliki medan cukup sulit, melewati hutan-hutan tropis dan kebun kopi milik warga. Jalur yang memiliki jarak tempuh paling lama dibandingkan tiga jalur lain.

Berangkat jam setengah 6 pagi hingga sekitar jam 11 siang, Pos Bayangan belum terlihat, perjalanan masih di dalam hutan, belum mencapai Pos Bayangan sebelum Pos 1 seperti yang diperkirakan. Fix, kami nyasar. Salah seorang teman yang mengaku sudah pernah mendaki gunung Tambora ini mendadak kehilangan arah. Kami merasa seperti telah mengelilingi hutan dua kali, karena kembali ke tempat yang sama. Akhirnya, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Si Penunjuk Jalan yang merasa bertanggung jawab tadi mencoba cari-cari jalan di sekitar tempat kami istirahat. Dia penasaran. Sekira 30 menit kami beristirahat, dia berteriak dari kejauhan, "Ketemu! Di sana! Sini, ke arah sini!" dia melambaikan tangan setelah melihat pos bayangan.

Kami pun beranjak mengikutinya. Ternyata Pos Bayangan atau shelter yang sengaja disediakan pengelola Taman Nasional itu memang tak jauh dari tempat kami istirahat. Di pos 1, ada semacam barugak dan sumber air yang jernih. Kami beristirahat, makan siang, dan salat zuhur di tengah hutan itu. Si Masya, koki andalan kami memasakkan sayur dari dedaunan yang dia ambil di sekitar pos. Saya lupa daun apa namanya, yang saya ingat rasanya enak sekali. Sebuah kemewahan setelah kelelahan, menikmati hidangan di tengah hutan tropis.

Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Menuju pos 2, memasuki kawasan hutan yang cukup rapat. Kadang melewati rerumputan yang tinggi. Setelah berjalan sekitar 3-4 jam, kami sampai di Pos 2 dan terdapat sumber air yang dapat diminum juga di sana, namun untuk mengambil air harus turun sekitar 10 meter dari tempat istirahat.

Dari Pos 2, jalur menyeberangi sungai dan mendaki mulai terasa menuju Pos 3. Melewati tumbuhan pakis dan pepohonan yang tinggi. Pos 3 memiliki area datar yang lebih luas dibandingkan dua pos sebelumnya. Jadi, karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk membuka tenda dan beristirahat di sini. Saat malam itu, suasana lumayan mencekam, karena tiba-tiba salah seorang teman melarang saya untuk duduk dipinggir berugak. Katanya dia melihat sesosok entah apa di belakang saya. Saya sendiri bukan tidak mempercayai hal-hal gaib, tapi karena berada pada dimensi yang berbeda, saya meyakini tidak memiliki kemampuan untuk bersentuhan dengan dimensi lain. Keyakinan itu membuat saya tidak merasa takut akan hal sejenis itu. Tengah malam, muncul dua pendaki lain yang juga membangun tenda di dekat kami. Dan mereka ini akhirnya berjalan bersama kami hingga puncak dan kembali turun nanti.

Keesokan harinya, perjalanan menuju pos 4 dimulai. Jalur ini melewati ladang jelatang yang berlimpah. Tumbuhan ini jadi musuh pendaki, karena dapat menyengat kulit jika terkena. Daun jelatang bahkan dapat menembus pakaian yang tidak tebal. Tumbuhan ini ada yang tumbuh kecil-kecil, hingga setinggi 2 meter yang paling dikhawatirkan jika terkena wajah. Saat melewatinya, harus berhati-hati agar jangan sampai terkena kulit.

Tiba di Pos 4 yang memiliki area terbuka dengan tanah yang tidak datar, tidak ada shelter di sini. Hanya ada pohon tumbang, dan kami duduk bentangan di pohon itu. Tempat ini dikelilingi pepohonan besar dan tinggi. Kabut juga sangat banyak, hingga kami menyempatkan untuk mengambil gambar di tengah kabut.

Paling depan: Masya, koki andalan kami.



Perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 melewati jalur yang cukup menantang dan terus menanjak meskipun jalur ini yang paling pendek dibandingkan jarak antar pos-pos sebelumnya. Namun, ini jalur yang sangat melelahkan. Terdapat sumber air terakhir meskipun tidak sebersih sebelumnya. Akan tetapi, untuk mencari air bersih, dua orang teman kami entah menjelajah ke mana, yang jelas mereka kembali dengan membawa dua jerigen air yang bisa diminum sebagai bekal kami hingga puncak. Tiba di Pos 5, terdapat sungai yang lebar dan kering dengan banyak bebatuan besar. Lokasi ini sangat luas dan terbuka. Kami akhirnya beristirahat dan makan di sini.




Setelah cukup istirahat, perjalanan dilanjutkan dengan menyeberangi sungai dan jalur kembali naik. Terdapat banyak pohon cemara, rerumputan, dan pohon-pohon yang saya tidak tahu namanya. Pohon-pohon ini memiliki batang-batang yang indah. Dari sini, dapat dilihat kembali pemandangan di bawah yang sudah dilewati sejak kemarin.


Hari sudah mulai gelap, kami berencana naik ke puncak besok pagi jam 2 agar dapat melihat sunrise di puncak Tambora. Jadi, kami membuka tenda untuk beristirahat di area sebelum jalur pendakian yang sangat menanjak. Malam itu sangat dingin, begitu digelar matras, saya hanya berbaring telungkup merapatkan kaki dan tangan. Diajak makan pun saya tidak sanggup bergerak. Teman-teman saya sampai khawatir saya terkena hipotermia karena seluruh tubuh gemetar dan mulut tidak berhenti bergumam tidak jelas. Saat itu, saya tidak bisa merasakan kaki saya lagi. Teman-teman duduk mengelilingi sambil memijiti saya. Bahkan ada juga yang membacakan Al-Quran. Takut-takut kalau saya diganggu jin katanya. Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang memijiti kaki dan tangan saya hingga kembali merasa hangat. Tapi, entah kenapa saya merasa kesal dengan dua orang teman yang duduk mengelilingi saya dan membacakan Al-Quran. Salah satunya membaca surah Yasin. Saya merasa kesal karena mereka nengatakan khawatir saya kerasukan. Apakah saya selemah itu? Namun, saya tidak berdaya untuk menunjukkan kekesalan itu. Saya tidak dapat berkata apa-apa karena seluruh badan gemetaran menahan dingin. Saya hanya bisa menunjukkan senyum seringai karena kesal, dan bacaan Al-Quran mereka semakin kencang melihat saya tersenyum. Jika mengingat momen itu, kami pasti tertawa.

Pukul 2.30 pagi, kami memulai pendakian menuju puncak Tambora. Barang-barang bawaan yang berat, disimpan di tenda. Salah seorang teman tidak sanggup melanjutkan ke puncak. Tentu saja, bukan saya. Saya sudah kembali bersemangat dan rasa penasaran melihat kaldera membuat saya kembali melangkahkan kaki. Sudah terlanjur sampai di sini, rugi kalau tidak sampai muncak. Saya merasa perjalanan yang ini lebih berat dari sebelumnya karena jalur gelap, berpasir, dan sangat menanjak. Saya melangkah dengan semangat dan kecepatan penuh. Namun, karena terlalu bersemangat, tak lama saya kelelahan, beberapa teman melewati saya. Akhirnya saya berjalan perlahan hingga matahari mulai terbit, saya tepat berada di bibir kaldera. Ini belum sampai puncak.


Wednesday, February 7, 2018

Jagalah hati!



Saat kamu dengan sengaja menunjukkan hal-hal baik dirimu dengan mengharap pujian dari orang lain. Katanya itu termasuk riya'. Pun tanpa kamu mengharap pujian dari orang lain, tapi kamu sudah merasa senang/bangga akan kebaikan yang kamu lakukan. Katanya itu ujub. Apalagi jika kamu meremehkan orang lain (walaupun dalam hati) yang tidak melakukan kebaikan yang sama. Itu namanya entah apa. Saya lupa. Jadi, ketika kamu sengaja menunjukkan kebaikan dengan menyembunyikan sisi burukmu. Katanya itu munafik. Tapi juga, kamu gak harus sengaja terlihat buruk hanya karena tidak ingin menyombongkan kebaikan. Keduanya sama saja sombong.
Jujur adalah yang terbaik.

