Tepatnya 11 April 1815 atau lebih dari dua abad lalu, gunung Tambora yang asalnya memiliki ketinggian 4.300 mdpl mengalami letusan dahsyat hingga menenggelamkan tiga kerajaan (Tambora, Pekat, dan Sanggar) bahkan menyebabkan perubahan iklim dunia karena letusannya saja terdengar hingga pulau Sumatra dan abunya menyebar hingga benua Amerika dan Eropa. Mengakibatkan kematian, gagal panen, hingga kelaparan terburuk abad 19. Meski gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara, setelah letusan dahsyat itu, ketinggiannya berkurang menjadi 2850 mdpl pada puncak bibir kawahnya. Awalnya saya mengganggap remeh angka itu.
Ah, segitu aja, tidak begitu tinggi, kok, bisalah saya ke sana. Seberapa, sih, itu. Kecil...
Jika kalian ingin mendaki, dan saat ini saya memang sedang menyarankan kalian untuk mendakinya. Kenapa? Tunggu, ini nanti mau saya ceritakan kenapa kalian yang ngaku anak gunung perlu ke sana, sekarang saya lanjutkan dulu. Apa tadi? Yap, untuk menuju puncak Tambora, kalian bisa melewati dua jalur pendakian, Pendakian Doropeti di Bima dan Pancasila di Dompu karena terletak di dua kabupaten, Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut) dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara). Ah, untuk lebih jelasnya kalian bisa gugling sendiri lah... itu pun di atas saya nulis kembali hasil gugling, kok.
Wkwk.
Well, jadi April tahun 2018 ini Bima dan Dompu memperingati 203 tahun letusan itu yang mereka rayakan sebagai Festival Tambora. Berbagai kegiatan diadakan mulai dari hiburan mengundang artis ibukota, mendaki bersama, membentangkan bendera merah putih hingga 203 meter di puncak bibir kawah, dan baaanyak lagi kegiatan seru lain yang digelar dari tanggal 8 hingga puncak acaranya pada 11 April lalu.
Awalnya saya ingin ikut mendaki pada saat perayaan festival tersebut, namun karena terkendala beberapa hal, tidak bisa dan akhirnya diajakin teman-teman yang juga ingin merayakan festival yang tertunda itu pada akhir pekan. Kami berangkat jumat siang tanggal 13 April dari Bima dan sampai gerbang pendakian Pancasila sekitar ba'da magrib. Agar bisa memulai pendakian besok pagi-pagi, kami menginap dulu Jumat malam itu pada salah satu homestay di desa Pancasila.
Pendakian Perdana dan Impian
Bersambung....
Saya melanjutkan tulisan ini, 7 tahun lebih setelah hari itu. 13 April 2018. Dan hari ini, 16 Oktober 2024. Saya tiba-tiba berkeinginan melanjutkannya karena tidak punya ide untuk kebutuhan tugas membuat tulisan dari Pelatihan Menulis yang sedang diikuti. Ide, sih, banyak, tapi merasa kurang materi akibat mulai malas membaca. Apalagi beberapa tema yang ingin ditulis ini cukup berat. Seperti; Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak; Sejauh mana efektivitas bantuan sosial bagi masyarakat Kota Bima; Ribet dan lamanya pelayanan karena Alur Birokrasi di Pemerintahan; Siapa dan Mengapa Veronica Tan dipanggil ke Kediaman Prabowo? Mengapa Israel Tidak Dapat Dihentikan?; Apakah Lebanon Akan Menjadi Gaza Kedua? Apakah Korut dan Korsel Akan Memulai Perang?; dan lain-lain.
Nah, berat, kan?
Jadi, sepertinya cerita pengalaman ini saja, ya, yang aman dan tidak membutuhkan riset mendalam, saya hanya perlu menguji kapasitas memori otak saja. Ya, karena cerita ini sudah lebih dari tujuh tahun lalu. Perjalanan pendakian pertama, tanpa persiapan fisik yang matang, hanya modal nekat dan keinginan kuat menikmati aroma kaldera di puncak Tambora.
Secara geografis, gunung Tambora terbentang di dua wilayah Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Memiliki empat jalur pendakian resmi, yaitu jalur Kawinda To'i dan Piong yang berada di wilayah Kabupaten Bima, kemudian jalur Doro Ncanga dan Pancasila yang berada di wilayah Kabupaten Dompu. Sementara saya dan teman-teman tinggal di Kota Bima. Kami memilih melewati jalur Pancasila karena menjadi jalur utama yang sering digunakan para pendaki, jalur ini juga memiliki medan yang cukup sulit, dan dengan jarak tempuh selama tiga hari dua malam. Selain karena mudah dicapai dengan kendaraan, juga karena ada homestay di dekat gerbang jalur tersebut untuk kami menginap sebelum mendaki.