Wednesday, January 31, 2018

Dilan dan Bulan

Rame, ya, fenomena Dilan ini. Sepertinya bakal ngalahin fenomena Super blue blood moon untuk durasinya. Kenapa? Super blue blood moon hanya terjadi malam ini. Seharian tadi hingga besok timeline hampir di semua media sosial dipenuhi foto bulan dari kualitas terburuk--karena keterbatasan kamera--hingga foto dengan kualitas terbaik layak dibeli majalah astronomi. Tapi, paling setelah besok udah hilang. Nggak ada lagi yang ngomongin bulan. Lain cerita dengan Dilan. Dari waktu novelnya terbit, baru sedikit yang baca, dan mereka yang sedikit itu udah mulai ngomongin Dilan, udah tergila-gila dengan Dilan. Waktu itu, saya menganggap kalangan mereka punya segmen bacaan yang unik. Apa pasal, sebelum Dilan terbit, pertama kali saya dikenalkan oleh Atasan saya waktu itu tulisan Pidi Baiq yang unik dan agak... bukan, sangat, sangat berbeda dan sangat gila. Agak-agak sedeng. Ingat betul waktu itu sedang hunting buku di Pameran Buku Bandung (atau IBF ya? Ya itu lah... yang jelas di Bandung), Atasan saya mengambil salah satu buku berjudul "Hanya Salju dan Pisau Batu" dan menunjukkan bagian belakang sampulnya. Kalau tidak salah ingat di sana tertulis beberapa testimoni mengenai buku itu. Yang unik adalah, kalau buku orang lain testimoninya ditulis oleh tokoh-tokoh terkenal, seperti penulis, budayawan, artis, presiden, ketua DPR, atau siapa saja yang relevan dengan tema buku. Lain cerita yang memberi testimoni untuk buku Surayah Pidi Baiq ini. Anda bisa menebaknya? Mereka adalah tetangganya, tukang kebun, Mamang penjual sayur yang lewat depan rumahnya, ketua RT, dan tokoh-tokoh tak terduga lainnya. See?

Saya melihat beberapa buku Pidi Baiq yang lain juga semuanya stres. Tidak ada satu pun yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Akhirnya saya beli dua buku yang didiskon saat itu "Drunken Marmut" dan yang tadi "Hanya Salju dan Pisau Batu". Yang belum diskon belum saya beli, termasuk Dilan. Eh.

Sekitar tahun 2015 novel Dilan terbit, beberapa teman yang sudah baca langsung kena Dilan syndrome. Kutipan dialog-dialog (baca: gombalan-gombalan) Dilan yang memang berkelas (atau receh?) itu memenuhi hari-hari mereka. Menarik dan lucu, sih. Saya selalu suka baca kutipan-kutipan mereka. Tapi, belum juga tergoda untuk membaca novelnya. Mungkin takut kena Dilan syndrome juga. Hingga novel Dilan akhirnya best-seller pun, saya belum membacanya. Waktu Harbolnas udah order di Gramed, udah bayar juga. Eh, dapat email permohonan maaf, dana akan dikembalikan. Sepertinya belum bertakdir membaca novel itu. Selama ini, saya hanya mengikuti cuitan Surayah, juga cuitan follower yang selalu beliau balas dengan kata-kata khas, hingga berfoto dengan begron kutipan beliau di jalan Asia Afrika sana.

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi."_Pidi Baiq.

Dan Bandung bagi saya belum sejauh itu. Hanya saja, saya belajar keramahan dan bobodoran (ini bener ga si?) dari kota itu. Dari profesi OB, sekuriti, hingga direktur doyannya melucu. Bahkan seorang Ustadz pun sempat mengocok perut jamaah saat khutbah Idul Adha. Iya, itu pengalaman mendengar khutbah shalat Id pertama kali yang ngalahin stand up comedy, namun juga tidak menghilangkan esensi khutbah itu sendiri.

Segala sesuatu mengenai Bandung memang menyenangkan, nggak cuma orang-orangnya baik, akang-akangnya yang kasep, eneng-enengnya yang geulis, yang gak kasep biasanya lucu seperti Sule. Lebih jauh dari itu, sosok Dilan sepertinya akan dapat mengancam standarisasi gombalan dan rayuan di tingkat nasional. Jika gombalan kalian tidak berkelas dan unik seperti Dilan jangan harap akan ada yang tergoda. 😂

Tulisan-tulisan Pidi Baiq--yang imigran dari Surga ke Bandung ini--bagi saya seperti guru yang selalu mengajarkan muridnya untuk berpikir dan memiliki logika yang tidak biasa. Mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak hanya bisa dilihat dengan satu sudut pandang. Bahwa segala sesuatu itu memiliki sisi yang membahagiakan tergantung bagaimana kita menilainya. Tergantung bagaimana kita memilih untuk bersedih atau berbahagia. Semoga sosok Pidi Baiq tidak tenggelam oleh Iqbaal, eh, Dilan. Well, kebahagiaan penulis adalah saat karakter ciptaannya seolah nyata. Selamat, Ayah.

Tuesday, January 16, 2018

Berhala Subsidi

"Pupu ru'u masyarakat ke. Ne'em da mbei!" (Pupuk buat masyarakat, nih. Kok nggak dikasih!) Kalimat itu keluar dari seorang pemuda yang tidak saya kenal datang melemparkan 3 lembar rupiah bernilai 2 sak pupuk yang dia paksa ambil langsung dari buruh yang sedang sibuk menurunkan pupuk urea dari truk ke dalam toko. Saya tidak bisa menerima uang itu selain karena saya tidak mengetahui apakah namanya ada dalam daftar gapoktan atau tidak, juga karena caranya yang kasar, juga karena memang saya tidak diizinkan untuk menjual pupuk urea ini sementara pemilik tokonya (Bapak/Ibu.red) masih di sekolah.

Sebenarnya saya ingin membalas dan mendebat kalimat yang dia ucapkan tadi. Tapi, pemuda itu tergesa-gesa setelah 2 sak pupuk terangkut di atas sepeda motornya. Mungkin tanaman (entah bawang atau padi) di sawahnya sudah "kelaparan" harus segera diberi pupuk. Saya berharap dia benar-benar anak petani yang sedang membantu orangtuanya atau seorang suami yang menafkahi keluarganya dari hasil pertanian. Belakangan saya mengetahui kalau yang tadi itu ternyata preman. Itu kata warga lain yang sudah mengerubungi saya, mengerubungi pupuk maksud saya. Dan laporan dari buruh dan sopir yang bawa pupuk juga ternyata komplotannya tadi sudah menghadang truk itu di ujung desa. Mengancam untuk menurunkan 2 sak pupuk. Tapi, juga mereka memberikan uang. Ia mereka membayar harga 2 sak pupuk itu. Sungguh mulia, kan, mereka? Mereka tidak mencuri. Mereka hanya membeli pupuk bersubsidi itu di tengah jalan.

Thursday, January 11, 2018

Mafia Pupuk


Saya tinggal di sebuah Desa bernama Ngali. Sekali lagi, NGALI. Kenapa saya bahkan merinding menyebut nama Desa saya sendiri? Entahlah. Yang jelas, jika kalian menyebut nama Ngali di kawasan Bima dan Dompu, bahkan mungkin NTB, orang yang mengetahuinya tidak pernah tidak ingin memastikannya kembali. "Apah?? Ngali?", "Wah, dou (orang) Ngali?", "Ngali? Ngali yang di sana?", "Ngali?", "Oh, Ngali...". Itu yang terakhir biasanya komentar mereka yang memiliki sifat kul, cuek atau yang sedang pura-pura tahu Ngali padahal enggak. "Ngali?? Ngali yang sering perang itu?" Itu pasti komentar orang yang belum pernah ke Ngali dan hanya mengetahui Ngali waktu rame peristiwa perang. Ya, perang. Jika kalian membayangkan perang seperti zaman penjajahan. Itu enggak salah. Kami memang pernah berperang melawan penjajah, dulu. Dan itu jadi perkakas kesombongan orang Ngali. Dan berperang melawan desa sebelah. Perang sungguhan.

Tuesday, May 30, 2017

Sombong



"Ninaee... berangkat ke Pegadaian, ya! Kaka Nu gak ada, lagi ke Sumbawa. Ibu harus ke sekolah."

"Ke Pegadean? Ngapain, Buk?"

"Bayar kreasi."

"Oh, boleh..." saya menyahut sambil googling keyword "kreasi pegadaian"

Baiklah, saya akhirnya tahu kalau Bayar kreasi sama artinya dengan bayar utang. Tadinya saya ingin berpikir selama ini nggak nyangka Ibu punya hasil kreasi atau telah membeli hasil kreasi entah siapa yang harus dibayar.