Homestay tempat kami menginap meski tidak tampak seperti homestay, letaknya dekat sekali dengan gerbang jalur pendakian Pancasila, tepat di samping kanan gerbang itu. Sialnya, kami tidak kepikiran untuk mengambil gambar di sana, karena tiba hari sudah gelap. Tempat menginap itu cukup nyaman walaupun toiletnya sangat jauh dan tidak ada lampu. Jika ingin ke toilet, tidak ada yang berani sendiri, jadi harus mengajak teman. Kondisi fisik kami cukup lelah setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam dari Kota Bima ke kaki gunung Tambora, tepatnya, di Desa Pancasila Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu menggunakan mobil pick-up, karena itu kami bisa tidur nyenyak hingga keesokan harinya. Saat itu, belum ada signal provider mana pun di sana. Jadi, tidak ada kegiatan scroll-scroll feed ig atau facebook.
Setelah salat subuh, kami mulai bersiap untuk mendaki. Suasana pagi di desa itu cukup sunyi dan dingin. Kami memulai langkah dengan membaca doa masing-masing dalam hati. Rombongan ini berjumlah sembilan orang; Saya bersama teman-teman yang sebagian sudah kenal lebih dulu sebelum rencana ini, seperti Yuni, Aini, Indi, dan Masya. Selain itu, ada Wulan, Rama, Arief, dan Hisyam yang baru saya kenal. Di antara mereka, saya yang usianya paling tua, dan yang paling tidak punya pengalaman mendaki. Ini adalah pendakian pertama saya dan langsung lewat jalur Pancasila yang dikenal memiliki medan cukup sulit, melewati hutan-hutan tropis dan kebun kopi milik warga. Jalur yang memiliki jarak tempuh paling lama dibandingkan tiga jalur lain.
Berangkat jam setengah 6 pagi hingga sekitar jam 11 siang, Pos Bayangan belum terlihat, perjalanan masih di dalam hutan, belum mencapai Pos Bayangan sebelum Pos 1 seperti yang diperkirakan. Fix, kami nyasar. Salah seorang teman yang mengaku sudah pernah mendaki gunung Tambora ini mendadak kehilangan arah. Kami merasa seperti telah mengelilingi hutan dua kali, karena kembali ke tempat yang sama. Akhirnya, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Si Penunjuk Jalan yang merasa bertanggung jawab tadi mencoba cari-cari jalan di sekitar tempat kami istirahat. Dia penasaran. Sekira 30 menit kami beristirahat, dia berteriak dari kejauhan, "Ketemu! Di sana! Sini, ke arah sini!" dia melambaikan tangan setelah melihat pos bayangan.
Kami pun beranjak mengikutinya. Ternyata Pos Bayangan atau shelter yang sengaja disediakan pengelola Taman Nasional itu memang tak jauh dari tempat kami istirahat. Di pos 1, ada semacam barugak dan sumber air yang jernih. Kami beristirahat, makan siang, dan salat zuhur di tengah hutan itu. Si Masya, koki andalan kami memasakkan sayur dari dedaunan yang dia ambil di sekitar pos. Saya lupa daun apa namanya, yang saya ingat rasanya enak sekali. Sebuah kemewahan setelah kelelahan, menikmati hidangan di tengah hutan tropis.
Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Menuju pos 2, memasuki kawasan hutan yang cukup rapat. Kadang melewati rerumputan yang tinggi. Setelah berjalan sekitar 3-4 jam, kami sampai di Pos 2 dan terdapat sumber air yang dapat diminum juga di sana, namun untuk mengambil air harus turun sekitar 10 meter dari tempat istirahat.
Dari Pos 2, jalur menyeberangi sungai dan mendaki mulai terasa menuju Pos 3. Melewati tumbuhan pakis dan pepohonan yang tinggi. Pos 3 memiliki area datar yang lebih luas dibandingkan dua pos sebelumnya. Jadi, karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk membuka tenda dan beristirahat di sini. Saat malam itu, suasana lumayan mencekam, karena tiba-tiba salah seorang teman melarang saya untuk duduk dipinggir berugak. Katanya dia melihat sesosok entah apa di belakang saya. Saya sendiri bukan tidak mempercayai hal-hal gaib, tapi karena berada pada dimensi yang berbeda, saya meyakini tidak memiliki kemampuan untuk bersentuhan dengan dimensi lain. Keyakinan itu membuat saya tidak merasa takut akan hal sejenis itu. Tengah malam, muncul dua pendaki lain yang juga membangun tenda di dekat kami. Dan mereka ini akhirnya berjalan bersama kami hingga puncak dan kembali turun nanti.