Tapi, ke Pegadaian?

Jadi, pegadaian nggak cuma mengatasi masalah tanpa masalah. Ini masalah. Pertama, Pegadaian adalah tempat yang pernah saya berjanji pada diri sendiri, nggak akan pernah mau berurusan dengannya. Nggak ada alasan khusus, hanya tidak mau. Emm... mungkin juga ini karena dalam pikiran sempit saya, yang ke pegadaian itu kebanyakan ibu-ibu susah. Dan saya nggak mau susah atau terlihat susah. Kalo sampai saya ketahuan datang ke sana berarti, kan, saya lagi susah. Songong, ya?

Kedua, saya nggak mau kelihatan orang punya masalah finansial dengan datang ke Pegadaian, kalopun butuh uang saya akan bekerja, bekerja apa saja atau bisnis apa saja yang halal. Ke pegadaian saat butuh uang itu entah kenapa bagi saya kurang berkelas. Barang-barang yang mau digadaikan paling perhiasan, kendaraan, rumah, tanah, dan aset lainnya. Masalahnya, saya tidak punya itu semua. Haha...

Ketiga, dengan menggadaikan barang, mendapatkan utang, dan membayar cicilannya tiap bulan, bukankah membuat masalah semakin panjang. Jadi, sebaiknya dari sekarang saya akan rajin menabung saja (Baru sekarang? - -').

Poin pentingnya, dulu saya pernah memiliki tekat kuat nggak akan pernah menginjak kantor Pegadaian hanya karena ingin mengatakan pada dunia:

"Pegadaian? Tempat apa itu? Sorry, nggak pernah tuh ke sana."

Well, obat dari kesombongan ini, saya harus menebus dan membayarnya sekarang. Yah, walaupun ke sana karena disuruh orang lain, sih. Untungnya.

Kejadian lain yang sejenis adalah soal jilbab, hijab, atau berhijab.
Saya sudah memakai jilbab sedari kecil. Tidak ada seorang pun yang (bukan mahram) pernah melihat kepala saya, maksudnya tanpa ditutup sesuatu, meskipun itu sepupu yang sering datang ke rumah. Saya memegang teguh prinsip ini sampai dewasa. Sampai kuliah. Saya tidak ingin melepas jilbab saat keluar rumah atau saat ada orang yang bukan mahrom. Tidak boleh sama sekali. Saya harus suci dan terlindungi. Kelak, hal ini bisa menjadi kebanggaan saya.

Sampai suatu ketika, saat KKN, bercampur baur cewek-cowok. Walaupun tinggal di rumah yang berbeda (sebelahan), anak-anak cowok makan dan nonton tivinya di rumah yang kami tempati. Masih subuh, saya bangun tidur dan keluar dari kamar tanpa memakai jilbab, hanya ingin mengecek sudah jam berapa. Belum sempurna mata terbuka, saya dibuat kaget oleh salah seorang teman yang berdiri dengan santainya nyender di rak pembatas ruang tengah dan ruang tamu samping pintu kamar. Tanpa berkata apa-apa. Mungkin dia juga kaget. Saya tidak tau dia sedang apa. Masalahnya adalah... dia cowok! Ya, cowok. Dan saya... oh God! Kepala.. rambut saya, rambut! Saya spontan masuk kembali, membanting pintu, duduk terpaku di tepi ranjang, mengabaikan teman sekamar yang bertanya "Ada apa, Nin?",
Sedetik,
Dua detik,
Lima detik,
Sepuluh detik,
"Nin, kamu kenapa?"
Bukannya menjawab, saya malah menangis sejadi-jadinya. Bukan karena malu rambut acak-acakan atau iler yang masih nempel. Saat itu, entah kenapa saya merasa sudah tidak suci lagi.

Saya marah semarah-marahnya pada anak itu. Menyalahkan dia yang diam-diam berdiri di sana tanpa memberi kode atau aba-aba. Tapi, setelahnya saya tahu, ternyata dia sedang menunggu teman sekamar saya menggambilkan sesuatu entah apa yang ingin dia pinjam.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan hingga kalau tidak gegara kasus pegadaian tadi, saya akan terus menyesali kejadian itu dan menyalahkan keadaan yang sudah membuat saya merasa tidak suci. Jadi, baru saja, baru hari ini, baru saat Ibu menyuruh ke Pegadaian, saya disentil bahwa selama ini saya sudah sombong. Sombong menganggap diri suci hanya karena tidak ada yang pernah melihat kepala saya. Bahwa sudah sejak saat itu saya ditegur dengan membuat teman saya tadi melenyapkan apa yang selama ini saya bangga-banggakan. Bahwa sejak saat itu hingga kapan pun saya memang tidak sebaik, tidak sesoleha, tidak seterpelihara, tidak sesuci yang saya pikirkan. Karena memang hanya Dia Yang Mahasuci.


Monday, May 22, 2017

Drama


Tidak ada gempa bumi
Tidak ada gunung meletus
Tidak ada komet atau meteor jatuh di atap rumah
Lalu, suara apa tadi, gedebuk?

Kemudian, aku malu
Saat menyadari itu suara dari dalam sana
Ya, dari jantung
Mungkin

Tidak, aku tidak punya riwayat penyakit jantung
Ini hanya terjadi sekali-sekali
Saat aku merasa.... bahagia
Oh, bukan, bukan bahagia yang biasa
Pernah merasa karena terlalu bahagianya
sampai membuatmu menangis?
Ya, seperti itulah.

[BMU22517]



















Wednesday, May 10, 2017

Ramaharamarahmahar #eh?

Mengapa manusia perlu bersikap ramah? Ya, sebaiknya manusia perlu bersikap ramah sebelum benar-benar menjadi zombie karena semua kebutuhan dipenuhi mesin. Sebelum mesin menjadi lebih hidup dari manusia. Sebelum manusia benar-benar digantikan oleh mesin.
Pernah lihat mesin penjual minuman dingin? Biasanya ada di stasiun atau terminal, terminal bandara tentu saja. Terminal bus sejauh ini masih dikuasai kaum bapak-bapak dengan kalimat andalannya "Yang aus... Yang aus... Akua... akua.... mijon... mijon.... dingin...dingin..."

Sunday, March 19, 2017

Yuk ah! (2)

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 21 jam. Sampailah kita di Pelabuhan Perak, Surabaya. KMP Legundi disambut dengan cuaca hujan di beberapa daerah dan kabut sore yang tidak dingin. Hangat. Itulah Surabaya.


Thursday, March 2, 2017

"Bila engkau melihat keindahan dan kesempurnaan di dalam dunia ini, hal itu bukan apa-apa melainkan pertanda dari-Nya. Makhluk yang indah hanyalah sekumpulan bunga dari taman Tuhan yang membentang luas. Jika engkau memiliki mata untuk melihat kesempurnaan, maka engkau juga harus memiliki ketajaman untuk melihat bahwa apa yang engkau lihat adalah semata-mata bayangan cerminan paras wajah-Nya. Rupaku juga gambaran keindahan Tuhan. Tetapi engkau harus tahu bahwa sebuah lukisan akan pudar, bunga akan mati, dan bayangan cermin akan pudar oleh Cahaya yang sebenarnya. Adalah Dia Yang Nyata dan akan tetap demikian selamanya. Dalam hal ini, mengapa engkau membuang waktumu atas sesuatu yang ada di sini hari ini namun besok akan sirna? Pergilah langsung menemui Sang Sumber, jangan ditunda."

*Hikayat: nasihat Yusuf kepada Bazigah.

Saturday, February 25, 2017

Yuk ah!


Sebenernya ini nekat dan nyari gara-gara. Berangkat ke Lombok bermotor. Cuma berdua. Dan hei... kalian itu sama-sama cewek. Lombok itu jauh, Nakk... kalo di jalan, di tengah hutan, di atas gunung itu ada apa-apa gimana? Setidaknya itu sepatah dua kalimat kekhawatiran Bapak dan Ibu. "Kenapa nggak naik pesawat aja, sih? Udah, nggak usah macem-macem, pake pesawat aja. Biar Bapak belikan tiket sekarang." Perfect! Sempurna sudah betapa nggak kerennya aku. Udahlah jadi anak setua ini nggak pernah ngasih apa-apa ke orangtua, sekarang malah minta dibelikan tiket. Anak macam apa itu?

Saturday, January 7, 2017

Bima Berguncang, Hatiku Juga. #eh

"Siapa yang tahu bahasa Inggrisnyaaa eeemmp...."