Keesokan harinya, perjalanan menuju pos 4 dimulai. Jalur ini melewati ladang jelatang yang berlimpah. Tumbuhan ini jadi musuh pendaki, karena dapat menyengat kulit jika terkena. Daun jelatang bahkan dapat menembus pakaian yang tidak tebal. Tumbuhan ini ada yang tumbuh kecil-kecil, hingga setinggi 2 meter yang paling dikhawatirkan jika terkena wajah. Saat melewatinya, harus berhati-hati agar jangan sampai terkena kulit.
Tiba di Pos 4 yang memiliki area terbuka dengan tanah yang tidak datar, tidak ada shelter di sini. Hanya ada pohon tumbang, dan kami duduk bentangan di pohon itu. Tempat ini dikelilingi pepohonan besar dan tinggi. Kabut juga sangat banyak, hingga kami menyempatkan untuk mengambil gambar di tengah kabut.
 |
| Paling depan: Masya, koki andalan kami. |
Perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 melewati jalur yang cukup menantang dan terus menanjak meskipun jalur ini yang paling pendek dibandingkan jarak antar pos-pos sebelumnya. Namun, ini jalur yang sangat melelahkan. Terdapat sumber air terakhir meskipun tidak sebersih sebelumnya. Akan tetapi, untuk mencari air bersih, dua orang teman kami entah menjelajah ke mana, yang jelas mereka kembali dengan membawa dua jerigen air yang bisa diminum sebagai bekal kami hingga puncak. Tiba di Pos 5, terdapat sungai yang lebar dan kering dengan banyak bebatuan besar. Lokasi ini sangat luas dan terbuka. Kami akhirnya beristirahat dan makan di sini.
Setelah cukup istirahat, perjalanan dilanjutkan dengan menyeberangi sungai dan jalur kembali naik. Terdapat banyak pohon cemara, rerumputan, dan pohon-pohon yang saya tidak tahu namanya. Pohon-pohon ini memiliki batang-batang yang indah. Dari sini, dapat dilihat kembali pemandangan di bawah yang sudah dilewati sejak kemarin.

Hari sudah mulai gelap, kami berencana naik ke puncak besok pagi jam 2 agar dapat melihat sunrise di puncak Tambora. Jadi, kami membuka tenda untuk beristirahat di area sebelum jalur pendakian yang sangat menanjak. Malam itu sangat dingin, begitu digelar matras, saya hanya berbaring telungkup merapatkan kaki dan tangan. Diajak makan pun saya tidak sanggup bergerak. Teman-teman saya sampai khawatir saya terkena hipotermia karena seluruh tubuh gemetar dan mulut tidak berhenti bergumam tidak jelas. Saat itu, saya tidak bisa merasakan kaki saya lagi. Teman-teman duduk mengelilingi sambil memijiti saya. Bahkan ada juga yang membacakan Al-Quran. Takut-takut kalau saya diganggu jin katanya. Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang memijiti kaki dan tangan saya hingga kembali merasa hangat. Tapi, entah kenapa saya merasa kesal dengan dua orang teman yang duduk mengelilingi saya dan membacakan Al-Quran. Salah satunya membaca surah Yasin. Saya merasa kesal karena mereka nengatakan khawatir saya kerasukan. Apakah saya selemah itu? Namun, saya tidak berdaya untuk menunjukkan kekesalan itu. Saya tidak dapat berkata apa-apa karena seluruh badan gemetaran menahan dingin. Saya hanya bisa menunjukkan senyum seringai karena kesal, dan bacaan Al-Quran mereka semakin kencang melihat saya tersenyum. Jika mengingat momen itu, kami pasti tertawa.
Pukul 2.30 pagi, kami memulai pendakian menuju puncak Tambora. Barang-barang bawaan yang berat, disimpan di tenda. Salah seorang teman tidak sanggup melanjutkan ke puncak. Tentu saja, bukan saya. Saya sudah kembali bersemangat dan rasa penasaran melihat kaldera membuat saya kembali melangkahkan kaki. Sudah terlanjur sampai di sini, rugi kalau tidak sampai muncak. Saya merasa perjalanan yang ini lebih berat dari sebelumnya karena jalur gelap, berpasir, dan sangat menanjak. Saya melangkah dengan semangat dan kecepatan penuh. Namun, karena terlalu bersemangat, tak lama saya kelelahan, beberapa teman melewati saya. Akhirnya saya berjalan perlahan hingga matahari mulai terbit, saya tepat berada di bibir kaldera. Ini belum sampai puncak.