"Epu... epu.. epuuuu!!" Epu bukan bahasa Inggris, tentu saja. Epu bahasa Bima, artinya "gempa". Sontak semua anak berlarian. Aku? Aku juga ikut lari. Kami menuruni tangga dengan wajah panik, takut. Dalam hati aku merapal doa, apa saja, yang jelas meminta agar tangga ini nggak runtuh seperti runtuhnya hatiku saat tahu ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan (Eeaaa...). Ya, baru saja Bima gempa lagi, tadi sekitar jam 5 sore. Kami yang sedang asik belajar angka bahasa Inggris dikagetkan dengan lantai, meja, kursi yang mendadak goyang zumba. Gempa itu kerasa banget karena kami sedang berada di lantai atas yang baru dua hari ini sengaja saya sulap jadi kamar baca.



Thursday, January 5, 2017

Nonton Dunia Terbalik



Persinetronan Indonesia akhirnya dapat bernapas lega dari drama lebay bin alay khas sinetron kita. Sorot mata tajam dengan backsound darr derr dorr dramatis setiap muncul pemeran antagonisnya menjadi ciri khas tak tergadaikan. Sehingga kemunculan sinetron seperti Tuyul dan Mbak Yul atau Jin dan Jun menjadi sesuatu yang dirindukan generasi 80-90an.

Thursday, December 29, 2016

Hayati lelah, Bang...

21 Desember 2016, di hari yang sama 28 tahun silam, juga jatuh pada hari Rabu, banyak kejadian menakjubkan menurut alkisah Ibunda tercinta. Begitu pun dengan hari ini. Mulai dari pagi hari yang tidak bermatahari a.k.a mendung. Gulungan awan seolah arakan kerajaan majapahit melewati sebuah pedesaan. Bedanya, menurut sinema kolosal Tutur Tinular, arakan kerajaan itu disambut oleh rakyatnya yang ikhlas keluar dari rumah masing-masing dan berdiri berjejer kepala tertunduk. Memberi hormat. Sedang arakan awan yang melintasi desaku pagi tadi, memang disambut rakyat yang ikhlas keluar dari rumah, namun dengan urusannya masing-masing. Mana sempat menyambut awan. Melihat ke atas saja mungkin tidak ada yang sempat. Lebih-lebih sambil memejamkan mata menghirup udara segar.

Sampai sekitar kurang dari jam 9 pagi, turunlah hujan tanpa merasa perlu repot-repot ngasih klakson, aba-aba, tanda gelegar guntur atau kilatan petir. Baiklah, mungkin arakan itu ingin memberi kejutan. Atau justru mereka jengah karena tidak ada yang memperhatikan? Karenanya mereka mengaliri bumi dengan air penuh kedamaian. Namun, tampaknya tidak damai bagi para rakyat yang merasa terhalangi kesibukannya. Salah satunya adalah kami yang mengagendakan tepat jam 9 pagi akan melangsungkan pernikahan. Bukan, bukan saya yang menikah. Sepupu saya. Mungkin Yang Di Langit hanya ingin mengabarkan bahwa ada arakan yang perlu disambut meski hanya dengan mengingat hakikat diri masing-masing sebagai apa. Tidak mampu berbuat apa-apa tanpa Sang Kehendak. Meski persiapan sudah teramat matang dan mendidih.

Friday, December 16, 2016

Kehilanganmu

Kukira saat melihat tubuhmu yang terbujur kaku kemarin adalah hari terberat. Namun,  ternyata aku salah. Kemarin masih banyak yang mengelilingimu. Keluargamu yang mungkin lebih merasa kehilangan, teman-temanmu, para sahabat, tetangga, kenalan, atau bahkan mungkin ada pengagum rahasiamu di antara mereka. Artinya, banyak yang merasakan hal yang sama denganku. Jadi, aku tidak sendiri. Dan kau pun tidak sendiri.

Thursday, December 15, 2016

14 Desember 2016

Kamu masih ingat? Dulu, kamu selalu juara satu, dan aku cuma sanggup bertahan di juara dua. Saat itu, pikiran anak-anakku tidak pernah mendefinisikan kata bersaing di antara kita. Selain karena aku yang memang malas belajar, alibiku sudah seperti itulah takdir kita. Kalau aku menganggapmu sebagai saingan, siapa lagi teman berangkat ke sekolah bareng? Siapa lagi yang akan jadi teman sebangkuku?